Rabu, 15 September 2010

Orang Baik dan Jahat

***
Kang Dedi menerima tamu. Seorang pria tua berumur di atas 70 tahun yang mengetuk rumahnya. Rambutnya telah memutih semua. Wajahnya sangat bersih, lembut dan nampak alim. Memakai kopiah. Sepertinya seorang bapak tua yang baik dan anak-anaknya pasti mencemaskan dia di rumah. Karena bapak itu mengatakan bahwa dirinya tersesat mencari-cari rumah anaknya. Kehabisan ongkos untuk kembali ke Tasikmalaya.

Kang Dedi mempersilakan kakek tua itu untuk minum. Menawarinya makan dulu. Kakek itu pun menumpang shalat ashar.

Kang Dedi seorang yang waspada. Kemudian dia memboncengkan kakek tua itu dengan motor ‘bebeknya’ ke terminal bis, membelikan karcis bis ke Tasik, membekali dengan sebotol minuman, dan menyampaikan pesan agar si kakek berhati-hati dan selamat sampai tujuan. Kakek itu berkali-kali mengucapkan terimakasih dan melambaikan tangannya kepada kakakku ketika bis mulai bergerak.

Dini yang masih di SMA, bertanya kepada kakak lelakinya itu: “Kenapa harus diantar sampai ke terminal bis?” Setahunya lelaki tua itu meminta ongkos angkot untuk ke terminal Cicaheum dan bis untuk ke Tasikmalaya. Kakaknya tinggal menaikkannya ke angkot yang akan membawa si kakek langsung ke terminal Cicaheum tanpa harus jauh-jauh mengantarnya.

Berbulan-bulan kemudian mereka kedatangan tamu yang sama. Kakek yang tersesat jalan itu. Kang Dedi mendengarkan semua cerita si kakek dengan sabar. Cerita yang sama seperti kali pertama. Setelah selesai cerita si kakek, baru Kang Dedi mengambil gilirannya. Diberi nasihatnya si kakek tentang dosa kalau berdusta atau menipu. Kalau mencari uang dengan cara yang tidak halal. Juga dinasihatinya agar si kakek ’eling’ (sadar diri) bahwa dirinya sudah tua dan harus mempersiapkan diri untuk kembali kepada Gusti Allah. Harus berbuat baik, bersih hati dan melakukan banyak ibadah. Supaya masuk surga.

Wajah kakek itu tertunduk. Tetapi kata-kata yang mengalir dari mulut Kang Dedi nampaknya tak menggerakkan perasaannya. Malu. Rasa bersalah.

Kakek itu sudah sangat tua. Kepikunannya membawanya kembali ke rumah yang sama. Orang baik pun tentu harus memaklumi kakek penipu itu.
***

Dunia ini dihuni oleh orang baik dan jahat. Orang jahat lebih militan, agresif dan tak kenal lelah. Orang baik lebih bimbang, tak percaya diri, dan menyerah.

Seorang ibu mengetuk pintu rumah. Kemudian dengan berurai air mata menyampaikan permohonan maafnya atas kedatangannya dan memperlihatkan luka yang buruk di pergelangan kakinya. Memohon bantuan untuk berobat ke rumah sakit dan cerita kecelakaan yang menimpanya.

Orang baik yang menyadari bahwa dirinya sedang ditipu, akan segera mengakhiri sandiwara itu dengan memberikan uang seribu atau mungkin juga lima ribu rupiah. Paling tidak telah terhindar dari tertipu puluhan ribu rupiah yang dimintai.

Orang jahat akan tanpa malu menerima pemberian itu. Berjalan terpincang-pincang sebentar dan kemudian di ujung jalan berjalan biasa. Lantas berjalan terpincang-pincang lagi dan mengetuk pintu rumah lainnya.

Kemudian ditemukannya orang yang percaya pada penderitaan dan kemalangannya. Memberikan dua puluh ribu rupiah dan makanan. Mengantarkannya pulang sampai ke sebuah lokasi yang menurut ibu itu tempat tinggalnya. Kemudian orang baik tak mau bersusah payah untuk membuktikan apakah benar ibu itu tinggal di sana karena gang menuju rumahnya sangat berbelit, seperti ular yang melata ke dalam relung pemukiman kumuh.
***

Seorang teman SD datang ke rumah Dini, menyatakan kegembiraannya bertemu dengan teman sekolah masa kecilnya. Menyatakan bahwa dirinya mendapat tugas untuk mendata teman-teman dalam rangka reuni. Meminta kontak nama di facebook Dini dan teman-teman lainnya. Bersemangat menyatakan bahwa dirinya salah satu panitia reuni itu yang bertugas mengkontak dan menemukan alamat-alamat. Dini mendapatkan fotokopi daftar nama teman-teman SD yang diperoleh temannya dari sekolah dengan membongkar arsip lawas.

Sekitar satu jam berbincang bersama, Dini sempat berfikir bahwa perempuan itu tak terlalu dikenalnya selama di sekolah dulu meskipun memang benar teman satu sekolahnya. Tetapi perempuan itu begitu ramai bercerita tentang masa sekolah, menyebutkan banyak nama teman di sekolah dulu, dan bahkan bersama-sama Dini membuka komputer dan masuk ke facebook untuk mencari teman-teman seangkatan mereka.

Setelah minum teh dan kue bersama, makan siang, dan shalat dhuhur, sang teman kemudian mengatakan bahwa dia besok akan ke Jakarta untuk menengok ibunya yang sakit. Seraya menyatakan rasa tak enaknya, sang teman mengatakan bahwa dirinya sedang kesulitan uang untuk ongkos ke Jakarta dan cerita-cerita tentang adik-adiknya yang masuk sekolah dan membutuhkan biaya. Bahwa dia akan memiliki uang tak lama lagi dan dapat mengembalikan pinjaman dalam 3 hari saja. Pinjamannya sebesar seratus lima puluh ribu rupiah untuk transport ke Jakarta pulang pergi.

Dini berfikir sebentar, kemudian memutuskan untuk menghibahkan saja uang yang diminta itu. Berharap bahwa dirinya tidak bersyak wasangka terhadap seseorang yang mungkin benar-benar membutuhkan, tetapi juga mengikhlaskan bila dirinya sedang dalam proses penipuan.

Sebulan kemudian beberapa teman di facebook mengirim sebuah email kelompok untuk saling menginformasikan tentang kedatangan teman SD yang datang untuk mengajak reuni, bertamu beberapa jam, dan kemudian berakhir dengan peminjaman uang.

