Kamis, 27 Desember 2012

Nina

Sahabatku, Nina, hanya tersenyum saja.
Aku tahu ia menyembunyikan perasaannya. Tidak ingin kelihatan kejujuran hatinya. Sebab kejujuran itu bisa menjadi kesalahan besar.
Kamu merasa biasa saja menghianati suamimu. Kamu merasa biasa saja berniat menjadi istri simpanan suami orang. Kamu merasa biasa saja menjadi pengganggu rumah tangga orang. Mengganggu Bapak dari anak-anaknya. Suami dari istrinya.
Aku mengerti isi hati Nina meskipun tidak ada yang dikatakannya.  Tidak ditunjukan perasaan apa-apa di wajahnya.  Tidak menampakkan dirinya yang sebenar-benarnya.
Aku datang bukan atas permintaan dia.
Suaminya lah yang datang padaku. Suaminya bilang bahwa istrinya, Nina, sahabatku sejak kanak-kanak, sangat membutuhkan bantuanku sekarang. Aku bertanya, memangnya ada apa. Suaminya mengatakan, datang saja ke rumah.
Aku ikut dengannya. Ke rumahnya.
***
Pertama-tama aku dibawa singgah ke rumah Pak RT.
Pak RT di lingkunganku adalah pria yang masih muda dan cukup menganggur sehingga mau jadi RT. Atau sudah tua sehingga juga benar-benar menganggur dan mengharap sedikit penghasilan untuk sekedar membeli rokok.
RT yang ini masih muda dan cukup menganggur. Tidak terpelajar. Pekerjaannya membantu istrinya yang berdagang nasi untuk para buruh bangunan yang sedang membangun hotel dan pegawai-pegawai yang bekerja di mall.
Aku seorang terpelajar dan Pak RT tahu itu sehingga sikapnya sangat hormat. Aku katakan padanya bahwa aku berteman dengan Nina sejak kecil dan kami lebih tua cukup banyak dari Pak RT. Kami penghuni asli perkampungan ini dan Pak RT adalah pengembara dari Jawa Timur sana yang ketemu jodoh di sini dan menikahi anak mbok penjual nasi yang kemudian meninggal dan mewariskan usahanya kepada anak perempuannya, istri Pak RT itu.
Pak RT yang logat bicaranya masih sedikit medok itu menundukkan kepala. Aku bilang bahwa sebelum Pak RT ada di tempat ini, kakek moyangku adalah penduduk asli. Aku lahir di suatu kampung yang pernah ada di tempat ini. Kampungnya sekarang sudah hilang lenyap dan Pak RT tidak tahu sama sekali bahwa warung nasinya itu berdiri di atas lahan yang dulu ditanami mentimun dan ubi jalar sebagai pembatas dengan sungai kecil  supaya tidak longsor. Sungai itu sekarang ada di antara dua dinding tembok bangunan dan tidak kelihatan lagi, tersembunyi di antara bangunan. Oh, tentu Pak RT tidak tahu sama sekali. Sekarang wilayah ini sudah menjadi bangunan-bangunan beton, hotel, mall, supermarket, toko-toko,  kampus, klinik, warung-warung makan, rumah-rumah bertingkat untuk tempat kost, dengan latar belakang  perkampungan yang berdesakan. Sebuah sungai yang lebih besar –katanya anak Sungai Cikapundung-  membelah dua wilayah menjadi kawasan bisnis dan real estate di depan, serta kawasan perkampungan di belakang. Tak ada lagi pepohonan yang hijau menyejukkan. Tak ada lagi kilau air dari sawah-sawah yang terhampar luas. Sungai yang mengalir deras itu sudah menjadi genangan air penuh sampah. Di antara dua wilayah itu dibatasi oleh benteng tinggi yang ingin menutupi pemandangan kampung dari perumahan mahal, hotel, dan mall. Pemilik hotel dan mall tentunya juga tidak mau tamunya melihat pemandangan sungai ini.
Aku bercerita tentang itu semua untuk mengatakan bahwa aku penduduk asli kampung ini, aku dan Nina adalah teman sejak kanak-kanak, dan sekarang banyak warga masyarakat –termasuk Pak RT– adalah pendatang yang tidak tahu masa lalu kampung ini.
Lalu aku mengatakan bahwa aku akan mengantar Nina pergi dari kampung ini. Pak RT menganggukkan kepala dan mengirim SMS kepada Ustadz Nanang supaya datang.
Ketika Ustadz Nanang datang dan usianya kelihatan lebih tua dariku, aku menceritakan kembali masa lalu kampung ini. Ternyata Ustadz Nanang bukan penduduk asli kampung ini,  berasal dari sebuah desa di Tasikmalaya dan bertemu jodoh di sini. Aku pun mengatakan kepada Ustadz Nanang bahwa aku kenal tanah di kampung ini, aku tahu yang sekarang menjadi mall dulunya apa, bangunan-bangunan restauran, pusat kebugaran, dealer mobil dan supermarket itu dulunya apa. Ada rumah tukang roti yang setiap pagi menebarkan wangi lezatnya roti yang sedang dipanggang. Ada rumah-rumah panggung berjajar di sepanjang sungai yang dipagari rumpun bambu. Ada pembuat kue odading yang menjadi salah satu makanan sarapan pagi. Ada keluarga pembuat kerupuk jajanan anak-anak. Ada keluarga pembuat tembikar untuk keperluan rumah tangga seperti gentong, piring, dan cangkir. Ada orang Cina –juragan bemo- yang menikah dengan perempuan Jawa dan memungut 3 orang anak Sunda karena mereka tidak punya keturunan. Ada Ustadz yang terkenal karena bisa menyembuhkan orang yang sakit. Ada Pak Haji Dadang, juragan bako (tembakau) yang menjadi asal usul keluargaku.
Sewaktu kecil aku hidup di antara jemuran tembakau yang menghampar coklat di halaman rumah kami yang luas, ditumbuhi 2 batang pohon lengkeng, pohon jambu, pohon sirsak, dan pagar hidup dari semak beluntas. Lahan keluargaku itu sekarang menjadi sebuah kampus setelah dijual karena bagi waris. Namun masih ada orang-orang yang belum lupa bahwa keluargaku memberikan wakaf tanah untuk jalan dan mesjid kecil yang sampai saat ini masih ada. Aku sendiri tinggal di perumahan baru, tidak jauh dari kampung lama.
Istri yang dinikahi Ustadz Nanang berasal dari keluarga pembuat odading. Aku katakan pada Ustadz Nanang bahwa waktu kecil setiap pagi aku membeli odading ketika nenek dari istrinya itu masih hidup. Aku senang menontoni perempuan berbadan besar dan berwajah sedikit indo itu ketika sedang menggoreng bulatan-bulatan kue dari terigu itu.
Ustadz Nanang teringat cerita tentang mesjid yang menjadi tempatnya mengajar mengaji adalah pemberian dari Haji Dadang, seorang juragan bako. Jadi, dia sedang berhadapan dengan salah satu cucunya. Aku mengingatkannya.
Pak Ustadz menundukkan kepala.
Aku mengatakan padanya bahwa aku akan mengantar temanku sejak kanak-kanak, Nina, untuk pergi meninggalkan kampung ini. Pak ustadz menganggukan kepala.
Setelah meninggalkan rumah Pak RT, aku berjalan melewati rumah-rumah. Sejumlah perempuan memperlihatkan diri dari dalam rumah. Aku menyapa dan menyalaminya. Aku menyebutkan namaku dan keluargaku, barangkali mereka ingat-ingat lupa. Beberapa perempuan tua berlinang air matanya. O alah, aku tahu kamu waktu masih kecil. Katanya sambil memegang lenganku. Mungkin itu yang menyebabkannya terharu. Dulu aku masih kecil dan dirinya tentu masih muda. Aku pun nyaris tidak mengenalinya lagi karena wanita itu sudah tua sekarang.
Aku tahu di jendela sesosok bayangan berdiri.
Kuketuk pintu, dan seorang perempuan membuka pintu. Aku tersenyum padanya dan masih bisa mengingat wajahnya meskipun sudah puluhan tahu tak bertemu. Dia kakak perempuan tertua dari salah satu teman masa kanak-kanakku di kampung ini.
Kemudian aku masuk dan duduk di ruang tamu yang penuh barang itu. Mungkin karena terlalu sempit sehingga terlihat terlalu banyak barang. Lalu aku bertanya tentang adik perempuannya –temanku waktu kecil itu– dan aku pun bercerita kenangan-kenangan masa kecil di kampung ini.
Aku pun bertanya tentang keluarga perempuan yang sedang aku kunjungi ini. Dia berbahagia karena anak-anaknya sudah menemukan jodoh masing-masing dan bekerja. Sekarang dirinya dan suaminya menikmati masa pensiun berdua saja. Perempuan ini seorang guru, itu sebabnya dirinya sangat tahu apa yang baik dan benar. Perempuan ini mewakili keluarganya yang menjadi salah satu kelompok orang yang paling vokal dalam menyerang orang yang menjadi musuh keluarganya.  Kemudian karena Bu Guru pandai bertutur, Nina dijadikannya sebagai musuh masyarakat. Melalui kampanyenya.
Aku mengatakan kepada perempuan pensiunan guru ini bahwa aku akan mengantarkan Nina pergi meninggalkan kampung ini. Aku mengingatkan Bu Guru ini bahwa kami berteman sejak kanak-kanak, aku dan adik perempuan Bu Guru itu.
Keluargaku dihormati di kampung ini. Aku pun rupanya dihormati oleh Bu Guru ini yang memandang wajahku secara lunak, tidak segarang yang dikatakan Pak RT bila dia sedang berbicara tentang persoalan Nina. Bu Guru tidak berbicara apa pun.
Maka aku pun pamit dan mengucapkan salam.
***
Nina sedang mengemasi pakaiannya.
Anak perempuannya, si sulung yang sudah kuliah di sebuah kampus swasta untuk belajar program komputer, mengatakan pada ibunya untuk tidak membawa semuanya sekarang karena sisanya dia yang akan mengantarkan. Adik lelakinya, seorang anak SMP yang bertubuh bongsor seperti anak SMA kelas 3, duduk termangu melihat adegan ibu dan kakak perempuannya. Aku melihat suaminya duduk di kursi yang ada di dapur sambil menghisap rokok. Tubuhnya ceking, wajahnya muram.
Suasana menjadi hening karena semua orang bicara dalam hatinya.
“Buatkan kopi untuk Tante Ineu....” kata Nina pada anak perempuannya. Anak perempuan itu pergi ke dapur untuk membuat kopi. Aku mengikutinya ke dapur. Adik lelakinya mengikutinya ke dapur. “Kamu tahu apa yang terjadi dengan ibumu?” Tanyaku. “Tahu, Tante...” Kata Nola, anak perempuan cantik yang berwajah tidak mirip ibunya itu, dengan suara lirih.  “Apa yang terjadi, Nola?” Tanyaku.
