Senin, 17 Oktober 2011

Suami Percobaan


Seorang perempuan yang menganggap pernikahan sebagai malpraktek sosial, bertemu dengan pria yang bersedia menjadi kelinci percobaan. Mereka menikah tanpa pesta yang meriah, hanya menghadap penghulu. Tanpa cincin kawin. Untuk membuktikan bahwa pernikahan membuat cinta segera berakhir. Lalu mereka akan berpisah yang tak perlu disesali.

Praktek pernikahan telah membuktikan. Masa pacaran enam tahun, berakhir dengan pernikahan lima bulan. Masa pacaran tiga tahun, berakhir dengan kejemuan setelah setahun pernikahan. Pernikahan berakhir pada kelahiran anak pertama setelah merasa saling mengenal selama masa pacaran dua belas tahun. Akan lebih banyak lagi pernikahan yang berlangsung seumur hidup dalam kebahagiaan yang semu.

Terbukti bahwa pernikahan bukan satu-satunya pilihan dalam hidup bagi perempuan itu. Terbukti bahwa menikahi perempuan yang apriori terhadap pernikahan itu suatu saat akan berakhir karena pranata sosial yang mulia itu hanya akan bekerja di atas rasa hormat. Begitulah akhir dari percobaan itu sudah ditetapkan sejak awal.
***

Perempuan yang mempunyai suami percobaan itu membuat daftar pekerjaannya. Pria yang menjadi suami percobaan itu membuat daftar pekerjaannya juga. Masing-masing bekerja dan melakukan berbagai kegiatan seperti semula. Sebelum pernikahan mereka. Mereka hanya berbagi tugas yang baru karena telah hidup dalam sebuah rumah yang dibeli bersama dan diurus bersama.

Mereka tetap berteman dan bersahabat dengan teman dan sahabatnya masing-masing. Mereka hanya menambah teman dan sahabat baru karena teman dan sahabat perempuan itu menjadi teman dan sahabat suaminya. Dan sebaliknya.

Mereka tadinya tidak memasak tapi membeli masakan. Sekarang mereka memasak bergantian. Mereka tadinya mencuci bajunya sendiri. Sekarang mereka tetap mencuci bajunya masing-masing. Mereka hanya menggunakan mesin cuci yang sama.

Perempuan itu memelihara kucing Persia. Suaminya memiliki akuarium. Perempuan itu membeli sofa mewah dari kulit asli –dengan uangnya sendiri-  yang diinginkannya untuk bersantai sambil membaca buku. Suaminya terkadang menumpang tidur di situ. Suaminya mengkoleksi miniatur pesawat terbang yang mahal –dengan uangnya sendiri. Perempuan itu menganggapnya pemborosan tetapi tak mengatakan apa-apa.

Satu-satunya hal mewah yang mereka mau lakukan bersama adalah berbelanja buku dan peralatan elektronik. Itu pun mereka bisa saling meminjam. Mereka memiliki peralatan fotografinya masing-masing. Dan itu tidak saling dipinjamkan.

Mereka sama-sama ingin kamar mandi dengan bath tub yang besar, keran air panas, dan sandaran yang nyaman untuk membaca buku. Merekamembangunnya dengan uang bersama.
***

Lima tahun telah berlalu. Pernikahan belum berakhir. Perempuan itu merasa kehilangan bila suaminya bepergian selama seminggu saja. Suaminya menelepon hampir setiap hari bila ditinggalkan. Perempuan itu menyesal bahwa dirinta tak sempat menunggui kucing Persianya melahirkan 5 anak-anaknya karena sedang ke luar negeri. Di telepon, suaminya menceritakan bagaimana ibu kucing itu berjuang mengeluarkan anak-anaknya satu per satu. Ketika istrinya sedang di pedalaman Papua, suaminya tidak memberitahu istrinya bahwa ibu kucing itu sakit dan harus menjalani perawatan dokter hewan. Baru sesudah pulang, kabar itu disampaikan.

Terkadang suaminya yang bepergian lama. Perempuan itu tak merasa terganggu bila suaminya menelepon untuk menanyakan keadaan ikan-ikannya. Hampir setiap hari menelepon untuk menanyakan ikan, baru kemudian tentang istrinya. Dia tak pernah menanyakan kucing-kucing milik istrinya.

Mereka menonton film baru sambil berpelukan di sofa. Berendam bersama di dalam bath tub sambil bertukar cerita. Apa yang dialami selama dua minggu terpisah kota, atau pulau, atau negara. Buku baru yang dibaca. Banyak hal baru yang dibicarakan.
***

Terkadang perempuan itu melakukan pekerjaan berbulan-bulan di lapangan. Suaminya di rumah dengan ikan dan kucing-kucingnya. Begitu pun perempuan itu memberi makan dan menguras akuarium, bila suaminya pergi ke luar kota atau luar negeri.

Suatu hari perempuan itu bertemu dengan seorang pria di dalam jejaring pekerjaannya. Pria itu menyukainya. Menganggap perempuan itu mempunyai pernikahan semu yang boleh membuka kesempatan pada kehadiran pria lain. Tapi perempuan itu tidak membutuhkan pria lain dalam hidupnya. Dia membutuhkan pembuktian bahwa pernikahannya akan gagal bukan karena adanya pihak ketiga tetapi karena pernikahan itu sendiri tak berfungsi. Akan berakhir seperti yang diperkirakannya. Namun ia lupa, bahwa pernikahannya itu dilakukan dengan cara yang berbeda dengan konsepsi pernikahan yang dimusuhinya.

Dia tidak menjadi istri seperti yang dilakoni ibunya. Perempuan yang bekerja namun tetap mengutamakan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sebagai kewajibannya. Sehingga justru berperan ganda itu membuat ibunya memikul list pekerjaan panjang dan seringkali (selalu!) membutuhkan kerja lembur sepanjang pernikahannya.  Sedikit sekali (hampir tak ada!) kerja domestik yang dialihkan kepada pria, ketika seorang perempuan bekerja. Bahkan membuat kopi sekalipun!  Dalam kelelahannya, ibunya menjadi "tukang teriak" dan pengomel yang ucapannya sangat menusuk hati. Sedangkan ayahnya menjadi pria yang tak acuh dan suka menghindar. Itu yang diingat perempuan itu tentang ayah dan ibunya. Ibunya seorang guru. Sedangkan ayahnya seorang pegawai pemerintah (birokrat).
***

Ben bertemu dengan Nita ketika menjadi anggota panitia sebuah acara pagelaran kesenian di kampus.  Semua temannya berorganisasi untuk bisa mengincar gadis-gadis cantik dari fakultas lain,  terutama kelompok penari dari fakultas sastra yang akan ikut mentas. Sedangkan Ben malah mulai memperhatikan mahasiswa jurusan Antropologi yang berwajah tak acuh itu yang jabatannya sebagai “sie dokumentasi” dan selalu menyandang tas kamera selama kegiatan. Mahasiwi Antropologi itu bernama Nita.

Ben pernah membaca puisi yang ditulis Nita di koran kampus, tentang apa yang menyebabkan pernikahan menjadi lembaga yang “mengerikan” bagi perempuan. Sebuah pekerjaan kelas dua, bila akan dianggap pekerjaan. Sebuah peran sosial yang ”dimuliakan” dengan cara manipulatif karena sebenarnya tidak mulia karena tidak pernah berkedudukan sederajat dengan pria dalam pembuatan keputusan keluarga maupun publik. Sahabat-sahabat Ben selalu mengolok-olok di belakang, siapa yang akan memacari Nita di antara mereka. Sepertinya, siapa yang tak berhasil mendapatkan gadis penari yang cantik itu, akan mendapatkan Nita sebagai piala. Piala kekalahan lelaki dalam memperebutkan perempuan terpopuler. Nita dan puisinya itu membuatnya menjadi “perempuan yang paling tidak usah dipilih” oleh lelaki.

Ben menjadi asisten dosen di Jurusan Studi Pembangunan. Sedangkan Nita menjadi peneliti muda dan asisten dosen di Jurusan Anropologi. Mereka terkadang bertemu di kantin kampus pusat dan mulai membangun obrolan makan siang.

Nita mengatakan bahwa dia tidak akan menikah. Atau akan menikah dengan pria yang bersedia menjadi suami percobaannya. Untuk membuktikan pendapatnya bahwa pernikahan adalah lembaga yang kolot dan tak berfungsi bagi perempuan yang punya kesadaran tentang nilai kesetaraan dan kemerdekaan. Pernikahan adalah perbudakan bagi perempuan.

Nita tak menyangka bahwa Ben akan menyatakan bersedia menjadi suaminya. Maka, menikahlah mereka kemudian. Ben pria yang tak sangat tampan, tetapi dia tampan bagi Nita karena menjadi “pria tak biasa” yang tidak menolak gagasannya. Menikah percobaan. Suami percobaan. Istri percobaan. Tak bisa dihindari oleh Nita, bahwa dia akan jatuh hati pada pria yang tak merasa terusik dengan komentar sahabat-sahabatnya tentang dia.

Sedangkan Ben pun menyukai Nita karena mereka mempunyai hobi yang sama, membaca, nonton film, fotografi, dan travelling. Bagi Ben akan sulit mempunyai pacar atau istri yang tidak dapat menikmati hal yang sama. Ben tidak membayangkan akan menikah dengan perempuan yang hobinya membuat kue dan memasak di rumah, sementara dia lebih suka jajan di tempat-tempat yang berbeda. Ben juga tidak dapat membayangkan bahwa hidupnya akan disibukkan dengan menjadi orang tua bila menikahi perempuan yang suka sekali hamil dan menjadi ibu rumah tangga. Artinya Ben tidak lagi bisa melakukan perjalanan dan fotografi yang menjadi hobinya. Ben akan sibuk mencari nafkah sebagai bapak rumah tangga.

Bagi Ben, tak ada masalah menikah dengan Nita. Ben menghargai perempuan yang sebebas dirinya.
***

Sebagai seorang antropolog, Nita melakukan banyak kerja penelitian. Tetapi dia tidak pernah selesai dengan pernikahan percobaannya. Nita gagal membuktikan asumsi-asumsinya. Namun Nita tak keberatan atas kegagalannya itu.

Lima belas tahun telah berlalu, sekarang. Nita dan Ben masih tetap menikmati perjalanan-perjalanannya untuk menemukan pantai di pulau eksotis yang jarang didatangi orang asing. Keindahan menakjubkan yang dimiliki alam Nusantara ini dan sangat sayang bila tak dinikmati.

Mereka masih membaca bersama di sofa mahal Nita yang sudah mulai melepuh karena terlalu sering digunakan. Juga berendam bersama di bath tub yang keramiknya sudah tak semengkilap dulu lagi.

