Senin, 19 Januari 2009

SI TETEH

Oktober 2008. Setiap lebaran aku tinggal di rumah ibuku. Aku, suamiku, dan kedua anak-anak, berangkat subuh untuk shalat ied dan mempersiapkan meja makan di rumah ibu untuk menyajikan hidangan lebaran bagi para tamu. Sebagai anak yang rumahnya terdekat dengan ibu, ini kulakukan setiap tahun. Mudik ke rumah ibu yang jaraknya hanya 10 menit naik mobil atau angkot. Hari pertama, ibu menunggu seluruh anak, menantu, dan cucu-cucunya datang untuk menikmati ketupat lebaran bersama. Hari kedua, ibu diantar berkeliling ke rumah saudaranya yang lebih tua. Yang tersisa, masih hidup. Kakak dan adikku subuh hari kedua lebaran, ada yang berangkat mudik ke kampung suami atau istrinya.

Aku mudik hanya di rumah ibu dan di Ujung Berung –rumah mertua- karena suamiku juga lahir dan dibesarkan di Bandung. Suamiku aslinya orang Minang tetapi keluarganya sekarang lebih berbahasa Sunda ketimbang berbahasa Minang.

Lebaran terasa semakin sepi bagiku. Semakin sedikit tetangga yang kukenal. Semakin sedikit kerabat yang berkunjung dan dikunjungi. Satu per satu orang tua yang kukenal meninggal. Saat bersalam-salaman setelah shalat lebaran, aku bisa bertemu dengan bapak dan ibu tetanggaku yang sekarang sudah menjadi kakek dan nenek tua.

Para orang tua, tetangga, yang kukenal baik semasa kecil sampai aku SMU, kukunjungi rumahnya untuk bersalaman lebaran. Sekitar sepuluh rumah yang tersebar di dalam kampung Kota Bandung tempat aku tumbuh di masa kecilku sampai berangkat ke Yogya untuk kuliah di UGM. Aku bersama suami dan anak-anakku mampir selama 5 menit per rumah dan selalu pamit dengan mengatakan: ”Mangga atuh, masih bade nguriling...” (Permisi/pamit, saya masih akan berkeliling rumah lagi...).

Tradisi berkeliling tetangga untuk bersalaman lebaran kepada yang lebih tua nampaknya juga sudah tidak dilakukan generasi anak-anakku. Semasa aku kecil, tradisi ini masih kental. Juga tradisi mengirim nasi kuning dengan baki untuk para tetangga dan dengan rantang untuk para kerabat.

Para manula itu sudah ditinggal anak-anaknya yang tentu saja telah memiliki rumah tangga masing-masing. Beberapa, masih ada anak yang masih tinggal dengan orang tuanya. Ada yang masih berdua menjalani masa tua. Ada yang salah satunya sudah meninggal, dan kebanyakan ayah yang sudah meninggal.

Seperti ibuku yang tinggal sendiri. Ayah sudah meninggal 10 tahun yang lalu. Ibuku sudah berumur 75 tahun. Tinggal sendiri di rumah yang sudah ditinggalinya sejak tahun 1965. Sebuah pemukiman di tengah Kota Bandung yang semasa aku masih kecil merupakan perkampungan dengan rumah-rumah khas orang Sunda dari dinding bambu dan memiliki kaki. Rumah-rumah semacam itu sudah lenyap sama sekali.

Keluarga Sumpena merupakan salah satu keluarga lama yang kukenal seluruh anggota keluarganya. Ada ayah dan ibu, nenek, dan delapan anak –tiga lelaki dan lima perempuan. Anak sulungnya lebih tua dari anak sulung keluargaku yang memiliki lima anak. Anak yang sebaya dan menjadi teman masa kecilku bernama Neneng, anak nomor empat keluarga Sumpena. Aku sendiri anak ketiga.

Ayah dan ibu keluarga Sumpena itu sudah meninggal keduanya. Anak sulungnya pun sudah meninggal. Rahmi namanya. Adik-adiknya menyebutnya Teteh. Aku pun menyebutnya Teteh. Aku selalu terkenang betapa cantiknya si Teteh. Teh Rahmi.

Aku sering ke rumah Neneng untuk main dan menghabiskan waktu berbaring di atas tempat tidur anak-anak perempuan keluarga itu. Sambil membaca cerita dan majalah atau mengobrol. Bila si Teteh masuk ke kamar dan mulai berdandan, kami memperhatikannya dengan rasa ingin tahu. Bagaimana cara memoles warna di kedua pipi. Dan meratakan polesan lipstik. Si Teteh tidak pernah merasa terganggu dengan anak-anak perempuan yang merubunginya dan mencobai lipstiknya.
***

Tahun 1979. Aku mimpi buruk. Betul-betul menakutkan. Tapi aku tidak bisa menceritakannya pada ibuku yang biasanya tidak dapat membantu memberi pendapat apa pun apabila aku menyampaikan suatu masalah. Juga pada kedua kakak perempuan yang akan mencibirkan bibir atau mengucapkan kata mengejek.

Saat umurku 9 tahun dan suatu hari aku menemukan bulu halus tumbuh di vaginaku. Saat umurku 10-11 tahun, bulu itu tumbuh tebal dan lebat dan aku merasa ini memalukan dan menakutkan. Bagaimana kalau ketahuan orang tua dan saudara-saudaraku? Bagaimana kalau bulunya keluar dari celana dalamku. Dalam mimpiku, bulu vaginaku bertambah panjang terus sampai ke lantai. Keluar dari celana dalamku. Benar-benar mimpi yang menakutkan. Aku selalu memakai celana pendek sejak itu, meskipun memakai rok sekolah. Atau celana panjang di rumah.

Aku bahkan tidak berani membicarakannya dengan teman-teman mainku, ”gank” cewek yang terdiri dari 5 orang: aku, Neneng, Wenny, Tita, dan Ami. Aku merasa tubuhku berkembang lebih cepat dari mereka. Aku takut melihat mata mereka melotot dan kemudian serentak berbicara: ”Kamu sudah....” Wah, kalau aku satu-satunya yang berbulu, tentunya akan jadi memalukan.

Dalam mimpiku sepertinya semua orang yang kukenal memandang dengan tatapan aneh padaku. Orang-orang dewasa. Anak-anak sebaya. Anak yang lebih besar. Anak-anak kecil. Ada yang berbisik-bisik. Orang dewasa dengan rasa iba. Anak-anak sambil tertawa cekikikan. Aku mendengar mereka mengatakan ”berbulu”. Anak itu baru 9 tahun tetapi vaginanya sudah berbulu, semakin lebat dan panjang.

Aku memutuskan hanya aku sendiri yang tahu.

Biasanya kami teman se-gank punya acara mandi bareng. Karena kami teman bermain di rumah, tetangga, kami bisa mengambil alat mandi masing-masing dan mandi bareng di salah satu rumah.

Gara-gara bulu itu aku menghindari acara mandi bareng ini. Tapi teman-temanku pun sudah kurang mengajak mandi bareng lagi.

Suatu sore, di malam Minggu, kami berkumpul di rumah Neneng dan asyik merencanakan acara jalan-jalan hari Minggu. Saat kami sedang asyik bercengkerama di tempat tidur si Neneng, di dalam kamar yang merupakan kamar bersama semua anak perempuan keluarga itu, Teh Rahmi keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk. Jam 17.00 baru selesai mandi.

Dia melirik ke arah anak-anak perempuan yang bertumpuk di atas tempat tidur. Tersenyum kecil. Anak-anak itu tidak merasa segan lagi karena berada di kamarnya. Teh Rahmi memang peramah dan pengertian. Beda dengan kakak perempuanku yang ketus dan suka mengusirku agar menjauh darinya. Apalagi kalau membawa teman-temanku ke rumah, paling hanya di teras atau ruang tamu. Tidak pernah sampai ke dalam kamarku, karena seperti keluarga lainnya kamarku adalah kamar semua anak perempuan di keluargaku. Beda dengan anak laki-laki, masing-masing punya satu kamar.

Aku memperhatikan Teh Rahmi. Dia membuka laci dan mengeluarkan celana dalam dan BH. Dengan gerakan yang lembut dan pasti dikenakannya celana dalamnya dari bawah handuk. Handuk itu lepas dan jatuh ke atas lantai.

Aku melihat vagina dan bulu lembutnya. Payudara yang bulat dan lembut. Tubuh yang semampai dan memiliki garis bentuk yang lembut. Serba lembut, seperti warna pakaian dalamnya. Kami anak-anak perempuan memperhatikan tetapi pura-pura asyik melanjutkan pembicaraan kami. Aku pertama kali melihat seorang perempuan ’dewasa’ telanjang. Aku pertama kali melihat payudara itu seperti apa.

Teh Rahmi melirik. Gerakannya begitu pasti ketika ia merapikan posisi celana dalam dan BH. Nampaknya melekat di tubuhnya dengan sempurna. Aku tidak bisa menahan bicara lagi. ”Teteh, kapan anak perempuan tumbuh payudara?” Tanyaku. Teman-temanku mengangakan mulut, terkejut dengan keberanianku.

Teh Rahmi dengan gerakan luwes, lentur, dan feminin, mengenakan pakaiannya. Sebuah rok yang panjangnya sampai di atas lutut dan kaos yang melekat di bentuk tubuhnya. Setiap anak perempuan berbeda, katanya. Tertawa kecil. Aku mulai tumbuh pada waku SMP kelas 2. Menstruasiku kelas 1 SMP.

Kemudian Teh Rahmi berdiri di depan kami berlima. Kalian, sudah menstruasi belum? Sudah tumbuh rambut vagina belum? Sudah ada pentil susunya belum? Kami berpandang-pandangan dan hanya menggeleng-gelengkan kepala keras-keras. Berharap pembicaraan yang menakutkan ini berakhir.