Dini terpaksa mengakui bahwa melalui dirinyalah orang itu mendapatkan kontak facebook mereka dan kemudian satu per satu dihubungi dan didatangi rumah demi rumah.

Entah berapa jumlah total uang yang berhasil dikeruknya karena seorang teman yang orang tuanya kaya berhasil dibujuk untuk meminjamkan uang sebanyak satu juta rupiah dengan alasan kekurangan biaya untuk kakaknya yang masuk ke Unpad. Anak yang pandai dan biaya senilai tujuh juta rupiah, kekurangan ”hanya” satu juta rupiah, menjadi rangkaian cerita yang tertata dengan rapi.

Persoalan klise, cara yang klise, dan pikiran klise bahwa mungkin saja kali ini bukan sebuah cerita tipuan. Ternyata tertipu dengan cara yang sama seperti korban lainnya yang sudah pernah didengar kisahnya beberapa kali.

Teman sekolah Dini itu masih sangat muda, namun sudah memilih jalan kejahatan yang lebih memberinya keuntungan seketika.
***

Telepon di kantor berdering dan suara menangis histeris di seberang sana menularkan kepanikan pada si penerima telepon. Telepon berpindah kepada Kang Dedi atas permintaan istri Pak Benny, salah satu stafnya, yang berbicara dengan terbata-bata mengabarkan bahwa suaminya kecelakaan dengan luka parah di kepalanya. Pak Benny sekarang ada di Rumah Sakit Hasan Sadikin untuk segera masuk ruang operasi. Seseorang yang mengaku dari rumah sakit menelpon ke rumahnya dan memberikan nomor handphone dokter yang akan menangani operasi. Membujuk wanita yang shock dan histeris itu untuk tenang dan segera berangkat ke rumah sakit dan bertemu dengan dokter yang menunggunya menandatangani surat persetujuan operasi. Selain itu juga harus menyerahkan sejumlah uang senilai lima juta untuk pembayaran uang muka biaya operasi.

Dengan pikiran kalut, istri Pak Benny terpaksa menelpon ke kantor suaminya karena tidak memiliki uang sebanyak lima juta. Meminta kantor untuk menolong. Pak Benny berdiri di samping atasannya yang sedang menerima telepon sambil memandang ke arah wajahnya dengan mata terbelalak. ”Pak Benny, kepala Bapak tidak pecah kan?” tanyanya.

Pak Benny mengambil gagang telepon dan menenangkan istrinya. Sang istri tak dapat menghentikan tangisnya sehingga akhirnya Pak Benny segera berangkat pulang untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak kecelakaan. Ketika sampai di rumah, Pak Benny menemukan para tetangga sudah banyak yang berkumpul karena mendengar suara tangis yang keras dari istri dan anak-anaknya.

Penipu itu berharap bahwa istri Pak Benny memiliki uang lima juta, tanpa berpikir panjang lagi segera mengambilnya dan berangkat langsung ke rumah sakit sesuai permintaannya. Mungkin usahanya akan berhasil kalau saja yang dimintanya dua juta rupiah saja karena uang sejumlah itu ada. Kawanan penipu itu akan mencoba lagi dan menemukan korban yang lebih tepat.
***

Orang jahat tumbuh di lahan subur di negeri ini. Mulai dari penipu profesional sampai orang yang hanya gemar menipu daya saja karena menguntungkan. Politisi busuk lebih berkuasa daripada politisi baik. Orang baik tersisihkan dan koruptor menjadi pemimpin.

Sedangkan orang baik kehilangan kepercayaan dirinya. Tak ingin melakukan perlawanan terhadap para penjahat. Cukup mencari selamat. Hakim dan jaksa baik terlibas dalam keadaan dan bungkam.

Kecurigaan sering menyelimuti hati orang baik, sekalipun nilai hidup yang diajarkan orang tuanya dahulu adalah larangan untuk su’udzon kepada sesama. Berprasangka baiklah, kata orang tua dahulu.

Setiap datang orang yang meminta pertolongan –seperti salah seorang bibi kandung yang datang meminjam sejumlah uang untuk biaya masuk sekolah anak bungsunya- menimbulkan prasangka pada Kang Dedi. Bukankah bibi membeli TV baru minggu yang lalu? Tanyanya.

Bibi tersinggung dan pulang dengan perasaan marah. Meskipun diterimanya uang pinjaman sebanyak dua juta rupiah, namun dilancarkannya pembalasan bibi terhadap keponakannya itu. Bibi menelpon saudara perempuannya untuk menyampaikan betapa hatinya sakit karena ucapan keponakannya itu. Telepon ini menjalar ke berbagai penjuru seperti sebuah jaring laba-laba dan akhirnya telepon dari ayah Kang Dedi berdering untuk menyelesaikan masalahnya.

Ayah Kang Dedi yang sudah sangat sepuh mengharapkan anaknya meminta maaf atas ucapannya kepada bibinya itu, selaku orang muda kepada orang yang lebih tua. Tapi Kang Dedi menuruti kata hatinya sendiri, tidak meminta maaf pada bibinya.

Beberapa hari kemudian, seorang sepupunya menelpon dan menyampaikan bahwa bibi telah datang kepadanya untuk meminta pinjaman yang sama. Kemudian seorang kerabat lainnya pun menyampaikan informasi yang sama tentang bibi.
***

Pembunuh hati nurani, begitulah sebutan Kang Dedi terhadap orang-orang yang datang kepada orang baik untuk menimbulkan rasa bersalah bila tak punya belas kasihan, tak memberi pertolongan, atau berpraduga bahwa dirinya sedang ditipu.

Pertempuran antara baik dan jahat akan berlangsung sampai akhir jaman. Kekalahan mutlak kebaikan adalah akhir jaman itu.
***

Selasa, 14 September 2010

Ketakutan

***
Anakku tidak paham betapa sedihnya aku melihat dirinya selalu menyendiri di kamar, begitu Ina berbicara di dalam hatinya. Katanya mempunyai hampir seribu teman, tetapi itu semua hanya teman imajiner di facebook. Kalau hari libur, sejak bangun tidur sampai sore selalu berada di hadapan layar monitor.

Salahmu sendiri, cemas. Begitu kata seorang teman Ina di kantor. Mengapa cemas dengan kehidupan sosial yang terhubung oleh udara di antara berbagai penjuru tempat dan belahan bumi. Anak bisa tersesat di jagat maya, masuk ke tempat-tempat yang tak aman seperti situs porno, bertemu dengan phedofilia yang berseliweran dan menghampiri, atau orang-orang jahat anonim yang menjebak pengunjung untuk memasuki blognya yang dipenuhi kata-kata kotor. Bila anak ke luar sana untuk mengunjungi temannya atau bepergian, sama juga anak bisa tersesat di jalan raya, mendapat bahaya, dan bertemu orang jahat di dunia nyata. Orang jahat selalu sengaja datang menghampiri.

