Jumat, 12 Februari 2010

Cintaku Menyeberangi Lautan Maluku











Cintaku jauh di seberang lautan.... melompati pulau-pulau..... melewati batas waktu......


Aku merindukanmu, dan ku tahu kau menungguku.... Aku ingin bersamamu, namun aku harus pergi untuk mencari pengetahuan tentang kehidupan. Aku berjanji, aku tidak akan meninggalkanmu selamanya......












Kirim seribu SMS padaku setiap hari, dari ladang atau tepian sungai.....

Sementara ku sedang terjebak macet di Jalan Sudirman atau terhimpit bis kota Jakarta, mencari kerja....

Kau tak tahu betapa ku mendamba indahnya kampung halaman kita, saat ku terpuruk di kamar sempit di kota metropolitan. Cinta tak punya ruang untuk kubawa ke sini....

Tanah pun tak cukup untuk pohon dan rumput. Sayangku, janganlah mencariku di sini.... karena aku akan pulang untukmu.....












di Dermaga Waipirit, tunggulah aku kan datang untukmu....

(Bandung-Jakarta-Ambon-Seram Bagian Barat. Des-2009).


Tersesat di Kalimantan

Suatu hari kampung itu diserbu. Karena mereka adalah kafir, liar, berdosa, dan harus disadarkan. Karena mereka primitif, tidak bisa dengan diajak bicara, terpaksa dengan cara keras. Mereka harus diislamkan. Kalau tidak mereka akan meneruskan upacara-upacara orang kafir. Menjadi kewajiban kita untuk menolong mereka dan anak keturunannya.

Mereka kemudian menghilang di balik gunung. Menjauh dari peradaban. Sekolah. Puskesmas. Dokter. Pasar. Dilupakan keberadaannya.

Sebuah gerbang yang tak terlihat. Pintu masuk yang jarang dimasuki orang luar kecuali yang tersesat. Jalan menuju ke sana tak nampak. Sungai yang primitif dinaungi goa yang panjang terbentuk dari tajuk-tajuk pohon dan akar-akarnya yang terjalin. Sebuah maha karya alam yang tak mungkin ditandingi manusia.

Semak belukar dan bunga-bunganya yang eksotik. Pohon-pohon rindang dan akar-akarnya yang gemulai dan kuat. Tebing-tebing dan batu hitam. Air jernih mengalir di sepanjang jalan setapak.

Kabut tebal turun dari gunung seperti mengulurkan tangan ke arah perkampungan yang asri. Apabila hujan sangat besar turun, sebuah danau raksasa terbentuk di kaki gunung itu dan meneggelamkan pepohonan di bawahnya.

Kabut membuat orang-orang kampung takut ladang padi dan jagungnya rebah karena kehilangan daya. Banjir menghantui. Gagal panen yang mengancam. Alam yang tak ramah. Angin yang jahat. Hujan badai yang tak kenal ampun.

Penduduk kampung itu punya cerita tentang orang-orang kafir di masa dulu. Orang-orang yang tak mengenal agama. Mereka tak pernah terlihat lagi. Mungkin sudah punah. Sebagian sudah membaur dengan warga kampung dan entitas asal mereka tak lagi ada.

***

Wajah-wajah yang ramah dan manis. Aku berada di tengah lingkaran manusia yang sedang duduk bercengkerama sambil menikmati kopi dan umbi-umbian yang baru direbus. Udara dingin tidaklah menghalangi kehangatan suasana.

Seseorang yang Berbahasa Indonesia, menerjemahkan ceritaku. Anak-anak memandang dengan wajah penuh perhatian. Seolah-olah melihat hal ajaib. Matanya terbelalak. Apalagi ketika kutunjukkan gambar-gambar dunia luar sana dari kamera dijitalku.

Perasaan ajaib yang sama kurasakan terhadap mereka. Masyarakat yang tidak mengenal listrik, TV, sekolah, dan dokter. Tidak mengenal kain buatan pabrik. Kain-kain tenun buatan para wanita itu sangat indah. Seperti lukisan dalam bentuk jalinan benang. Bebungaan, dedaunan, fauna, yang menonjol seperti ukiran di atas kain atau kulit hewan.

Pria-prianya berwajah tampan. Tubuhnya keras berotot. Atletis. Berkulit bening, mengkilap dan jernih. Kulitnya berhias indah dengan lukisan flora dan fauna. Bulu-bulu burung di atas topi anyaman dan tombak kayunya menjadikan kejantanan mereka indah dipandang. Mereka manusia-manusia penyuka keindahan yang tentunya berhati lembut.

Wanitanya cantik, berotot namun gemulai. Rambut hitam legam kontras dengan kulitnya yang bersih. Bayi-bayinya bulat dan bermata sipit. Tergantung di kantong anyaman yang membuatnya nyaman dalam kehangatan tubuh ibunya.