Bagi Nita, pernikahan dengan Ben tak membebaninya. Nita memperbaiki teorinya. Pernikahan adalah lembaga yang buruk bagi pria sebebas Ben. Sama buruk bagi perempuan bebas.
***

Ben dan Nita tak pernah membeli cincin kawin. Mereka adalah partner yang setia.
***

Perempuan di Balik Jendela

Perempuan di balik jendela.
Menghantar suaminya pergi kerja.
Menunggu anaknya pulang dari sekolah.
Memandang cuaca di langit.
Menjahit kancing baju yang lepas.
Minum secangkir teh manis sambil beristirahat dari kerja seharian.
Bersembunyi dari pandangan mata orang banyak.
***

Subuh hari, tirai jendela sudah dibuka.
Lantai disapu dan dipel.
Pakaian kotor yang telah direndam dalam air sabun semalaman kemudian dmasukkan ke dalam mesin cuci.
Sambil menunggu cucian, kompor gas dinyalakan dan air dijerang.
Kopi dan teh panas disiapkan.
Nasi goreng atau roti di tata di atas piring.
Pakaian suami dan anak-anak disiapkan di atas tempat tidur.
Setelah mereka berangkat, rumah menjadi sepi.

Perempuan itu menyelesaikan membilas dan mengeringkan cuciannya.
Lalu menjemurnya di atas loteng rumahnya.
Kemudian menyirami tanaman-tanaman di dalam pot dengan menggunakan ember dan gayung di loteng maupun di teras rumah.
Setelah mencuci beras dan memasukkannya ke dalam majik jar, ia bergegas pergi ke pasar dengan naik motor.
Matahari sudah naik ketika ia sedang berbelanja.
Membeli sayuran, ikan, dan makanan terbaik untuk keluarganya.
Pulang kembali ke rumah, membersihkan semua bahan makanan.
Sambil memasak, perempuan itu memakan sisa makanan kemarin.

Ketika anak-anak pulang sekolah, hidangan sudah selesai dimasak.
Perempuan itu menyiapkan pakaian salin anak-anaknya.
Piring dan alat-alat memasak masih belum dicuci.
Perempuan itu pun masih belum sempat mandi.
Tapi sudah tiba waktu mengantar anak lelakinya yang berusia 8 tahun, les berenang.
Perempuan itu mencuci muka dan kemudian membonceng anaknya dengan motor ke kolam renang.
Sedangkan anak perempuannya yang di SMA berangkat sendiri ke tempat les musik.
Sambil menunggui selama 1 jam di tepi kolam renang, perempuan itu membuka facebook dengan menggunakan blackberry yang dibelinya secara mencicil.
Menulis status baru bahwa hatinya begitu bahagia memiliki kehidupan seorang istri dan ibu yang sempurna.
Menyapa teman-temannya di jejaring sosial dan membalas sapaan mereka.

Sore hari, anak-anaknya mandi terlebih dahulu, barulah perempuan itu mandi.
Setelah menghabiskan cucian segunung piring, gelas, dan peralatan dapur yang belum sempat dikerjakannya sejak siang.
Kemudian suaminya pulang dari kantor.
Segelas teh manis panas tersaji untuknya di atas meja.
Perempuan itu menyiapkan peralatan mandi, handuk, sandal dan pakaian salin untuk suaminya.
Sesudahnya, perempuan itu dalam waktu bersamaan harus menyiapkan makan malam dan memandu anak-anaknya belajar, mengerjakan PR-nya.
Kemudian mencuci piring bekas makan malam.
Serta memilah-milah tumpukan pakaian kotor yang akan direndam.

Malam hari mulai larut, perempuan itu masih menyempatkan diri membuat catatan belanja.
Menghitung pengeluaran.
Membuat daftar kebutuhan yang harus disediakan bulan ini.
Mencatat pengeluaran besar yang harus dikeluarkan dalam waktu dekat: uang semester anak-anaknya.
Kemudian menyusul suaminya yang sudah terlebih dahulu berbaring di tempat tidur.
Memejamkan mata dan mencoba mengistirahatkan pikirannya dari daftar pekerjaannya yang sudah berakhir hari ini dan akan dimulai lagi esok hari.
***

Terkadang perempuan itu mencuri waktu untuk duduk di kursi teras rumah.
Melihat ke jalan gang yang panjang mengular dan penuh tikungan.
Melihat ke atas langit melalui pucuk pohon ceremai yang hijau.
Membelai-belai tanaman di potnya yang sedang mengeluarkan putik bunga.
Sambil berdiri, dibukanya facebook dan ditulisnya status baru: Hari ini aku memasak makanan kesukaan anak-anakku....

Hari minggu biasanya perempuan itu dan keluarganya bercengkerama di teras rumah.
Sang ibu membenahi tanaman mawar dan melati dalam pot yang setiap berbunga fotonya di-upload di dinding facebook.
Anak perempuannya asyik menuliskan sesuatu di layar notebook mungil berwarna pink. Tersenyum-senyum sendiri.
Ayahnya mencuci mobil charade kecilnya yang dibeli bekas di halaman Stadion Persib pada suatu hari minggu. Serta mencuci motor istrinya.
Anak lelakinya memainkan bola basket.
Sebuah keluarga yang cantik di dalam foto bersama.
Bila tetangga lewat dan menyapa mereka. Mereka pun membalas menyapa dengan ramah.

Minggu ini rumah mereka menjadi sepi. Tidak terlihat seorang pun.
Hanya sedikit tetangga yang mendapat undangan dari keluarga itu.
Anak perempuannya yang belum sempat memperoleh ijasah SMA itu sedang melangsungkan pernikahan di sebuah gedung.
Mempelai perempuan itu nampak cantik dan dewasa namun kurang serasi dengan mempelai pria yang nampak terlalu muda dengan pakaian adat yang dikenakannya.
***

Perempuan yang memandang keluar dari balik jendela.
Sekarang jarang terlihat di teras rumah.
Dia tak pernah lagi membuka facebook. Tak lagi membalas sapa sahabat-sahabatnya.
Tak lagi bersama keluarganya bersenda gurau di halaman rumah.
Bunga-bunga mawar menjadi kerdil dan daunnya dipenuhi bercak putih.
Rumput-rumputnya tak lagi rapi.

Kesedihan akan berlalu. Hanya butuh waktu.
***

Selasa, 11 Oktober 2011

Ternate dan Tidore

Pada masa lampau, Kepulauan Maluku dipimpin oleh 4 Kesultanan yaitu Ternate, Tidore, Jailolo (Halmahera Barat) yang pada awalnya merupakan kesultanan terbesar dan Makian. Kesultanan Ternate menaklukkan Jailolo dan menjadi yang terkuat. Persaingan antara Kesultanan  Ternate dan Tidore selalu diwarnai dengan adanya kekuatan asing yang datang ke Maluku (Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris). Sekarang, Kota Ternate masih berfungsi sebagai ibukota Propinsi Maluku Utara meski ibukota sudah dipindahkankan ke Sofifi, Halmahera Barat, sejak tahun 2010.

Benteng Toloko (Holanda). Belanda 1810. Jarak 1,5 Km dari
Istana Sultan. Kota Ternate. Di latar belakang adalah Pulau Tidore.

Kota Ternate dari atas Benteng Toloko.

Pulau Tidore dan Maitara dilihat dari Benteng Kalamata (Kayu Merah) Ternate.


Pelabuhan Ahmad Yani, Ternate. Di latar belakang adalah Pulau Tidore.






Pulau Ternate dilihat dari kapal yang meninggalkan Pelabuhan A. Yani.








Pulau Ternate (kiri), Pulau Maitara (tengah) dan Pulau Tidore (kanan) semakin menjauh.






Pulau Tidore (belakang) dan Pulau Maitara (depan) dilihat dari
dekat Benteng Kota Janji Ngade (Portugis 1530) Ternate.
Pulau Tidore dan Pulau Maitara dilihat dari kapal yang meninggalkan
Pelabuhan A. Yani Ternate.
Pulau Tidore (kanan) dan Pulau Maitara (kiri) di uang seribu.

Perempuan Jawa, Mereka Menyebutku

"Perempuan Jawa..." bisik-bisik penumpang bis sambil melihat ke arah saya pada sebuah kegiatan di Bajawa, Flores. Ketika saya menoleh, mereka tersenyum ramah sehingga saya membalas senyumannya.

"Perempuan Jawa..." desis sejumlah orang sambil menatapku tak ramah, dan plakkkkk, pasir di pantai Kota Dili dilemparkan ke arahku. Anak-anak berlarian, sementara orang-orang dewasa memandangku dengan tertawa sinis. Peristiwa ini terjadi tahun 1995, sebelum referendum tahun 1999 yang menjadikan Timor Timur terlepas dari Indonesia.

"Perempuan Jawa, suaranya kecil...." kata gadis-gadis di sebuah desa di Sumba. Aku mengernyitkan alis karena di rumah aku dianggap bersuara terlalu lantang. Mereka mengajak aku menari kolektif dan mentertawakan kekakuan gerakanku. Menurutku gadis-gadis  bermata belo itu seperti gadis Pakistan.

"Perempuan Jawa, kulitnya halus ya..." ibu-ibu tertawa-tawa sambil mencolek pipiku di sebuah desa yang dingin di Timor Tengah Utara. Mereka bilang kulitku halus dan basah karena minum air putih banyak sekali. Sementara mereka minum air hanya setelah makan saja, saya perlu minum sepanjang hari dan selalu membawa-bawa botol air. Sama seperti di Sumba, mereka juga mengajari aku menari. Suara gemerincing lonceng-lonceng gelang kaki mengiringi gerakan yang enerjik.

Ketika saya pertama kali pulang ke kampung suami, di Orahili Gomo, Nias Selatan, para kerabat berbicara dalam bahasa lokal, entah apa, tetapi saya juga mendengar mereka mengatakan "Perempuan Jawa" ke arah saya. Mereka mengatakan "Perempuan Jawa yang tersenyum..." Karena mereka pikir perempuan Jawa lainnya yang dibawa pulang kerabat/kenalan, sombong, tidak banyak bicara dan juga tidak tersenyum. Padahal saya tersenyum karena tidak mengerti apa pun pembicaraan mereka dan tidak dapat mengatakan apa-apa dengan para orang tua dan kerabat.

Di sebuah pedesaan di Sulawesi Selatan, saya sudah memperkenalkan diri sebagai orang dari Bandung, dan itu di Jawa Barat. Kemudian ada warga yang baru datang, berbisik ke seseorang di sebelahnya, siapakah tamu itu. Maka dijawabnya secara berbisik pula: Perempuan Jawa.