Mengapa cemas dengan jalan raya yang semakin padat. Jalan raya memang dipenuhi para pengendara motor yang bengis, para pengendara mobil yang menyalakkan klakson dengan tak sabar, angkot yang berhenti sesuka hati dengan tak peduli membuat motor di belakangnya nyaris menghantamnya, anak-anak jalanan yang lari menyeberang tiba-tiba, dan preman-preman anak tanggung yang teler.

Salahmu sendiri, cemas. Cemas dengan berita-berita ngeri tentang penculikan anak yang tak pandang bulu untuk dijual organ tubuhnya. Cemas dengan pelaku phedofilia yang bisa jadi tetangga sekitar. Cemas dengan harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi. Cemas dengan harga uang yang semakin merosot. Pencurian yang semakin marak. Anak-anak muda pengangguran yang beringas saat setengah mabuk dan harus kita lewati di ujung gang.
***

Setelah sekian lama merenung, Ina mau tidak mau mengatakan pada dirinya bahwa tenggelam dalam rasa cemas, kemudian menjadi rasa takut, dan terus menguat menjadi ketakutan yang menghantui, haruslah dilawan dengan melakukan sesuatu.

Tugas orang tua adalah membekali anak dengan rambu-rambu, pengetahuan, dan juga keberanian untuk menghadapi dunia ini. Entah itu dunia maya maupun dunia nyata. Anak tidak boleh dikurung di dalam wilayah aman yang diproteksi orang tuanya sementara bahaya harus dihadapi di saat anak harus sendiri.

Selalu menjadi pelindung anak hanya akan memudahkan bahaya itu menjadikannya korban karena orang tua tak selalu ada dalam setiap situasi. Anak perlu menghadapi bahaya itu untuk tidak lemah.

Memang sulit dan butuh keberanian. Namun seorang ibu haruslah pemberani dan akan menjadi seorang pejuang demi melindungi anaknya. Akhirnya Ina tidak lagi menunda-nunda tindakan yang harus dilakukannya.
***

Malam hari, Ina mengajak anak lelakinya yang masih SMP untuk bersama-sama melakukan “penjelajahan” (surfing) situs-situs porno. Memahami berbagai jenis situs porno dan bagaimana cara kerja situs-situs porno untuk menawarkan jasanya. Ina mengajak anaknya membicarakan arti pornografi dan bagaimana Indonesia tercatat sebagai salah satu negara pengakses situs porno terbesar di dunia karena belum adanya tindakan perlindungan dari pemerintah. Ina juga menyiapkan pembicaraan tentang dasar hukum pornografi yang dikeluarkan pemerintah, seperti yang telah menjerat 3 artis sinetron, Ariel, Luna dan Cut Tari.

Orang biasa pun dapat terjerat kasus seperti para artis itu. Ina mengajak anaknya memahami bahaya dari kacamata pelanggaran norma dan hukum. Bahaya karena sanksi sosial yang akan membunuh karakter seorang yang melakukan kekhilafan sesaat seperti merekam hubungan intimnya sendiri. Seperti yang dilakukan anak-anak SMA atau mahasiswa yang rekaman videonya beredar di youtube oleh ulah tangan jail yang mungkin temannya sendii. Bahkan ada orang tua pelaku yang jatuh sakit dan masuk rumah sakit atau meninggal karena serangan jantung.

Ina mengatakan pada anaknya bahwa dia hanya akan dibekali dengan kesadaran untuk mempelajari hal-hal baik dan buruk itu sendiri agar bisa mencari jalan yang aman dan bila terpaksa, menyelamatkan diri dari marabahaya. Sebab kejahatan selalu datang menghampiri, bukan menunggu.

Pembicaraan ini dilakukan Ina setelah bersama suaminya memutuskan untuk tidak menghukum anaknya itu ketika menemukan gambar-gambar porno di handphonenya. Ina memberi informasi agar anaknya bersikap terhadap pornografi, ketimbang memberi nasihat-nasihat moral. Apalagi ancaman hukuman.
***

Mimpi buruk Ina seringkali aneh. Tapi Ina tidak pernah berniat untuk menanyakan arti mimpi pada orang bijak. Seorang ustadz yang pandai misalnya.

Suatu ketika Ina bermimpi ngeri tentang serangan kelompok Islam yang menyerbu tempat-tempat yang katanya “kotor”, “rusak”, dan penuh dosa. Mungkin ini karena berita-berita tentang kerusuhan seringkali ditandai dengan atribut jubah dan sorban.

Pernah juga Ina bermimpi tentang gempa yang membelah jalan. Kemudian lebah berdengung bagaikan kabut hitam di atas langit. Ternyata seorang pria dengan sihir hitam (black magic) yang mengendalikan bencana yang sedang terjadi. Manusia berlarian dikejar-kejar maut. Air bah dan longsoran batu dan tanah. Ah, mungkin karena seringnya berita-berita banjir, longsor, dan gempa di tanah air ini.

Sihir? Terkadang Ina terheran-heran dengan kata-kata itu. Sebagai orang berpendidikan, lahir dan dibesarkan di kota, Ina merasa kata-kata itu berasal dari jaman batu. Tetapi sihir adalah kata yang biasa bagi masyarakat Indonesia. Seorang sepupunya yang sama seperti Ina, sarjana dan dibesarkan di kota, mengatakan bahwa pernikahan sepupu mereka yang lain dengan seorang perempuan kelas bawah dan berasal dari keluarga yang “mengerikan” itu karena kena “guna-guna” (sihir).

Fragmen-fragmen cerita tragedi di antara keluarga, teman atau kenalannya tidak setiap kali terhubung dengan kata “guna-guna”. Namun cerita guna-guna dari orang yang irihati, pesaing, atau punya niat-niat jahat lainnya bukan juga hal asing di masyarakat kota sekali pun.

Tetap saja Ina tak percaya air putih yang telah diberi doa oleh ustadz yang pandai untuk menolak mantra jahat.
***

Ina tertarik untuk memperhatikan wawancara seorang pembawa berita TV kepada Ki Gendeng Pamungkas tentang praktek “sihir” yang dilakukan oleh kawanan perampok toko. Pemilik toko dan para pelayan menyerahkan uang di laci kasir dan barang-barang kepada para rampok yang menggunakan “sihir” itu.