Bertelanjang kaki. Berdandan dengan perhiasan dari batu alam, kayu-kayuan, dan gigi hewan. Kecantikan yang membuatku terpana. Meskipun wajah mereka berbedak lumpur beras yang ditumbuk.

Anak-anaknya, lelaki dan perempuan memiliki kaki yang kokoh. Kecepatan berjalan di jalan-jalan setapak yang berbukit dan berlumpur saat hujan, sangat menakjubkan. Tertawa terkikik-kikik melihat aku bersusah payah berjalan dengan sepatu penuh tanah liat yang basah. Mereka meletakkan batu-batu berat agar aku bertumpu saat melangkah dan tidak tergelincir.

Sungguh berlimpah hidup mereka. Duku (langsat) yang sangat enak, manis-asam, setiap hari kunikmati. Lengkeng hutan yang bijinya besar, berkulit kasar dengan warna coklat kemerahan. Pisang yang tandannya luar biasa besar. Buah cempedak yang wangi dan buahnya kuning ranum diambil saat jatuh karena terlalu matang. Ikan segar yang diangkat dari sungai dan daging rusa segar. Umbi, beras ladang dan sayur yang lezat.

Hmmmmm. Aku tak mau melupakan rasa, wangi, warna, dan rupa yang tak akan lama menjadi milikku. Suara musik dan nyanyian terindah yang pernah singgah di gendang telingaku.

Aku menyesal tidak dilahirkan sebagai mereka. Kecantikan yang asli. Kebahagiaan yang murni. Alam mencintai mereka sepenuhnya dan melimpahi kehidupan mereka dengan semua yang dibutuhkan.

***

Akhirnya kami sampai di kampung setelah perjalanan yang sangat panjang. Melewati gunung, hutan, sungai, belukar, tebing.

Orang-orang kampung terkejut melihat wajah-wajah kami yang merah terbakar matahari. Baju yang berdebu. Baju yang dicuci, dijemur, dan dipakai tanpa tersentuh setrika. Ransel yang menjadi coklat oleh tanah.

Orang-orang kota yang aneh. Apa yang mereka cari di puncak gunung sana dan berminggu-minggu menghilang di balik hutan rimba. Mungkin itu yang ada di benak orang kampung. Cerita tentang orang-orang kafir yang tak mengenal agama di atas gunung itu, dan mungkin sudah punah, menjadi obrolan kami di malam hari.

Aku tidak berkata apa pun. Temanku tidak berkata apa-apa. Kami telah tersesat ke sebuah tempat yang sangat indah. Namun itu tak perlu diberitakan kepada orang-orang yang justru takut pada kemurniannya.

***

Sebuah Kenangan di Kota Dili

Beritakan pada orang-orang bahwa kami ingin kemerdekaan, katanya padaku. Aku baru saja menginjakan kaki di Kota Dili. Belum lagi mengenalnya kecuali bahwa dia dari sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Koran dan TV Indonesia itu bohong semua bila memberitakan bahwa kemerdekaan bukan kehendak rakyat Timor Timur tapi hanya keinginan segelintir pemberontak, lanjutnya. Aku memandang wajahnya yang “lokal”. Tipe tidak banyak bicara, tampan, dingin, dan teguh. Tatapan matanya sangat tajam dan dalam. Paulo da Silva namanya. Aku merasa bahwa dia orang baik. Aku merasa aman dengannya.

Aku tidak mengira begitu cepat bertemu seseorang yang berbicara hal seperti itu. Paulo menyampaikannya saat ia menyetir mobil yang menjemputku di Bandara Comoro dan meluncur menuju Hotel Tourismo. Bangunan hotel itu tua, peninggalan Portugis, menghadap langsung ke laut.

Jangan pergi kemana pun tanpa saya atau teman lain menyertai, katanya sambil menatapku dalam-dalam untuk meyakinkanku bahwa apa yang dikatakannya adalah serius. Pemberontak berbahaya untuk orang Jawa, dan mereka mungkin ada di jalan sana. Setiap kalimat yang keluar dari bibirnya begitu dingin, kata demi kata sepertinya penuh tekanan, sepertinya penting untuk kucamkan. Tetapi otakku mencernanya dengan susah payah. Tentara Indonesia juga berbahaya untuk orang luar, lanjutnya.

Setelah Paulo pergi, aku duduk di atas tempat tidurku.
Termangu-mangu sendirian.

Saat itu Tahun 1994.

***

Mereka bersahabat dan ramah. Kawan-kawan LSM yang berkumpul bersamaku. Aku tidak ditolak. Pelatihan berjalan menyenangkan dan penuh antusias. Saat istirahat minum kopi kami duduk berbincang dan mereka berkata kepadaku sama seperti apa yang disampaikan Paulo, bersahutan, saling menguatkan, menambahkan. Kalimat demi kalimat untuk meyakinkanku dan membuat aku –si Orang Jawa- mengerti.