Tahun 1999 saya ke Papua, memperkenalkan diri sebagai orang dari Bandung kepada masyarakat Dani di sebuah desa. Pertanyaannya: Bandung itu dimana? Ketika saya jelaskan Bandung itu dekat Jakarta, di Jawa Barat, maka komentarnya: Oh, orang Jawa. Bahkan ada yang mengatakan: Oh, orang Indonesia.

Barulah ketika saya ke perdesaan di Aceh, mereka mengangguk-angguk dan mengerti bahwa saya orang Sunda. Komentarnya: Orang Sunda itu bahasanya banyak menggunakan huruf "eu" seperti bahasa di Aceh. Rasanya saya tidak percaya bahwa orang Aceh ternyata bisa membedakan orang Sunda, dan tidak menyebut saya "Perempuan Jawa." Mungkin kali itu kebetulan ketemu dengan orang yang tahu. Tapi beberapa kali kemudian saya jadi percaya bahwa orang Aceh bisa membedakan orang Sunda dan Jawa.

Mungkin apa yang saya alami tidak mewakili pemahaman masyarakat di keseluruhan daerah itu, apalagi yang saya maksudkan adalah orang desa yang mungkin kurang mengenal dunia luar. Tapi yang jelas, itu mewakili pengetahuan masyarakat Indonesia yang mayoritas di perdesaan. Saya disebut "Perempuan Jawa" dan ditertawakan ketika mencoba menjelaskan bahwa saya orang Sunda, bukan Jawa. Mereka bilang: Orang Sunda itu dimana? Ketika saya jawab di Jawa Barat, maka tertawalah mereka sambil berkata: Lho, kan itu orang Jawaaaa juga....

Ampun lah. Termasuk mertua saya pun, seorang petani yang ramah, sampai sekarang mengatakan bahwa saya (menantunya) perempuan Jawa. Ya, sudahlah.

Ketika anak-anak saya ikut pulang ke kampung ayahnya, tanggapan mereka berbeda. Baru 2 hari si kecil sudah ingin pulang. Kata si kecil (saat itu 5 tahun): "Ayah, saya mau pulang ke Indonesia.... enggak enak, di Nias enggak ada komputer...." Sementara itu, si sulung (waktu itu 10 tahun) berkomentar: "Ayah itu orang Nias yang beruntung, bisa terdampar di Bandung.... dan makan pizza..."

Maklum, pizza dan burger itu sudah jadi makanan kegemaran anak-anak. Akibat gencarnya iklan di TV.

Bahkan Indonesia masih diartikan sebagai Jawa oleh anak kecil dan orang Papua itu. Tapi itu tidak sengaja, saya kira, karena kurangnya pemahaman tentang negeri Indonesia. Sama seperti ibu saya ketika bertanya kepada seorang teman dari Kupang yang berkunjung ke rumah kami di Bandung: “Timor itu dimana?”

Tapi berbeda dengan seorang kenalan di Tapak Tuan, Aceh, yang secara sengaja menyebut saya sebagai orang dari “negara tetangga”. Seolah menyatakan bahwa negeri kami adalah Negeri Aceh yang tetap (akan) merdeka.
***

Saya sedang menikmati pemandangan laut dan pulau-pulau yang terlewati di geladak kapal. Pulau Ternate dan Tidore nampak berjajar berdampingan. Selama saya di Ternate, pulau yang dapat dikelilingi dengan mobil selama sekitar 1 jam tanpa berhenti itu nampak selalu diikuti oleh Pulau Tidore. Benteng-benteng pertahanan di sekeliling Pulau Ternate seolah semua menghadap Pulau Tidore.

Sekarang, dalam perjalanan menuju Kepulauan Sula, saya melihat Pulau Ternate dan Tidore –bagai dua gunung yang berdiri bergandengan- semakin menjauh dan mengecil. Ketika kapal berangkat dari Pelabuhan Ahmad Yani Ternate, saya baru menyadari bahwa gambar Pulau Tidore dan pulau kecilnya –Maitara- yang terdapat di uang kertas seribu itu difoto dari arah kapal yang sedang saya tumpangi.

Sambil memperhatikan menjauhnya Pulau Ternate dan Tidore, saya mulai melihat bahwa banyak anak muda yang menjadi penumpang kapal. Kebanyakan pemuda, hanya beberapa pemudi. Apa yang dilakukan anak-anak muda ini, pikir saya, tentu mereka meneruskan sekolah. Kalau mereka masuk ke perguruan tinggi mereka harus ke Kota Ternate atau Ambon atau Makasar.

“Pulau apakah itu?” tanya saya kepada pemuda yang duduk di dekat saya. Tiga pulau nampak mengambang di kejauhan. “Tidak tahu....” katanya. Dia tidak tahu nama pulau yang ada di dekat pulau kelahirannya? Oh, oh. Saya menanyakan ke beberapa anak muda yang lain. Mereka mengangkat bahu atau menggelengkan kepala. “Tidak tahu,” katanya.

Pemuda berwajah ramah tapi nampak pendiam itu, berbalik menyapa saya. “Mau kemana?” Tanyanya. “Sanana...” Jawab saya. “Darimana?” Tanyanya lagi. “Jakarta....” Jawab saya. “Oh, dari Jawa...” Katanya.

“Kamu mau kemana?” Saya balas bertanya. “Sanana...” Jawabnya. “Kamu orang Ternate?” tanya saya lagi. “Bukan. Saya orang Sanana...” Katanya.

“Oooo, kamu pulang dari Ternate...” Kata saya penasaran. “Bukan, saya dari Manado....” “Oooh, kamu sekolah di Manado....” kata saya lagi. “Bukan, saya hanya main, diajak saudara. Saya mau cari kerja....” katanya lagi. “Saya belum pernah ke Ternate....”

Pemuda itu memang pendiam rupanya. Ucapannya pendek-pendek. Namun dia juga terdorong rasa ingin tahu. “Mengapa berani bepergian ke tempat jauh?” Tanyanya. Saya mengernyitkan kening. “Memangnya kenapa saya harus takut?” Tanya saya. Pertanyaan untuk mengorek keterangan.

“Tidak takut seseorang merampas barang-barang, Ibu?” Tanyanya lagi. “Apakah hal semacam itu akan terjadi?” Tanya saya. Pemuda itu terdiam.

“Pernah ke Jakarta?” Tanya saya. “Tidak pernah....” Jawabnya. “Pernah ke Pulau Jawa?” Tanya saya lagi. “Tidak Pernah....” Jawabnya.

“Saya baru pertama kali ini ke luar pulau... Diajak saudara yang kerja di Manado....” katanya. “Saya ingin ke Ternate untuk mencari kerja....”

Kami tidak bercakap-cakap lagi. Pemuda itu melakukan perjalanannya sendirian. Pulang ke kampung asalnya di Pulau Sanana. Pulau yang tidak memiliki akses informasi tentang dunia luar. Saya mencoba ke warnet di Sanana, ternyata untuk mengirim satu email saja membutuhkan waktu hampir 1 jam. Harga warnet pun mahal, Rp.10.000 per jam. Tak ada toko yang menjual koran.

Maluku yang disebut propinsi sejuta pulau itu dimekarkan menjadi dua propinsi. Propinsi Maluku yang beribukota di Ambon dan Maluku Utara yang beribukota di Ternate. Pemuda Sanana itu bahkan belum pernah berkunjung ke Ternate.

Hanya melihat Ternate dari kapal dalam pengalaman pertamanya melakukan perjalanan ke Manado. Hanya pernah menginjakkan kaki di tanah Ternate saat kapal berlabuh di Pelabuhan Ahmad Yani.

Mungkin usianya 20 tahun. Sudah lulus SMA.

***

Perjalanan-perjalanan membuat saya sering disebut “Perempuan Jawa”. Menjadi “perempuan” merupakan suatu arti sendiri. Perempuan yang bepergian jauh ke ujung tanah air, sungguh suatu hal yang menarik perhatian. Lantas “Jawa” adalah sebuah tempat yang menjadi pusat kemajuan, pembangunan, dan pusat kekuasaan di Indonesia. Tempat yang jauh sekali.

Perjalanan ke beberapa pulau di luar ibukota Maluku dan Maluku Utara ini membuat saya mengerti bahwa banyak orang yang tidak pernah memimpikan untuk sampai ke Jawa. Mungkin berjuta-juta orang Indonesia di ribuan pulau kecil itu begitu.

Pemuda Sanana itu, memimpikan untuk kelak menginjakkan kaki ke Ternate, sebuah kota yang ramai dan modern. Dia tidak ingin ke Ternate untuk kuliah, karena tahu orang tuanya tak mampu membiayai. Dia hanya ingin pergi dari pulaunya yang sepi.

Perempuan Jawa. Sebutan itu tergores dalam hati saya. Terutama ketika seorang yang mengatakannya menatap wajah untuk membayangkan dimanakah gerangan Jawa itu. Seperti apa bayangan seorang yang belum pernah ke Jawa tentang negeri bernama Indonesia itu. Saya pun ingin membayangkannya.

***

Senin, 10 Oktober 2011

Ono Niha

Orahili Gomo. Kampung di tepi Sungai Gomo. Kampung tertua yang melahirkan Ono Niha (Orang Nias) terletak di Boronadu. Harus jalan kaki 2Km dari ujung jalan yang terjangkau motor. Next visit harus sampai ke kampung moyang keluarga suamiku itu.
Mandi di Sungai Gomo.
Anak-anak Gomo pulang sekolah.
Sawah yang hijau di Gomo.




Rumah adat keluarga Telaumbanua di Gomo.

Tengah dan kanan, penghuni rumah. Keluarga Telaumbanua.

Makam-makam di halaman rumah. Cinta keluarga.

Makam di depan pintu masuk rumah. Bisa jadi tempat duduk dan jemuran.

Dua Anak Lelaki

Pria-pria dan para wanita menari Maena. Segala usia. Sebuah tarian kolektif yang menggabungkan seluruh kerabat dekat, jauh, sangat jauh, dalam sebuah harmoni tari dan nyanyi. Tidak membedakan status sosial ekonomi. Tidak membedakan kedudukan dalam adat. Suara bergemuruh karena menyanyi bersama. Hentakan kaki bersama.

Akhirnya pesta pernikahan berlangsung lancar setelah perdebatan sengit mengenai mas kawin (böwö) menyita semua energi. Semua bernafas lega.

Berkat Hala.

Pemimpin keluarga yang baru telah lahir. Menggantikan Bapak yang sudah tua. Pamor keluarga terselamatkan dengan hadirnya anak yang bisa menggantikan kepemimpinan sang Bapak. Itulah sebabnya anak lelaki selalu menjadi anak emas dalam keluarga.

Sang bapak memandang anak-anak lelakinya dengan bangga. Hulu, anak lelaki sulung yang sudah jadi orang Jakarta. Hala, anak lelaki bungsu yang baru lulus dari universitas di Medan dan sedang melamar menjadi birokrat, memiliki kebijakan dan pengetahuan adat yang dibutuhkan seorang pemimpin keluarga.