“Masyarakat di sini marah dan membenci ibu. Mau mengusirnya dari kampung ini. Mau mengadilinya... Mau menghukum ibu...” Katanya. Terngiang kembali ucapan-ucapan Pak RT di telingaku bahwa keluarga Bu Guru ingin Nina mengakui dosa perselingkuhannya dengan salah satu anggota keluarga itu, adik ipar Bu Guru. Suami adik perempuannya, tapi bukan yang teman sebaya masa kecilku. Keluarga itu ingin ada sidang pengadilan bagi Nina.
“Bukan masyarakat, Nola... Tapi Bu Guru Ami dan beberapa ibu-ibu....” Kataku. “Apa yang dikatakan perempuan-perempuan yang suka bergosip itu tidak benar....” Aku tidak tahu apakah aku sedang bicara benar atau sekedar menolong anak-anak Nina.
Aku menyentuh pundak Nola. Anak perempuan itu memelukku dan menangis terisak. “Tante Ineu...” katanya dengan suara serak. “Bawa Ibu pergi dari sini....”  Aku meminta sang adik lelaki –Naufal–  mendekat. Aku memeluk keduanya.
Bapak kedua anak itu tidak berbicara apa-apa. Pergi meninggalkan dapur. Melangkah ke luar rumah dan entah kemana.
***
Nina berangkat dari rumahnya.
Aku melihat Ustadz Nanang dan Pak RT berdiri di jalan. Aku melihat beberapa orang berdiri di depan rumahnya. Aku merasa sejumlah orang berdiri di depan jendela di dalam rumahnya.
Mereka melihat Nina berjalan membawa kantong pakaiannya. Aku berjalan di sisinya. Kedua anaknya berjalan di belakang ibunya. Suaminya berjalan di belakang anak-anaknya. Suasana hening karena semua orang berbicara dalam hatinya.
Kami hanya harus segera sampai ke ujung jalan.
Sebelum sampai ke ujung jalan, anak-anak tegang dan berkeringat. Bagaimana kalau Bu Guru meneriakkan kemarahannya dan mencegat ibunya. Bagaimana kalau kemudian orang-orang terpancing dan kemudian menjadi kerumunan massa.
Bagaimana kalau penghukuman kepada ibunya dilakukan?
Hanya dibutuhkan beberapa menit untuk sampai ke ujung jalan.  Beberapa menit yang terasa lama. Airmata Nola mengalir di atas pipinya, berjatuhan di atas jalan. Adiknya merangkul bahunya. Wajah anak lelaki itu menatap berkeliling ke arah orang-orang dengan tatapan mata rendah hati namun teguh.
Anak yang pintar.
***
Dalam perjalanan, kami lebih banyak diam membisu. Berbicara dengan hati masing-masing. Aku mengantarkan Nina ke Stasiun Kiaracondong.  Kereta api akan mengantarkannya ke rumah adik perempuannya. Nina akan tinggal sementara bersama keluarga adik perempuannya sampai dia tahu harus kemana lagi.
Nina memeluk aku ketika sebelum dia melangkah pergi ke dalam stasiun. “Nuhun pisan, Neu...” (Terimakasih banyak) Katanya dengan mata berkaca-kaca.
Aku melihatnya melangkah pergi. Tegar.
***
Waktu itu aku dan Nina masih sangat muda.
Keluargaku tidak senang atas pertemananku dengannya. Aku dan Nina senang berteman satu sama lain sehingga larangan itu tak kuindahkan. Nina bilang dia ingin menjadi aku. Aku ingin menjadi Nina.
Menjadi Nina adalah menjadi perempuan muda yang baru mekar, cantik, berkaki indah, dan selalu penuh gelora petualangan asmara di dalam sekujur tubuhnya.  Caranya berjalan. Caranya melirik. Caranya tertawa. Semua memberitakan dengan jelas jiwa dan perasaannya yang erotis. Jarang terbebani oleh pikiran yang mendalam. Nina menimbulkan rasa jengkel perempuan yang melihat para pria mudah ditaklukkan oleh kecantikannya yang menggoda. Nina menimbulkan antipati pria-pria yang sopan.
Nina mudah saja membalas sentuhan pria yang disukainya, menghindar pria yang tidak diinginkannya. Nina mudah saja menerima atau menolak rayuan lelaki.
Lelaki tergila-gila pada kecantikannya. Tidak peduli apa kata orang bahwa perempuan itu bekas si anu, si anu dan banyak lagi nama yang disebutkan.
Sampai suatu ketika Nina menikah dengan Erwin. Seorang pria berwajah manis dari keluarga yang baik, keluarga kelas menengah dan terpelajar. Erwin tidak mengindahkan apa kata keluarganya tentang calon istrinya “yang cantik tapi kampungan” karena terbuai oleh cinta yang membuatnya menggambarkan Nina sebagai gadis sederhana, asli, lembut hati,  ibarat seorang “Upik Abu”, puteri yang hidup di kampung sebelum ditemukannya.
Kampung itu kehilangan legendanya tentang perempuan segar-muda yang ingin menguasai semua lelaki. Nina pergi diboyong suaminya.
Lima belas tahun kemudian dia kembali lagi, menempati rumah peninggalan orang tuanya. Suaminya menjadi pria yang kurus, tua, dan menjemukan. Nina menjadi wanita matang yang tetap cantik, langsing, dan penuh antusias.  Hidup dalam kesulitan ekonomi karena suaminya seorang pegawai yang tidak pernah menanjak ke atas, tidak dapat memadamkan sifatnya yang menyala-nyala dan selalu berbicara ramai. Juga tidak mengubah kesukaannya pada warna-warna cerah pakaiannya.
Bertemu lagi dengan pria yang pernah bercinta dengannya di masa lalu. Nina terjerat pada situasi yang menghidupkan ingatan orang terhadap reputasi dirinya di masa lalu. Bu Guru Ami tak akan lupa itu. Sejumlah orang yang hidup sejak kanak-kanak di kampung ini juga menggeliat kembali ingatannya.
Salah satu pria yang pernah menjadi mantan pacar Nina adalah suami adik perempuan Bu Guru Ami. Juga suami beberapa perempuan lain. Para perempuan ini jadi mudah terbakar kampanye Bu Guru Ami tentang “perempuan pengganggu suami orang itu”.
Suasana memanas karena sifat dan sikap Nina yang tak peduli, Menuruti kata hatinya, mengikuti hasrat masih memiliki kecantikan yang dipuja lelaki. Paling tidak lelaki-lelaki yang usianya setengah baya seperti dirinya.
Bu Guru Ami menantang Pak RT untuk mengadili Nina atas perselingkuhannya dengan suami adik perempuannya.
Perempuan-perempuan itu bersatu dalam amarah dan nafsu balas dendam terhadap perempuan separuh baya yang menjadi fokus perhatian para suami mereka yang juga sudah tak muda. Tergoda untuk memiliki hasrat nakal karena perempuan yang memberikan senyuman dan lirikan memikat itu, masih cantik dan semampai.
Begitulah wujud Nina dalam pandangan perempuan-perempuan di lingkungannya yang serentak bersatu dalam sikap permusuhan yang semakin memuncak dari waktu ke waktu melalui peredaran gosip yang biasalah pasti berisikan hal-hal yang dibesar-besakan.
Katanya Nina berbicara dengan Pak Anu dan kelihatan berdekatan mesra. Katanya Nina juga berbicara dengan Pak Bejo, dan dia ketawa mendengar apa yang dikatakan Pak Bejo seraya mencolek tangannya. Katanya Pak RT dan istrinya bertengkar karena ulah Nina begini begitu. Perempuan itu meminta Pak RT mengurus KTPnya.
Akhirnya, Bu Guru Ami tak tahan lagi. Karena Pak Bejo adalah suaminya. Karena gosip santer yang “terbukti benar” adalah tentang adik iparnya –mantan pacar Nina- telah beberapa kali bertemu di suatu tempat dengan perempuan itu.
***
Dua tahun kemudian. Setelah Nina meninggalkan suami dan anak-anaknya.
Nola, anak perempuan Nina berkunjung ke rumahku. “Apa kabar ibumu?” Tanyaku. Nola menceritakan bahwa ibunya menjadi istri simpanan seorang lelaki yang pernah menjadi pacar masa sekolahnya. Lelaki itu sekarang memiliki jabatan yang lumayan di sebuah instansi pemerintah.
“Aku cuma seorang anak, Tante. Aku tidak bisa melarang Ibu...” Kata Nola. Aku melihat wajahnya. Mata yang selalu sedih sejak masa kecil. “Ibulah yang harus membiayai sekolah aku dan Naufal sejak Ayah menikah lagi....”
Anak yang pintar. Membela ibunya. Nola menjelaskan bahwa ibunya tidak pernah mengganggu “suami orang” seperti yang dituduhkan para tetangga. “Suami orang” yang sekedar benostalgia masa lalu dengan ibunya, mendekat dan menyapa. Tapi tak lebih dari itu. Setelah bercerai dari ayahnya, barulah ibunya menjalin hubungan dengan seorang mantan. Menjadi istri “simpanan”. Atau orang menyebutnya sebagai istri siri.
Aku membayangkan gerak tubuh Nina. Aku membayangkan pandang mata pria padanya. Pada betisnya yang menopang kaki ramping berbalut celana ¾ sehingga membuatnya seperti perempuan yang masih muda. 
 “Nola, kamu tidak harus seperti ibumu, menikah terlalu muda, cepat punya anak, dan jadi perempuan rumahan yang mengharapkan masa depan pada seorang suami, lelaki, dan bukan pada diri sendiri....” Kataku dengan nafas sedikit terengah. “Kamu pernah menjadi juara Olimpiade Fisika ketika masih di SMA. Kamu anak yang pintar di sekolah. Sekolah terlalu sulit buat ibumu yang sampai kelas 3 SD baru bisa membaca. Setahu aku ibumu ingin kamu sekolah dan bekerja....”
Aku memegang bahu Nola. “Kamu harus selesaikan kuliahmu. Jangan menikah sebelum kamu lulus dan punya kerja...” Sepertinya aku menekannya agak keras karena Nola seperti terkejut. “Ya, ya, Tante...” Katanya terbata-bata.
***
Saat aku melihat Nola, aku teringat ibunya dan kenangan pertemanan kami di masa lalu. Nina membujuk pria untuk memberanikan diri merayuku dan memberiku pengalaman cinta. Meyakinkan mereka bahwa aku tidak sekaku dan segalak penampilanku.
Kamu memang bersal dari keluarga haji yang dihormati di sini, tapi kamu mau tahu dan merasakan ciuman dan cumbu lelaki kan? Kamu ingin pelan-pelan disentuh, tangan, lengan, dan pundakmu. Kamu suka lelaki itu kalau melakukan hal kurang ajar, memaksamu, dan membuat kamu terpojok, tak bisa menolak....
Nina tahu rahasia dalam hatiku meskipun itu tak dikatakan. Aku tersenyum teringat hal itu. Sia-sia. Pria menjadi malu untuk memaksa. Aku tak punya daya tarik seperti Nina yang bisa membutakan hati dan menimbulkan nyali melanggar batasan.
Yah, kalau bisa kami bertukar tempat. Aku menjadi Nina dengan petualangannya.  Sedang Nina menjadi aku karena dia selalu ingin menjadi perempuan yang sekolah tinggi dan memakai pakaian seperti seorang perempuan karier. Begitu katanya.
Mungkin Nola akan menjadi perempuan yang diidamkan ibunya.
***