Ketika kakak perempuannya menelpon dan menceritakan perkataan ustadznya bahwa pada raut wajah sang kakak tergambar “kekosongan” yang disebabkan mantra gaib, Ina mengernyitkan keningnya. “Ustadz mengatakan bahwa suamiku melakukan sesuatu agar aku merasa kosong,” kata Ita, kakak perempuan Ina. “Aku menjadi tak punya perasaan apa-apa terhadap suamiku....

Pernikahan yang sudah tak punya perasaan apa-apa. Istri yang sudah tak punya rasa cemburu dan tak peduli bila suaminya mempunyai WIL kalau saja tidak disertai kemerosotan ekonomi keluarga. Apakah itu karena mantra (sihir) jahat? Ina tidak membantah kakak perempuannya yang tidak pernah bisa dibantah.

Cemas suami diam-diam telah melakukan poligami. Cemas anak tidak bisa kuliah karena biayanya yang begitu mahal. Takut bukan terhadap masa depan tapi bahkan bulan depan dengan maraknya PHK. Takut akan kekejaman jalan raya. Panik akan pengelola situs-situs porno yang pro aktif mengunjungi facebook anak kita, mengirimi email, dan bahkan mengirimi SMS setelah berhasil menjebak untuk mendapatkan nomor handphone dengan iming-iming unduh sebuah games. Takut bahwa kemerosotan ekonomi keluarga merupakan bencana yang dialaminya sendiri di antara sukses dan gelimang keberhasilan materi orang lain.

Cemas dan takut yang menjadi tekanan bathin. Tekanan yang mencari jalan amarah. Amarah yang menjadi ketakpedulian. Ketakpedulian yang menjadi keterasingan. Kehampaan. Ketidakbahagiaan. Cinta tak bersisa.

Apakah itu akibat mantra jahat seorang suami pada istrinya sendiri?
***

Ina mengalami mimpi-mimpi buruk. Wajah kakaknya yang terkena guna-guna bagaikan topeng tanpa daging. Sementara wajah ustadznya sedang komat-kamit membacakan doa. Wajah lain, setan yang lebih kuat itu terbahak-bahak menertawakan orang lemah dan bodoh yang menjadi musuhnya. Ina terbangun dari mimpinya. Sialan, seharusnya hanya dengan satu surat yang dibacakan saja, setan jahat itu terbakar api dan lari terbirit-birit. Gerutu Ina.

Suatu ketika mimpinya berada di sebuah tempat. Pria-pria tampan bertubuh tegap dengan otot-otot yang terlatih di tempat bodybuilding, telanjang bulat sambil berbincang satu sama lain dan minum sesuatu dari gelas bertangkai. Penis-penis mereka besar sekali. Ketika Ina terbangun, Ina menggeleng-gelengkan kepala karena gambar pria-pria di situs porno yang telah dlihatnya bersama anaknya itulah yang muncul dalam mimpinya. Wow, bagaimana mungkin benda itu bisa sebesar itu.

Mimpi lainnya adalah sebuah kerumunan besar dengan wajah-wajah hitam, pakaian serba hitam, tetapi rambut berwarna merah dengan gaya mohawk. Wajah-wajah mereka semakin besar dan dekat seperti pengambilan gambar dengan wide lens, kemudian mereka meludah ke arah kamera. Ina terbangun dan menjadi geram. Membayangkan dirinya berubah menjadi wanita Rambo yang bisa menghajar kumpulan anak-anak jahat itu yang pernah meludahi beramai-ramai ke mobilnya ketika sedang lewat di jalan Asia Afrika.
***

Ina seorang pegawai bank dan ibu rumah tangga yang tidak berfikir politik. Tidak golput. Tidak pula punya penilaian tentang pemerintahan SBY.

Ina hanya berkomentar sebagai seorang warga biasa -yang berpendidikan tinggi- tentang konflik Indonesia dan Malaysia. Ina lebih kesal terhadap cara diplomasi Indonesia sendiri ketimbang kekurangajaran Malaysia. Sedang Yuk Karti, pembantunya, tak henti-hentinya menyatakan kegelisahannya dan mengomeli para demonstran anti Malaysia karena adik lelaki bungsunya menjadi TKI di sana.

Kerusuhan Priok dan pembunuhan wartawan di Ambon bagi Ina adalah situasi negeri yang terasa jauh dari kehidupannya, tetapi juga dekat. Sebab konflik juga pernah merebak di lingkungan pemukimannya ketika sebuah gereja “kecil” hendak dibangun, tetapi kemudian diredam dengan dibangunnya juga sebuah mesjid yang “besar” oleh para donatur gereja, tidak jauh dari gereja tersebut. Untuk ukuran yang sama, bagi gereja menjadi “kecil” sedangkan bagi mesjid menjadi “besar”.

Ina memperhatikan ucapan Effendi Ghozali di sebuah stasiun TV: “Saat ini pemerintah sedang absen. Capek kita memperhatikan (mengkritik) mereka. Lebih baik masyarakat yang membangun solidaritas bersama....”

Ina mencoba mengerti apa hubungan antara pemerintah yang absen dengan ketakutan dalam hidupnya. Sebuah sikap alamiahnya bila terjadi sesuatu dan sesuatu yang lain juga terjadi kemudian menjadikan sesuatu kejadian lagi, adalah mencari tahu apakah keterkaitannya?

Agar anak-anaknya terlindungi dari kejahatan cyber, orang tua memiliki tugas yang berkaitan dengan jagat maya ini. Sedang pemerintah melakukan apa?
***

Apakah keterkaitan antara mantra jahat kepada kakak perempuannya dengan kemerosotan ekonomi keluarga itu. Barangkali pendapatan sang suami telah terbagi ke tempat lain. Ataukah kecemasan kakak perempuannya tentang istri lain yang disembunyikan telah merasuki pikirannya. Kenyataan dan imajinasi menjadi tak dapat dibedakan.

Kemudian sihir pun bisa merasuki pikiran yang melayang-layang. Ketakutan memudahkan pikiran kita tersihir oleh setan jahat yang menaklukkan spirit kita. Begitu Ina mencoba memahaminya.

Ki Gendeng Pamungkas –sebagai ahli yang dimintai pendapat oleh pembawa berita TV tentang kasus perampokan sihir itu- mengatakan bahwa hanya orang yang punya rasa humor yang tidak mempan dengan black magic.