Hala menghormati abang lelakinya. Merendahkan hati kepadanya. Hulu menyadari bahwa dirinya sudah tak tahu adat dan merelakan kekuasaannya sebagai anak lelaki sulung kepada adiknya. Kedua anak lelaki itu saling menyadari situasinya. Hanya mereka berdua anak lelaki dalam keluarga, enam lainnya adalah anak perempuan.

Itulah yang membuat sang Bapak merasa bangga. Air mata tergenang di pelupuk matanya melihat kedua anak lelakinya itu.
***

Seminggu sebelumnya. Kehadiran Hulu menjadi sebuah suka cita bagi orang tua dan keluarganya. Si anak yang hilang yang jarang pulang. Banyak hal yang mereka ingin bicarakan tapi mereka harus membicarakan pernikahan seorang adik perempuan Hulu. Belum lagi hewan-hewan yang harus dipotong untuk pesta.

Perbincangan-perbincangan dengan orang tua, kakak perempuan, dan adik-adiknya harus membuat Hulu mengerti mengapa sang Bapak meminta seratus juta rupiah untuk mas kawin (böwö ) anak perempuannya. Tapi Hulu tak mau mengerti.

Seorang lelaki sarjana dan pegawai pemerintah, akan diminta böwö yang lebih kurang daripada lelaki yang sekolahnya rendah dan kerja petani. Hutang adatnya akan berlangsung selama hidupnya.Tetapi seorang perempuan yang bersekolah tinggi dan menjadi pegawai, akan menaikkan kembali böwö yang diminta. Adik perempuan Hulu itu bersekolah di Jakarta sampai D-3 atas biaya dari abangnya, Hulu. “Berapa yang kamu minta untuk pengganti biayamu menyekolahkan adikmu....” tanya sang Bapak.

“Itu semua sudah kuno....” kata Hulu dengan wajah mencela. “Mengapa kalian masih ketinggalan jaman dan tidak melihat bahwa dunia ini sudah berubah.... Tuntutan adat sebesar itu hanya akan membuat masa depan suram. Baru mau menikah sudah berhutang banyak....”

Ayah Hulu –seorang yang sangat kuno dan karena kekunoannya itu terlalu hormat pada anak lelaki sulungnya- terdiam. Termangu. Merasa apa yang disampaikannya –suatu hal yang wajar saja dalam adat di masyarakatnya- dikecam oleh anak lelakinya.

“Abang tidak bisa mengecam adat kuno di sini. Adat kuno itu tidak bisa dilanggar. Tidak sepenuhnya harus kita ikuti. Tetapi harus dijalankan....” Adik lelakinya –Hala- menyatakan pendapatnya. Meskipun Hala merantau ke Medan, namun tidak sampai selama abang sulungnya dan masih lebih sering mudik. Karena itu ia memaklumi abangnya yang hidup di Jakarta –setelah selama puluhan tahun merantau dalam perjalanan yang keras untuk bertahan hidup di kota besar- adalah seorang yang suka berdebat dan tidak memedulikan bahwa di kampung halamannya seorang anak lelaki sulung tak terbantahkan. Orang tua pun tak membantahnya. Tunduk padanya. Bahkan nama seorang Bapak pun hilang ketika anak lelaki sulungnya hadir. Ama Hulu (Bapaknya si Hulu), begitu nama baru bapaknya. Ina Hulu (Ibunya si Hulu) begitu nama baru ibu mereka. Meskipun Hulu mempunyai tiga kakak perempuan yang sudah menikah, dalam keluarganya, dialah yang akan menjadi pemimpin, penerus bapak.

“Kau Hala, percuma saja sekolah sampai sarjana kalau kau biarkan adat itu menyengsarakan orang di kampungmu. Dalam keluargamu....” Angkuhnya seorang kakak lelaki tetap membuatnya berkeras.

“Kita tidak bisa mengubahnya secara drastis. Memang kita harus memberi pengertian kepada orang-orang tua bahwa harus ada perubahan. Harus ada pengertian kepada orang-orang muda yang baru bekerja. Baru akan menikah....” kata Hala dengan sabar. “Itu tidak mudah, Abang. Kalau tidak Bapak kita akan dihina keluarga besar kita....”

“Biarkan saja kebodohan itu....” bentak Hulu. “Mereka tidak menyumbang apa pun kepada kita saat bersekolah. Bahkan menghina ayah kita karena menyekolahkan kita dengan susah payah. Bapak juga dihina karena tidak bisa membuat pesta-pesta adat untuk dihormati orang..... Kenapa mereka sekarang yang menentukan böwö untuk adik perempuan kita?”

Sang adik terdiam. Bersikap bijaksana agar suasana tidak meruncing.
***

Sopan santun membuat sang adik menyimpan pendapatnya, bersabar dan berkata pada kakak lelaki sulungnya. “Apa keputusan, Abang?” Untunglah rasa tahu diri dan sifat jujur membuat sang abang menjawab. “Buatlah keputusan olehmu. Kamu lebih tahu adat daripada aku....” Sang adik tahu abangnya tidak sedang merajuk atau menyindirnya, maka dirangkulnya sang abang dengan penuh sayang. “Berapa uang bagian abang?” tanya sang adik dengan senyum menggoda. “Aku tak mau sepeserpun!!” bentak Hulu. Menganggap hal serupa itu sebagai suatu kekonyolan sehingga pertanyaan itu pun menjengkelkannya.

“Aku rasa 5 juta rupiah akan cukup bagi harga diri abang sulung kita, Bapak....” kata sang adik sambil tertawa ke arah bapaknya. “Abang boleh kembalikan uang itu kepada kedua mempelai untuk modal mereka dalam membentuk rumah tangga baru.... Bukan begitu, Abang?” tanya Hala kepada calon kakak ipar lelakinya yang hadir menontoni perdebatan menarik keluarga calon istrinya. Sang calon ipar –seorang pedagang muda yang sedang mengalami kemajuan- tersenyum sambil mengangguk-angguk.

Maka dirancanglah oleh Hala keputusan-keputusan tentang böwö yang harus dibuat bapaknya, baik itu nilai uang, emas dan hewan yang dibutuhkan. Calon iparnya ikut memberi pandangan berdasarkan kemampuan dia. “Jangan kurangi jumlah emas yang menjadi hak paman-paman kita, Bapak....” kata Hala dengan sikap seperti seorang politisi yang sedang menyusun siasat mengalahkan lawan. “Jumlah emas tetap sama, kemudian dikonversi menjadi sejumlah uang sesuai dengan kemampuan kita. Katakan kepada para paman bahwa penghargaan kita tak berkurang, tetapi uang kita tak cukup....”

Hala berkata kepada sang Bapak. “Tugas Bapak untuk mengatakan bahwa kita menghargai para paman senilai emas yang menjadi haknya. Tapi uang tak mencukupi sehingga kita memohon kebijaksanaannya....”

Sang Bapak menganggukkan kepala tanda mengerti. Memandangi anak lelaki bungsunya yang sedang melakukan peran penting dalam keluarga. Kemudian pandangannya berpindah kepada anak lelaki sulungnya yang acuh saja. Anak sulungnya itu malah menggoda nenek-nenek yang duduk di sampingnya –kakak perempuan sulung sang Bapak- sehingga perempuan tua itu tertawa senang. Perempuan tua berwajah keriput itu –dengan sorot mata seorang manusia yang perjalanan hidupnya panjang dan rumit- mengelus pipi keponakannya sambil berlinangan air mata. “Kalian orang-orang berhati baik....” katanya berbisik di telinga sang keponakan.

Anak lelaki sulung yang menolak tanggung jawab menjadi pimpinan adat dalam keluarga. Anak yang sudah tak tahu adat dalam berkata kepada Bapaknya. Orang kampung yang puluhan tahun merantau di Jakarta sehingga tak bisa berbicara santun dengan tetua-tetua dalam keluarga. Begitulah sosok Hulu. “Aku mencintai kalian lebih daripada anak-anakku sendiri....” perempuan tua itu berbisik lagi di telinga Hulu. Perempuan tua ini bersuamikan lelaki yang paling kuno dan pemarah dalam setiap musyawarah keluarga atau musyawarah adat kampung. Dan memiliki anak-anak lelaki yang menjadi pengikut Bapaknya.

Hala tahu bahwa figur kakak sulungnya itu menyulitkan Bapaknya. Menjadi musuh adat dalam keluarga maupun masyarakat akan berkonsekuensi berat bagi Bapaknya.

.***

Amplop-amplop berisi uang bertumpuk di atas meja. Di hadapan Bapak.

Para paman dari pihak mama, paman dari pihak bapak, sepupu-sepupu bapak, istri-istrinya, dan anak-anaknya, berkumpul dalam sebuah lingkaran di dalam rumah. Hala berada di samping ayahnya, menjadi pembisik. Bapaknya akan menjelaskan tentang pembagian böwö yang diberikan pihak mempelai lelaki yang meminang anak perempuannya.

Mama dan anak-anak perempuan, termasuk calon mempelai perempuan, dan para ipar lelaki dari kakak-kakak perempuan Hulu yang sudah menikah, duduk dalam satu kerumunan. Hulu duduk di samping pamannya yang paling tua dan pemarah. Sang paman duduk dengan sikap angkuh, kaki naik ke atas kursi, dan letak tangan yang gagah.

Sang Bapak menjelaskan jumlah böwö dan pembagiannya berdasarkan tata cara adat yang berlaku. Bagian untuk para paman. Bagian untuk abang sulung yaitu Hulu. Bagian untuk keluarga semarga. Para pekerja yang memasak dan melakukan segala hal selama pesta pernikahan. Penjabaran itu dilakukan dengan hati-hati. Cukup lama. Sebuah proses diplomasi yang melelahkan. Menegangkan.

Seorang sepupu Bapak yang hadir mewakili ayahnya yang sakit, mendengarkan dengan seksama, kemudian serta merta berdiri. Sebuah bungkusan kertas putih diletakkannya di atas meja, sambil berkata. “Keluarga kami menerima emas yang diberikan kepada Bapak kami dengan rasa terimakasih atas penghormatan dan kasih sayang tersebut. Nilai uang yang diberikan tidaklah penting. Kami mengerti saat ini sangat sulit mendapatkan uang sebesar itu bila harga emas diuangkan....” katanya. Kemudian bungkusan itu diserahkan kepada sang Paman, bapak dari calon mempelai perempuan. “Kami sekeluarga memberikan hadiah ini untuk adik kami yang akan menikah. Sebuah emas yang sangat kecil hanya sebagai tanda kami merestui dan mengharapkan masa depan yang baik bagi mereka yang menikah....”