Sabtu, 22 Desember 2012

Monster


Sewaktu kecil, Fitri bukanlah monster.
Dia anak kecil manis berwajah selalu serius. Rambutnya selalu rapi. Panjang, dikepang dua. Wajahnya dihiasi kacamata. Sesuai dengan kesukaannya membaca. Belajar.  
Kamarnya sangat rapi. Meja belajarnya sangat rapi. Buku-bukunya tertata rapi. Semua pinsil dan pinsil warna selalu diserut secara teratur. Tempat tidurnya bersih. Sepatu-sepatunya bersih dan tertata rapi di rak. Baju-bajunya tersimpan rapi.
Fitri sangat rapi.
Itu membuat kakak perempuannya menjadi sebal kepadanya. Mengganggunya dengan membuat sesuatu jadi berantakan di kamar adiknya.
Fitri selalu merapikannya lagi. Lagi. Dan lagi.
***
Menurut ibunya, disiplin dan pantang menyerah itu modal untuk kesuksesan. Fitri ingin jadi orang sukses. Perempuan yang hebat. Tantangan dari kakak perempuannya yang pesolek dan pengganggu itu baginya merupakan jalan untuk menjadi anak yang hebat. Di sekolah pun dia sering diganggu oleh anak-anak yang jahil. Membuat penghapus miliknya jadi kotor. Mengambil begitu saja pinsil warnanya dan mematahkannya. Menjatuhkan penggaris ke lantainya.
Fitri akan bersabar. Di rumah dia akan mencuci dan mengeringkan penggarisnya. Akan menggosokkan penghapusnya ke kertas bekas yang putih agar bersih lagi. Menserut pinsil-pinsilnya. Menyimpannya dengan rapi.
Duduk di kursi belajarnya dengan duduk tegak dan jarak antara mata dan buku di atas meja sekitar 30 cm.
Fitri sangat percaya diri.
Ibunya selalu memuji-muji dirinya. Itu akan membuat Fany –kakak perempuannya yang pencemburu- kemudian mengotori sesuatu miliknya. Tapi Fitri akan membersihkannya lagi. Ibu guru suka memuji-muji dirinya. Rajin. Pandai. Patut dicontoh. Anak perempuan pencemburu teman sekelasnya akan mencibirkan bibir dan menghasut teman-teman lain untuk menjauhinya. Anak-anak lelaki tertawa-tawa sambil melihatnya dari jauh. Anak lelaki dengki akan mencoba menggentarkan hatinya dengan mengancam.
Anak seunggul Fitri pastinya mendorong orang-orang yang cemburu untuk menjadi musuhnya.
Fitri tetap percaya diri. Bahwa dirinya akan sukses sejak anak-anak sampai masa dewasa kelak. Kesuksesan yang diraih dengan disiplin. Ketekunan. Ketabahan. Sukses di masa kecil adalah memiliki nilai-nilai bagus. Sukses di masa dewasa adalah memiliki pekerjaan bagus. Jabatan. Penghasilan tinggi. Itu yang dipahaminya apabila mendengar perbincangan orang dewasa. Orang tua dan saudara-saudaranya. Semua orang dewasa yang pernah ditemuinya. Mereka akan mengatakan seorang anak hebat dengan menanyakan terlebih dahulu “Rapotnya bagus enggak? Nilainya berapa?”  Mereka akan mengatakan si anu hebat, sudah menjadi orang kaya. Sudah menjadi anu.
Fitri tidak mau kelihatan kalah.
Selalu menunjukkan wajah percaya diri. Saat anak-anak perempuan yang iri hati padanya sebagai anak emas guru mengeroyoknya, dia tetap menegakkan wajah. Saat anak lelaki berwajah jelek itu mencegatnya dan mengancamnya karena tidak memberi contekan, dia menguatkan hatinya untuk tidak menangis.
Ketika salah satu buku koleksi Ensiklopedia kesayangannya penyok karena dibawa tidur kakak perempuannya, dia juga bersabar mencoba memperbaikinya dengan selotip.
Saat kakak perempuannya melemparkan buku cerita miliknya ke atas tempat tidur, meminjam tanpa ijin, mengembalikan dalam keadaan tidak sebaik semula, Fitri hanya menatap ke arah kakaknya dengan tegar. Melihat senyum mengejek di wajah orang yang selalu mengganggu dirinya dengan sebutan “Anak aneh”.
Anak aneh yang dimaksud kakaknya adalah tidak punya teman. Menghabiskan waktu di meja belajar. Membaca. Menghafal.
***
Sekian puluh tahun kemudian Fitri sudah menjadi boss.
Anak buahnya banyak. Orang Indonesia semua. Atasannya cuma segelintir orang asing. Fitri sering duduk di antara mereka. Berbicara Bahasa Inggris. Sesekali Perancis. Kalau pegawai masuk ke dalam ruangan, akan tertunduk-tunduk menerima perintah-perintah darinya. Bahkan menerima makian atas kesalahannya.
Kemudian dia akan mengatakan betapa bodohnya pegawai yang membuat kesalahan itu. Betapa malasnya office boy yang seharusnya setiap pagi langsung menyediakan teh di atas mejanya tanpa harus ditanya lagi. Atau genitnya sekretaris yang semakin lama semakin pendek roknya. Boss-boss hanya tertawa mendengar keluhannya. Fitri membuat mereka bisa bersantai karena segala hal sudah dikerjakannya sekeras-kerasnya.
Fitri selalu mendapatkan apa pun yang diinginkannya dari Boss Amerikanya. Keinginan Fitri memang selalu untuk kepentingan atasannya. Apakah harus memindahkan si anu. Memberhentikan seseorang. Atau tidak memberikan bonus sebagai pelajaran supaya para karyawan mengerti bahwa bonus itu mereka dapat karena kerja keras mereka sendiri. Ada bonus akhir tahun kalau mereka bekerja keras.
Yang menentukan apakah mereka bekerja keras atau tidak adalah Fitri.
***
Fitri membenci fesbuk yang katanya merupakan gangguan bagi kinerja di kantornya. Membuatnya sakit kepala memikirkan bahwa para karyawan mencuri waktu dengan membuat status di saat jam kerja. Menyembunyikan handphone di bawah meja untuk membuka fesbuk dan ketawa-ketawa. Sungguh bayangan yang dibencinya.
Fitri tidak punya fesbuk. Maksudnya, Fitri tidak punya teman untuk berfesbuk. Dia membuka account dengan nama dan foto samaran. Berteman dengan orang-orang yang tak dikenalnya hanya untuk tahu bagaimana cara kerja fesbuk.
Membayangkan karyawannya berteman di fesbuk sangat menjengkelkannya. Apalagi membayangkan mereka membuat status tentang dirinya, bisa membuatnya jadi marah-marah tanpa sebab. Sebuah kebiasaan yang sering dilakukan orang-orang. Kampungan. Snob. Begitu gerutunya. Sekretarisnya yang cantik dan punya kaki bagus yang suka dipamerkannya dengan memakai rok mini itu paling dicurigainya.
Ada saja alasan Fitri untuk membuat Nita, sekretaris itu, memiliki hari buruk. Entah itu catatan rapat yang buruk. Atau surat yang kalimatnya keliru. Informasi telepon dari klien yang disampaikan Nita ternyata misleading. Atau sekretaris itu  mendapatkan omelan karena “tidak bisa memahami perintah yang begitu jelas dan sederhana”.
Boss bulenya mengedipkan mata kepada si sekretaris.  Mengatakan kepada Fitri bahwa kesalahan seperti itu memang tidak perlu terulang lagi.
Boss tahu perlunya membuat Fitri merasa nyaman. Menikmati harinya dengan bekerja sekeras-kerasnya. Puas atas dirinya. Kekuasaan yang sepenuhnya diberikan majikan yang bisa menyisihkan waktu santai di kantor untuk membuka-buka halaman fesbuk anak-anak dan istrinya. Serta keluarga dan sahabat-sahabatnya di Amrik.
Sekretaris itu mendapat bisikan di telinganya dari boss yang lewat. “Don’t take it too serious...” Sambil mengedip-ngedipkan matanya.
***
Ibu Ratu. Begitu para bawahan menyebutnya.
Tidak seorang pun berani mengatakan “Tapi, Bu....” untuk mengatakan bahwa apa yang dikatakan Ibu Ratu itu tidak benar. Sebab seketika itu juga nasib buruk akan menantinya. Masih lumayan kalau hanya mendapatkan makian atau teriakan. Lebih buruk lagi bila kehilangan pekerjaan.
Ibu Ratu selalu benar. Bahkan boss pun selalu membenarkannya. Apa pun yang dikatakan dan dilakukan Fitri selalu benar menurut Boss karena memang selalu untuk kepentingan dirinya. Bahkan boss mengatakan dengan logat bulenya: ”Ini kantor bukan tempat pesta, Nita... pakailah baju yang lebih cocok...” Sambil mengedipkan sebelah mata kepada sekretarisnya di belakang punggung Fitri.
Sekretaris itu membuat status di bawah mejanya. “Monster gila... ke laut aje...”  Tidak berapa lama kemudian banyak teman-teman kerjanya yang merespon “like”.
***
Sewaktu kecil, kedua orang tua Fitri mampu memberikan kamar untuk setiap anaknya.  Kamar Fitri didekorasi dengan cantik. Meja belajar dan rak buku mendominasi kamarnya. Koleksi buku cerita yang merupakan kemewahan bagi masyarakat di Indonesia, merupakan milik yang paling dicintai Fitri.
Kamar itu memiliki semua hal yang diperlukan anak. Tivi kecil. Radio tape. Suatu kemewahan masa itu bila seorang bisa memiliki untuk dirinya di kamarnya sendiri.
Namun di kamar Fitri tidak pernah ada teman yang menginap.
Teman-teman Fany sering ribut di dalam kamarnya, tertawa-tawa membicarakan anak lelaki yang ditaksir, menggosipkan guru dan teman perempuan, berdandan, dan merencanakan jalan-jalan ke mall.
Mereka menganggap Fitri anak aneh karena tidak punya teman. Tidak bosan menekuni buku pelajaran. Fitri mendengar sama-samar mereka berbicara. Kutu buku. Kuper. Anak aneh.
Baru pertama kali itu dia menangis.
Menangis karena tidak punya teman.
***