Ina tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan itu.
***

Topeng

***
Selama lebih dari 20 tahun kami mengenalnya sebagai orang baik. Sekarang kami tidak tahu harus menyebutnya sebagai apa.

Saat lulus kuliah dan kemudian diterima sebagai pegawai negeri sipil bergaji rendah, kami melihatnya sebagai orang yang biasa. Bekerja dari pagi sampai siang, selebihnya menjadi suami yang baik di rumah. Turut membantu pekerjaan istri. Menjadi saudara yang suka membantu dan teman bicara yang menyenangkan.

Terkadang mencari-cari penghasilan tambahan dengan ikut bisnis teman-teman kuliahnya. Kesabaran yang dijalaninya dengan dasar keyakinan bahwa ketekunan suatu saat akan membuahkan hasil.

Aku pikir orang baik pada dasarnya adalah orang baik sehingga tak akan ada setan sekali pun yang bisa membuatnya berubah menjadi jahat. Sebaliknya orang jahat mungkin suatu saat akan memperoleh kebaikannya.

Bahkan perubahan dirinya pun sangat sulit kami sadari.
***

Kesuksesan materi adalah baik tetapi hanya bila materi itu diperoleh dengan cara yang baik. Kami tidak silau dengan harta berlimpah yang dipamerkannya. Uang yang dihambur-hamburkannya tak berarti apa-apa, tak akan dapat membeli penghormatan kami kepadanya.

Kami juga tidak takut dengan pistol di pinggangnya yang seolah-olah hanya tindakan biasa saja diletakkannya di atas lemari pendek atau seolah hanya obrolan biasa saja ketika diceritakannya siapa petinggi polisi yang membantunya mendapat ijin memiliki senjata api itu. Ini tak akan memaksa kami untuk menjadi takut padanya.

Sangat lama kami tidak tahu bahwa dia seorang pria yang bisa begitu bangga memiliki senjata api. Senjata api untuk mengancam siapa? Seorang pegawai negeri sipil memiliki senjata apa bukanlah hal yang biasa. Sama tidak wajarnya dengan kemewahan hidup yang dipamerkannya. Rumah bak istana dan garasi besar yang berisi delapan mobil bagi kami tak lebih sebagai pameran kejahatan belaka.

Kami tidak tahu bagaimana caranya memperoleh uang dan semua harta kekayaannya yang mencolok mata itu.
***

Anehnya, keluarganya tidak bersikap sama seperti kami. Keluarganya nampak senang dan menikmati kemewahan yang dihambur-hamburkan kepada mereka.

Orang tua seperti apa yang tidak bertanya kepada anaknya tentang perubahan drastis yang terjadi seperti itu? Dari tak punya apa-apa, berangkat ke kantor naik angkutan kota (angkot), tiba-tiba memiliki rumah besar dan mobil BMW. Tak lama kemudian membangun rumah lainnya yang begitu mewah, dan mobil-mobil baru yang dipamerkannya kepada keluarganya.

Keluarga seperti apa yang tidak memperdulikan bahwa tak mungkin seorang staf biasa dapat memiliki kekayaan seperti itu? Tapi keluarga itu bahkan memusuhi kami dan menjauh. Sang ayah yang pensiunan birokrat tentunya sangat tahu bahwa anaknya telah melakukan hal-hal yang tak wajar.

Kami tak mengerti bahwa sebuah keluarga lebih memilih berpura-pura tak tahu dan hidup dalam kepalsuan semacam itu.
***

Setelah lebih dari 20 tahun menjadi bagian dari keluarga kami, menjadi menantu ibuku, akhirnya kakak iparku itu pun tak dapat bertahan lagi. Sosok seperti dia menjadi tak nyaman di dalam keluargaku yang bersahaja.

Gerak-geriknya menjadi terlalu dibuat-buat untuk bisa menjadi bagian dari keluargaku yang tak pernah mengijinkan hal-hal yang melanggar. Hadiah-hadiah yang dibawanya tak pernah mendapat sambutan yang baik melainkan digeletakkan di atas lemari atau meja.

Tawaran-tawaran murah hati untuk liburan dan uang tak membuat keluargaku bimbang. Kami terganggu dengan pemberian-pemberiannya.

Perlahan-lahan, mulailah kehadirannya berkurang dalam acara-acara keluargaku. Menurut kakak perempuanku, sekarang suaminya sering mengadakan pesta dan acara-acara keluarga di rumah baru mereka yang mewah. Di sanalah dia merasa dapat memuaskan keinginannya untuk mempertontonkan diri.
***

Kami tahu bahwa kami harus siap bila suatu saat mendapat berita buruk tentang ipar kami itu. Entah apa pun kasusnya. Namun kekayaan dan kemewahan hidupnya bila berakhir pada suatu yang buruk akan menjadi hal yang sangat lumrah. Kami tak mendoakannya celaka, kami hanya bersiap saja demi anak-anak saudara perempuanku.

Tahun demi tahun telah berlalu. Tidak terjadi apa-apa. Hampir sepuluh tahun telah berlalu sejak hubungan keluargaku terputus dengannya dan dia tak lagi pernah menampakkan hidungnya di tengah acara keluargaku. Lebaran sekali pun.

Keluargaku menganggapnya sudah keluar dari daftar anggota keluarga kami. Bahkan sesungguhnya kami tak tahu apa kejahatannya. Kami tak tahu apa yang dilakukannya. Yang kami tahu adalah perilakunya menjadi berubah, uang banyak yang dimiliki dan dihambur-hamburkannya kami tolak, kemudian kami mulai semakin berjarak dengannya.

Ketika dia mulai melontarkan ucapan-ucapan tentang kebodohan orang baik di dalam mesin birokrasi yang jahat, kami semua memandang wajahnya. Kami adalah keluarga birokrat dan hidup dalam kesederhanaan. Ayah kami adalah seorang birokrat. Beberapa anak dalam keluarga adalah birokrat. Paman, bibi dan sepupu-sepupu juga birokrat. Kami belum tahu siapa yang telah menjadi birokrat jahat itu di antara keluarga kami.

Akhirnya kata-katanya terhenti dengan sendirinya. Dengan lagak percaya diri yang dibuat-buat akhirnya kamilah yang berhasil membuatnya gelisah karena tidak memenangkan upaya penaklukannya.
***

Suatu ketika telepon genggamku berbunyi. Kakak iparku mengatakan bahwa dia ingin bertemu dan berbicara denganku mengenai masalah pernikahannya. Aku mengatakan padanya, “Aku tidak punya urusan apa pun denganmu lagi.... Bicarakan hal semacam itu dengan kakak sulung....”