Teh Rahmi berjalan melenggang ke luar kamar. Hatinya selalu berbunga-bunga menyambut malam Minggu, waktu kunjung pacar (wakuncar) yang dinanti-nanti.
***

Tahun 1983. Gank anak perempuan mencoba menemukan acara bersama untuk hari Minggu. Mungkin ke Alun-alun untuk cuci mata dan makan bakso. Mungkin ke Kebun Binatang sambil sekalian olah raga jalan kaki. Mungkin ke sawah untuk mencari ikan kecil dan tutut. Kami ini seperti Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, novel yang telah diangkat ke layar lebar itu. Hanya saja, yang kami perjuangkan adalah mengisi hari-hari supaya lebih menarik di luar kegiatan sekolah. Membuat acara kelompok anak perempuan 12-13 tahun selalu mengalami hambatan: aturan maupun biaya. Karena kamu anak perempuan tidak pantas jarambah (pergi jauh-jauh dari rumah), begitu kata orang tua atau kakak-kakak yang lebih tua. Bada maghrib harus sudah masuk ke rumah.

Berjuang agar anak perempuan berumur 12-13 tahun bisa memiliki hal menarik dalam kehidupan sehari-harinya, bukanlah mudah bagi kami. Ayah dan ibu tidak cukup memberi uang saku karena penghasilan terbatas dan punya anak banyak. Ingin ikut perkumpulan pencak silat atau club karate saja sulit memperoleh biaya beli pakaiannya. Memasak, merupakan kegiatan kelompok yang paling sering dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan dari dapur rumah masing-masing dan melengkapinya dari warung sayuran. Kemudian kami makan sama-sama di atas loteng dan naik ke atap rumah. Mie goreng atau lotek atau rujak cuka serba pedas. Itu yang biasa kami buat untuk mengisi hari Minggu bersama.

Aku menstruasi pada umur 12 tahun, kelas 6 SD. Lebih cepat dari teman-teman yang lain. Pertama kali aku masih menggunakan kain handuk berbentuk saputangan kotak yang dilipat dan dilekatkan di celana dalam dengan menggunakan peniti di ujung atas dan bawah. Aku bersyukur tidak lama kemudian ibuku membelikan apa yang disebut ’pembalut wanita’. Untunglah ada seseorang yang menciptakan benda ini. Teh Rahmi yang pertama kali memberitahuku. Kamu harus minta dibelikan ibumu, katanya. Benda yang bernama pembalut itu, maksudnya. Para ibu masih belum terbiasa dengan benda itu sehingga anak-anak remaja harus memberitahu mereka. Saat itu masih tebal dan terasa mengganjal di selangkangan. Tapi lebih baik ketimbang harus mencuci kain handuk yang penuh darah. Susah sekali mencucinya, butuh tenaga ekstra. Harga pembalut terasa mahal bagi ibu-ibu yang memiliki banyak anak perempuan.

Aku lega bahwa menghadapi menstruasiku itu aku tidak merasa takut. Tidak dihantui perasaan malu. Aku lebih siap menghadapinya setelah aku tahu bahwa setiap perempuan akan mengalaminya. Setiap anak perempuan berbeda.

Begitu kata Teh Rahmi.
***

Tahun 1979. Kami tertawa-tawa di antara suara siraman air. Acara mandi bersama itu selalu menyenangkan. Entah kenapa, tetapi banyak anak melakukan acara mandi bersama dengan teman-teman baiknya. Kamar mandi di rumah Neneng cukup besar untuk kami berlima. Kali ini ditambah dengan Teh Rahmi yang entah kenapa ikut mandi bareng dengan kami.

Tubuh Teh Rahmi tentu saja tubuh wanita dewasa muda sedangkan kami berlima masih anak-anak. Rupanya Wenny sudah punya rambut banyak juga. Sedangkan yang lainnya baru tumbuh halus dan belum kelihatan. Aku yang paling banyak rambut. Sementara, Tita dan Neneng sudah mulai timbul pentil susu. Dadaku masih rata sama sekali seperti anak laki-laki.

Siapa yang akan menstruasi paling cepat, kata Teh Rahmi. Sambil memperhatikan badan anak-anak perempuan yang telanjang. Serentak kami menunjuk Wenny, yang badannya paling bongsor. Lihat punyamu belum berambut, punya dia sudah begitu banyak rambutnya. Kata Teh Rahmi kepada Neneng, dan kemudian menunjuk kepadaku.

Kamu berbulu banyak sekali, kata Teh Rahmi. Banyak lelaki yang suka perempuan yang sekujur tubuhnya berbulu. Rambutku memang tebal. Alisku juga. Rambut halus tumbuh di sekujur tubuhku. Teh Rahmi memegang jari-jari tanganku dan melihar rambut halus yang tumbuh di atas buku-buku jarinya. Banyak pria yang akan suka padamu, katanya penuh iri.

Sejak saat itu aku tidak lagi dihantui malu karena tumbuh lebatnya rambut vaginaku. Semula aku heran bahwa berbulu itu bagus. Tapi berbulu tidak lagi menjadi mimpi buruk bagiku.
Aku merasa bahwa aku berbeda dengan teman-temanku. Dengan Teh Rahmi yang begitu putih, halus, lembut, dan memiliki lekuk tubuh feminin. Aku tidak punya bentuk tubuh dan karakter sefeminin itu. Aku berfikir apakah aku harus seperti Teh Rahmi di saat aku menjadi tumbuh dewasa ataukah aku memang berbeda.

Aku sedikit khawatir bahwa aku tidak akan menjadi wanita dewasa yang menarik karena aku cenderung tomboy. Tulang dan otot-ototku besar dan kuat. Wajahku juga nampaknya tidak pantas dipoles dengan warna-warni riasan. Juga lipstik.

Aku cemburu pada wanita secantik Teh Rahmi dan sejak kecil aku tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa seperti itu. Tapi Teh Rahmi suka pada tubuhku dan mengatakan bahwa: badanmu bagus. Kamu berbeda. Badanmu berbulu dan itu sexy. Aku tidak begitu paham arti kata sexy pada waktu itu.

Setiap anak perempuan berbeda.Begitu kata Teh Rahmi. Itu yang paling melekat dalam ingatanku saat mandi bareng. Di Tahun 1979.
***

Tahun 1989. Coky menatap wajahku sambil tersenyum. Dia memegang tanganku dan membelai jari-jarinya. Bagus sekali bulumu, katanya. Dibelainya rambut halus di atas buku-buku jariku. Pada usia 23 tahun, pacaran bukan lagi sekedar karena kita suka pada kesopanan perilakunya, kebaikan atau perhatian seorang pria kepada gadisnya. Melainkan mulai memiliki perhatian pada tubuh pasangan kita, menimbulkan hasrat yang menghangatkan perasaan, dan melakukan sentuhan-sentuhan yang menimbulkan aliran listrik yang dasyat. Saling memandang dan tersenyum. Mengukur sampai dimana batasan sentuhan fisik yang dapat diterima oleh pasangan kita. Bagi perempuan, terutama, jangan sampai dianggap murahan setelahnya.

Bukan hanya Coky yang memperhatikan bulu halus di lengan dan tengkukku, tetapi banyak yang berkomentar begitu. Aku menjadi merasa istimewa karena bulu halus yang menjadi ciri khasku. Aku merasa sexy. Seperti menurut Teh Rahmi dulu. Aku paham sekarang maksudnya.

Saat aku berumur 12-13 tahun aku terpesona melihat tubuh telanjang yang sangat indah menurutku, milik Teh Rahmi. Payudaranya. Vaginanya. Pinggangnya. Perutnya yang rata. Lengannya. Tungkai kakinya yang panjang. Kuku berkutek merah jambu. Bibir merah berlipstik merah jambu.

Gerakan tubuhnya. Cara berjalannya. Cara tertawa. Cara menggerakkan tubuhnya saat berdekatan dengan pria yang naksir kepadanya. Aku memperhatikan Teh Rahmi. Berharap bahwa bila tidak banyak pria yang merubung aku seperti merubung Teh Rahmi, paling tidak aku berhasil ’ditemukan’ oleh satu atau dua pria yang cukup menarik untuk jadi pacarku. Nanti, kalau aku sudah besar.
***

Oktober 2008. Pada hari lebaran biasanya aku bisa ketemu dengan teman-teman masa kecilku. Kami sudah menjadi perempuan setengah baya semua. Ada yang gemuk. Ada yang kurus dan berkeriput. Rambut sudah setengah beruban. Kami berubah seperti juga pemukiman kami telah banyak berubah setelah lebih dari 25 tahun berlalu. Tidak ada lagi sawah dan kebun kangkung. Separuh pemukiman telah dibebaskan dan berubah menjadi perumahan mewah dan mall. Rumpun bambu sepanjang sungai kecil yang membelah kampung sudah hilang, dan benteng tembok memisahkan perkampungan dengan bangunan-bangunan bertingkat: mall, bank, sekolah tinggi komputer, factory outlet, restauran.

Rumah keluarga Neneng ditempati kakak lelakinya, Deden. Aku bertemu dengan Kang Deden saat sedang berjalan melewati rumahku bersama anak-anak dan istrinya dan beberapa orang tak kukenal, menuju pemakaman kedua orang tuanya yang terletak di belakang perumahan kami. Ziarah hari lebaran ke makam orang tua.

Kang Deden menyapaku dan kami saling bertukar kabar sebentar. Neneng tinggal di Makasar mengikuti suaminya yang bertugas di sana. Teh Rahmi tahun lalu meninggal dunia karena kanker rahim.

Aku tidak akan lupa betapa cantiknya si Teteh menurutku, pada waktu aku seorang anak perempuan berumur 12 tahun yang pertama kali melihat tubuh telanjang seorang wanita dewasa. Teh Rahmi begitu tahu akan keindahan tubuhnya.

Tahun 1985 Teh Rahmi menikah dengan pria berusia jauh lebih tua. Seorang duda. Katanya bercerai dari istrinya dan sudah punya 2 anak. Aku mendengar orang-orang mengatakan bahwa Teh Rahmi merebut suami orang sampai menceraikan istrinya dan meninggalkan anak-anaknya. Neneng tidak mau banyak bercerita tentang suami kakak perempuan tertuanya itu. Aku teringat waktu itu aku keheranan melihat gadis semuda dan secantik Teh Rahmi menikah dengan seorang pria yang jauh lebih matang. Padahal pria-pria muda tampan yang memperebutkan Teh Rahmi sangat banyak.