Apa gunanya teman kalau mereka menghalangimu untuk mencapai sukses?
Membuatmu membuang waktu untuk berkumpul, bergunjing, melakukan hal-hal yang kurang berguna. Begitulah Fitri kemudian menyimpulkan.
Suksesnya sekarang sebagai boss merupakan buah dari kerja kerasnya. Sekolah ke Luar Negeri hasil dari menabung, mungkin tidak bisa dilakukannya bila punya banyak teman yang akan membuatnya menghambur-hamburkan uang.
Beberapa perempuan Indonesia di kantornya dianggapnya sebagai teman. Mereka adalah orang-orang yang memiliki jabatan –tentu di bawahnya- sehingga bisa dijadikan teman. Tapi, sebaliknya mereka merasa bahwa Ibu Ratu bukanlah teman yang sesungguhnya.
Ibu Ratu mengundang mereka untuk “mencoba masakan buatannya” dan mereka tentu saja harus hadir untuk memuji-muji keahliannya memasak. Mengagumi rumahnya yang cantik dan perabotannya yang berselera tinggi. Taman yang terawat rapi. Kolam renang yang biru dan nyaman untuk membuat pesta kebun.
Pesta kebun dengan siapa? Itu masalahnya.
Bagi ketiga kolega perempuan itu, menghabiskan waktu 2 jam di akhir pekan di rumah Ibu Ratu merupakan mimpi buruk. Namun mereka menunjukkan wajah dan ucapan senang telah diundang ke rumahnya. Berbincang dalam keakraban yang dibuat-buat.
Fitri bukannya tak tahu.
***
            Hari itu terjadi bencana yang dasyat di kantor.
Ibu Ratu murka pada semua hal. Semua orang. Mengancam. Berteriak. Menakut-nakuti semua orang tentang perampingan karyawan. Tentang kinerja perusahaan. Tentang pemalsuan absensi. Tentang pakaian dan disiplin.
            Hal ini bermula dari obrolan bawahannya tentang sang sekretaris yang akan mengundurkan diri dari perusahaan. Memang gosip itu sudah beredar beberapa waktu sebelumnya. Fitri tak mengindahkannya.
            Gosip itu sekarang berubah menjadi informasi bahwa Nita berhenti bekerja karena dirinya serius menjalin hubungan dengan seseorang dan akan segera menikah. Kejutannya adalah pria yang menjadi calon suaminya itu ternyata salah seorang manajer muda yang merupakan orang dekat boss besar karena berasal dari negara yang sama.
Inilah yang menjadi sumber bencana.
Ibu Ratu yang membenci sekretarisnya –karena berani menentang wajahnya itu- merasa terpukul dengan kabar itu. Menjadi marah karena selama ini dirinya mencoba meyakinkan boss bahwa sekretaris yang lelet dan tidak becus bekerja itu mungkin perlu dipindahkan jadi staf administrasi karena mereka harus mencari yang lebih kapabel. Boss selalu mengatakan untuk memberi waktu dulu.
Sekarang Ibu Ratu mendapat informasi bahwa sekretaris yang berani melawannya itu akan melangsungkan pernikahan dengan orang Amerika muda yang meskipun jabatannya di bawah dirinya namun sebagai bule tetap seperti dekat dengan boss atasannya.
Amarah Fitri hari itu menimpa seisi kantor.
Dalam hati orang-orang menertawakannya. Perempuan gila kekuasaan yang tak pernah berkencan. Bahkan tidak berteman.
Hari itu para karyawan riuh-rendah membuat lelucon di fesbuk tentang Ibu Ratu yang pastinya harus memakai topeng tersenyum saat menghadiri pernikahan Nita.
Fitri bukannya tak tahu kapan dia dijadikan sasaran di fesbuk. Walau dia tidak tahu apa itu yang dikatakan karyawan-karyawannya. Forum gosip. Tak berguna. Norak.
***
Fitri memasang foto dirinya yang paling cantik. Berlatar belakang Paris. Sebagai profile picture di fesbuk. Secara teratur dirinya memasang foto tempat-tempat mewah yang disinggahinya. Negara-negara di Eropa. Amerika. Mekah. Mesir.
Sejak dirinya tampil di fesbuk dan semua bawahannya dimintanya untuk meng-invite dirinya, fesbuk menjadi tempat yang sepi. Para karyawan jarang berkumpul lagi di forum itu karena jarang ada yang membuat status lucu untuk mengundang semua orang berkomentar.
Sementara Fitri cukup rajin mengupload sesuatu yang baru. Musik. Film. Buku. Foto-foto yang dijepretnya sendiri di tempat-tempat yang selalu baru.
Fitri menjadi senang kepada fesbuk yang berhasil ditaklukkannya.
Kalau dia membuat status, pegawainya akan berpikir keras apakah akan berkomentar ataukah tidak. Apakah akan me-like. Paling-paling tiga orang perempuan yang dianggapnya teman di kantor itu yang berani berkomentar: “Keren, Bu...”  Akhirnya banyak yang lebih memilih tidak aktif lagi di media jejaring sosial itu.
***
Fitri menikmati dirinya menjadi teror.