Bapak menggenggam bungkusan kecil itu kuat-kuat dan meneteskan air mata. Suasana menjadi hening dan hikmat.

Proses musyawarah tidak diperlukan lagi. Semua menerima amplop dan mengatakan hal yang sama. Menerima, memahami, dan mendoakan. Paman yang sulung mengambil amplop uang yang menjadi bagiannya. Mencerca dan menyatakan ketidakpuasannya mengenai nilai uang “simbolik” dari pembagian adat tersebut sambil berangkat pulang.

Hampir saja Bapak terpancing emosi mendengar kata-katanya. Namun Hala mencegah Bapaknya. Memegang dan memeluknya dari belakang. Hulu tak mengacuhkan ketegangan itu dan duduk saja menonton tanpa berkata-kata.

Hala menjabat erat tangan sepupu-sepupu bapak dan ibunya yang telah memberikan dukungan terhadap musyawarah keluarga itu. Berpelukan. Mereka saling mengangguk tanpa berbicara, hanya tanda saling mengerti.

Beberapa dari sepupu ini adalah birokrat yang telah bersusah payah mencapai pendidikan tinggi sebelumnya. Sebuah pengertian yang terjalin dari orang-orang yang sudah melihat dunia yang lebih luas yang diberikan di institusi pendidikan dan kemudian membawanya kepada kesempatan-kesempatan untuk berubah.

***

Pernikahan kemudian dilangsungkan dengan meriah.

Sesudah itu Hulu kembali ke Jakarta. Kembali kepada pekerjaannya di sebuah perusahaan otomotif. Masih tetap menggerutu bila mendapat telepon dari Hala tentang hal-hal adat yang harus melibatkan pendapatnya sebagai anak lelaki sulung.

Lalu Hala menjadi birokrat di pemerintahan daerah, menikah dengan perempuan berpendidikan dari keluarga terpandang, dan menjadi orang yang dihormati di masyarakat. Menjadi pemimpin keluarga yang baru, menggantikan figur Bapaknya. Juru bicara keluarga dalam musyawarah keluarga dan masyarakat bila bapaknya berhalangan sakit.

“Rumah dan kebun semuanya adalah hak abang selaku anak lelaki sulung. Bapak dan mama sudah terlalu tua untuk mengurusnya....” Suatu hari Hala menelepon abangnya. Mendapat warisan rumah, kebun, ladang, bukanlah mendapatkan harta, tapi memperoleh kewajiban-kewajiban sebagai pemimpin dalam keluarga.

“Ah, kau ambil sajalah itu. Aku kan tidak akan pulang ke kampung lagi....” kata Hulu tanpa berpanjang-panjang.”Ya sudah kalau begitu....” Hala maklum dengan abangnya yang tak sabaran. “Ya’ahowu, Bang.... Salam sejahtera untuk istri dan anak-anak....”

“Ya’ahowu, Dik.... Jaga orang tua kita....” kata Hulu. Membanting telepon.
***

Daftar Istilah:
  • Böwö (dibaca “Bewe”) = Arti harafiahnya adalah “pemberian dengan kasih”. Bewe dalam adat perkawinan berarti jujuran (mas kawin) yang diberikan pihak mempelai lelaki.
  • Ya’ahowu! = Salam! (Bahasa Nias), serupa dengan Horas! (Bahasa Batak).

Note: Kisah ini terinspirasi oleh keluarga suamiku yang berhati baik dan penuh cinta. Terutama Bapak yang bersedia mengorbankan nilai-nilai adat demi menghormati anak-anak lelakinya –yang sudah punya pandangan baru akibat memperoleh pendidikan tinggi yang diperjuangkan Bapak sendiri. Pasti itu sesungguhnya menyakitkan hatinya.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Merry dan Gorys

Cinta itu indah. Bukan. Bukan. Cinta itu menyakitkan. Karena cinta ingin memiliki. Setelah memiliki, mengikat dan mengekang. Cemburu menghantui perasaan kita. Prasangka menyakiti setiap hari, dalam setiap peristiwa.

Kebanyakan cinta antara perempuan dan lelaki bukanlah cinta sejati. Cinta birahi, cinta eros, lebih merupakan cinta kepada rupa dan wujud fisik. Bukan seperti cinta sejati ibu kepada anaknya yang ditakdirkan begitu murni. Cinta sejati antara kekasih butuh perjuangan dan waktu untuk ditumbuhkan. Tidak. Tidak ada cinta sejati yang datang karena rupa. Tidak ada cinta pandangan mata. Cinta sejati antara kekasih akan tumbuh karena teruji dalam peristiwa-peristiwa. Waktu yang panjang. Ujian-ujian yang terlewati.

Cinta kekasih yang tak kesampaian seperti hantu. Membayangi. Mengikuti. Menampilkan wajah yang sedih. Apalagi cinta dari masa yang sangat muda. Menjadi banyak kenangan dan ilusi. Menjadikan banyak pengandaian yang mengganggu. Seandainya aku percaya pada satu cinta saja seumur hidupku. Seandainya aku bersedia menderita untuk satu-satunya cinta yang ada dalam hidupku. Seandainya aku tahu dialah cinta sejatiku.

Itulah yang terjadi pada Merry. Cintanya di masa kuliah dulu terlalu lama berjalan. Menjadi suatu ikatan yang sulit dilepas. Namun dipenuhi kepahitan rasa cemburu terhadap pria yang terlalu banyak disukai wanita. Dan pria yang suka menebar pesona. Merry mengira dia harus mengakhiri sakit hatinya dengan berpisah.

Namun perpisahan itu kemudian menjadi hantu selama hidupnya. Gorys –sang kekasih di masa muda- tak pernah pergi dari hidupnya. Dia selalu ada.

Mereka bertemu di gedung perkantoran yang sama. Pesta perkawinan kenalan yang sama. Organisasi yang sama. Gereja yang sama. Saling memandang dalam jarak beberapa langkah, namun terpisahkan oleh dinding yang tebal. Perasaan cinta mereka yang tak juga pudar telah memaksa mereka untuk menjaga jarak.

Tatap mata yang sedih menimbulkan luka di hati Merry. Gemetar di bibir Merry saat dipandangnya dari kejauhan, menimbulkan gejolak rindu di hati Gorys.

Merry menikah dengan pria yang bertemu dengannya di saat kedewasaan sikap sudah membuatnya lebih berhati-hati. Begitu pun Gorys bertemu dan menikah dengan seorang wanita di saat usia pernikahan sudah matang dan pertimbangan-pertimbangan keluarga banyak terlibat terhadap pilihan pasangan hidup yang dianggap sepadan untuknya.

Tak ada yang akan bisa menggantikan Merry dalam hasrat Gorys. Dan tak akan ada yang menggantikan Gorys dalam fantasi cinta Merry.

Kenangan ciuman pertama lelaki yang dilakukan sembunyi-sembunyi di belakang pohon di kebun belakang rumah Merry, selalu menggetarkan hati.
***

Era telepon genggam belum terjadi saat itu. Aku sempat heran karena Ibu Merry sering menerima telepon di kamar hotel. Kami sekamar dalam sebuah acara seminar nasional di sebuah hotel berbintang di Kupang. Perbedaan umur lebih dari 20 tahun tidak membuat kami kesulitan untuk bersahabat. Kami sudah bertemu dalam beberapa kegiatan, sehingga menjadi teman sekamar itu justru diatur oleh Ibu Mery selaku salah satu panitia. Ibu Merry suka padaku karena aku tukang cerita. Dan tukang menghina pria-pria.

Suaranya ditelepon dikecilkan. Aku pun tak begitu memperhatikan. Ibu Merry yang justru mengira aku mengetahui isi hatinya. Jadi, ia berbaring di tempat tidurnya di sebelahku dan mulai menjelaskan.

“Bekas pacarku yang menelepon....” katanya. Mula-mula aku tercengang. Kemudian membelalakkan mata. Kemudian tertawa terbahak-bahak. Terakhir, mencibirkan bibir. Ibu Merry bukanlah wanita yang muda. Usianya sudah lebih kepala lima. Berarti sudah mendekati pensiun dari pekerjaannya sebagai birokrat di Kupang.

“Ahahahahahahaaaa.... Cerita sebelum tidur yang asyik, nih....” kataku. Biasanya aku yang tukang cerita. “Ceritakan, Bu....” Ibu Merry menerawangkan matanya yang berkaca-kaca. Mengenang waktu ke belakang yang telah lewat. Masa muda yang sudah pergi.

Menunggu. Seiring berlalunya masa muda, menunggu berakhirnya kerinduan kepada sang kekasih. Tapi tak kunjung datang. Tak pernah datang akhir dari kerinduan cinta yang tak kesampaian itu.

“Dia biasa saja.... kata orang....” Ibu Merry meneteskan air mata. “Tapi dia sangat tampan, menurut aku....”

“Dia dimana sekarang?” tanyaku.

“Kami satu kantor. Setiap hari kami bertemu selama puluhan tahun....” Maka berjatuhanlah air mata Ibu Merry. “Kalau aku pergi ke luar kota, dia akan meneleponku setiap hari.... Bahkan sering sekali.... Kalau di kantor kami hanya saling memandang dari kejauhan tanpa berkata-kata.....”

“Astagaaaaaaaa.....” kataku.
***

Merry adalah bintangnya. Di SMA. Pria-pria di daftar pengagumnya sudah di tangan ‘dewan juri’ yang cerewet, sahabat-sahabatnya. Gorys dicoret. Masih lebih baik pria-pria yang lain. Lebih pandai. Lebih tampan. Lebih kaya, keluarganya. Lebih punya gaya.

Namun itu semua cuma kenangan masa SMA karena ayah Merry –seorang pendeta- tak mengijinkan pacaran di masa SMA. Setelah masuk ke universitas, baru boleh. Masa SMA itu untuk belajar keras dan berusaha masuk ke Universitas Cendana sebagai bukti memiliki prestasi akademis yang baik. Begitu menurut ayahnya.

Merry lulus ke Fakultas Pertanian Universitas Cendana seperti yang diharapkan ayahnya. Sebuah kejutan, Gorys pun lulus ke fakultas dan universitas yang sama. “Aku mengikutimu...” kata Gorys kalem, ketika Merry mengucapkan selamat atas kelulusannya. Sejak itu Gorys bukanlah lelaki yang biasa saja di mata Merry. Meski sahabat-sahabatnya mengatakan bahwa ada yang lebih “keren” atau lebih ini dan itu, namun Merry mulai tertambat hatinya pada pria yang teguh mengejar dirinya sejak SMA. Tapi telah didiskualifikasi sejak awal oleh sahabat-sahabatnya, Lisbeth, Ana, dan Lola.
***

“Mengapa Gorys?” Tanya Lisbeth. “Vinsen lebih keren....”