Aku teringat betapa cepat kemudaan dan kecantikan Teh Rahmi memudar. Anak-anak lahir. Wajahnya dihiasi bercak-bercak coklat akibat menggunakan alat kontrasepsi. Badannya menggemuk. Masih suka menggunakan celana pendek dan kaos tanpa lengan kalau di rumah. Kakinya yang panjang dan halus dengan kuku berkutek merah masih dimilikinya. Rambut dipotong pendek sehingga mahkota yang dulu tergerai indah melewati bahu itu telah hilang. Bunga mawar indah dan segar merekah itu cepat sekali meredup warnanya. Kerut di wajah begitu cepat hadir setelah anak-anak lahir. Suaminya rujuk kembali dengan istri tuanya. Setelah itu Teh Rahmi berganti suami beberapa kali. Katanya. Aku sudah tidak pernah lagi bertemu setelah perceraian dengan suami pertamanya.

Setelah aku kuliah di Yogya, terkadang aku dan Neneng mampir ke rumah si Teteh di saat liburan semesteran. Setiap aku datang, dia menawarkan aku rokok putih. Coba rokok baruku, katanya. Menghembuskan asap rokok dari celah bibirnya yang berlipstik merah terang. Kami di loteng dan duduk di atas genteng. Matanya menatap lurus ke depan dan gerakan tubuhnya seperti yang kukenal: lembut, gemulai, tak acuh. Sia-sia polesan di wajahnya untuk menyamarkan noda dan kerutan di seputar mata.

”Dasar bondon,” terdengar umpatan dari balik jendela rumah tetangga di bawah loteng. Teh Rahmi bangkit dengan pelan. Berdiri dengan berpegangan pada talang air, melihat ke bawah. Meludah. Nenek sihir tukang dengki, katanya. Aku melihat, sebagai kakak perempuan sulung, Teh Rahmi sangat berwibawa di mata adik-adiknya. Bahkan meskipun adik-adik tidak setuju dengan tindakannya, mereka tidak dapat menyampaikan kritik kepada sang kakak yang membantu orang tua mengurus dan membiayai sekolah mereka. Menikah pada usia yang begitu muda dan memikul sebagian besar beban finansial keluarga agar adik-adiknya bisa sekolah lebih baik dari dirinya."Perempuan tukang morot", begitu umpatan ibu-ibu tetangga atau laki-laki usil.

Teh Rahmi mengatur dan memerintah adik-adiknya tanpa terbantahkan. Bahkan ayah dan ibunya pun terdiam saat terjadi suatu kontroversi dalam keluarga. Kau tamatkan sekolahmu, bekerja, dan baru fikirkan untuk menikah. Bentaknya kepada adik perempuannya yang menyampaikan lamaran menikah dari pacarnya sebelum sekolah sekretarisnya selesai. Perintahnya harus dituruti.

Pakai kecerdasanmu sedikit, katanya kepada adik perempuannya. Kamu menikah dengan lelaki yang pekerjaannya biasa-biasa, lantas jadi ibu-ibu jelek dan gemuk yang selalu pusing memikirkan biaya dapur dan sekolah anak-anakmu. Lebih baik kamu jadi perempuan kantoran. Sambil mengomel dan mencontohkan dirinya sendiri, si Teteh mengambil sebatang rokok dan menghembuskan asapnya, sementara orang tua dan adik-adiknya terdiam.

Teh Rahmi sendiri lulusan SKKA yang setingkat SMU. Kemudian bekerja sebagai resepsionis di sebuah perusahaan dan berhenti saat menikah karena permintaan suaminya.

Aku teringat saat usiaku 12 tahun Teh Rahmi memperhatikan seluk beluk tubuhku. Dan anak-anak perempuan lain, teman-teman adiknya, ketika sedang mandi bareng. Menyentuh bulu-bulu di atas buku jariku. Menarik rambut halus di lenganku. Dan mengatakan. Aku ingin berbulu sepertimu. Banyak lelaki yang akan suka padamu. Katanya kepadaku. Susu kamu mulai tumbuh, katanya kepada Wenny yang meringis sambil menutup dadanya. Kamu akan menstruasi sebentar lagi. Dada kami berdegub mendengar kata itu. Menstruasi.

Mimpi burukku tentang bulu hilang. Apa pun perkembangan dan perubahan yang terjadi pada tubuhku, aku tidak setakut seperti sebelumnya.

Kenangan tentang si Teteh berkelebat saat aku mendengar kabar dari Kang Deden, adiknya. Si Teteh telah berpulang.

Suatu hari aku berkunjung ke rumahnya setelah bekerja di Jakarta dan lama tak bertemu dengannya. Dia mengeluarkan sebatang rokok putih dan menyodorkannya padaku, lalu menyalakan api sementara aku menghisapnya. Aku mulai merokok saat SMU dan dia menyediakan tempat merokok karena itu tidak bisa kulakukan di rumahku sendiri. Umur kami berbeda 11 tahun dan dia selalu membantuku menyalakan api rokokku sejak dulu. Membelikanku rokok saat aku di SMU dan tidak punya uang. Bertanya: "Mau kubuatkan mie rebus?" Atau: "Mau kubuatkan kopi?" Atau: "Mau makan dengan karedok?" Dan dia pergi ke dapur untuk melaksanakan tawarannya. Lalu melihat aku dan adik-adiknya makan dengan nikmat hasil masakannya: nasi panas, ikan goreng, tempe, karedok pedas, dan kerupuk aci yang dibeli di warung. Si Teteh duduk sambil menghisap rokoknya sementara orang lain makan.

Tidak ada adik-adik perempuannya yang merokok. Hanya kami berdua. Neneng hanya bisa memperhatikan saja. Tidak punya keberanian untuk meminta sebatang rokok pada kakak perempuannya meskipun tergoda.

Si Teteh telah berpulang. Bagiku dia perempuan pemberani. Pahlawan bagi keluarganya.
***

Daftar Istilah:
•Teteh: sebutan untuk kakak perempuan (Bahasa Sunda), sama dengan mbak (Bahasa Jawa) atau uni (Bahasa Minang).
•Jarambah: suka main jauh, suatu istilah negatif bila ditujukan kepada anak perempuan karena dilarang ’jarambah’.
•Bondon: perempuan nakal, suatu istilah yang digunakan untuk mengganggu atau mengumpat kepada perempuan yang berperilaku tidak pantas (nakal atau bebas dalam konotasi sexual).
•Morot: memeras uang/harta; perempuan pengeretan atau perempuan tukang morot atau cewek matre merupakan istilah untuk perempuan yang motif hubungannya dengan pria adalah uang/materi/harta.

Jumat, 16 Januari 2009

ISTRI PILIHAN SURGA

Maya bisa melihat ruangan itu. Seperti melihat adegan di layar film. Sahabatnya duduk di belakang meja rias, menulis surat. Wajahnya. Bentuk tubuhnya yang ramping. Matanya. Air mata jatuh ke atas kertas.

Malam yang dingin. Menjelang tengah malam. Tika melihat ke arah tempat tidur yang masih rapi. Suaminya tak pulang. Dadanya berdenyut.

Di sudut meja terdapat kalender. Tahun 1995.
***

Maya, sahabatku...

(Selalu menjadi kata-kata pembuka surat yang ditulis Tika. Surat-surat dari Tika selalu berlembar-lembar. Maya sudah harus menyediakan sebuah kotak untuk menyimpan surat-surat itu yang telah terkumpul selama beberapa tahun).

Suamiku sering tidak pulang. Dia punya tempat lain untuk pulang. Mula-mula aku mendengar kabar burung ini dari kerabatku. Kemudian aku mulai memperhatikan telepon-telepon yang berdering dan mati saat kuangkat. Kecuali kalau suamiku yang mengangkatnya. Berbicara sedikit. Penuh simbol-simbol.

Sebuah nama muncul. Rina. Perempuan itu tidak berusaha merahasiakan dirinya. Bila anakku mengangkat telepon dan menanyakan nama penelpon untuk diberitahukan kepada ayahnya, nama Rina disebutkan. Sampaikan kepada Pak Yudi, Ibu Rina menelpon dan minta ditelpon balik. Lalu aku mendengar siapa Rina dari temanku, Lela, yang mendapat informasi dari temannya. Yudi, suami temanmu itu, kulihat berjalan bersama Rina –teman dari temanku. Begitu menurut teman dari temanku. Rina adalah teman dari teman seorang teman Lela. Saudara dari teman Rina itu, adalah teman sekantor Rina sehingga dia dapat memberikan informasi siapa Rina.

Rina seorang perempuan lajang yang sedang berusaha memperoleh jodoh. Wajahnya jelek. Badannya pendek dan gemuk. Dandanannya setengah mati. Hanya lelaki yang sedang ’sakit jiwa’ mau dengan perempuan seperti si Rina sedangkan sudah punya istri dan anak. Begitu kata teman sekantor Rina kepada saudaranya, teman dari teman Lela. Lela menyampaikan informasi ini kepadaku.

Begitulah cara perempuan-perempuan saling membantu dan menyampaikan rasa simpati, bila suami seseorang selingkuh. Sebuah rantai informasi bekerja. Aku tidak memintanya. Tetapi mereka melakukan penyelidikan secara estafet dan informasi yang didapat itu kembali lagi bergerak estafet menuju kepadaku. Perih. Suamiku dibicarakan orang-orang, Maya...

Ketika aku menanyakan kebenarannya, suamiku dengan begitu saja mengakuinya. Ada seorang perempuan lain bernama Rina. Ketika aku menatap wajah suamiku, aku membayangkan Rina yang jelek, pendek, gemuk, menor, dan provokatif dalam upaya mendekati atau mendapatkan pria. Tidak sabar mendapat jodoh. Tidak peduli bagaimana caranya. Tidak peduli lelaki beristri. Tidak mau tahu. Wajah suamiku begitu dingin menerima tatapanku.

Aku ingin menjerit. Aku ingin tahu. Kenapa. Kenapa suamiku begitu membenci aku sehingga melakukan hal ini. Tanpa merasa perlu berusaha menyembunyikannya. Tidak pulang ke rumah semalam, dua malam. Menerima telepon dan bicara pendek-pendek. Setelah itu pergi. Lalu tidak pulang sampai besok atau lusa.