***

Sabtu, 17 November 2012

Monster Kecil


Anak kurang ajar itu benar-benar menakutkan. Matanya liar. Giginya kotor. Ketawa terkekeh-kekeh memuakkan. Benar-benar tidak tahu takut. Tidak juga punya malu bila orang dewasa menyebutkan hal-hal buruk tentang kelakuannya.
Anak perempuan yang sudah SMP bahkan yang sudah SMU pun tidak berdaya menghadapi anak Kelas 4 SD yang jahat itu. Monster. Kalau lengah dia bisa memegang payudara anak perempuan yang lebih besar. Atau mencolek pantat. Kemudian lari sekencang-kencangnya.
Semua korban rasanya ingin membunuhnya. Atau menguburnya hidup-hidup. Monster kecil itu bisa menebarkan kuman monster dalam diri  korban-korbannya. Mimpi buruk. Ketakutan. Dendam. Kemarahan.
***
Tetapi, anak liar yang bernama Asep itu merupakan bentuk ekstrim saja.
Buat anak-anak perempuan, ancaman semacam itu sering diperoleh dari anak lelaki atau pemuda tanggung. Bahkan laki-laki dewasa. Bila anak-anak perempuan sedang berjalan melewati sekelompok anak-anak lelaki, maka kita akan menjadi takut. Bukan gangguan secara fisik. Tetapi kata-kata usil. Hey, bondon. Itu kata-kata yang paling dibenci anak perempuan.
Salah satu yang sering dilakukan warga masyarakat di minggu pagi adalah lari pagi sampai ke Alun-alun Bandung. Kalau sekelompok anak perempuan lari pagi, ancaman dicolek pantat juga sering mengganggu.
Apabila seorang melakukan kejahatan itu. Penonton tertawa menikmati. Itu sebabnya monster kecil itu tidak merasa takut. Menurutnya kejahatannya menjadi hiburan yang disukai penonton.
Setiap korbannya dibicarakan orang. Orang punya bahan cerita.
Orang dewasa bahkan sambil tertawa bersama-sama ketika membicarakan anak perempuan yang payudaranya diremas. Kecuali kalau korban itu salah satu keluarganya.
***
Si Asep mempunyai ibu. Ibunya tak sanggup menahan amarah perempuan-perempuan yang anaknya jadi korban. Atau anak perempuan yang dengan penuh amarah melampiaskan caci makinya kepada ibu si Asep.
Monster cilik berumur 12 tahun itu dihajar ibunya dengan sapu lidi. Sampai menggerung-gerung tapi tak bisa lari ke luar karena pintu dikunci ibunya. Perempuan bertubuh gempal itu melampiaskan amarahnya dengan memukul membabi buta. Si Asep berteriak-teriak kesakitan dan mengatakan hal-hal jorok kepada ibunya.
Perempuan pedagang gorengan itu sakit hatinya mendapatkan ucapan-ucapan buruk dari perempuan-perempuan yang menjadi korban anaknya. Anak setan. Anak jadah tanpa bapak. Ibu pelacur. Hati Sri terasa perih mendengar kata-kata semacam itu. Mengingatkannya pada lelaki yang menghamilinya lalu lari. Luka terasa semakin sakit melihat anak yang dilahirkannya menjadi monster kecil, pencuri, cabul, jahat, dan tak kenal malu.
Dipukulinya anak itu sejadi-jadinya sampai tenaganya habis. Lalu anak itu melarikan diri. Sementara ibunya menangis sesenggukan.
Nenek si Asep yang tua, duduk sambil menundukkan wajah di kursi kayu yang reyot dan setua dirinya.
Bukan berarti si Asep berubah. Anak itu malah semakin bengal, cabul dan jahat. Kepada anak-anak yang lebih kecil suka mengancam dan merampas. Kepada perempuan-perempuan kecil dan muda bersikap cabul. Dia bahkan meremas rok  anak perempuan dan menohokkan tangannya ke arah vagina. Anak perempuan korbannya akan menangis melolong-lolong karena tak menerima perlakuan itu.
Adik ibunya, seorang ustad muda yang mengajar anak-anak mengaji di mesjid sedang merantau ke negeri Arab, sehingga si Asep tidak ada yang mengawasi lagi dan semakin menjadi-jadi. Bila pamannya itu ada, si Asep masih punya rasa takut.
***
Masyarakat memperlakukan aturan berbeda untuk anak perempuan dan lelaki. Anak perempuan tidak boleh main jauh-jauh. Kalau sudah magrib, anak perempuan harus sudah di rumah. Sementara anak-anak lelaki masih bisa nongkrong malam dengan teman-temannya. Anak-anak perempuan keluar malam hanya untuk mengaji ke mesjid. Berjalan di lampu remang dan bayangan gelap menjadi berbahaya. Karena ada monster yang bersembunyi. Si Asep.
Suara ketawanya terbahak apabila melihat anak-anak perempuan menjerit-jerit dan berlarian. Kemudian terdengar suara orang dewasa berteriak. Anak anjing. Kamana siah kua aing dipodaran!! (Kemana dia, akan kubunuh dia!!)
Si Asep tak kenal takut. Tertawanya meringis mengejek. Menyepelekan. Bahkan orang dewasa -yang memukulnya karena marah anak perempuannya menangis keras-keras mengadukan perbuatan si Asep- menjadi risi karena berhadapan dengan anak kecil sebagai lawan. Menempeleng anak yang berperawakan kecil tapi lentur liat itu memang serba salah.
Kelemahan si Asep adalah ibunya. Ibunya yang tak tahan menjadi sasaran pembalasan atas perbuatan anaknya. Memukuli si Asep sambil berteriak-teriak. Suaranya terdengar di seantero pemukiman padat yang rumah-rumahnya berdinding bilik itu. Anak celaka. Anak terkutuk. Kenapa kamu lahir...
***
Si Asep tidak takut meskipun Kepala Keamanan di pemukiman itu seorang tentara berperawakan besar dan galak telah menyatroni ibunya. Superioritasnya semakin ditancapkan. Tidak takut apa pun.
Bahkan dia sudah mampu melawan ibunya. Memukulnya balik sehingga perempuan pekerja kasar itu pun terjengkang dan jatuh. Sementara si Asep pergi meninggalkannya sambil meludah ke lantai.
Montong balik. Budak doraka siah!!!  (Jangan kembali. Anak durhaka kamu!!!) Teriak ibunya dengan murka. Menangis tersedu-sedu atas nasibnya yang malang.
Aibnya di masyarakat karena semua orang mengenalnya sebagai ibu si Asep dikaitkan dengan perbuatannya sehingga anak itu lahir tanpa bapak. Monster kecil. Anak jahat yang dibicarakan orang. Setiap langkah Sri kemana pun yang didengarnya adalah bisik-bisik orang. Itu ibunya si Asep.
Si Asep kemudian dikejar-kejar beberapa lelaki dewasa yang akhirnya bertekad akan menundukkannya. Apa pun caranya akan membuat anak itu minta ampun.
Si Asep pun lari dari rumah.
***
Fajar naik motor untuk berkeliling pemukiman itu. Sama sekali berbeda dengan keadaan yang dikenalnya di masa kecil. Hilang sudah lapangan sepak bola. Hilang sudah rumpun bambu di sepanjang sungai. Kebun mentimun dan singkong. Sawah. Pagar bambu. Rumah panggung. Semua hilang tak berbekas. Berganti menjadi sebuah labirin pemukiman padat kota. 
Dia pernah bertemu Pian, seorang satpam yang di masa kecilnya menjadi temannya bermain bola. Pian mengatakan padanya bahwa si Asep sekarang menjadi tukang becak yang mangkal di depan Supermarket Yoyo. Setelah lari dari rumah pada umur 14 tahun, si Asep hidup di jalanan Kota Jakarta. Kembali lagi sesudah dewasa dengan tubuh kecil dipenuhi tattoo.
Asep pulang sesudah ibunya tua. Dia menghidupi ibunya dengan menjadi tukang becak. Kawin beberapa kali. Punya anak dari setiap istrinya. Anak-anaknya mengemis di perempatan jalan. Hirupna balangsak. (Hidupnya brengsek). Kata Pian.