“Aku tidak ingin pacar yang keren. Aku ingin pria yang baik dan setia....” begitu kata Merry. Klise. Suatu konsepsi yang diyakini sejak kanak-kanak, kalau mempunyai kekasih ingin kekasih yang sejati. Tanpa menyadari bahwa kekasih sejati tidak tersedia sebagai stok (It’s not a ready stock, girl...), tapi tumbuh dalam perjalanan kebersamaan.

“Ahhhhhh, Peter juga pria yang baik. Dia rajin ke gereja. Keluarganya keren....” Kata Lisbeth. Menganggap pilihan Merry sebagai tak cerdas.

Gorys memang berasal dari keluarga yang sederhana. Gorys sering jalan kaki atau hanya naik angkutan kota. Tidak punya motor yang keren seperti Peter.

Namun Merry memilih Gorys yang berwajah lembut dan sederhana. Ketimbang pria yang berpenampilan keren. Percaya bahwa kekasih seperti Gorys akan membuatnya merasa aman. Tidak akan dikhianati. Tidak akan dihantui perempuan yang lain.

Menjadi kekasih Merry telah mengibarkan pamor baru Gorys. Orang-orang menoleh padanya, mencoba menilai mengapa bintang sekolah dan bintang kampus itu memilih dirinya. Tentunya dia seorang pria istimewa. Perempuan-perempuan memberinya nilai lebih. Gorys menjadi lebih mengejar suatu pencapaian yang akan membuat dirinya lebih dianggap layak menjadi kekasih Merry di mata sahabat-sahabatnya. Menjadi Ketua Senat membuatnya semakin populer di antara gadis-gadis kampus.

Rasa cemburu. Gangguan-gangguan yang datang dari cerita tentang Gorys dan gadis yang mengejarnya mulai menimbulkan kegundahan Merry. Merry yang pintar dan manis. Tapi Gladys yang tak terlalu pandai itu cantik dan seksi. Untuk apa perempuan pandai? Perempuan yang dipilih lelaki itu yang tidak terlalu pandai, berwajah cantik, dan memakai baju yang memperlihatkan kakinya yang indah. Sedangkan Merry selalu memakai rok yang panjang atau celana panjang dengan blouse yang longgar.

Gorys yang biasa saja telah berubah menjadi bintang kampus. Ketua Senat yang kalem, percaya diri, dan mendapatkan banyak dukungan. Dia sekarang telah menjadi pria yang paling tampan menurut gadis-gadis kampus.

Merry mulai merasa tersisihkan.

***

Tak terbayangkan sebelumnya oleh Gorys, seorang gadis berpenampilan glamour seperti Gladys akan menatap wajahnya penuh arti dan menggandeng tangannya. Saat dirinya masih belum masuk daftar “pria pilihan”, sebelum menjadi Ketua Senat, hal itu mustahil terjadi. Gorys menikmati reputasi barunya. Motor baru –meski tak bagus- menolongnya untuk bisa mengantar jemput teman-temannya. Atau gadis yang memberinya banyak alasan untuk memboncengnya ke suatu tempat. Rapat Senat. Malam penggalangan dana.

Di luar kegiatan perkuliahan di kampus, Merry hanya ke gereja. Tidak berorganisasi. Ayahnya tak pernah mengijinkannya keluar malam. Tidak juga suka dia berboncengan dengan pria-pria dengan alasan kegiatan organisasi.

Gorys membonceng Gladys untuk menemui sponsor kegiatan. Menjemput Maria untuk suatu rapat. Mengantar pulang Elis setelah suatu kegiatan diskusi kampus. Dan banyak lagi nama-nama gadis cantik yang berseliweran di kuping Merry.

Merry mulai merasa sering disakiti. Dikhianati. Gorys yang dahulu dipilihnya karena kesederhanaan dan kelembutannya, telah berubah menjadi pria flamboyan yang menebarkan pesona ke sana kemari.

Merry memutuskan hubungan mereka di saat menjelang kelulusannya. Kemudian mendengar Gorys telah berpacaran dengan Gladys. Perempuan cantik berpenampilan modis, dengan kaki yang indah. Begitulah seorang Gorys yang sebenarnya, sama saja dengan pria lain yang menginginkan perempuan cantik ketimbang kesetiaan cinta.

Begitu Merry merasakan pahitnya patah hati saat itu.
“***

Pria yang baik, bekerja, sepadan dengan Merry. Begitulah konsepsi mencari pasangan hidup yang umum berlaku setelah usia cukup dewasa. Merry bekerja sebagai PNS muda yang cerdas, enerjik, tekun, disukai atasan dan kolega, disukai banyak keluarga. Tidak sulit menemukan calon suami untuknya.

Keluarga menemukan David yang tampan, baik, rajin ke gereja, PNS juga, tidak neko-neko, selalu serius dengan apa pun, untuk menjadi calon suami Merry. Merry menerimanya sebagai suatu pilihan yang baik bagi dirinya. Gorys sudah terlupakan dalam ingatannya.

Gorys hanyalah cinta yang dikiranya cinta sejati. Dikiranya Gorys akan setia padanya, mengejarnya kemana pun, mempertahankannya meski terhalang badai dan rintangan. Tak ada Gladys atau perempuan secantik apa pun yang bisa mengalihkan cinta Gorys pada Merry. Tapi itu sebuah cerita khayalan Merry saja terhadap Gorys.

Gorys tertarik pada Gladys yang cantik, glamour dan berkaki indah. Jadi, lupakan Gorys. David lebih tampan dan baik.

Ketika Merry sedang mempersiapkan pernikahannya, dia mendapat berita yang mengejutkan dari sahabatnya. Gorrys menjadi PNS di kantor yang sama dengannya. Merry mencoba menerima kabar itu dengan biasa saja. Mungkin kebetulan Gorys melamar ke kantornya karena latar belakang pendidikan mereka yang sama. Berarti sebuah kartu undangan harus diberikan juga kepada Gorrys.

Pada hari pernikahan Merry dengan David, pesta meriah yang berlangsung dipenuhi dengan puji-pujian tentang pasangan menikah yang serasi. Pasangan yang diberkati Tuhan karena dianugerahi wajah yang tampan dan manis, pribadi terpuji, pekerjaan yang baik, nama-nama baik kedua belah pihak keluarga, dan semua hal-hal baik.

Merry melihat di bawah pohon di halaman rumahnya, Gorys berdiri memandang kepadanya. Tatapan matanya. Gemetar tubuhnya. Hujan gerimis membasahi rambut, wajah dan pakaiannya. Gorys kemudian pergi tanpa memasuki rumah untuk menyalami kedua mempelai. Merry menatap kepergian Gorys dengan dada terguncang.

Tatapan mata dan wajah Gorys tak akan pernah terlupakan.
“***

Ibu Merry menghapus air matanya. “Kami saling menatap dari kejauhan. Kami selalu berada di dalam gedung yang sama setiap hari. Tak saling bicara. Memilih tak pernah naik pangkat asalkan tak dipindahkan ke tempat lain....” Air matanya makin deras jatuh ke atas pipinya. “Hanya kalau aku sedang pergi ke luar kota atau di luar seperti begini, dia meneleponku. Melepas rindu. Menyatakan cinta berulang-ulang....”

“Oh, mama, mama, mama....” Aku memeluk Ibu Merry. “Sungguh indah kisah cinta mama. Cinta abadi. Meski tak saling memiliki....”

“Tak seorang pun tahu kecuali kami berdua. Sekarang kamu tahu....” Katanya. Wanita yang baik, PNS yang jujur, rajin ke gereja, mencintai anak-anaknya, menghormati suaminya. Mengkhianati suaminya juga. Aku tidak berani bertanya, apakah Gorys menyusulnya bila dia pergi ke luar kota. Seharusnya begitu.

“Indah sekali mamaku.... Indah sekali. Pertahankan cinta sampai akhir hayat di kandung badan. Sampai mati....” Kataku.

“Tidakkah itu berdosa. Cinta yang tak patut....” Ibu Merry berbisik.

“Cinta yang tak patut? Mana ada cinta murni yang tak patut.... Cinta semacam itu tak salah dan tak tak patut, mama....” Cinta di antara perempuan berusia lebih dari 50 tahun yang wajahnya sudah menua dan tak cantik lagi dengan pria yang sudah botak dan tak tampan lagi, tentu saja patut jadi legenda. “Kalian harus bertemu, Mama Merry. Suruhlah dia datang kemari.....” kataku berbisik. “Aku akan kabur ke kamar si Ellen kalau pujaan hatimu datang....”

Ibu Merry mengangkat wajahnya dan memandangku dengan terkejut. Tapi aku menutupkan selimut sampai ke kepalaku. Tersenyum sendiri.
***

Note: Aku rasa harus kutuliskan kisahmu menjadi sebuah cerpen, Bu. RD.

Jumat, 07 Oktober 2011

Di Bawah Pohon Rindang

Pada suatu hari, datang seorang perempuan muda ke sebuah kampung yang indah permai di Kawasan Gunung Mutis. Bukit dan lembah-lembah mengepung dari semua sudut kampung itu. Padang rumput yang luas penuh rumput dan semak berduri, dan kebun-kebun di atas tanah yang kering dan menumbuhkan jagung yang kerdil, menampilkan figur alam yang keras. Cantik seperti hutan rimba.

Walau angin sering mengancam hasil panen, namun kehidupan kampung itu serba kecukupan. Pemimpinnya tidak dianggap keras, meskipun memerintahkan acara-acara adat yang terasa berat karena hasil kebun yang minim. Lelakinya dianggap berhak memukul istrinya. Orang tua –para paman- dianggap pelindung keluarga, meskipun mereka membuat harga mas kawin (bellies) menjadi hutang seorang lelaki selama hidupnya.
***

Perempuan muda itu melakukan hal yang aneh-aneh.

Pria-pria muda belajar berbicara. Bolehkah anak-anak muda berbicara di hadapan kaum tua? Tanya perempuan muda itu.Tidak boleh, biasanya. Orang-orang muda berkata.

Perempuan-perempuan diberi waktu untuk berdiri di hadapan banyak orang. Bolehkah perempuan hadir di dalam musyawarah adat? Tanya perempuan muda itu lagi. Tidak boleh. Tidak boleh. Jangan sampai itu terjadi. Kata para pria dengan terkejut.

Masyarakat –para tokoh yang berwibawa- tersenyum sambil memandang wanita muda itu. Masyarakat mungkin banyak yang masih buta huruf, tetapi mereka pandai. Masyarakat tidak membaca buku, tapi mereka arif bijaksana karena menyusun pengetahuan dalam kalbunya masing-masing. Dibimbing tetua adatnya.