Sejak saat itu tidak ada lagi telepon rahasia. Ketika aku mengangkat telepon dari perempuan itu, dia tidak menutup telepon lagi melainkan menanyakan suamiku. Aku bertanya siapa dia. Rina, katanya. Kamu siapanya suamiku, tanyaku. Teman, katanya. Aku gemetar ketika mengatakan bahwa dia perempuan pengganggu suami orang. Rina menutup teleponnya. Kemudian dia tetap menelpon lagi. Tidak perlu sembunyi-sembunyi. Tidak perlu rahasia. Suamiku secara terang-terangan memiliki perempuan lain.

Aku sendirian. Menuliskan surat ini kepadamu, Maya....
Engkau sahabatku yang kucintai. Engkau membuatku merasa memiliki seseorang. Aku tidak pernah membiacarakan rumah tanggaku dengan siapa pun. Aku hanya diam bila seseorang memberitahuku sesuatu tentang suamiku.

Maya, sahabatku.... engkaulah satu-satunya teman bicaraku. Meskipun jarak memisahkan kita. Dan aku hanya bisa berbicara denganmu melalui surat-surat.
***

Pagi-pagi, Tika bangun untuk menyiapkan sarapan bagi anak-anaknya yang akan berangkat ke sekolah. Si sulung berumur 11 tahun, anak lelaki berwajah teduh dan tampan, dengan tatapan mata mendalam kepada ibunya. Seperti mencoba menyelami isi bathin ibunya.

Anak kedua dan ketiga memiliki usia berdekatan, 7 tahun dan 6 tahun. Dua anak perempuan cantik bermata indah yang menikmati semuanya: sekolah, bermain dengan teman-temannya, belajar, membaca buku cerita, naik sepeda, dan jalan-jalan ke pusat pertokoan. Sedangkan si bungsu yang berumur 3 tahun, anak lelaki bandel dan jenaka, yang menghibur ibunya karena selalu melakukan hal-hal yang menimbulkan senyuman.

Maya seperti melihat sahabatnya itu sedang memandang anak-anaknya dengan penuh cinta. Menyembunyikan kesedihan dari mereka dengan tersenyum. Menahan jeritan hatinya agar tak terdengar oleh anak-anak. Tak terbaca dari wajahnya. Menghindari pertengkaran dengan suami karena masa kanak-kanak seharusnya bahagia. Tanpa pertengkaran ayah dan ibu. Itulah yang akan didapat anak-anaknya.

Maya melihat wajah ayu Tika yang menatap ke depan dengan tabah. Menegakkan wajahnya di hadapan anak-anak agar nampak sebagai seorang ibu pelindung dan anak-anak merasa aman bersamanya. Tika, seorang ibu yang siap berkorban jiwa dan raga demi keempat anak-anaknya. Tika adalah sahabat Maya sejak Sekolah Dasar sampai dewasa. Meskipun terpisah sekolah dan kemudian terpisah kota setelah Tika menikah, mereka selalu berkirim surat. Lebih tepatnya, Tika selalu berkirim surat.

Maya bisa melihat Tika mengasuh anak-anak mengerjakan tugas sekolah, sambil menyuapi si bungsu yang makan sambil melompat ke sana ke mari. Seperti sebuah adegan film, Tika memandang ke arah penonton. Close up.

Pada saat itulah Maya melihat wajah sahabatnya yang begitu sedih.
***

Maya, sahabatku....
Aku selalu ingin menjadi istri yang baik. Ibu yang baik bagi anak-anakku. Aku akan melakukan apa pun yang diminta oleh suamiku. Seorang suami adalah pemimpin keluarga. Pelindung keluarga. Seorang yang menjaga anak-anaknya. Seorang yang meluruskan istrinya supaya menjadi salehah.

(Maya bergidik membacanya. Tika hidup dalam dunia khayalan seorang perempuan yang merasa sempurna hanya bila menjadi istri dan ibu yang baik. Bagi perempuan bebas seperti Maya, itu khayalan, bukan sikap-nilai hidup. Baginya nilai hidup secara genuine harus selalu memanusiakan. Bukan memperbudak atau membelenggu. Tika, tahukah kamu bahwa seorang perempuan bisa memiliki kehidupan yang lebih baik ketimbang punya suami seperti Yudi? Keluh Maya. Geram).

Maya, aku akan bersabar bila Yudi melalaikan tugasnya sebagai seorang ayah dan suami. Aku akan berdoa agar mata hatinya terbuka atas kekhilafannya. Aku bersujud di hadapan Allah untuk kembalinya suami dan ayah anak-anakku.

Bila kami berkumpul di sekeliling meja makan. Anak-anak berceloteh riang dan penuh kerinduan kepada ayahnya yang”sibuk” dan jarang di rumah. Menceritakan ini dan itu. Bertanya ini dan itu. Memperebutkan perhatian ayahnya. Suamiku dengan penuh kasih sayang menanggapi semua celoteh anak-anak. Membelai rambut mereka. Membacakan buku cerita di sisi ranjang anak-anak. Penuh kelembutan dan kesabaran.

Setelah anak-anak terlelap tidur, aku menggunakan kesempatanku untuk mengajak bicara suamiku. Saat yang kutunggu-tunggu. Terasa begitu lama menunggu saatnya aku bisa bicara dengan suamiku. Setiap menit seperti penantian yang begitu panjang. Sekarang, ketika aku sudah bisa berhadapan berdua dengan suamiku, aku minta padanya untuk bicara. Tapi diabaikannya aku.

Apa yang diharapkannya. Apa yang harus kulakukan agar dia mencintaiku lagi. Apa yang bisa membuat suamiku memilih seorang perempuan bernama Rina ketimbang aku, istrinya. Tetapi suamiku menolak pembicaraan.

Sebaiknya kau minta cerai saja. Katanya dingin. Mengapa kau begitu sabar dan pemaaf pada suami brengsek seperti aku. Kau benar-benar menjijikkan. Kalimat terakhir diucapkannya dengan mimik dan tekanan suara yang ingin menggambarkan dengan sejelas-jelasnya perasaannya sesuai apa yang dikatakannya.

Tengah malam. Yudi pergi meninggalkan rumah.

Aku menggigil di atas tempat tidur. Menahan tangisan. Membekukan hati agar air mata tidak berjatuhan. Aku tidak mau besok pagi mataku menjadi bengkak dan anak-anak melihatnya. Aku tidak akan membuat anak-anak melihat kesedihan di wajahku. Aku akan tidur. Aku harus tidur dan bangun subuh.

(Maya menggigil. Seperti masuk ke dalam jiwa dan raga sahabatnya. Seperti ikut merasakan kesakitannya. Mula-mula. Seterusnya kesakitan itu hilang menjadi suatu perasaan kebas dan hilang rasa. Kesedihan yang begitu mendalam sehingga tak dapat dirasakan sakitnya lagi. Seperti dada yang dirobek dan rasa sakitnya tak terasa lagi).

Maya, suamiku membenciku... Suatu hari dia mengatakan padaku bahwa aku begitu baik. Sedangkan dirinya tidak mampu menjadi suami yang pantas bagi diriku. Aku mengira kesulitan-kesulitan dalam mengembangkan karier di pekerjaannya, membuat dirinya patah semangat. Aku mengatakan padanya bahwa sebagai seorang istri aku ikhlas menerima dirinya seperti apa adanya.

Aku ingin berhenti bekerja karena anak-anak lahir lagi dan lagi. Tetapi suamiku justru melarangnya. Kau jangan jadi ibu rumah tangga saja. Biarlah kupanggil adik-adikku untuk membantu mengurus anak-anak. Begitu katanya.

Aku tidak mengerti apa yang berkecamuk dalam pikiran Yudi. Hanya sepotong-sepotong ucapannya yang kurangkai satu per satu. Aku mencoba mengerti.

Kamu cantik, pintar, dan punya pekerjaan bagus di kantor. Katanya. Kamu masih muda. Kamu masih punya kesempatan.

Aku tidak mengerti arah dan tujuan dari ucapannya. Yudi selalu berbicara terlalu sedikit bagiku. Aku tidak pernah bisa berhasil memintanya menjelaskan kepadaku apa yang membuatnya tidak bahagia. Apa yang membuatnya marah.

Mengapa kau hamil terus?!! Dengan wajah merah padam menahan amarah, Yudi melontarkan pertanyaan seruan itu padaku saat dia menerima berita kehamilan anak ketiga. Lalu juga ada anak keempat. Bahkan saat kehamilan dan kelahiran anak kedua pun, Yudi bersikap begitu hambar.

Maya.... aku mengira kami menikah berdasarkan cinta. Dan cinta akan menjadi kekuatan kami bersama menghadapi masa depan. Aku mengira anak-anak adalah buah cinta. Dan meskipun berat, kami akan selalu bahagia menghadapi kelahiran setiap anak.
Yudi semakin jauh dariku. Membenciku. Entah kenapa.
***

Setiap kali menerima surat dari sahabatnya, Maya selalu dapat melihat Tika seperti gambar film yang ditontonnya di bioskop. Tika berbicara dengan lemah lembut kepada anak-anaknya. Tika bekerja di kantornya. Sosok yang disegani bahkan oleh senior atau atasannya sekali pun. Raut wajahnya yang teduh, sikapnya yang santun, ucapan-ucapannya yang runtut, jelas, dan menguasai materi, caranya bekerja yang tekun, senyumannya. Siapa pun akan menghormatinya.

Maya bisa melihat Tika membacakan buku cerita di sisi ranjang anak-anaknya menjelang tidur. Menciumi wajah mereka. Menyelimuti mereka. Anak-anak berceloteh tentang rasa kangen kepada ayahnya.

Kemudian Tika berbaring di ranjangnya. Sendirian. Sebelumnya, menulis surat di atas meja rias di bawah lampu kamar yang temaram. Air mata menetes ke atas kertas. Tidak pernah ada surat dari Tika tanpa noda air mata. Tetesan air itu selalu ada. Tetapi Tika tidak pernah tenggelam dalam banjir air mata. Hanya tetesan kecil yang bergulir.

