Kamis, 10 Juni 2010

Kejam

***

Orang miskin itu kejam. Kekejaman yang terjadi karena situasi yang mendorongnya. Begitulah kira-kira gambaran dari kisah hidup Mehong, seorang cleaning service di sebuah mall.

Ayah Mehong berdagang cilok di sebuah Sekolah Dasar, dengan menggunakan sepeda kumbang tua dan kotak cilok di belakangnya, diletakkan di atas boncengan. Sedangkan ibunya mengurus rumah, dan membuat bala-bala dan mie goreng untuk dimasukkan ke warung. Rumah sempit keluarga Pak Maman, pedagang cilok berusia lebih dari 60 tahun itu, menjadi sangat sesak karena kelima anaknya, baik yang sudah menikah maupun belum, masih tinggal bersamanya. Rumahnya terletak di dalam sebuah pemukiman padat dengan memasuki lorong-lorong sempit dan akhirnya menurun ke sebuah jalan masuk yang lebarnya cukup untuk seorang saja. Bila dua orang berjalan berbeda arah di situ, akan saling beradu sisi bahu.

Mehong adalah anak kedua dari lima bersaudara. Istrinya menjadi pembantu rumah tangga yang berangkat pagi dan pulang sore. Mereka mempunyai seorang anak perempuan berumur 5 tahun.

Kakak perempuannya berdagang nasi kuning setiap pagi dengan menggunakan meja dan baskom di ujung jalan, sedangkan suaminya kerja serabutan seperti menjadi tukang bangunan. Akhir-akhir ini lebih banyak menganggur. Mereka punya dua anak, satu lelaki berumur 8 tahun dan satu perempuan berumur 6 tahun.

Adik perempuannya, anak nomor empat, menikah dengan sopir angkot. Punya dua anak perampuan berumur 5 dan 3 tahun.

Sedangkan anak lelaki nomor tiga dan lima masih bujangan dan pengangguran yang sering nongkrong bersama preman di perempatan jalan.

***

Suatu hari wajah Mehong sangat kusut sehingga Budi, karyawan sebuah toko perlengkapan pendaki gunung bermerk terkenal di mall tempatnya bekerja, menjadi tertarik untuk menyapanya. “Kenapa kamu, Hong.... kok seperti sakit?” tanyanya. Mehong hanya menunduk terpekur, dengan mata berkaca-kaca. Duduk di tangga darurat yang biasa terdapat dibalik pintu keluar setiap lantai gedung mall bertingkat yang mengkilap dan tak boleh sedikit pun kotor oleh supervisornya. Teman-temannya dan pegawai lain yang melihatnya saat memasuki tempat Mehong, tak berani mendekat. Membatalkan niatnya untuk mencuri kesempatan merokok sebatang di tempat itu.

Mehong mengusap-usap tangannya yang terasa sakit. Bekas berkelahi tadi malam dengan adik iparnya yang sopir angkot. Lelaki itu pulang ke rumah dalam keadaan mabuk sehingga menimbulkan keributan dengan istrinya, Imah, adik perempuan Mehong. Pintu rumah dikunci sehingga Cepi tidak bisa masuk ke rumah dan mulai berteriak-teriak mengancam keluarganya.

Anak-anak lelaki keluarga itu, hanya terdiam saja, berharap si Cepi kemudian pergi dan mengakhiri gangguan ini. Tetapi lelaki kekar bertato itu tidak mau beranjak dari depan pintu, semakin keras menendang-nendang dan mencaci. Mehong berbaring di sebuah tempat tidur yang dihampar dilantai, memandang ke dinding yang berlumut dan ditutupi gambar-gambar yang dibeli dari pasar, kepunyaan anaknya. Di sampingnya, istrinya yang berbaring beradu punggung dengannya, juga tidak tidur tetapi diam saja. Di sebuah kasur terpisah yang letaknya di sudut lain kamar mereka yang sempit, anak mereka yang berumur 5 tahun terbangun ketakutan dan menyusup ke dada ibunya.

Yang paling menderita adalah dua lelaki bujangan yang tidur di ruang tamu sekaligus ruang TV dengan meminggirkan kursi-kursi dan menggelar kasur tipis. Keduanya, sejak keributan dimulai, sudah membuka matanya sambil berbaring menggulungkan badan di dalam sarung. Tidak ada pembicaraan di antara mereka. Sudah sering kejadiaan seperti ini, suasana yang memalukan harga diri mereka selaku lelaki-lelaki yang merasa takut menghadapi seorang ipar mabuk dan mencaci maki keluarganya karena tidak dibukakan pintu.

***

Mehong bangkit tapi masih terduduk di atas kasur, dan serta merta istrinya menarik tubuhnya seolah-olah mengatakan bahwa jangan dia yang menempuh resiko ini. Ada dua anak lelaki lain dan mereka tidak punya anak dan istri, pengangguran, serta suka mabuk juga. Hanya saja mereka pemabuk yang pengecut.