Sejak saat itu aku tidak pernah lagi berkomunikasi telepon dengannya. Juga hampir tidak pernah bertemu dengannya, kecuali pernah tak sengaja bertemu dengannya di jalan. Bila mengantarkan istri dan anak-anaknya ke rumah ibu, selalu didropnya sampai di luar rumah saja, kemudian pergi lagi.

Kakak perempuanku seorang ibu rumah tangga yang menjalani pernikahannya sebagai sebuah takdir. Dalam hatinya tentunya terasa sakit menjalani pernikahan dengan seorang pria yang tak dapat menjadi bagian dari keluarganya.

Anak-anaknya pun bahkan memahami situasi yang terjadi meskipun baru kelas 5 SD dan SMP. Anak-anak itu lebih nyaman berada di tengah keluarga ibunya dan seringkali bersitegang dengan ayahnya bila diharuskan hadir dalam acara-acara keluarga pihak ayahnya.

Anak perempuan sulung yang masih SMP itu menyebut acara di dalam keluarga ayahnya sebagai “pesta topeng” yang penuh dengan kata-kata manis dan pameran kekayaan.

Sedangkan yang lebih kecil –anak lelaki kesayangan ayahnya- secara berkelakar menyebut ayahnya itu sebagai “Mr. OKB”. Istilah buat orang kaya baru yang bertabiat suka memamerkan kemewahan. Sang ayah pura-pura tak mendengar kata-kata anaknya yang dilontarkan di tengah keluarga besarnya yang juga berpura-pura tak mendengarnya.
***

Tahun demi tahun telah berlalu. Kami tidak mendengar berita penangkapan. Tidak terjadi apa-apa.

Barangkali terdapat satu kebenaran yang disampaikan kakak iparku itu. Bahwa di tengah sistem yang begitu jahat dan korup, justru orang baiklah yang celaka.
***

Idul Fitri, Hari ketiga, Senin, 13 September 2010.

Senin, 13 September 2010

Arini dan Arief (Part-2)

***
Sebulan telah berlalu.

Aku memegang telepon genggamku dan mulai menekan nomor-nomor. Terdengar suara di seberang sana. “Aku Meta....” kataku. “Apa kabar, Arief....”

Terdengar suara bergumam di sana. Aku mengatakan bahwa suaranya tak kedengaran. “Aku sudah ditelpon Mbak Rien tentang kunjungan Mbak Meta ke Denpasar,” katanya. Kali ini suaranya jelas. Aku mengatakan bahwa kakak perempuannya menitipkan bingkisan. Aku mendengar suara yang tak jelas lagi.

“Aku juga diminta bertemu denganmu....” kataku. “Kalau kamu tidak ingin bertemu denganku, aku akan minta seseorang mengirimkan bingkisan ini ke tempatmu.” Arief barulah anak berumur 8 tahun ketika terakhir bertemu denganku, apa yang ingin dibicarakannya denganku?

Aku mendengar suara yang tak jelas lagi. “Arief, kita tidak harus bertemu karena kakakmu bilang kita harus bertemu. Aku rasa kamu tidak suka kalau harus melakukan sesuatu hanya karena disuruh kakakmu....” kataku agak berteriak. Mengatasi suara gemerisik di dalam telepon.

“Tidak apa-apa kalau kita bertemu,” katanya. Suaranya jelas kembali. “Supaya janjimu kepada kakakku lunas....”. “Baiklah, besok sore jam 3 di tempat minum kopi di lantai satu BIP”, kataku. “Sekalian aku mencetak foto....” “Ya....” katanya.
***

Aku sedang membuka album foto yang baru kucetak sambil menunggu. Selalu ramai suasana di mall dan di tempat minum kopi ini. Padahal ini hari Rabu, apakah orang-orang ini tidak punya kesibukan? Hmmmm, lantas apa pula yang sedang aku kerjakan, duduk di tempat ini.

Aku mengambil meja di sudut yang menghadap ke arah pintu masuk.

Setiap kali seseorang masuk melewati pintu aku mengangkat kepala. Aku rasa aku akan bertemu dengan seorang asing yang tak kukenali. Memandang wajahnya sambil berharap tidak mengucapkan kata-kata yang salah. Kemudian orang itu akan berkata, “Aku Arief....” Kami bersalaman dan tidak punya sesuatu pun untuk dibicarakan.

Pria yang sangat tampan itu memandang wajahku. Aku menyerahkan bungkusan coklat itu. Setelah mengucapkan terimakasih, dengan sopan dia memesan secangkir kopi dan menanyakan apa kabarku.

Kemudian kami bersalaman dan berpisah. Kopinya hanya diminum seteguk.
***

Aku mulai tenggelam memperhatikan foto-foto dalam album, sambil menandainya yang harus kucetak ulang dengan post it. Seseorang berdiri di hadapanku dan membuat aku perlahan menengadahkan wajah.

“Hallo, Arief....” kataku. Pria itu tersenyum dan menjabat tanganku. Aku melihat wajahnya. Wajah Arief kecil itu masih nampak. Namun Arief kecil telah menjadi tua terlalu cepat karena rambut di bagian depannya menipis. Mulai botak.

Arief duduk di hadapanku. Wajahnya dan tatapan matanya sangat lembut. Raut muka yang murung. Aku memberikan bingkisan berwarna coklat itu kepadanya. Dia membukanya sehingga aku bisa melihat isinya apa.

Sarung. Baju koko. Pakaian dalam. Jam meja. Sebuah novel sastra. Sepucuk surat. Aku memperhatikan benda-benda itu. “Untuk apa memberimu benda-benda ini,” tanyaku. “Kau bisa membelinya sendiri di sini....”

Arief tersenyum sambil membaca surat dari kakaknya. Tidakkah email sudah menggantikan benda yang bernama “kertas” itu untuk menuliskan surat?
***

“Aku harus memberimu beberapa nasihat....” kataku. “Silakan saja,” kata Arief. Aku sekarang mengerti bahwa orang tua harus dihormati karena tugas mereka memberi nasihat bukanlah tugas yang mudah. Aku tidak tahu mengapa Arini memintaku menasihati adiknya. Rasanya tak relevan.

“Kamu tidak membutuhkan nasihatku. Orang yang tidak tahu nasihat apa yang berguna untukmu,” kataku. “Tapi ada 3 nasihatku, entah berguna atau tidak”.