Sekarang Tahun 2008. Anak sulung sudah sudah menjadi pria tampan berusia 24 tahun. Seorang sarjana teknik yang bekerja di bidang IT di perusahaan asing di Jakarta. Kedua anak perempuan menjadi gadis-gadis cantik yang bahagia di masa-masa kuliahnya dan kelak tidak akan kesulitan jodo. Wanita-wanita muda yang lembut, santun, dan ceria. Si bungsu menjadi pemuda yang keren dan penuh cinta kepada ibunya. Selalu menjadi pelipur ibunya. Sekarang Tikalah yang mendapatkan pelukan dan ciuman yang menentramkan dari anak-anaknya.

Tika tidak lagi menulis surat pada Maya. Handphone telah mengubah cara berkomunikasi kita dan jarak terasa menjadi lebih dekat. Surat (snail mail) berubah menjadi email dan chatting di internet. Tika tidak pernah lagi menulis surat. Berlembar-lembar kertas surat berisi cerita tentang suaminya telah menghilang beberapa tahun ke belakang. Lebih dari lima tahun yang lalu.

Suami Tika sekarang selalu pulang. Tidak ada lagi Rina. Tidak ada lagi perempuan-perempuan lain yang pernah ada selain Rina. Tidak ada kemarahannya lagi. Rambut Yudi sudah sebagian memutih. Kegiatannya sehari-hari di luar kerja kantor sebagai karyawan adalah merawat tanaman di halaman rumah. Serta sembahyang 5 waktu. Puasa Senin-Kamis secara teratur dan olah raga jogging seminggu 3 kali. Tika mencapai puncak kariernya sebagai Dekan di fakultas tempatnya mengajar. Membaca buku adalah kesehariannya di saat tidak mengerjakan yang lain.

Maya bisa melihat Tika membuat teh panas dan pisang goreng di sore Hari Sabtu yang cerah. Menyuguhkannya pada suaminya yang sedang duduk di kursi teras rumah sambil memandangi tanaman-tanaman dan bunga yang dirawatnya.

Yudi menjadi pendiam. Semakin pendiam.

Maya bisa melihat Tika duduk di kursi yang lain di teras. Yudi duduk di kursi yang lain. Cangkir teh dan piring berisi pisang goreng di atas meja di tengah, di antara kedua kursi. Mereka memandang ke jalan. Memandang ke langit. Melihat hijaunya rumput dan warna merah kembang sepatu.

Yudi dan Tika sudah semakin tua. Tidak ada lagi yang bisa mengecewakan dalam hubungan meraka. Tidak ada lagi hal yang menyebabkan amarah di antara mereka. Tidak ada lagi yang menyebabkan kesedihan. Semua sudah berakhir menjadi kehidupan masa tua yang sudah meninggalkan rasa ambisi dan frustasi. Tidak ada lagi surat-surat yang bisa ditulis Tika untuk sahabatnya, Maya.
***

Januari 2009. (Untuk sahabatku. Kamu perempuan tangguh dan aku selalu mengenangmu dengan penuh cinta).

Rabu, 14 Januari 2009

AKI-AKI TUJUH MULUD

Lagu Sunda yang sahdu mengalun diiringi petikan kecapi, disertai suara gemericik air dan suara cicit burung yang menggambarkan suasana pedesaan yang indah dan permai. Ring tone telepon genggam Adit. ”Ya, Bu.... ada apa?” tanyanya. Kalau sedang di kantor mendapat telepon dari istri di rumah, entah kenapa suami selalu memulai percakapan dengan pertanyaan seperti itu. Ada apa. Dan juga entah kenapa, memang selalu ada kejadian yang menyebabkan istrinya menelpon Adit saat sedang di kantor. ”Bapak hilang, Mas....”

Bapak hilang. Sudah berapa kali bapak hilang dalam sebulan ini. ”Mosok hilang lagi?” Dan selalu jawaban itu yang spontan muncul dari mulut Adit kepada istrinya. ”Tadi ke warung beli rokok.....” Kata istrinya. “Tapi kok belum kembali juga sudah 3 jam.... Sudah dicari-cari sekeliling, tidak kelihatan.... Nyasar lagi seperti dulu barangkali, Mas....”

Kejadian yang dialami Adit, teman sekantorku, ternyata dialami juga oleh beberapa yang lain. Orang tua hilang. Pergi ke luar rumah dan lupa jalan pulang. Padahal cuma sekedar pergi ke warung atau olah raga berjalan kaki mengelilingi rumah untuk melemaskan otot-otot di pagi hari.

Akhir-akhir ini sering muncul obrolan tentang para orang tua di antara teman kantor dan juga teman-teman kongkowku. Mungkin karena kita ini para anak yang sudah berusia separuh baya dan memiliki orang tua yang sudah menjadi manusia usia lanjut atau manula (istilah yang aneh!) sehingga berbagai cerita tentang orang tua pun berkisar seputar kepikunan dan kekeraskepalaan para manula yang sering menjadi merepotkan dan juga lucu.

Pergi ke warung dan lupa pulang. Shalat lebih dari 5 waktu sehari. Sejam yang lalu makan siang tapi merasa belum makan siang. Menceritakan sesuatu diulang-ulang sampai puluhan kali, terutama cerita-cerita tentang memori masa lalu. Dan banyak lagi. Tapi, pengalamanku ketemu dengan seorang kakek tua di dalam angkutan kota (angkot) merah Cicadas-Kebon Kalapa ini membuatku masih bersyukur bahwa bukan aku, anak yang punya orang tua seperti itu.

Begini ceritanya.
***

Aku sedang di dalam angkot dengan suamiku. Kami menuju Alun-alun untuk sekedar iseng. Makan kalau nanti lapar. Membeli sesuatu. Biasanya aku membeli VCD/DVD di Kota Kembang. Sedangkan suamiku membeli dompet, atau ikat pinggang, atau bolpoint yang unik. Suamiku selalu membutuhkan bolpoint di saku bajunya. Seolah itu merupakan bagian baju yang harus ada. Seperti kancing, harus ada.

Mula-mula aku tidak menyadari keanehan. Satu penumpang perempuan turun bergegas-gegas sambil menyumpahi. Kemudian, penumpang lain naik. Kemudian penumpang perempuan turun lagi bergegas-gegas sambil memaki-maki. Barulah aku mulai memperhatikan penumpang lain di dalam angkot. Seorang kakek yang kelihatan tua sekali, mungkin umurnya lebih dari 80 tahun (seperti sudah 90 tahun karena wajahnya begitu tua seperti topeng), duduk dengan tenangnya. Aku terperanjat ketika dia bergeser mendekat ke penumpang perempuan yang duduk satu barisan tetapi ada jarak kosong dengannya. Aku memperhatikan terus. Dia bergeser lagi. Bergeser lagi.

Aku melihat tangan kirinya diletakkannya di samping, di atas tempat duduk. Kemudian, astaga!!! Tangan kirinya itu diletakkan di atas paha si penumpang perempuan di sebelahnya. Perempuan itu terkejut tapi terdiam. Matanya melotot. Tapi tidak dipukulnya tangan lelaki tua itu. Dari terkejut, berubah menjadi bingung. Dari bingung, berubah menjadi takut. Kemudian beringsut menjauh. Seorang lelaki renta berumur 80 tahunan yang ada di angkot, entah darimana dan mau kemana, sebenarnya bisa saja dipukul tanpa perlawanan. Tapi perempuan itu menjadi terdiam membeku dan ketakutan.

Suamiku asyik saja melihat ke jalanan. Duduk di ujung dekat pintu angkot. Sehingga posisi duduknya menghadap ke samping bukan ke depan. Aku yang duduk menghadap ke depan dan menyaksikan pemandangan si kakek tua dan perempuan itu. Aku berbisik ke telinga suamiku. Suamiku segera menoleh dan mengubah posisi duduk menghadap kepada penumpang lainnya. Barisan si kakek tua dan perempuan berseragam pegawai toko yang sedang ketakutan itu. Aku berbisik di telinga suamiku dan menceritakan detail peristiwa yang sedang terjadi. Si perempuan itu tiba-tiba berteriak histeris kepada sopir angkot: ”Stop!!! Stop!!! Kiri!!!” Kemudian segera turun bergegas-gegas dan hampir terjungkal jatuh karena memakai selop berhak tinggi. Apalagi rok mininya agak ketat sehingga menghambat langkah lebarnya. Si sopir terkejut dan memandang si penumpang perempuan yang turun dengan wajah terheran-heran. Tapi perempuan itu segera pergi setelah membayar. Sambil bergidik.

Tinggalah aku dan suamiku berhadapan muka dengan si kakek. Kami menatap wajahnya. Aku memiringkan kepala sedikit sambil menatap. Si kakek menatap juga dan tersenyum dengan ramah. Sama sekali tidak seperti sedang terjadi sesuatu. Aku tidak tersenyum balik, tapi mengencangkan mimik wajahku. Aku tahu suamiku akan menanganinya dengan baik.
Suamiku menepuk paha si kakek. ”Aki, turun dimana?” tanya suamiku. Si kakek menunjuk-nunjuk tetapi tidak mengatakan apa-apa. ”Itu kantor polisi dekat sini. Kalau aki berkelakuan seperti tadi lagi, akan saya bawa aki ke kantor polisi.....” Si kakek tua mengkeret sambil memandang suamiku. Dia memegang tongkat rotannya erat-erat. ”Paham????” tanya suamiku. Wajahnya mendekat ke wajah si kakek. Si kakek mengangguk-anggukan wajahnya.

Si kakek menggeser duduknya mendekat ke hadapanku. Kemudian memajukan badannya dan meletakkan tangannya di atas pahaku. Aku meninju tangannya supaya lepas. Kakek gila yang menakutkan. Suamiku memajukan badannya ke depan menghalangi antara aku dan si kakek. ”Mau kuseret ke kantor polisi sekarang, Aki?” tanyanya. Suara suamiku menyeramkan. Aku melotot dan tubuhku mengejang karena kaget luar biasa. Tidak ada kata-kata yang bisa terucap dari mulutku saat itu.

Kakek itu kemudian berteriak kepada sopir untuk berhenti. Kami berdua menyisi supaya dia lewat, suamiku memasang badan di depanku dengan sikap siap meninju kakek tua kurang ajar itu. Terseok di kakek mencoba berjalan dan turun dari angkot. Mau rasanya kutendang dia supaya terjerambab saat melangkahkan kaki dengan gemetaran ke atas tanah. Dibantu dengan tongkat rotannya si kakek bersusah payah menjejakkan kakinya di tanah. Sopir berpaling ke belakang untuk memperhatikan si kakek selesai turun.