Suasana di dalam rumah sepi. Tak ada yang bersuara. Penghuninya tidak ada yang tidur. Tetangga-tetangga pun mendengar dari rumah mereka masing-masing. Tidak ada yang bersuara. Sementara yang terdengar adalah suara pintu yang sudah terkelupas cat dan terpasang seadanya itu ditendang-tendang, dan akhirnya bruakkk, terlepaslah pintu itu.

Si pemabuk itu terhuyung-huyung masuk dan menyerbu ke kamar sempit, tempat tinggal keluarganya, istri dan anak-anaknya. Terdengar jeritan-jeritan seorang perempuan dan bunyi sesuatu. Pukulan. Benda-benda jatuh. Anak-anak yang menangis ketakutan. Memilukan.

Sementara, kedua lelaki di kamar tamu atau ruang TV itu bangkit dan berlari keluar rumah. Mereka tidak memburu kakak ipar yang sedang memukuli istrinya, saudara perempuan mereka. Melainkan teringat pada kekejaman sang ipar yang tak segan menggunakan pisau, sehingga mereka pun menjauh. Anak-anak berlari keluar kamar dan masuk ke kamar kakek dan neneknya. Si nenek menangis tersedu-sedu sama seperti anak-anak lainnya. Anak-anak lainnya pun semua masuk ke dada ibunya dan menangis ketakutan. Pedagang cilok tua itu pun dengan sikap ragu-ragu keluar dari kamarnya. Menyerukan agar menantu lelakinya menghentikan pukulannya dengan suara yang tak cukup keras dibandingkan jeritan-jeritan anak perempuannya.

***

Mehong menyentakkan istrinya yang mencengkeram bajunya, kemudian berjalan ke luar kamar. Ketika masuk ke ruang tamu, matanya melihat parang yang diletakkan di bawah meja dudukan TV. Alat yang biasa digunakannya untuk bekerja membabat semak bila ada orang kaya yang menyuruhnya membersihkan halaman sebulan sekali. Tanpa berfikir lagi diambilnya parang itu meskipun rasa gamang muncul dalam tindakannya, selintas mengingat bahwa dirinya hanyalah pria bertubuh kecil sedangkan iparnya bertubuh kekar dan bersifat kejam.

Ketika dia melangkah ke dalam kamar saudara perempuannya, posisinya ternyata tidak menguntungkan karena sang ipar menghadap ke arah pintu sambil mencengkeram rambut istrinya yang meraung-raung ketakutan dan kesakitan. Mehong menarik adiknya agar punya tempat untuk menyasar sang ipar dengan parang, tetapi lelaki itu dengan kuat menahan istrinya. Takut dengan kekuatan lawan, Mehong membabi buta dan tidak lagi menimbang keselamatan adik perempuannya.

Suara yang menakutkan dan suasana yang mencekam itu berlangsung sekian lama. Perempuan-perempuan lain di rumah itu tak dapat menahan diri lagi, berteriak-teriak keluar rumah meminta tolong. Beberapa tetangga keluar dari rumah tetapi dengan sikap ragu, tidak mau masuk ke dalam bahaya. Apalagi melihat dua lelaki muda, penghuni rumah itu sendiri, nampak ketakutan di luar rumah. Seluruh penghuni rumah berada di luar di sepanjang gang sempit itu, sementara para tetangga –sejumlah pria dewasa- berdiri di bagian atas yang lebih lebar. Ketegangan yang memuncak, menunggu akhir dari tragedi.

Ketika suara-suara berhenti, sang ayah menghambur ke dalam kamar yang menjadi tempat pergulatan hidup dan mati. Jantungnya nyaris berhenti berdetak saat menyaksikan pemandangan di hadapannya. Anak perempuannya tergeletak setengah telungkup, berlumuran darah yang terlihat jatuh ke lantai di bagian kepala dan bahunya. Suaminya, terlentang dengan kepala dan separuh badannya di atas kasur yang digelar di lantai, matanya terbuka. Luka menganga dari dahi ke samping kepalanya dan parang itu bersarang di dadanya.

Mehong terengah-engah di sudut kamar dekat pintu dan gemetaran. Seluruh tubuhnya bergetar seperti digerakkan oleh guncangan seorang raksasa. Giginya gemeretuk. Ketika dua pria tetangga bertubuh lumayan besar masuk ke ruangan, mereka membawa Mehong ke luar rumah dan semua orang dapat melihat di dalam sedikit cahaya dan kegelapan gang, bagaimana pria itu terus bergetar dan giginya bergemeletuk.