Anak-anak muda itu boleh berbicara di dalam forum yang dihadiri para tokoh tua penuh kharisma. Para perempuan juga boleh berbicara.

Itu hanya karena perempuan muda itu datang. Bertamu selama 2 minggu. Perempuan muda itu mungkin bingung dan baru saja lulus dari universitas –tetapi dia tidak bodoh. Semua buku yang dibacanya di kampus tidak membekalinya dengan kebijakan. Tapi dia akan belajar bijak dalam situasi nyata yang menyentuh hati nuraninya.

Semua kepura-puraan itu membuatnya hanya tersenyum. Baiklah, apa saja yang harus kita bicarakan tentang kampung ini? Tanyanya.
***

Seorang pastor yang dihormati –berusia tidak setua para pemimpin kampung- dan tangannya selalu dicium setiap bertemu anak-anak maupun orang dewasa, bertanggung jawab atas kehadiran perempuan muda itu di wilayah pelayanannya. Beberapa orang muda di gerejanya yang akan bekerja untuk pelayanan masyarakat bersama perempuan muda itu akan membicarakan kerja kelompok dan pembuatan kebun ujicoba.

Petani muda membantu yang tua untuk menggambarkan sketsa kebunnya. Jenis tanaman. Jarak tanaman. Jumlah tanaman. Rumah kebun. Sumber air. Teknologi yang dipergunakan. Alat. Pengetahuan bertani.

Kehadiran perempuan muda itu menyenangkan masyarakat. Lelaki maupun perempuan. Karena dia suka melontarkan pertanyaan yang lucu.

Apa yang membuat Pak John mengganti tanaman tahun yang lalu? Kenapa kebun Pak John seperti itu? Para perempuan sangat ingin mendengarkan jawaban para lelaki. Mereka selama ini hanya bekerja di kebun dan apa pun yang terjadi dengan kebunnya adalah kemauan lelaki.

Mereka tertawa cekikikan karena pertanyaan perempuan muda itu membuat bibir para lelaki komat-kamit. Keningnya berkerut keras. Kata-kata sulit terucapkan untuk memberikan jawaban. Berdiskusi itu membutuhkan kesabaran yang lebih banyak ketimbang mengerjakan lahan yang semakin keras setiap selesai satu siklus masa tanam, tergerus erosi oleh air dan angin. Diskusi itu baku omong, kata perempuan muda itu.

Lelaki dan perempuan menyukai diskusi. Sungguh menyenangkan ketika mendengar orang lain berbicara. Sungguh menyenangkan bahwa dalam diskusi DILARANG merasa tersinggung bila pendapat orang lain berbeda. Pendapat perempuan sering berbeda dengan lelaki. Diskusi itu bagus. Betul, sehari-hari yang dilakukan adalah memerintah atau menjalankan perintah. Pemilik otoritas akan memerintah, seperti suami terhadap perempuan. Pemimpin kepada rakyatnya. Orang tua kepada anaknya.

Diskusi itu bagus, tapi hanya saat pertemuan kelompok. Bukan dalam keseharian. Karena adat menabukan pelanggaran. Tak ada diskusi tentang aturan adat.

Nimus, bantulah Pak John membuat sebuah gambar kebun impian. Kebun yang diimpikan seorang petani. Perempuan muda itu melanjutkan.

Para perempuan memprotes impian John. Istrinya memberi tahu apa yang dia inginkan di kebun. Pak John butuh waktu untuk bermimpi. Apalagi terlalu banyak gangguan dari para perempuan yang selalu ingin makanan yang cukup ditanam di kebun, sedangkan para lelaki ingin uang. Hasil kebun yang bisa dijual.

Pak John, dengarkan suara para perempuan. Bukankah lelaki ada di dunia ini untuk membahagiakan istri dan anak-anaknya? Perempuan muda itu merayu para lelaki.

Semua menurut bagaikan terkena sihir.
***

Perempuan muda itu mendapatkan sebuah kain tebal yang hangat berwarna merah hati –seperti warna bibir yang mengunyah sirih bercampur tambakau- dengan kombinasi warna ungu –seperti warna bunga-bunga liar di padang rumput- dan warna hitam –seperti warna tanah yang menghitam setelah selesai pembakaran lahan untuk persiapan menanam.

Para perempuan menenun kain yang indah. Dan menghangatkan tubuh pada malam hari yang begitu dingin dan berangin. Mengeringkan kulit hingga mengelupas. Membuat pipi memerah sebelum menghitam.

Gelang-gelang kaki dengan lonceng membuat bunyi-bunyian yang menggetarkan sukma saat diguncang atau dihentakkan dalam sebuah tarian. Diiringi musik gendang dan gong yang menuntun gerak kerumunan penari perempuan itu.

Malam yang dingin menjadi hangat. Api unggun menyala-nyala. Nasi jagung yang dicampur dedaunan dan kacang-kacangan dan diberi garam, terasa lezat ketika disantap dengan secuil sambal yang pedas menyengat. Sambal mentah terbuat dari rawit-rawit kecil yang digerus dengan garam dan diaduk dengan irisan bawang merah. Potongan-potongan kecil daging sei –daging yang dikeringkan dengan asap- dibagikan ke setiap piring. Sepotong daging sebesar satu ruas jempol itu sungguh berharga.

Perempuan muda itu selalu makan dengan rasa lapar setiap hari –setelah seminggu tinggal di kampung itu. Setiap hari makanan sepiring itu menjadi sangat berharga. Setiap butir nasi, jagung, kacang, dan secuil daging itu tak ada yang tersisa.

Perempuan-perempuan di kampung itu suka sekali meraba kulitnya, rambutnya, tangan dan kakinya. Halus sekali, begitu kata mereka. Mereka tidak menonton TV, jadi jarang melihat dunia luar yang ada di TV. Jarang melihat manusia yang lain. Tempat ini tanpa listrik.

Pria-pria juga melihat padanya, wujud seorang perempuan yang berbeda dari perempuan di kampungnya. Perempuan yang berdiri di hadapan para lelaki –termasuk kalangan tua yang wibawanya menggentarkan masyarakat- sambil berbicara dan menatap langsung wajah yang diajak bicara. Tersenyum sehingga tak dapat dilakukan yang lain kecuali membalas senyuman dan kata-katanya.

Tempat asal perempuan itu Bandung, katanya. Tapi masyarakat lebih mudah mengingat kata Jawa. Perempuan dari Jawa, begitu kata mereka.

Wujud perempuan muda itu memberi kabar bagi masyarakat itu. Bahwa di suatu tempat, di luar sana, perempuan pergi ke universitas. Perempuan boleh bepergian ke suatu tempat yang jauh dan mungkin tak banyak yang tahu. Perempuan boleh memimpin sebuah pertemuan. Perempuan boleh tidak setuju kepada lelaki.

Tapi, tidak bisa seperti itu di kampung ini.

Setelah perempuan muda itu kembali ke tempat asalnya, perempuan dan lelaki di kampung itu masih akan menjalani kehidupannya yang biasa.

Adat tidak boleh dilanggar. Karma dan bencana akan menimpa bila dilanggar. Para perempuan yang sedang menstruasi dan melahirkan harus tetap diasingkan di rumah perempuan yang ada di tepi hutan. Perempuan harus mendengar apa yang dititah suaminya. Hidup ini terlalu keras untuk didiskusikan.
***

Di bawah sebuah pohon yang rindang –di tepi sebuah kebun- sekelompok perempuan duduk berbincang. Sekelompok laki-laki membentuk kelompoknya sendiri.

Perempuan dan lelaki berbagi tugas dalam mengerjakan kebun, bukan? Perempuan muda itu bertanya. Perempuan muda membagikan potongan-potongan kertas HVS bekas yang salah satu sisinya sudah terpakai. Sisi yang masih putih dari setiap kertas diberi simbol sebuah pekerjaan di kebun. Api untuk pembakaran lahan. Rumput untuk penanaman benih padi. Sabit untuk merawat tanaman dari gulma.

Siapa yang melakukan setiap pekerjaan di kebun dalam keluarga? Lelaki melakukan hal-hal yang besar. Perempuan melakukan hal-hal yang kecil dalam daftar yang panjang. Perempuan melakukan banyak hal.

Perempuan muda itu membuat daftar pekerjaan domestik. Memasak makanan. Mengurus anak-anak. Mengurus rumah. Menenun. Membuat baju. Memperbaiki baju yang sobek. Siapa yang melakukan setiap pekerjaan ini? Perempuan. Semua perempuan. Lelaki memiliki banyak jam untuk berbincang di lopo –balai adat- sambil makan sirih.

Perempuan muda itu membuat daftar lainnya. Acara-acara adat yang membutuhkan banyak kerja perempuan di dapur.

Seorang perempuan meneteskan air mata teringat betapa lelahnya hidupnya. Perempuan-perempuan lainnya menatap wajah perempuan muda itu dengan hati haru. Seseorang datang dan mengerti hati nurani perempuan yang dibebani tugas begitu banyak dan membutuhkan jam kerja begitu panjang tanpa istirahat. Tanpa libur.

Para lelaki memandang juga. Seorang lelaki muda memecahkan suasana dengan berkelakar. Kalian semua ikut saja ke Jawa.... Katanya.

Perempuan muda itu tersenyum. Mengambil kayu bakar dan air untuk memasak, bisakah pindah menjadi pekerjaan bapak-bapak? Tanyanya.

Seorang lelaki baik hati yang selalu hadir dalam diskusi kemudian menjawab dan membalas kelakar temannya: Baiklah, asal mama-mama yang memanjat pohon kelapa....

Semua tertawa. Perempuan yang menangis pun tertawa. Di bawah pohon yang rindang itu muncul perasaan yang lembut. Dari hati yang baik. Dari pikiran yang selalu bersedia belajar dari alam meskipun sering terkelabui oleh rasa takut dan gelisah karena kerasnya kehidupan yang disediakan oleh alam itu. Rasa takut yang mengubah pemikiran rasional menjadi irasional, dipenuhi keyakinan mistis untuk mengatur hidup. Menyusun doa-doa dan ritual pengorbanan untuk alam agar kemurkaannya tak membawa bencana. Menyusun daftar kewajiban dan dosa yang dibedakan antara perempuan dan lelaki agar harmoni kehidupan masyarakat bisa dijaga.
***

Pastor memperhatikan semua kegiatan dan proses yang berkembang selama perempuan muda dan pelayan-pelayan masyarakat yang juga masih muda-muda di gerejanya turun ke masyarakat.

Apakah kamu sekarang berani berbicara di hadapan forum masyarakat? Tanyanya kepada para calon pelayan masyarakat muda yang masih belum punya nyali melakukan tugas mendampingi masyarakat. Gentar dengan kerasnya adat dan keangkuhan para pemimpin-pemimpinnya. Beranilah, seperti nona yang datang dari jauh untuk mengajari kamu berbicara dengan masyarakatmu sendiri.... Kata pastor itu.