Ketika si kakek tua berjalan seluruh tubuhnya bergetar. Gemetar menahan berat tubuhnya sendiri yang sudah renta. Aku mendengar si sopir berkata keras kepada dirinya sendiri: ”Eta aki-aki kolot kitu, rek kamana nya bet sorangan....” (Kakek tua renta begitu mau kemana kok sendirian).

Aku dan suamiku melihat dari jendela angkot. Amit-amit. Aku mengusap dada. Masih takjub dengan pengalaman barusan. Aki-aki tujuh mulud (kakek tua bangka yang genit, cinihin, kurang ajar).

Kakek tua itu berjalan ke arah Jalan Kepatihan. Terseok-seok. Dengan tubuh bergetar sekuat tenaga, menahan setiap langkah kakinya.

Lebaran. Oktober 20008.

KU SULIT MENCINTAIMU, AYAH...

Kedua anak lelakiku memiliki ayah yang sempurna. Seorang ayah yang pemurah dengan pelukan, ciuman, dongeng sebelum tidur, obrolan antar ’kawan’, lawan yang pengalah dalam permainan berkelahi ala Naruto, dan juga hadiah ulang tahun yang penuh kejutan. Aku tidak punya ayah seperti ayah kalian, kataku kepada kedua anak lelakiku. Banyak anak yang tidak punya ayah seperti ayah kalian.

”Apakah kakek galak?” tanya anak sulungku –Benny– yang berumur 12 tahun. ”Tidak. Kakek tidak galak,” jawabku. ”Hanya kakek tidak pernah memeluk dan mencium anak-anaknya....” Anakku memandangku, mengerutkan keningnya. ”Pentingkah ciuman dari seorang ayah kepada anaknya?” Aku memandang anakku dan manggut-manggut. ”Ya. Bagi seorang anak yang belum pernah mendapat ciuman ayahnya, ya....”

Arman, anakku yang berumur 7 tahun dan sejak berumur 2 tahun telah mulai akrab berteman dengan PC, buku cerita dan film, memperhatikan percakapan ini dan berkomentar: ”Willy Wonka juga tidak suka ayahnya”. Willy Wonka adalah pencinta permen. Tetapi ayahnya yang dokter gigi melarang Willy makan permen. Willy memutuskan untuk meninggalkan rumah karena baginya sebuah keluarga itu membosankan (dengan larangan-larangannya). Kemudian Willy membangun pabrik coklat terlezat di dunia.

Benny menimpali: ”Peter Pan dan anak-anak di Negeri Wonderland juga tidak mau punya orang tua...”. ”Bahkan mereka tidak mau menjadi dewasa karena orang dewasa itu menyebalkan....”

Arman menambahkan: ”Tapi sedih kalau kita seperti Harry Potter yang sejak bayi sudah kehilangan ayah dan ibunya. Dan tinggal dengan paman, bibi dan sepupunya yang jahat.”

Aku mengatakan pada kedua anakku, banyak anak-anak yang tidak membenci ayahnya tetapi juga tidak (terlalu) mencintainya. Berbeda dengan ibu. Anak-anak biasanya lebih dekat dengan ibunya. Lebih menyayangi ibunya.

”Apakah temanmu Donny memiliki ayah yang mengajaknya bermain dan bercerita?” tanyaku kepada Arman.

”Aku rasa tidak. Kalau ke rumahnya, aku tidak pernah melihat Donny dan ayahnya berbicara akrab atau berkelakar. Aku rasa ayahnya seorang yang sangat seriussss....” Arman memonyongkan mulutnya.

Willy Wonka tidak membenci ayahnya, tapi juga tidak menyukainya. Peter Pan tidak membenci ayahnya, tapi merindukan kebersamaan dengan ayahnya. Para ayah yang terlalu serius berperan sebagai pencari nafkah keluarga, memisahkan diri dari peran sebagai sahabat anaknya. Ayah yang tidak bisa bertukar cerita dengan anaknya. Ayah di dalam konsep ayah yang tidak menarik bagi anak-anaknya. Ayah di dunia ayah yang berjarak dan bersikap dingin terhadap anak-anaknya. Padahal anak-anak rindu mencintai ayahnya.
***

Ayahku seorang pria yang diam. Memisahkan diri dari anak-anaknya. Sepertinya ada ruangan ayah di rumah. Sudut ayah di meja makan. Kursi ayah. Mug keramik bertutup ayah. Masakan dalam mangkuk-mangkuk terpisah untuk ayah. Koran bacaan ayah. Dunia ayah di kantor sana. Teman-teman ayah. Tamu ayah. Tapi tidak ada sebuah keluarga dengan ayah dan anak-anaknya bercengkerama bersama. Waktu itu aku mengira setiap ayah seharusnya memang demikian.
Ayah tidak diam di kantornya. Ayah seorang pemimpin yang handal. Ayah seorang teman yang hangat. Ayah bisa bercerita banyak bersama tamunya. Tapi tidak ada cerita ayah untuk anak-anaknya. Tidak ada perbincangan orang tua dan anak yang mengasyikkan.

Ayah berbicara sedikit sekali kepada kami. Ayah menyampaikan pujian tentang rapot anak-anaknya melalui ibu. Ayah menegur perbuatan kami yang nakal atau menurutnya tidak boleh, melalui ibu. Suatu ketika ibuku memanggilku dan menyampaikan ucapan ayah: ”Jangan memandang wajahku. Jangan menentang orang tua....” Sebuah teguran atas kesalahanku –yaitu melanggar kesopanan menurut ayah– yang terjadi ketika ayah melalui ibu tidak mengijinkanku kedatangan seorang teman laki-laki apel malam minggu. Aku pergi menghadap ayah dan melontarkan pertanyaan: ”Kenapa aku tidak boleh?”

Aku pastinya menatap wajah ayah saat itu. Memperoleh jawaban singkat darinya: ”Kamu harus lulus SMU dulu....” Aku tidak paham karena kakak-kakak perempuanku sejak SMU sudah punya pacar. Aku juga tidak paham ketika ibu menyampaikan teguran ayah tentang ’memandang wajahnya’. Aku marah dan menendang sesuatu yang berdentang keras menabrak dinding dapur.
Ibuku terperanjat dan segera memarahiku: ”Shhh. Shhh. Jangan sampai ketahuan ayahmu kamu bersikap begitu....”. Aku berbicara dengan suara keras menjawab ibu: ”Kenapa ayah tidak mengatakannya langsung kepada saya? Kenapa tidak menegur saya saat itu.... Memandang muka, apa?” Ibu mencengkeram lenganku. ”Shhh. Shhhh. Jangan kamu berbicara begitu. Bagaimana kalau kedengaran ayahmu.... Sudah. Sudah. Diam. Diam.....”

Aku melangkah pergi dengan marah. Ayah yang aneh. Ibu yang tidak bisa kupahami. Bagaimana mereka menjadi seorang ayah dan seorang ibu bagi anak-anaknya. Aku memerlukan seorang ayah dan ibu yang bisa kuajak bicara. Aku membutuhkan keluarga yang bisa membahas sesuatu dari pendapat semua orang. Sebuah pembicaraan yang mendidik. Bukan ketentuan, larangan, pujian, kecaman, yang secara sepihak diberikan pemilik otoritas tertinggi dalam keluarga: ayah. Aku ingin mengerti kenapanya.
***

Memiliki seorang ayah yang bersahabat, hanyalah impian masa kanak-kanak dan remajaku. Setelah aku mulai dewasa, impianku terfokus pada diriku sendiri: aku mau menjadi seorang yang berdiri di atas kakiku sendiri. Sebuah impian biasa, tetapi sebagai seorang perempuan menjadi impian yang sering diganggu oleh pasang surut persoalan yang dihadapi karena berjenis kelamin perempuan. Mengapa tidak menikah dengan pria yang memiliki pendidikan baik, bakat, dan pekerjaan yang punya prospek? Kenapa harus bekerja keras di sektor publik, bila sebagai perempuan harus mengurus begitu banyak di sektor domestik sebagai ibu rumah tangga dan istri? Tentang berapa banyak beban kerja seorang perempuan karier dan (yang) menikah, aku lebih banyak mendengar hal ini sebagai persoalan yang menjengkelkan, dari teman-teman dan sahabatku.

Aku belum memiliki patron sebuah pasangan suami-istri dan orang tua bagi anak-anaknya, yang menurutku ideal dalam konsep mau pun prakteknya. Pada usiaku menjelang 30 tahun, aku belum menemukan sebuah contoh. Aku juga belum menemukan konsepku sendiri. Aku meragukan pernikahan sama besarnya dengan aku meragukan kesanggupanku untuk tidak menikah. Apa masa depan yang akan kujalani bila menikah dan bila tidak menikah, aku tidak bisa membayangkannya. Bila aku tidak menikah, mungkin 30 tahun ke depan aku menyesalinya. Atau bila aku menikah dan punya anak, mungkin aku bercerai dan menyesali rasa sakitnya. Menyesali apa yang dialami anak akibat perceraian orang tuanya. Pada usia 30 tahun, aku tidak pasti dengan apa yang kumau.

Sehingga akhirnya aku memutuskan untuk menikah dengan Faisal pada usia 31 tahun. Seorang pria yang berhati baik, santun, dapat diajak diskusi, memiliki pendidikan yang baik dan pekerjaan. Juga setuju aku tetap bekerja kantoran setelah kami menikah. Aku tidak pasti apakah aku akan bertahan 1 tahun atau lebih pendek dalam pernikahan. Ataukah aku akan merayakan ulang tahun perak dan emas pernikahanku nanti. Pada usia 31 tahun, saat pernikahanku, aku tidak tahu masa depanku seperti apa. Aku meragukan pernikahan sama besar seperti aku meragukan kehidupan melajang sebagai perlawanan perempuan terhadap beban ganda dan hambatan-hambatan karier yang dialaminya karena peran-peran perempuan dan prasangka-prasangka nilai tentang perempuan dan keperempuanan. Aku anggota kelompok teman perempuan feminis yang selalu mengejek-ejek setiap seorang anggota kelompok menikah. Dan bersorak ”huray kemerdekaan” setiap seorang anggota kelompok bercerai.