Fajar hanya mengingat di masa kecilnya dia pernah mempunyai teman sebaya yang reputasinya sangat luar biasa. Asep suka main bola. Sikap jahatnya tidak diberlakukan kepada teman-teman main bolanya. Fajar hanya berteman dengan Asep di lapangan sepak bola. Sekolah mereka berbeda. Fajar di sekolah swasta, Asep di SD Inpres. Tempat tinggal mereka berbeda. Fajar di perumahan, Pian di perkampungan di seberang sungai. Anak-anak itu tidak peduli dengan perbedaan saat di lapangan bola. Fajar teringat bagaimana ibunya sangat marah bila mengetahui dirinya bermain bola dengan Asep, Pian dan anak-anak lain.  Tapi kegilaannya terhadap permainan bola membuatnya kembali lagi ke lapangan itu.
Kalau berdiri berhadapan dengan Asep, nampak anak itu kecil. Sedangkan Fajar lebih besar dan tegap. Itulah yang diingat Fajar tentang anak yang ditakuti itu. Anak itu kecil, licin, dan liar. Dia tak perlu curang di lapangan bola karena bermain bola merupakan keunggulannya. Larinya kencang dan tendangannya selalu telak. Asep pemain bola yang luar biasa.
Tak ada yang tak kenal Asep. Baik itu warga di pemukiman kumuh maupun warga di perumahan baru yang terpisahkan dengan benteng tembok yang tebal.
Kejahatan Asep melewati batasnya ketika dia mulai merambah ke wilayah perumahan baru. Itu sebabnya dia dikejar sejumlah lelaki dewasa yang diperintahkan oleh Kepala Keamanan yang tentara itu.
Berakhirlah kejayaannya sebagai monster kecil.
***
Fajar melihat tukang becak itu sedang terkantuk-kantuk di dalam becaknya yang sedang mangkal. Meskipun tukang becak itu nampak tua. Meskipun Fajar sudah tak pernah bertemu Asep sejak 30 tahun lalu. Namun tukang becak yang mengantuk itu dikenalinya sebagai Asep. Monster kecil yang ditakuti di masa kecil.
Tukang becak itu terbangun dan matanya melihat kepada Fajar. Mengernyitkan alis seolah mengingat-ingat.
Sep... masih inget ka sayah?” Tanya Fajar. Tukang becak itu menyerigai dengan giginya yang kotor. “Saha nya? Poho deui atuh....” (Siapa ya? Lupa lagi...) katanya dengan sorot mata segan, namun berusaha seperti seorang teman lama yang kebetulan bertemu. “Nya moal apal da didinya mah beuki gandang...” (Ya, enggak ingat karena kamu sih tambah gagah...).
Fajar tersenyum. “Fajar. Babaturan maen bola basa keur leutik....” (Fajar. Teman main waktu masih kecil) Katanya. Tukang becak itu memandangnya lekat-lekat kemudian mengangguk-angguk. “Eleuh, geus jadi naon ayeuna kamu teh, Jar? Jelema sakolaan mah beda....” (Waduh, udah jadi apa kamu sekarang, Jar? Orang berpendidikan sih beda...) Katanya.
Jelema sakolaan.
Seorang yang tak pernah menamatkan SD-nya seperti Asep pun mengerti bahwa seseorang berbeda ketika sekolah dan tidak sekolah. Kalau pun ada yang sukses tanpa sekolah dan pendidikan, itu barangkali kekecualiaan.
Jelema teu nyakola.
Ketika masih kecil Asep menjalani pelajarannya dengan susah payah. Merasa tidak akan pernah sukses dengan yang disebut sekolah karena otak bebalnya. Menjadi anak yang bengis, nakal, dan ditakuti menjadi reputasi yang bisa dicapainya dan dinikmatinya benar.
Sesudah dewasa dan setua sekarang, Asep seorang tukang becak. Istrinya yang sekarang seorang pembantu rumah tangga. Anak-anaknya tiga. Tinggal di sebuah gubuk kecil peninggalan ibunya.
Setelah bertukar cerita dan bercakap-cakap, Fajar meninggalkan Asep yang berdiri di depan becaknya. Sebungkus rokok pemberian Fajar diterima tukang becak itu sebagai rejeki nomplok sore ini, disulutnya dengan nikmat sambil duduk di dalam becaknya.
Saha eta?” (Siapa itu?) Tanya teman sesama tukang becak.
Babaturan keur leutik....” Jawab Asep tak acuh. “Osok maen bola bareng....” (Teman waktu masih kecil. Suka main bola bareng...).
Kedua tukang becak itu pun menghisap rokok tanpa memperdulikan sekelilingnya. Bagi Asep, seorang teman di masa kecil bukanlah hal yang penting karena dia tahu semua orang yang mengenalnya di masa itu membencinya.
Sementara bagi Fajar, seorang Asep membekaskan kesan di masa kecilnya ketika dia pernah diancam, dirampas, dan ditendang ke dalam selokan berlumpur olehnya. Bermain bola dengan anak kampung jahat itu menjadi caranya untuk aman karena hanya teman-teman bermain bola saja yang tidak pernah menjadi sasaran Asep. Selain itu, mengenal secara dekat dengan anak yang menakutkan itu telah memberikan latihan nyali padanya.
Fajar pernah menciut nyalinya ketika melihat wajah Asep menyerigai dengan giginya yang buruk begitu dekat di hadapan wajahnya. Ketika itu ia menepuk pundaknya, menahannya dari perbuatan yang jahat kepada seorang anak perempuan. Wajah Asep nampak menyeramkan sehingga Fajar merasa berkeringat dingin dengan degup jantung tak karuan memikirkan entah apa yang akan terjadi selanjutnya akibat perbuatannya. Ternyata Asep menggandeng tangannya sambil menggerutu dan sumpah serapah. Bagi rokona, anjing. (Minta rokoknya, anjing). Katanya.
Fajar bernafas lega ketika melihat anak perempuan itu terlepas dari bahaya. Sementara monster itu menyulut rokok yang diberikan Fajar. Rokok yang dicurinya dari rumah. Kepunyaan ayahnya.
 ***
Pada saat memandang wajah anak-anaknya, Fajar teringat pada dirinya sendiri di masa kecil. Saat dia berumur 10 tahun dan harus menghadapi seorang monster berumur lebih tua, berperawakan lebih kecil tetapi sangat menakutkan.
Pernah dia ingin menyerah pada sikap pengecut seperti anak-anak yang lain. Menangis kalau diancam. Mengompol di celana bila digertak. Tapi dia berhasil melawan kepengecutan itu. Berhasil bermain bola dengan Asep dan kelompoknya. Suatu ketika dia menepuk pundak Asep dan mengatakan: Tong kitu euy ngerakeun ngaganggu awewe mah... Lawan mah si Centeng nu leuwih badag....(Jangan begitu lah, memalukan mengganggu anak perempuan... Lawan saja si Centeng yang badannya besar...)
Asep dan kawan-kawannya tertawa terbahak-bahak. Si Centeng itu sebutan mereka untuk Pak Tentara yang jadi Kepala Keamanan. Fajar ikut tertawa dengan rasa lega karena ucapannya telah diterima sebagai lelucon anggota tim.
Sementara Asep tidak mengenang apa pun tentang temannya yang bernama Fajar itu. Juga tidak tahu bahwa orang yang menyapanya saat terkantuk-kantuk di dalam becak itu, sekarang sudah jadi penggede militer.
***

Sabtu, 27 Oktober 2012

Jumlah Anak dalam Keluarga


Pada era 1980-an ke belakang, setiap keluarga memiliki anak banyak karena anak-anak telah lahir sebelum alat kontrasepsi dikenal. Atau alat KB menurut istilah Orde Baru. Benda itu baru mulai dimasyarakatkan pada tahun 1970-an di Era Orde Baru dan pada awalnya mendapatkan resistensi yang keras dari masyarakat karena dianggap melanggar kehendak Yang Di Atas.