***

Berhari-hari Mehong tidak pulang ke rumah. Tidur di dalam mall, di tempat yang tersembunyi, atau di halaman luar lantai III di sudut yang tersembunyi. Satpam membiarkan saja setelah melihat roman wajahnya yang kosong dan tak mengacuhkannya sama sekali saat didekati. Seolah kemalangan itu dapat dimengertinya. Kengerian itu dapat dirasakan.

Adik perempuan Mehong terluka di bagian sisi kepala dan bahu kanannya karena tersabet parang. Luka yang parah justru di bagian bahu dan harus dijahit. Setelah masuk rumah sakit beberapa hari, sekarang sudah kembali ke rumah.

Suaminya, sudah dikuburkan, dan keluarganya sudah menyelenggarakan tahlilan sampai hari ketujuh. Tidak ada laporan ke polisi. Semua orang –penghuni rumah dan para tetangga- berdiam diri dengan saling mengerti. RT dan RW pun melakukan tugasnya menyampaikan hak warga yang kematian karena iuran kematian memang ditarik setiap bulan dari masyarakat untuk menyediakan layanan memandikan jenasah, kain kafan dan kelengkapannya, serta mengurus prosedur penguburan. Biaya penguburan tetap oleh keluarga, dibantu oleh tetangga-tetangga yang berdatangan dan menaruh amplop berisi uang ke dalam baskom tertutup kain serbet.

Suatu malam Mehong pulang ke rumah lagi, dalam keadaan mabuk.

***

Selasa, 01 Juni 2010

Anak Tengah di Keluarga

***

Aku mencoba mengerti mengapa Al Pacino menjadi aktor besar. Ia memerankan film yang bagus. Tapi film yang bagus tidak akan ditawarkan kepada aktor biasa. Pada film The Scent of A Woman, Al Pacino membuatku menangis. Ia memerankan orang brengsek dalam sebuah keluarga dan itu membuatku teringat pada seorang kakak lelaki, anak tengah dalam keluargaku. Orang brengsek dalam keluarga. Mengganggu suasana. Membuat orang lain berhenti berbicara bila dia hadir.

Hanya saja kakakku tidak menyadari bahwa dia brengsek karena menurutnya semua orang lain yang bersalah. Atasannya goblok. Koleganya tidak becus kerja. Keluarganya tidak punya pikiran besar dan tidak mungkin memahaminya. Indonesia kacau. Politik yang brengsek. Ekonomi yang ambruk. Nilai keluarga yang runtuh. Seorang teman di kantor yang musuh dalam selimut. Persahabatan tak lagi berarti pada jaman yang mengejar kehidupan duniawai. Istri yang selalu mengeluhkan persoalan materi. Anak-anak yang selalu kekurangan uang dan tidak banyak membaca. Orang-orang tidak bisa diajak bicara hal-hal mendalam. Bahkan anak dan istri pun.

Tapi sayangnya kebanyakan orang menjalani sebagai manusia biasa saja. Bekerja dan menerima perintah dari majikan yang bodoh. Mendapat perlakuan diskriminatif saat di Rumah Sakit atau pelayanan publik lainnya karena orang miskin atau orang biasa. Bekerja lembur hanya untuk dapat menjalani kehidupan paling sederhana.
***

Kebanyakan orang menerimanya dirinya. Harga diri tidak masalah karena hanya satu majikan dan seratus pekerja. Atau hanya ada dua supervisor yang bahkan lebih kejam dari majikan –sang pemilik- karena suka mengucapkan hinaan dan menekan anak buah yang harus bekerja lebih dari 10 jam tanpa upah lembur.

Sementara kakakku selalu menyuarakan protesnya atas ketimpangan itu. Menjadi orang yang selalu bersungut-sungut dan membuat orang lain ingin segera menjauh darinya bila bertemu. Membual bahwa atasannya di kantor takut padanya, meskipun tak pernah ada pekerjaan diberikan padanya, apalagi kenaikan gaji dan jabatan. Untungnya dia seorang PNS sehingga tidak dipecat melainkan ”disingkirkan” dengan cara mutasi ke pekerjaan dan jabatan yang paling tak berharga atau tak penting.

Terakhir, jabatannya adalah sebagai staf admin yang bertugas mengelola arsip dan dokumen kantor. Yang dijalaninya dengan bersungut-sungut.
***

Aa adalah panggilan untuk anak lelaki sulung di dalam keluargaku. Akang atau atau Kang –diikuti dengan nama- adalah panggilan untuk kakak lelaki lainnya. Teteh atau Teh –diikuti dengan nama- adalah sebutan bagi kakak perempuan. Sedangkan para kakak menyebut hanya nama kepada adiknya. Begitu yang menjadi tradisi di dalam keluargaku. Orang tuaku memberikan kewenangan bagi Aa untuk memarahi dan menegur adik-adiknya yang melakukan kesalahan. Sebaliknya, Aa mendapat nasihat-nasihat khusus dari orang tuaku untuk menjadi teladan dan model bagi adik-adiknya. Aa menjadi seorang yang serius, pendiam, berbicara seperlunya kepada adik-adiknya, tetapi tegas. Kelemahannya adalah dia tidak bisa merumuskan kalimat tanya, melainkan sudah menjadi kesimpulan atau keputusan sepihak.