Aku mulai berfikir karena memang aku sama sekali baru mulai memikirkan apa nasihat yang harus kusampaikan. “Pertama, sebaiknya kau cepat selesaikan kuliahmu karena kau sudah mulai botak dan terlalu tua untuk menjadi mahasiswa....”

Arief tersenyum sambil mencibirkan bibir. “Aku belum 30 tahun,” katanya. “Kamu sudah hampir 30 tahun dan belum menyelesaikan kuliahmu hanya untuk menyusahkan kakakmu Arien...” kataku. “Mengapa kau ingin menyusahkannya?”

“Aku harus seperti itu supaya Mbak Rien merasa berguna,” katanya tersenyum.

“Kedua, bekerjalah sesegera mungkin supaya kau tidak perlu terbang ke Denpasar untuk mengambil uang dari kakakmu....” kataku. Sebuah cara bagi Arini untuk bisa membuat adiknya datang adalah memberinya uang dengan cara diambil, bukan ditransfer lewat bank. Arief mendengarkan ucapanku sambil memandang ke luar kaca.

“Ketiga, menikahlah dengan perempuan yang menerima dirimu apa adanya dan tidak menunda-nunda punya anak supaya kamu segera tahu bahwa anakmu akan mencintai dan menerima ketidaksempurnaan ayahnya....”

Arief memandangku.

Kami meminum kopi dan tidak lagi punya bahan pembicaraan. Ketika pertemuan berakhir, Arief buru-buru bangkit untuk membayar. “Kau membayarkan kopiku dengan uang kakakmu....” kataku. “Tak apa-apa, dia sangat kaya....” jawabnya sambil tertawa. Di tempat ini, secangkir kopi seharga lebih dari 5 Kg beras.

Kami berjabatan tangan dengan erat. “Aku senang bisa bertemu,” kata Arief. “Aku senang bisa melihatmu lagi....” kataku.

“Aku sering membaca surat-suratmu untuk Mbak Rien.... Mbak Rien menyimpan surat-suratnya di dalam kotak....” kata Arief sambil melangkah pergi.
***

Setahun lebih telah berlalu.

Telepon genggamku berbunyi. Suara di seberang sana tidaklah sering kudengar sehingga aku menyimak dengan cermat untuk bisa mengenalinya. Arini.

“Aku mau ke Bandung....” katanya tanpa berpanjang lebar. “Kapan?” tanyaku. Tanpa bertanya ini itu. “Lusa...” katanya.

“Aku mau melihat Arief dan istrinya, dan bayinya yang baru lahir....”.. Aku tercengang. Oh, Arief sudah menikah dan punya bayi.

“Apakah Arief sudah lulus dan bekerja?” tanyaku.

“Sudah. Arief sudah lulus sarjana sekaligus bekerja jadi supir taksi, kemudian menikah tanpa memberitahuku....” kata Arini. “Dia melaksanakan nasihat-nasihatmu sekaligus. Sudah setahun lebih Arief tidak pernah datang ke Denpasar, tahu-tahu menelpon dan menyampaikan berita sudah punya anak....”

“Nanti aku jemput ke bandara....” kataku. “Ya, nanti ku sms jadwalnya....” kata Arini.
***

Arini yang anggun, cantik rupawan dan berpenampilan kaya, berdiri di tengah ruangan sambil memandang wajah adiknya. Adik iparnya datang untuk mencium tangannya, dia menerimanya tanpa senyuman dan hanya memandang sekilas. Perempuan berwajah manis berjilbab itu memandang suaminya, kemudian mereka saling tersenyum.

Sambil duduk di kursi plastik, digendongnya bayi lelaki mungil keponakannya sambil menciumi dan mencolek-colek pipi dan hidung mungilnya. Bayi itu tersenyum dengan ramah. “Semoga dia nanti tidak botak pada usia muda seperti ayahnya,” kata bibinya. Tanpa senyuman.

Arini melihat berkeliling ruangan.

“Kau mengontrak rumah ini?” tanyanya. “Ya, Mbak....” jawab Arief. “Berapa harganya? Aku akan membelikannya untukmu sebagai hadiah perkawinan kalau kamu mau menerimanya....” kata Arini. Arief tersenyum. “Terimakasih, Mbak. Tentu saja saya mau menerima hadiah dari mbakku sendiri.... “
***

Aku menemani Arini menginap di Hotel Savoy Homann sebelum penerbangannya kembali ke Denpasar keesokan harinya. Arini hanya sendiri, tanpa ditemani suami dan anak-anaknya. Sebelum ke hotel, Arini mengajakku mampir ke rumah masa kecilnya. Rumah itu dikontrakkan. Bentuknya dibiarkan masih tetap sama seperti dulu. Aku merasa rumah itu sangat besar sewaktu kecil dulu.

Ayah Arini meninggal cukup muda karena sakit, saat Arini baru mulai kuliah sedangkan Arief masih SMP. Ibu Arini menyusul meninggal karena sakit beberapa tahun kemudian. Ayah Arini mewariskan beberapa rumah –termasuk yang di Bandung- dan tabungan yang cukup besar di bank, sedangkan ibunya mewariskan banyak perhiasan.

Sejak saat itu, Arini dan Arief hidup berdua saja.

Keluarga ibu Arini dan keluarga ayah Arini tidaklah dekat, bahkan terlibat dalam perseteruan akibat perceraian kedua orang tua Arini itu. Arini memutuskan untuk menjauh dari mereka.

Setelah bertemu Arini di Bandung saat menengok bayi adiknya, sejak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Bahkan tidak pernah saling menelpon. Nomor handphonenya masih ada, tapi aku tak tahu apakah masih berlaku. Aku sendiri masih menggunakan nomor handphone yang pertama kali kupunya.
***

Idul Fitri, Hari ketiga, Senin, 13 September 2010.

Arini dan Arief

***
Arini memegang erat tangan Arief saat mereka berjalan berjingkat ke luar kamar ibunya. Sang bunda sesungguhnya tak tidur, memejamkan mata, berbaring tak bergerak, dan mendengar suara derit pintu terbuka. Suara bisikan anak perempuannya yang berumur 10 tahun kepada adik lelakinya yang berusia 4 tahun.

Kemudian pintu kamar sebelah terbuka dan terdengar suara perlahan seseorang. Sang bunda pun sesungguhnya tahu bahwa anak-anak rindu tidur bersama ayahnya. Arini tidur di sisi kiri ayahnya, sedangkan Arief di sisi kanan. Keduanya memeluk ayahnya seperti memeluk bantal guling.