Bahkan ketika alat KB mulai dikenal luas dan dicanangkan secara gencar, para ibu masih banyak melahirkan anak-anak termudanya dengan tahun kelahiran 70-an. Mungkin anak ke-5, 7, 9 atau lebih. Sementara anak sulungnya sudah ada yang punya anak. Ketika ibuku hamil anak sulung, ibunya (nenekku) juga sedang hamil anak bungsunya. Paman dan keponakan itu menjadi teman sebaya.

Keluarga Sumpena memiliki anak delapan, 3 laki-laki dan 5 perempuan. Dua anak lahir pada tahun 50-an, empat anak lahir dengan kepala tahun 60-an dan dua  dilahirkan dengan kepala tahun 70-an. Ketika sang ibu sedang hamil anak ketiga, berbarengan dengan ibunya (sang nenek) yang sedang hamil anak terakhirnya, anak ke-11.  Keluarga Sumpena adalah tetangga keluargaku.

Bukan sesuatu yang aneh pada masa itu bila seorang paman atau bibi seusia dengan keponakannya atau bahkan lebih muda.

***

Ibu di Keluarga Sumpena kalau memasak selalu banyak. Dia memiliki banyak wadah dengan beragam fungsi. Ada mangkuk-mangkuk untuk menaruh camilan seperti kacang rebus atau urap ketan. Ada mangkuk lebih kecil untuk menaruh candil ubi atau bubur lemu. Ada gelas-gelas plastik untuk menaruh kolak, bubur kacang hijau atau cendol. Berjajar-jajar di atas meja dan diberi nama masing-masing anak. Setiap anak mendapat jatah dua atau tiga gelas. Terserah mau dimakan sekaligus atau satu-satu. Mug keramik bertutup itu punya ayah dan ibu. Mangkuk gelas juga punya ayah dan ibu. Sayur dan lauk untuk ayah juga dipisahkan, tidak boleh bekas diacak anak-anak.

Cara yang dilakukan Keluarga Sumpena sungguh lebih baik daripada cara di rumahku. Ibuku melakukan pengawasan ketat ketika acara makan berlangsung. Ini membuat rasa tidak nyaman kalau mendapat omelan karena mengambil sesuatu terlalu banyak. Tapi itu masih lebih baik daripada di keluarga pamanku yang dibiarkan saja dengan cara “hukum rimba”. Siapa cepat dia dapat, siapa kuat dia bisa merajai meja makan. Aku pernah melihat suasana itu dan melihatnya sebagai situasi yang buruk sekali. Lebih menyenangkan suasana dalam Keluarga Sumpena yang teratur dalam hal pembagian makanan dan pekerjaan.

Aku sering menontoni ibunya yang sedang menuangkan makanan ke dalam wadah-wadah. Si ibu memberikan satu wadah yang terisi dan aku melanjutkan menonton sambil makan.

Semua anak perempuan sibuk dengan pekerjaan di dapur dan rumah. Mereka memiliki bangku-bangku kayu kecil yang dibuat sang ayah disebut jojodog dalam Bahasa Sunda (dalam Bahasa Jawa disebut dingklik). Digunakan untuk duduk sambil bekerja membersihkan sayuran, bawang, dan bahan-bahan masakan lain di atas tampah. Bak dan ember-ember selalu terisi air, merupakan pekerjaan anak lelaki.

Keluarga Sumpena memiliki sumur yang digunakan bersama keluarga tetangga.  separuh sumur ada di dalam kamar mandi Keluarga Sumpena, separuh sumur ada di dalam kamar mandi keluarga tetangga. Sekat dinding kamar mandi di atas sumur dibuat sekitar 2-3 cm di atas dinding sumur. Pada masa itu banyak juga keluarga berbagi sumur seperti itu.

Aku tidak pernah melakukan pekerjaan dapur di rumah. Ibuku memberiku tugas belajar dan memperoleh nilai yang baik. Karena itu aku punya waktu untuk melihat perempuan-perempuan di Keluarga Sumpena menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyiapkan dan memasak terutama di hari Minggu.

Keluarga itu suka makan. Makan adalah prioritas pengeluarannya. Setelah lulus SMEA atau STM, anak-anak keluarga itu memilih bekerja. Anak perempuan juga memilih menikah pada usia muda. Saat aku masuk kuliah, teman sebayaku, salah satu anak perempuan Keluarga Sumpena, sudah mulai bekerja dan beberapa tahun kemudian menikah.

***

Ada tindakan ’kejahatan’ yang dilakukan anak-anak di keluarga besar Sumpena, yaitu mengambil satu sendok dari setiap wadah lain supaya mendapat lebih banyak. Tapi itu semua hanya permainan untuk menjadi cerita yang membuat tertawa. Keluarga itu selalu memasak banyak. Cukup untuk semua. Bukan makanan yang mewah. Tapi makanan yang enak. Sambal yang sangat pedas dan menimbulkan selera. Aku masih ingat makanan istimewa yang mereka buat adalah paria yang diiris sangat tipis dengan bumbu cabe berwarna merah darah, sungguh membuat makan siang menjadi sangat nikmat. Mereka bahkan menanam sendiri pohon paria itu di samping jemuran baju. Ikan mas, mujaer kecil-kecil, telur setengah kilo yang dikocok dengan banyak bawang daun, atau ikan asin, menjadi lauk yang sering disajikan bersama tahu dan tempe. Tidak pernah ketinggalan kerupuk aci dalam blek yang selalu diisi setiap pagi, melengkapi menu makan keluarga itu.

Aku juga senang melihat dan ikut mencoba mengerjakan pembuatan makanan kecil yang dilakukan anak-anak perempuan Keluarga Sumpena. Mereka sering membuat kue bolu dengan loyang besar bulat yang bolong di tengah. Kue cheestick yang sebenarnya tanpa keju, terbuat dari adonan terigu dan telor ditambah penyedap rasa dan irisan bawang daun agar menjadi gurih, menjadi makanan kecil yang paling sering dibuat. Ada lagi makanan yang paling enak yaitu nasi ketan yang disebut “bangkerok”. Beras ketan yang diberi garam, bumbu, dan kelapa muda parut, dimasak dalam ketel besar dan tebal dengan ditutup dengan api kecil sampai matang dan berkerak. Sedaaap sekali ketika dimakan panas-panas. Mereka juga sering membuat urap dari sayuran mentah yang disebut tarancam, sejenis urap yang dikenal Ibu Sumpena dari sebuah keluarga Jawa dengan racikan khas berupa sayuran mentah ditambah daun kemangi dan buah petai cina. Sedap sekali rasa bumbu kelapanya. Selain itu, yang paling sering dibuat adalah lotek, campuran sayuran dengan bumbu kacang tanah yang diulek mendadak di atas cobek besar. Setiap orang akan meracik dan membuat bumbu sendiri-sendiri sesuai seleranya. Sayuran yang direbus setengah matang seperti kangkung, toge, kacang panjang dan kol, disediakan di atas tampah yang dialasi daun pisang. Seperti berjualan saja. Aku senang sekali membuat lotekku sendiri, dan menaruhnya di dalam pincuk daun pisang. Rasanya enak sekali lotek buatanku sendiri. Ibu Sumpena tertawa melihat gerak-gerikku di dapur. Dia sering menyebutku si murid teladan yang kerjanya hanya belajar dan jarang ke dapur.