Bagaimana bisa sih, punya suami yang tidak bisa kita ajak omong porno sebagai pemanasan sebelum begituan, kata sahabatku yang paling sarkastis. Pasti bosan banget. Melakukan hubungan sex seperti ritual mingguan atau bulanan. Jangankan diajak ngomong porno, diajak ngomong (tanpa porno) saja susah. Komunikasi satu arah sebagai perintah, petunjuk, dan keputusan yang merupakan peran atau hak mutlak seorang suami atau ayah, pemimpin atau kepala keluarga. Huahahahaha. Begitulah salah satu contoh ejekan teman-temanku "para perempuan ekstrimis" tentang pernikahan.
***

Ayahku adalah ”pria yang kasihan deh” menurut konsepsi sahabat-sahabatku. Pria yang mengira sedang menjalankan peran suami yang ideal, ayah yang baik, padahal ”menindas” dan ”membelenggu”. Atau lebih lunak lagi ”membosankan” dan ”enggak banget deh”. Cara menyisir rambutnya termasuk yang ”enggak banget deh”. Kurang humor, kaku dan formalistik, dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Saat mencoba ramah pun, seseorang akan berjarak dengannya. Ayah memiliki sejumlah sahabat karib dari masa mudanya yang masih saling mengunjungi. Membawa istri dan anak-anaknya untuk berkunjung singkat dan saling bertukar kabar. Ayah memiliki cara sendiri untuk disayangi orang yang mengenalnya, terutama para sahabatnya. Tapi mereka bisa begitu karena bukan anaknya. Seorang anak, butuh lebih.

Ayahku adalah pria yang baik di mata teman, tetangga, dan keluarga. Suami yang baik dan ayah yang bertanggung jawab, di mata istri dan anak-anak. Pria, suami, dan ayah yang ”enggak banget deh” di mata perempuan masa kini yang ingin lebih. Aku selalu ingin lebih, sejak aku kecil. Ayahku bukan idealku. Aku merasa jarak antara aku (dan anak-anak lainnya) dengan ayah terlalu jauh. Aku merasa tidak mengenal ayahku. Aku tidak pernah bertukar pikiran dengannya. Aku memandangnya diam-diam. Menerka apakah yang sedang dipikirkan ayahku dalam kesendiriannya di kursinya. Duduk bekerja. Duduk membaca koran sambil minum kopi. Duduk mendengarkan radio.

Ibuku terlalu sibuk untuk mengeluhkan sesuatu. Sejak dini hari sampai malam hari menjelang tidur. Kerja domestik yang tidak henti-hentinya. Di dapur. Di kamar mandi. Di meja makan. Di setiap ruangan. Di pagar rumah saat berbelanja di tukang sayur. Entah berapa kilometer ditempuhnya dalam sehari: berjalan di dalam rumah. Dari ruangan ke ruangan. Ibuku adalah ”perempuan yang kasihan deh” menurut konsepsi sahabat-sahabatku. Perempuan yang tidak membaca koran. Perempuan yang tidak berdiskusi. Perempuan yang menerima perintah-perintah dari suaminya. Perempuan yang selalu menghadapi persoalan finansial dapur keluarga dan dengan tekun menanganinya. Menghitung rupiah demi rupiah penghasilan suami dan menambah kekurangannya dengan membuat kue basah untuk dijual di warung-warung dan toko-toko kecil.

Ayah dan ibuku adalah misteri. Aku tidak mengerti, apakah ayahku bahagia karena memiliki istri sebaik ibuku. Ibuku bahagia memiliki suami sebaik ayahku. Ataukah mereka bahagia karena hidup tanpa pertentangan dan tuntutan. Ataukah mereka hidup dalam kebosanan dan kehilangan rasa.

Aku tidak bisa mengajak ayahku bicara. Aku tidak mau. Aku takut ditolak. Aku takut tidak ditanggapi. Aku mungkin seharusnya bisa memulai percakapan dengan ayahku. Aku pikir sia-sia. Aku pikir mungkin bisa membuat ayahku mulai suka berbicara denganku. Pikiran-pikiran yang bertentangan ini berkecamuk sejak saat aku berumur 15 tahun. Setelah aku berumur 22 tahun, aku sudah memiliki kelompok temanku yang asyik. Aku punya organisasi sosial yang membuka pikiranku lebih luas. Aku memiliki pekerjaan yang membuatku harus bekerja keras untuk menampilkan kinerja dan performaku. Aku punya pacar yang bisa kuajak berkelahi konsep dan tetap bertahan jadi pacarku. Maka hilanglah ayahku dari daftarku.
***

Aku tidak membenci ayahku. Apakah aku mencintai ayahku? Aku menghormatinya sebagai seseorang yang menjadi ayahku dan menafkahi dan membiayai sekolah dan pendidikanku. Tetapi cinta? Cinta membutuhkan perasaan yang bergetar, menghangati hati kita dengan pengertian dan kehangatan perasaan, kedekatan yang mesra, dan tatapan mata. Sedikit sentuhan. Kalau pelukan dan ciuman bukan tradisi kita. Ucapan-ucapan dan pembicaraan ayah dan anak. Kalau ucapan cinta bukan kebiasaan kita. Cinta semacam itu aku tidak punya kepada ayahku.

Ayah adalah sosok yang (nyaris) tidak kukenal. Pikiran dan perasaannya. Pendapatnya. Semua hampir tak dapat kurekam dalam memoriku. Ayah ada dalam hidupku sejak aku anak-anak sampai dewasa. Tetapi kami tidak banyak bicara. Kami tidak bertukar pikiran. Kami tidak bertukar cerita dan tertawa terbahak-bahak bersama karena suatu kejadian aneh atau lucu.

Lebaran tahun 2008. Aku berdiri terpekur di atas nisan ayahku. Di sampingku adalah suami dan anak-anakku. Kami telah selesai berdoa. Suamiku merangkul bahuku dan menepuk-nepuknya lembut, seraya menatap wajahku. Mataku berlinangan air mata. ”Merindukan orang yang dicintai memang terkadang sedih....” kata suamiku. Aku tidak mengatakan apa-apa. Terasa sakit di dadaku mendengar kata ”cinta” yang disebutkan suamiku.

Aku terkadang sangat sedih karena aku selalu ingin lebih dari ayahku. Aku terkadang sangat sedih karena tidak bisa mencintai ayahku. Aku tidak merasa kehilangan ketika suatu hari saat sedang bekerja di kantor, mendapat telepon yang menyampaikan berita bahwa ayahku sedang menghadapi kematian. Ketika aku menghadiri ke pemakamannya, aku tidak menangis seperti saudara-saudaraku yang lain. Sejak aku bekerja dan tinggal di kota lain, ayahku (nyaris) tidak pernah ada dalam memoriku. Ibuku masih bisa menimbulkan kerinduan untuk datang menjenguk. Tapi ayahku seolah-olah sama sekali tidak punya kenangan untuk dirindui.

Kali ini, air mataku menitik karena aku sudah berumur 43 tahun dan mengerti bahwa ayahku tidaklah ideal, namun ayah yang baik. Bahwa karena itulah aku bisa mencintai ayahku apa adanya. Sekarang. Pada saat usiaku lebih 40 tahun. Aku mengenang ayahku sebagai pria yang demikian adanya. Itulah yang kurindui dan membuatku berlinang air mata. ”Maafkan aku, Ayah.... Aku sulit mencintaimu...” Air mataku jatuh ke atas rumput.

Anak-anak berjalan bergandengan dengan ayahnya. Suamiku memeluk bahuku. Kami berjalan bersama meninggalkan makam ayahku yang baru kami ziarahi. ”Aku cinta padamu, Ibu....” begitu ucapan si kecil padaku saat aku memeluknya menjelang tidur. Ucapan cinta yang beribu-ribu kali kubisikkan di telinganya untuk membalas masa kecilku yang tidak pernah mendapatkannya. Anak-anakku terbiasa mendapat ucapan cinta dariku. Mereka juga terbiasa mengucapkan cinta pada ayah dan ibunya.

Ayahkulah yang telah membuat aku bisa memberi kata cinta kepada anak-anakku. Menjadikannya suatu kebutuhan dalam hubungan kami. Suami dan anak-anakku. Aku cinta padamu…, suamiku berbisik di telingaku. Ucapan cinta yang menjadi biasa. Tidak membutuhkan kejadian luar biasa untuk memberikannya. Hangat dan dibutuhkan untuk diucapkan lagi dan lagi.

***

Jumat, 02 Januari 2009

Istri Pemarah

Suami-istri orang Batak itu selalu terlihat sedang bersitegang ketika sedang berjalan beriringan dengan anak-anaknya saat hendak pergi, atau pun saat sedang melakukan sesuatu di halaman rumahnya. Selain itu suara sang istri cukup keras bila terjadi pertengkaran di dalam rumah.

Apakah karena istrinya memang galak atau lelaki Batak itu bodoh setengah mati sehingga istrinya kesal terus. Atau orang Batak itu pernah selingkuh sehingga istrinya sakit hati terus. Mungkin orang Batak itu cinta sekali sama istrinya meskipun dibentak-bentak. Mungkin dia dendam dan merencanakan meninggalkan istrinya. Begini komentar pembantuku yang punya pengamatan cukup cermat: “Aku tadi lihat orang Batak itu dibentak-bentak istrinya… Orang Batak tapi kok kalah sama istri…” Pasti pembantuku sebenarnya tidak tahu kenapa orang Batak itu dibentak-bentak istrinya. Meskipun dia punya informan, yaitu pembantu keluarga Batak itu yang seringkali menceritakan bagaimana sifat majikannya: yang perempuan galak, sedangkan suaminya diam dan masa bodoh saja dengan ucapan istrinya.

Sebenarnya kita tidak tahu. Tapi orang seringkali menilai sesuatu yang tidak diketahuinya. “Suami Batak itu kelihatannya bodoh…” kata pembantuku Si Mar yang ahli mengenai konflik antara suami-istri. Anakku Teddy yang berumus 17 tahun, menanggapi ucapan Si Mar: “Lelaki kok kalah sama istri…Kalau aku, mana mau dibentak perempuan…” Si Mar yang galak pada suaminya, mendelik pada Teddy yang diasuhnya sejak masih belum bisa cebok sendiri.