Aku Orang Sunda. Kataku. Mereka tidak memperhatikan karena terlalu bersemangat memberiku pengetahuan ”untuk disampaikan kepada orang-orang yang ada di Jawa”. Karena yang disampaikan selama ini adalah berita palsu.

Selama 2 minggu aku di Dili, Paulo mengajak aku berkunjung ke beberapa kantor LSM. Sejumlah tokoh LSM di sana berwajah indo seperti Xanana Gusmao dan Jose Ramos Horta. Paulo da Silva –meskipun namanya menunjukkan dirinya berdarah campuran juga- memiliki wajah coklat tua orang Timor. Sangat ”lelaki” buatku.

***

Suatu sore, aku melangkahkan kaki ke luar kamar hotel. Menyeberangi jalan dan menginjakkan kaki dia atas pasir pantai di sepanjang jalan Kota Dili.

Aku sedang berjalan pelan ketika serombongan anak-anak melempariku dengan pasir. Pergi, Orang Jawa, anak-anak itu berteriak sambil melewatiku dan berlari menjauh. Dan kelompok orang-orang dewasa memandang tajam kepadaku dari kejauhan. Tersenyum mengejek dengan sorot mata membenci.

Aku menatap ke arah mereka dan berusaha tidak takut. Lalu aku melangkah pulang ke gerbang hotel dan masuk ke dalam.

Mataku berkaca-kaca. Oh, Indonesiaku.

***

Aku kembali ke Dili pada tahun 1995.

Kali ini aku mengalami perjalanan mencekam menuju ke sebuah desa pegunungan. Seperti kata Paulo, pemberontak berbahaya dan mereka bisa menghadang di jalan. Tentara pun berbahaya dan juga bisa menghadang di jalan. Begitulah perang.

Aku bertemu dengan tentara yang seluruh tubuhnya dipenuhi senjata seperti Rambo di base camp mereka. Mendengar suara berbahasa Sunda, aku pun buru-buru menyapa dan itu membuat mereka tercengang mendengarnya. Orang Sunda. Perempuan. Mereka memeriksa KTP kami. Sepertinya kesal padaku karena melakukan sesuatu yang tak seharusnya. Penelitian, kataku. Ketimbang menjelaskan berpanjang-panjang soal pekerjaan LSM developmentalis.

Gila, seorang perempuan dari Bandung ada di wilayah pemberontakan. Pasukan tentara itu rupanya berasal dari Gegerkalong Bandung. Berhati-hatilah, kata seorang tentara padaku. Tatapan wajahnya sepertinya menganggap aku bodoh atau konyol. Tak kenal bahaya.

Paulo selalu bersikap tenang. Wajahnya lembut dan penampilannya seperti orang pemerintah sehingga tentara tidak bersikap galak padanya.







Pada setiap kesempatan, dia menjadi pencerita untukku. Berawal pada peristiwa Balibo pada tahun 1975. Pembantaian Santa Cruz, Dili, 12 November 1991. Penangkapan Xanana Gusmao pada bulan November 1992 yang kemudian dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1993

Untaian ceritanya bagaikan suara-suara yang mendengung di telingaku. Benakku tak mudah menerimanya. Bukankah aku saudaramu, Paulo? Apakah aku jahat? Kalimat yang tak terucapkan dari bibirku. Karena tak ada gunanya.

***

Celakalah referendum pada tahun 1999.

Bangsa Indonesia harus menghadapi kenyataan pahit ketika pada September 1999 hasil referendum di Timor Timur diumumkan dengan hasil hampir 80% suara pro kemerdekaan. Wilayah ini terlepas dari Indonesia.

Aku membaca koran dan menemukan namanya, walau tak banyak diulas. Paulo da Silva, bukan tokoh sangat penting, tertembak mati pada suatu bentrokan bersenjata pasca referendum. Kutelepon beberapa teman dan yakinlah Paulo yang pernah bersamaku di Kota Dili itu, telah tiada.

Aku terkenang padanya. Terkenang saat kami berdiri di depan monumen kemerdekaan Timor Timur dari penjajahan Portugis. Suatu saat akan dibangun monumen kemerdekaan dari Indonesia, kata Paulo seraya menoleh kepadaku.

Aku menatap wajahnya. Mengapa engkau begitu benci, Paulo? Apakah aku tak baik? Pertanyaan yang tidak terucapkan dari bibirku. Karena aku tahu, hanya sia-sia.

Kenangan yang tak terlupakan di Kota Dili. Kenangan tentang seorang Paulo da Silva. Aku ingin dia cinta padaku. Tetapi cintanya untuk hal lain.

***