Sementara anak-anak perempuan Keluarga Sumpena bekerja di dapur, anak lelaki sulung punya kesibukan dengan motornya. Motor butut yang sering mogok itu harus diotak-atik supaya bisa jalan. Menjadi alat transportasi buat dirinya sendiri dan anggota keluarga lain terutama bila kakak perempuan harus diantar belanja ke pasar. Terkadang anak lelaki yang masih SD pun mengantar kakak perempuannya ke pasar dengan motor itu. Keterampilan yang diperoleh karena paksaan keadaan ketika si kakak lelaki sedang sibuk mengerjakan hal lain atau mogok jadi juru antar.

Bapak dan anak lelaki di Keluarga Sumpena sering sibuk dengan perkakas tukangnya. Ayah mereka seorang tentara gemblengan jaman perang mempertahankan kemerdekaan yang pernah terjun ke Irian Barat, sangat pandai membuat sesuatu dari bahan kayu. Aku iri melihatnya memasang papan-papan kayu di sepanjang dinding kamar yang kemudian menjadi rak-rak buku apik dan cantik, dicat warna-warna yang disukai anak perempuan. Maklum anak banyak, masing-masing diberi jatah tempat buku pelajaran.

Tujuh anak dalam keluargaku memiliki tugas utama belajar. Sebagian besar pekerjaan dapur dan rumah tangga dikerjakan ibuku sendiri bersama seorang pembantu. Ibuku punya pemikiran yang berbeda dengan keluarga Sumpena. Menurut ibuku anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan harus sekolah sampai pendidikan tinggi sehingga anak-anak sulung punya kewajiban cepat bekerja untuk menopang biaya anak-anak yang paling muda nantinya.

Itu yang membuat Keluarga Sumpena menjadi rumah keduaku. Sebab aku merasakan suasana yang berbeda di sana. Suasana yang lebih gembira.

Mereka pun selalu menerima kehadiranku dengan baik.

***

Tiga puluh tahun kemudian.

Ibuku dan adik perempuan bungsunya –Bibi Nety- sedang bercengkerama dan bercakap-cakap di ruang tamu rumah ibu. Berbagi cerita tentang anak-anak dan cucu mereka. Semua anak ibuku punya anak “dua saja cukup” seperti dalam iklan KB yang bintang iklan utamanya Ibu Tien dan Pak Soeharto, ibu dan presiden Orde Baru. Kecuali aku, yang hanya punya satu anak.

Kudengar ibuku melontarkan keheranannya karena anak-anak Bibi Nety hanya punya anak satu saja. “Kasihan tidak ada temannya kalau cuma anak satu...” Kata ibuku. Bibi Nety hanya mengangkat bahu saja: “Entah, anak-anak sekarang. Mereka tidak mau repot....” Katanya. “Tapi, jaman sekarang apa-apa mahal. Apalagi sekolah anak, mahal sekali ketimbang jaman dulu kita. Anak dua saja belum tentu mampu membiayai sampai ke Perguruan Tinggi....” Katanya lagi.

Lebih enak di jaman Soeharto, biaya hidup tidak semahal ini. Anak-anak bisa sekolah murah. Buku-buku tidak harus beli bisa diwariskan terus dari kakak-kakaknya. Bayaran sekolah murah. Tidak ada les ini dan itu...” Kata Ibuku, mengiyakan.

Bibiku tertawa saja sambil melihat kepadaku. Maklum usia bibi dengan kakak sulungnya terpaut jauh sehingga dia masih memahami perbedaan antara pikiran generasinya dengan generasi berikut yang pro reformasi meskipun sama-sama memiliki suami pegawai negeri. “Suami-istri sekarang kan sama-sama sarjana, Ceu. Sama-sama bekerja.... Makanya anak cuma satu....” Kata Bibi yang "hanya" memiliki tiga anak.

Buat apa dua orang kerja untuk satu anak?” Tanya ibuku seperti mencela. “Perempuan jaman sekarang. Perempuan modern itu mau kerja, mengejar karier, menikmati hidup, dan tetap cantik.... mana mau punya anak banyak....” Kata Bibi seperti mengeluhkan anak dan menantu perempuannya. Atau menyindirku karena dia melirik padaku sambil tersenyum simpul.

Nenek jaman sekarang sih.... Tidak mau dititipi cucunya kalau anak sedang butuh, sedang tidak ada pembantu, padahal suami-istri sama-sama kerja....”  Kata saya, balas menyindir ibu dan bibi. Ibu yang cepat merasa tersindir segera menjawab. “Saya ini sudah capek mengurus anak banyak, kok masih harus mengurus cucu-cucu....”

Bibi dan saya pun tertawa karena berhasil memancing ibu. Perempuan jaman sekarang. Anak sekarang. Lha, nenek jaman sekarang bagaimana?? Mau hidup sendiri tanpa digangggu keributan cucu-cucunya.

Itu sebabnya bibi sekarang sedang berada di rumah ibu. Mencoba membujuk kakak sulungnya untuk pindah ke rumah salah satu anak. Sudah lansia, hidup sendirian, menjadi kekhawatiran semua orang. Bukan cuma anak-anaknya dan keluarga, tetapi juga para tetangga.

***

Setahun setelah tinggal dengan salah satu kakak perempuanku, ibuku selalu mengeluh tentang ini itu. Mita, anak SD yang berangkat pagi sampai sore baru pulang. Mega, anak SMA yang sering pulang malam atau malah tidak pulang. Rahmat, si Bapak yang berhari-hari tidak pulang karena tugas luar. Mila, ibu yang sehari-hari berangkat pagi, pulang menjelang maghrib sebagai pekerja di bank. Anak-anak sejak kecil mengikuti sekolah-sekolah full time yang menyediakan makan siang dan tempat istirahat. Sesudah anak bisa mandiri, selain sekolah juga mengikuti berbagai kegiatan yang dipilihnya seperti musik, olah raga, atau les bahasa.

Ibu merasa sendirian. Tapi keluhan utamanya tentang kenapa Mita begini. Kenapa Mega begitu. Kenapa keluarga Mila dan Rahmat itu begitu. Keluarga yang sehari-harinya jarang berkumpul. Hanya saling berpapasan. Atau bahkan tidak sempat bertemu.

Ibu sering berdiri di depan jendela ke luar rumah.

Pembantu tak acuh dengan kesibukannya sendiri. Pagar rumah yang tinggi membuatnya bahkan tidak dapat melihat apa pun yang ada di luar sana.

***

Aku mengerti perasaan ibu. Aku mengerti gaya hidup kakak perempuanku sekarang karena aku pun hidup dalam cara itu.  Tapi, kenangan hidup dalam keluarga besar menjadi bagian dari hidupku yang tak mungkin terlupakan.

Aku punya kenangan mengesankan bersahabat dengan Keluarga Sumpena yang memiliki banyak peralatan buatan Bapak dan anak-anak lelakinya untuk memenuhi kebutuhan sebuah keluarga besar. Kursi-kursi kecil untuk para perempuan memasak. Lemari di bawah tangga untuk menyimpan berbagai barang. Palang-palang kayu dialasi triplek untuk menyimpan panci, ketel, dan alat-alat memasak lain yang ukurannya besar-besar di atas dapur, dilengkapi dengan tangga kayu untuk bisa menyimpan dan mengambilnya. Sebuah rak buatan ayah untuk menyimpan jajaran gelas dan mangkuk pembagian makanan untuk seluruh keluarga, diletakkan di samping meja makan. Kayu-kayu triplek penyekat untuk membagi fungsi ruangan dalam kamar tidur –memisahkah kamar tidur anak lelaki besar dengan anak lelaki kecil. Sedang di kamar perempuan terdapat satu tempat tidur bertingkat dengan anak perempuan yang sudah besar di bawah, dan yang lebih kecil di atas. Bantal-bantal dengan inisial nama masing-masing pemiliknya yang dijahitkan ibunya. Gelas dan mangkuk untuk ayah dan ibu yang tidak akan berani dipakai anak-anaknya.

Keluarga besar itu sungguh penuh kehangatan. Menjadikan makanan terasa lezat karena segera dimakan begitu masak, dibagi dan dihabiskan hari itu juga. Sedangkan di meja makanku sekarang, banyak sisa makanan yang setelah berhari-hari makin buruk rupa dan kemudian dibuang ke tempat sampah. Di dalam kulkas, berbagai bahan dan jenis makanan juga tidak menggugah selera makan senikmat di masa kecilku. Makanan yang pernah beku, tak akan jadi hidangan selezat masakan di masa kecilku. Bahan segar dari pasar atau dipetik di pekarangan rumah.

Aku rindu makanan panas yang mengepul di dapur sederhana ibuku. Aku berterimakasih pada Keluarga Sumpena yang memberiku kenangan manis di masa kecilku, dan selalu memberiku tempat di rumah mereka yang ramai.

Aku punya kenang-kenangan itu yang tidak akan menjadi kenang-kenangan anak tunggalku dan sebagian besar anak sekarang yang lahir dalam keluarga kecil.

***