Apa betul suami sering dibentak istri karena bodoh. Atau sebenarnya suami yang malu hati karena memberi istrinya terlalu sedikit uang sehingga diam saja bila diomeli. Dan lama kelamaan dibentak-bentak. Gaji kecil yang tak cukup untuk membiayai makan sehari-hari seluruh keluarga, terutama anak-anak yang sekolah. Sehingga istri bekerja mencari uang tambahan. Capek mengais-ais uang. Capek mengurus rumah tangga. Capek dan kurang istirahat. Capek melihat suami orang lain “kelihatan” lebih baik. MARAH. Suami menjadi sumber kemarahan.

Si Mar bercerita tentang Yuk Minem, salah seorang temannya yang pernah ditinggalkan suaminya. Suaminya selalu dimarah-marahi kalau bekerja ‘membantu’ istri berjualan sayuran di pasar. Kesiangan berjualan, suaminya yang salah akrena kerjanya lamban. Suami salah menata barang jualan. Sayuran yang membusuk karena tidak laku dijual dua hari yang lalu, juga jadi kesalahan suami. Semua hal yang salah terjadi karena suami. Suatu hari, suaminya mengirim pesan kepada Yuk Minem lewat seorang saudara, bahwa dia tidak akan pulang kalau masih dimarah-marahi istrinya. Yuk Minem kelimpungan dan menangis karena tidak mau ditinggal. Melalui saudaranya itu, kemudian menyampaikan janji tidak akan lagi seperti itu. Suaminya lalu kembali. Dan mereka kembali berjualan berdua di pasar. Suami Yuk Minem yang belanja jam 05.00. pagi ke pasar induk Ciroyom. Lalu berdua menata barang di pasar eceran tempat mereka berjualan mulai jam 06.30. Kemudian Yuk Minem berjualan, sementara suaminya mengurus rumah seperti memasak dan mencuci. Jam 12.00. siang, saat pasar sudah tutup, suami Yuk Minem datang lagi untuk membantu membereskan sisa jualan.

Si Mar selalu setuju bila seorang istri galak terhadap suaminya. Si Yuk Minem jelas marah-marah sama suaminya yang harus disuruh-suruh itu. Kalau tidak begitu, si suami tidak tahu bagaimana melakukan tugasnya. Si orang Batak kelihatannya bodoh, sehingga istrinya yang bekerja di perusahaan swasta masih harus turun tangan mengurus usaha angkot mereka. Terutama kalau menghadapi kelakuan sopir yang banyak alasan soal setoran. Si suami ”cuma” bertugas mengurus anak saat istri di kantor. Di rumah sehari-hari karena usaha angkotnya memang di rumah.

Lalu ada sepasang suami-istri orang China berusia lebih dari setengah abad yang istrinya cerewet bukan main, sedangkan suaminya pendiam tapi suka menggerutu. Wajah suaminya itu seperti anak yang terlalu sering dimarahi ibunya: merengut dan jarang tersenyum. Si Mar bilang, setiap hari si suami selalu diomeli istrinya, baik saat sedang berjalan di gang, sedang membeli sesuatu di mini market, atau pun sedang duduk-duduk di teras rumahnya. ”Suami yang gak bisa apa-apa ya begitu....” kata si Mar. Aneh juga pembantuku. Dia selalu tahu kesalahan para suami yang tidak berdaya di hadapan kemarahan istri-istrinya itu.

Aku tahu si Mar juga suka ngompori istriku. Menurutnya ”Ibu” sangat capek karena selain menjadi ibu rumah tangga, juga bekerja kantoran dari pagi sampai sore –kadang sampai malam. “Ibu harus dipijiti, Pak”. Katanya padaku sebagai cara mengungkapkan keberpihakannya yang provokatif. Jadi, bukan istriku yang harus memijiti suami seperti pada umumnya, tapi aku –seorang suami yang kurang sibuk- yang harus memijiti istriku. Aku setuju-setuju saja dengan pendapat si Mar meskipun dia agak kurang ajar. Jadi aku memerintahkan si Mar untuk membuat teh manis hangat untuk istriku yang baru pulang kerja. Si Mar tertawa-tawa ketika melihatku memijit punggung istri seperti yang dikatakannya.

Bagaimana si Mar kepada suaminya? Wah, jangan ditanya. Susah membayangkan bagaimana istri yang satu ini mengumpat suaminya. Sumpah serapah yang tak terbayangkan diucapkan seorang istri pada suaminya. Menempelak suami dengan tangannya secara kasar. Membanting barang sambil berteriak. Begitu kata seorang tetangga si Mar yang merasa kasihan terhadap suaminya sehingga mengadu padaku. Tetangga itu meminta agar si Mar diberi nasihat untuk mengubah sikap buruknya.

Tapi si Mar mana bisa diberi tahu. Sekarang ini dia malah bertambah ‘wawasan’ dengan adanya sinetron TV berjudul “Suami-suami Takut Istri” yang menampilkan para suami hidung belang bila di luar rumah tetapi takut pada istrinya bila di rumah. Istri-istrinya menjadi galak karena suami yang bloon, malas, dan hidung belang. Si Mar sangat galak pada suaminya karena memenuhi sifat para suami itu selengkapnya. “Kalau kamu ditinggalkan kayak si Minem, gimana?” tanyaku. “Syukurin....” jawab si Mar dengan ketus. Pembantuku yang satunya, Isah, mencibirkan bibirnya mendengar ucapan rekannya itu. “Jangan takabur lho, Mar....” katanya. Si Mar mendelik.

Betul saja. Suatu ketika suami si Mar berkemas-kemas membawa pakaiannya dan pergi. Kemudian mengirim SMS kepada si Mar untuk mengatakan bahwa jangan lagi mengharapkan kepulangannya. Setelah SMS itu handphonenya tidak aktif lagi meski dihubungi berkali-kali oleh si Mar. Suaminya telah menjual TV 14 inch mereka sebelum pergi. Barangkali untuk uang sangu. TV itu satu-satunya barang berharga yang dimiliki si Mar. Teman pelepas lelah di kamar kostnya sepulang kerja. Suaminya juga meninggalkan banyak hutang di warung dan para tetangganya.

Si Mar menangis histeris. Maratapi nasibnya di tengah Kota Bandung yang tak ramah pada seorang pengembara seperti dirinya. Lima belas tahun setelah hijrah dari sebuah desa yang selalu kekeringan di Jawa Tengah. Seperti inilah jadinya. “Dasar lelaki Sunda....” umpatnya. Isah, yang orang Sunda, tertawa terkikik. “Makanya lelaki Sunda suka dilarang orang tua menikah sama perempuan Jawa....” katanya. “Memangnya kenapa?!!” bentak si Mar. “Karena perempuan Jawa galak-galak....” kata Isah. “Perempuan itu jadi galak kalo lakinya gak bener....Mau Jawa kek, mau Sunda kek, Padang, Batak, Cina.....” kata si Mar. ”Bodoh kamu....”

“Katanya tadi lelaki Sunda gak bener....” Isah mencoba bertahan. ”Kalo lelaki Sunda emang begitu.... Banyak yang gak setia, tukang selingkuh....” si Mar meninggikan suaranya untuk menghentikan perlawanan Isah. Isah pun diam seribu bahasa. Si Mar melampiaskan amarahnya. ”Suamimu itu juga kalau tidak diawasi bisa macem-macem. Cunihin gitu.... Kamu kok bisa-bisanya diam saja....” Habis sudah perlawanan Isah. Segera dia meninggalkan si Mar untuk menghindari ucapannya yang menusuk karena kebenarannya sulit diingkari. Suami yang cunihin (genit) kalau ada perempuan herang (cantik) sementara istri mencari nafkah sebagai pembantu rumah tangga. Isah mengaku bekerja di rumah makan kepada tetangga. Pergi pagi, pulang sore. Berjalan kaki sekitar 15 menit untuk sampai ke tempat kerja. Dalam latar belakang keluarganya yang asli urang Bandung, baru dirinya lah yang menjadi pembantu rumah tangga. Yang dijalaninya sejak suaminya kena PHK dari pabrik.

Isah sering mengadukan si Mar kepada istriku karena ucapannya yang menyakitkan. Juga karena galaknya. Istriku yang selalu sibuk dan tidak sabar dengan hal-hal tetek bengek di seputar domestik, mengopernya kepadaku. Kalau kuberi nasihat, si Mar malah mengomeli Isah: “Emang betul kok suamimu suka cunihin..... Sadar dong supaya gak ditipu terus....” gerutunya. Sekarang sudah 2 tahun si Mar ditinggalkan suaminya. Sudah punya pacar lagi, seorang duda (katanya), pedagang barang-barang dan wadah plastik di pasar. Istriku memintaku untuk memberi petuah-petuah kepada si Mar, soal pacaran. Klise saja. Hati-hati, banyak lelaki bajingan yang mengaku tidak punya istri. Jangan kebablasan kalau pacaran, perempuan yang rugi.

Padahal, kepinginnya aku memberi petuah-petuah kepada si duda. Hati-hati, ada perempuan galak yang nampak manis saat pacaran tetapi galaknya bukan main setelah dinikah. Jangan meniduri perempuan yang akan menuntut dinikahi sebagai balasannya dan kalau tidak dipenuhi, badai dan topan kemarahannya akan meluluhlantakkan dunia. Cerdik dan cermat dalam mengatur langkah sehingga jangan pernah coba-coba untuk kabur seribu langkah. Memaksa untuk dibawa ke kampung halaman dan dikenalkan dengan keluarga sebelum memasrahkan diri. Identitas diri dan alamat-alamat kerabat penting juga sudah dicatatnya.

Si Mar nampak berseri-seri dengan pacar barunya yang nampak serius akan menikahinya dalam waktu dekat. Calon suami ke-6. Setiap hari si Mar tidak pernah absen menyapa sang pacar melalui SMS. Hape-nya baru dibelikan sang pacar dan selalu ada di sakunya bahkan saat sedang mencuci baju di kamar mandi atau memasak di dapur.