Adiknya –anak tengah dalam keluarga- itu sering menilai tindakan dan keputusan Aa. Adik-adik lainnya tidak berani konfrontasi atau menentang langsung. Paling-paling mengomel di belakang karena mendapatkan teguran yang dianggap tidak sepadan tanpa kesempatan membela diri. Siapa orang yang mau mengaku salah begitu saja? Tapi Aa punya kewenangan untuk menentukan salah atau benar dan memberikan teguran kepada adik-adiknya bila menurutnya diperlukan.

Aa sama sekali tidak mau menerima saran dari adiknya yang mencoba memberitahu cara menilai suatu persoalan dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Sorot matanya menjadi tajam dan ekspresi wajahnya mengeras saat menatap wajah adik lelakinya yang mengguruinya itu. Mereka beradu mulut. Akhirnya Aa yang meninggalkan ruangan karena sang adik punya banyak argumen yang cerdas dan fakta-fakta sehingga tak mungkin terbantahkan. Mereka kemudian menjadi berjarak dan Aa selalu menghindari pembicaraan langsung dengan adik lelakinya yang satu itu.

Aa menyatakan dengan sikapnya bahwa dirinya punya otoritas dan sekaligus kewajiban yang harus dijalankannya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak membutuhkan seseorang yang memberi arahan bagi penilaian dan keputusannya. Orang tua dan adik-adik yang lain menerima otoritas itu seperti seharusnya. Adik lelaki yang suka protes dan membela kebenaran itu justru menimbulkan perasaan terganggu bahkan bagi saudara atau anaknya sendiri yang sedang dibelanya.
***

Aa atau Kang Rahmat adalah anak sulung lelaki yang mencoba menjalankan perannya dengan baik. Orang tua dan adik-adik membutuhkan figur serupa itu, sehingga Kang Tony –si anak tengah- dianggap menyalahi adat. Tidak sepantasnya bersikap kepada seorang kakak lelaki. Siapa yang membutuhkan kebenaran dari Kang Tony kalau yang dibutuhkan adalah Kang Rahmat yang hadir untuk menolong kesusahan saudaranya? Seorang adik perempuan butuh keputusan kakak lelakinya, bukan analisis masalah dan latihan argumentasi yang cerdas untuk bisa memutuskan sendiri.

Bahkan anak-anak Kang Tony sendiri seringkali membutuhkan uwaknya itu untuk membantu masalah utama yang mereka hadapi –membayar uang sekolah dan membeli buku. Bukan kritik tentang rejim yang melanggar hak warga untuk memperoleh keadilan pendidikan, atau kedatangan ayahnya memprotes kebijakan sekolah yang pada akhirnya menyebabkan anaknya tertekan baik oleh guru-guru maupun teman-temannya.

Barangkali Kang Tony memperoleh ”kutukan” berupa kecerdasannya yang membuatnya menjadi orang yang sering mengganggu. Aku masih ingat, Kang Tony selalu menjadi pemimpin di sekolahnya dan memperoleh nilai akademik yang baik, sehingga menjadi kebanggaan orang tua.

***
Setelah Kang Tony pensiun dan menjalani hari tuanya, anak-anaknya sudah bekerja dan mulai menjauh darinya. Meskipun mereka tetap hormat dan sayang pada ayahnya, tidak pernah lupa berkunjung dan mengirimi uang, namun dapat dikatakan anak-anak dan ayahnya tidak memiliki hubungan yang manis.

Terjadilah hal yang mengejutkan, istrinya meminta cerai dan memilih tinggal dengan anak perempuannya. Bagaimanapun kakakku mencoba berkata manis saat menolak untuk bercerai, namun sang istri tidak bergeming.

Suatu penderitaan yang luar biasa baginya menjadi istri yang mencampakkan suaminya di hari tua karena sikap permusuhan dari segenap keluargaku pun serta merta ditujukan kepadanya. ”Istri durhaka,” begitu menurut uwak perempuanku, kakak ibuku. Sejak saat itu kami tidak pernah bertemu lagi dengannya meskipun di hari lebaran. Hanya anak-anaknya yang tetap datang kepada kakek-nenek, uwak, emang dan bibinya.

Kemudian kakakku sakit dan meninggal. Menurutku kematian yang merana karena hidup di jaman yang salah. Aku tidak tahu apakah surga atau neraka akan menerima kakakku yang dalam hidupnya selalu memikirkan kebajikan, keadilan, dan kehormatan bagi umat manusia itu.

***