Ayah yang tidak setiap hari ada di rumah.
***

Setiap malam, hanya lampu luar dan dapur yang menyala. Sedangkan lampu lainnya dimatikan. Lampu-lampu itu memberikan penerangan yang terbatas ke ruangan-ruangan di dalam rumah itu.

Arief takut dengan gelap.

Arini menjaganya agar merasa terlindungi saat mereka melangkah dari kamar ibunya ke kamar ayahnya. Ayahnya –entah sudah tidur atau belum- di dalam kamar tanpa nyala lampu,dapat melihat sosok-sosok yang datang itu dan bangkit untuk memberikan pelukannya.

Ayah yang selalu penuh dengan peluk cium.
***

Arini sebenarnya mempunyai kamar sendiri. Lemari buku cerita, meja belajar, dan rak boneka di kamarnya memperlihatkan betapa ayahnya pemurah dan mampu membelikannya banyak benda.

Ibu di rumah saja mengurus anak-anak. Ibu memasak, membereskan rumah, mengantarkan anak-anak ke sekolah. Arini berbisik di telingaku, “Ayahku, bukan suami ibuku lagi....” Kemudian lanjutnya, "Ayahku punya istri yang lain...."

Saat itu aku menginap di rumah Arini bersama Lia. Kami bertiga teman sekelas dan belajar bersama sambil menginap. Ibu Arini tidak datang ke kamar untuk berbicara dengan teman-teman anaknya. Dia menyiapkan makanan di atas meja makan dan kemudian tidak menampakkan dirinya.

Sedang dengan ayahnya, aku pernah bertemu sekali.
Kami berjalan-jalan dan makan di luar. Arief memegang tangan ayahnya sambil berceloteh dengan gembira. Arini dan aku berjalan di belakang mereka. Ayah Arini banyak bicara, mengajakku bercakap-cakap tentang banyak hal ketika kami makan. Saat itu, Ibu Arini di rumah sendirian.
***

Surat-surat antara aku dan Arini yang terpisah kota di masa SMP dan SMA, masih tersimpan dalam “peti”. Peti khas dari Pulau Lombok yang berwarna hitam dan berhiaskan kulit kerang yang ditanamkan di permukaan kayunya membentuk bunga-bunga dan dekorasi lain.

Setelah aku masuk perguruan tinggi, aku pun kehilangan kontak dengan Arini. Lima belas tahun kemudian, setelah seseorang menemukan apa yang disebut “handphone”, benda itu berbunyi dan seseorang di seberang sana mengajakku bicara.

Arini menelpon rumah ibuku untuk mendapatkan nomor handphoneku. Ibuku yang sudah sepuh masih tinggal di rumah masa kecilku. Begitulah ceritanya.

Sangat lama tak bertemu dengannya, aku merasa sedang berbicara dengan orang asing. Namun aku pun menyetujui untuk berkunjung ke rumahnya di Denpasar, sepulang dari perjalanan dari Kupang.
***

Aku berdiri di depan pintu, setelah sebelumnya seorang pembantu membukakan gerbang pagar halaman. Ketika pintu terbuka, seorang perempuan yang sangat cantik dan tak kukenal, berdiri di hadapanku dengan anak kecil perempuan yang juga luar biasa cantiknya mengintip dari balik roknya.

Perempuan itu melangkahkan kakinya dan merangkul pundakku. “Wajahmu terkelupas terbakar matahari....” katanya.

Inikah Arini? Pikirku. Cantik sekali.

Seorang pria yang tampan berdiri di tengah rumah. Aku menyalaminya.
“Suamiku, Rudi....” kata Arini. Kemudian anak-anak, si kecil yang cantik itu bernama Maya, sedangkan kakak lelakinya bernama Dewa. Mereka mencium tanganku dan keduanya berdiri di samping ayahnya karena ibunya sibuk membawaku ke kamar tempat menginapku.
“Letakkan tasmu di sini....” katanya. “Aku siapkan air hangat untuk mandi agar kamu merasa segar.”

Saat itu sore hari. Aku lelah dan mengantuk.
***

Aku berendam di dalam bath tub sambil bersandar. Arini duduk di sebuah meja sudut dari semen yang di atasnya terletak pot-pot tanaman mungil berdaun hijau cerah. Dia mengajakku berbicara tentang masa sekolah kami dulu.

Aku sama sekali tidak mengenalinya lagi. Arini menjelma menjadi perempuan yang sangat cantik, dengan suami yang tampan, anak-anak rupawan, dan memiliki rumah yang indah bergaya Bali dengan kamar mandi yang sama besarnya dengan kamar tidurku di Bandung. Suaminya seorang pengusaha restauran, katanya.

Aku menenggelamkan kepalaku ke dalam air bak. Seraya berfikir, wanita asing yang sangat cantik itu sedang melihatku mandi sambil berbicara denganku. Dulu kami suka mandi bersama, sampai kelas 6 SD.

Saat itulah aku teringat pada Arief.

Air menciprat karena aku keluar dari air dengan nafas tersengal. “Apa kabar adikmu?” tanyaku. Arini mengatakan bahwa adiknya masih di Bandung dan dia ingin aku bertemu dengannya. “Arief sering mengatakan bahwa dia suka kakak perempuan sepertimu. Tak banyak bicara....” katanya.

Aku memandang wajah Arini. Bagaimana mungkin, pikirku, Arief masih kecil ketika aku dan Arini lulus SD dan mereka kemudian pindah ke kota lain.
***

Aku tertidur di pesawat di sepanjang penerbangan Denpasar-Surabaya-Bandung. Oh, aku bermimpi bertemu dengan Arini, sahabatku di masa kecil. Pikirku dalam keadaan setengah sadar, perasaan mabuk orang yang baru bangun tidur dalam kelelahan yang luar biasa.

Ketika aku mengambil tas dari dalam kabin, aku menemukan sebuah bungkusan. “Titip bungkusan ini untuk Arief,” kata Arini.

Aku termangu.

Ternyata aku tidak bermimpi. Aku telah bertemu dengan sahabatku Arini. Aku dalam keadaan telanjang ketika melangkahkan kaki ke dalam bak air panas, dan dia sedang berbicara padaku. Itu bukan mimpi.

Aku naikkan ranselku ke punggung. Kemudian mengepit tas tripodku di ketiak kiri. Memegang bingkisan berwarna coklat itu dengan tangan kanan.

Melangkahkan kaki keluar dari ruang bagasi Bandara Juanda. Mencium bau udara Kota Bandung lagi.
***

(Bersambung)

Idul Fitri, Hari ketiga, Senin, 13 September 2010.