Saya orang asing pastor. Lebih sulit berbicara dengan masyarakat kita sendiri.... Perempuan muda itu berkata, tanpa maksud menentang ucapan sang pastor. Tetapi sungguh mengejutkan bila seseorang tidak menundukkan wajah kepada seorang pastor yang sedang bicara. Bahkan pemimpin adat pun mencium tangannya untuk mendapatkan berkah.

Pastor itu tersenyum. Kalau begitu, beranilah berkali-kali lipat daripada nona yang datang dari Bandung ini –yang tak tahu apa-apa tentang masyarakatmu tapi berusaha sangat keras untuk mempelajari dan bicara dengan cara masyarakat.... Berani dan belajar lebih keras. Kata pastor itu. Suaranya lembut dan pelan. Namun bergema dalam dada orang yang mendengarnya. Pator itu seorang keturunan Tionghoa yang sudah lebih 10 tahun memimpin gereja setempat.

Baiklah, Bapak. Saya akan berusaha keras sekali... Seorang pemuda calon pelayan masyarakat itu menjawab. Pemuda yang merasa nasihat pastor itu ditujukan kepadanya karena dia terlalu merasa kecut dalam menghadapi masyarakat.

Tak ada buku-buku yang ada di perpustakaan universitas –atau guru besar hebat- yang bisa mengajari perempuan muda dan para calon pelayan masyarakat itu bagaimana cara kerja perubahan sosial. Hati nurani akan membimbing cara kita bekerja dan berada di tengah masyarakat. Begitulah pelajaran yang diperoleh perempuan muda dan pelayan-pelayan masyarakat yang masih muda-muda itu.

Hati yang terpanggil. Hati yang baik untuk tidak menyakiti perasaan masyarakat saat menyampaikan ajaran kebaikan dan keadilan dari luar sana dengan tanpa merendahkan nilai-nilai setempat yang bertentangan. Itulah yang terpenting.
***


Note: Sebuah cerita fiksi yang terinspirasi kawan-kawan pekerja masyarakat yang penuh dedikasi di Timor. In memoriam Patris da Gomez dari Yayasan Tananua Timor.

Anjing Gila

Saya memegang erat-erat koran lokal dengan mata terbelalak, membaca berita-berita tentang orang-orang yang digigit anjing gila. Lelaki sangat muda, usia SMU, mengantung dirinya sendiri untuk menghindari kegilaan. Seorang ibu yang disergap anjing, kena sabetan golok anaknya yang dimaksudkan untuk si anjing. Seorang PNS membuka pintu rumah depannya dan disergap seekor anjing gila, sebuah gigitan fatal di wajahnya. Tumpukan koran lokal yang saya temukan di ruang tamu kantor yang saya kunjungi itu saya periksa dengan cepat satu per satu. Berita-berita semacam itu hampir setiap hari ada.

Ini tidak menimbulkan reaksi sama seperti membaca koran-koran lokal di Aceh, banyak berita tentang orang yang cedera berat atau mati diinjak-injak gajah saat bertemu di kebun atau hutan. Sebab gajah hanya ketemu di kebun yang cukup jauh dari kampung atau hutan, sedangkan anjing gila di semua tempat. Bisa saja ketika di dapur, ketika membuka pintu depan rumah, atau saat kita sedang di jalan raya. Tak ada tempat tanpa resiko bertemu anjing gila.

Pemerintah mencanangkan eliminasi seluruh anjing di Pulau Flores. Tentara turun tangan untuk melakukan eksekusi. Begitu menurut salah satu berita di koran itu.

Koran itu menjadi kusut karena teremas tangan saat saya membacanya dengan tegang. Sangat luar biasa saya tidak mengetahui situasi ini sedangkan hampir 20 orang keberangkatannya ke pulau ini berada dalam tanggung jawab saya.
***

“Kenapa tidak memberi tahu keadaan ini?” saya bertanya.
“Memangnya kenapa” dia balik bertanya.

Saya mengerutkan kening. Memangnya kenapa? Anjing gila berkeliaran di seantero Kota Bajawa. Sudah hampir mencapai 50 orang mati dan ratusan kena gigit. Itulah mengapa. Saya duduk tercenung tidak mengerti. Memangnya kenapa kalau kita mati karena bencana? Pulau ini tidak pernah lepas dari gempa. Beberapa desa di tepi pantai telah menghilang ditelan lautan dan ratusan orang hilang. Apa pula yang harus ditakutkan dengan wabah anjing gila ini.

Saya tidak tahu harus bersikap seperti apa. Seperti siapa, tepatnya.

Seperti tuan rumah. Atau seperti anggota rombonganku yang ketakutan. Pertemuan tahunan jaringan petani ini di bawah tanggung jawabku. Rombongan dari berbagai pulau ini didatangkan olehku untuk belajar dari petani Flores.

Saya akan membatalkan acara ini kalau saja tahu situasi yang terjadi.

Tapi saya tidak tahu. Saya baru tahu bahwa situasi mencekam sedang terjadi begitu sampai di Kota Bajawa yang dingin dan basah itu. Kota yang menyenangkan untuk ditinggali kalau saja tidak sedang mengalami bencana wabah anjing gila ini.
***

Kepala desa datang untuk menjelaskan bahwa semua anjing telah dieliminasi tanpa kecuali. Suasana hening. Wajah-wajah tamu nampak tak berdaya. Klimaks suasana hening itu adalah saat suara gonggongan anjing yang terdengar sayup-sayup. Semua orang yang berkumpul dalam ruangan tersentak dan saling berpandangan.

“Semua?” tanya seseorang.

“Masih ada penduduk yang membandel menyembunyikan anjingnya. Alasannya, anjingnya sehat dan mereka butuh untuk menghalau binatang yang mau masuk kebun....” kata Kepala Desa. “Sungguh berat bagi kita kehilangan seluruh anjing. Kita butuh penjaga kebun untuk mengusir pencuri dan binatang yang merusak....”

Beberapa orang petani berjaga-jaga dengan membawa senapan.

Tanpa membicarakannya, semua orang sepertinya tetap akan melanjutkan agenda kegiatan yang sudah disusun. Namun ketegangan terjadi antara para tamu dengan tuan rumah pertemuan. Bukan karena menyalahkan tuan rumah melainkan karena ketakutan.
***

Malam hari lebih menegangkan dari siang hari. Apalagi suasana di perdesaan yang sepi. Listrik terbatas hanya di rumah-rumah yang ada di pusat desa.

Mungkin saja anjing muncul dari kegelapan. Setiap anjing yang menjadi gila akan mengggigit manusia, lalu mati. Datangnya entah dari mana. Kemudian menghilang entah kemana dan bangkainya konon tak satu pun yang ditemukan. Begitu juga manusia yang digigit anjing gila, bila sudah mengalami kegilaan akan menggigit orang lain dan kemudian mati. Keluarga akan mengikatnya kuat-kuat bila masa kegilaan itu akan terjadi. Tapi beberapa orang memilih membunuh diri ketimbang mengalami kegilaan.

Malam itu terjadi keributan. Seorang peserta tak dapat menahan ketegangan dari situasi yang terjadi. Jiwanya terguncang. Mulutnya menceracau tentang makhluk-makhluk setan yang mengintai sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke sudut ruangan atau atap. Membacakan doa-doa –ayat-ayat suci Al Qur’an- sambil menggigil ketakutan. Menjadi dramatis ketika mendengar doa-doa seperti itu di sebuah wilayah Kristian.

Hal ini terjadi sepanjang malam sehingga tak seorang pun di dalam rumah itu yang bisa tidur. Rumah itu salah satu rumah penduduk yang disediakan untuk menginap rombongan selama kegiatan di desa.

Keesokan harinya, beberapa orang mengantarkan peserta yang sakit itu ke pelabuhan. Entah apa yang terjadi dengannya dalam perjalanan kapal sehari semalam itu untuk pulang ke pulau asalnya. Pihak keluarganya sudah ditelepon untuk menjemput kedatangannya nanti.

Anehnya, semua peserta sepertinya menganggap kegiatan tetap harus dilanjutkan. Tak ada yang mengatakan ingin pulang karena situasi yang terjadi.
***

Tuan rumah nampak menjadi marah atas ketakutan yang terjadi pada rombongan tamu itu. Atas ketidaknyamanan yang dialami semua peserta yang datang dari luar Flores. Secara logika sepertinya menjadi terbalik, seharusnya tamu yang marah karena tidak mendapatkan informasi tentang situasi berbahaya yang terjadi sebelum mereka datang.

Namun begitulah situasinya.

Ketika seorang tuan rumah memberikan kita piring makanan dengan begitu ramah dan kita menerimanya dengan rasa ragu, maka si tuan rumahlah yang menjadi tersinggung. Terutama sikap para tamu muslim yang memilih hanya makan sepiring nasi tanpa lauk pauk.

Saat kita datang bertamu dan diterima dengan sebaik mungkin –lalu kita merasa tak aman- maka tuan rumah pun menjadi sakit hati. “Terserah kalau begitu. Kami sudah siapkan penjagaan keamanan....” begitu tuan rumah menyatakan kekesalannya.

Apa salahnya hidup dalam ketidakamanan? Memangnya kenapa kalau mati digigit anjing gila, lalu menjadi gila dan menggigit keluarganya sendiri. Itu semua biasa saja. Itulah hidup yang kami alami sepanjang tahun ini. Saya tidak mengerti apakah semacam itu yang terjadi di dalam perasaan kesal sang tuan rumah.

Ketegangan antara tuan rumah dan para tamu itu hanyalah karena situasi. Tidak menimbulkan amarah yang bersifat antar pribadi atau kelompok. Meskipun rombongan tamu kemudian juga melakukan unjuk sikap perlawanan. Menjadi lebih keras.
***

Kegiatan telah selesai.

Saat berpisah, tuan rumah dan rombongan tamu berpelukan dan menangis berlinangan air mata. Sepertinya rasa penyesalan dan permohonan maaf tersekat dalam kerongkongan, tapi tak perlu terucapkan. Memaklumi situasi yang terjadi tanpa dikehendaki siapa pun.

Berita di koran tentang wabah anjing gila di seluruh Pulau Flores ini tak terlalu menonjol. Tak ada upaya penggalangan dana dilakukan TV-TV swasta yang biasanya berlomba mengumpulkan dana bencana.

Ribuan orang digigit anjing gila sepanjang tahun 2000. Lebih dari seratus orang meninggal. Kota Bajawa merupakan daerah yang paling parah dalam jumlah korban meninggal dan terkena gigitan anjing.
***