Kamis, 27 September 2012

Hidup Ini Memang Berat, Ivan!


Pintu diketuk.
Seorang pria muda mengucapkan salam. "Saya Ivan. Ivan mau mendemokan suatu masakan. Ibu nanti menilai apakah masakan Ivan enak. Ivan mau kerja di rumah makan... (menyebutkan nama restauran terkenal)"
Saya bicara (tak ramah). "Kamu demo masak untuk apa?"
"Ivan demo masak. Nanti ibu menilai, masakannya enak tidak?"
"Untuk apa kamu demo masak?"
"Ivan nanti tunjukkan bagaimana cara masak ayam crispy atau ayam bakar, ibu suka ayam apa?"
"Kamu demo masak buat melamar kerja di restauran...." Saya membantunya berbohong. Tak sabar.
"Ivan akan tunjukkan bahwa masak itu mudah...."
"Iya, kamu demo masak untuk apa, tadi......?"
Tiba-tiba suamiku, Robert, yang segalak anjing herder, muncul dari belakang punggungku. "Kalau kau TERNYATA mau jual alat masak sama istriku.... kutempeleng kau!!”  Katanya. Keringat meleleh di wajahnya, kuas cat di tangannya. Berdiri tepat di belakangku dengan nafas mendengus.
"Siaaaap, Pak...." anak muda itu kaget dan dengan spontan menjawab sambil menegakkan badan. "Ivan tidak jualan apa-apa, Pak.... Ivan mau demo masak...."
"Kamu bilang tadi sama istri saya bahwa kamu demo masak untuk ngelamar kerja...." Kata suami saya. "Awasss kalau bohong...." Sambil ngeloyor. Kembali ke pekerjaannya. Mengecat lemari.
***

Saya fikir Ivan tidak akan datang lagi. Tapi Ivan datang, setelah pergi dulu mengambil peralatan masak. Aku kira sebuah mobil menunggu di suatu tempat dan Ivan bukan satu-satunya orang yang mengetuk pintu-pintu rumah untuk demo masak.
Dia pergi ke dapur, mengambil ayam dari kulkas dan membumbui. Kemudian memasang kompor gas kecil di beranda rumah, dan meletakkan potongan ayam di dalam sebuah panci keramik dengan tutup kaca di atasnya. "Ibu, Ivan mau menjelaskan cara masaknya...." katanya memanggilku yang sedang duduk di depan layar komputer.
Mulailah dia menceritakan cara membuat ayam bakar. Bumbunya.Cara kerjanya.  Mudah sekali. Harum baunya. Dibukanya tutup panci. Memasak itu tidak sulit sama sekali. Katanya terus mencerocos. Karena panci ini memudahkan memasak. Nah, kita sekarang taruh wadah berisi adonan bolu kukus di atasnya. Tidak akan tercemar dengan bau ayam. Airnya mengalir ke sisi, tidak akan jatuh ke atas bolu kukus. Itu karena tutup pancinya yang luar biasa. Bisa memasak sekaligus tanpa saling mencampurkan aromanya. Itu sebabnya memasak jadi mudah. Praktis.
Aku bilang begini: "Ivan, kalau suamiku tahu kamu akan menjual panci.... kamu akan celaka...." Bicaraku berbisik, supaya terasa dramatis.
"Ivan tidak menjual apa-apa, Bu. Ivan hanya menjelaskan cara memasak dan cara menggunakan panci ini. Panci ini satu setnya ada 6, ukuran berbeda-beda. Kalau ibu beli di toko atau di pameran, Ibu sudah tahu cara kerjanya...."
"Berapa harganya?"
"Ivan tidak menjual kok, Bu. Ibu bisa beli di toko atau pameran. Tapi kalau lewat Ivan, harganya lebih menguntungkan. Cuma satu juta sembilan belas ribu rupiah satu set. Bisa diciciln sepuluh kali lagi...." Ivan pun ikut berbisik.
Bolu kukus sudah matang. Ivan memotong-motongnya dan mempersilakan saya makan.
"Enak juga...." kata saya. Tiba-tiba, sosok yang menyeramkan itu datang lagi. Duduk di sampingku sambil bertanya: "Jadi, berapa harga pancimu itu?" Aku makan bolu sambil melihat wajahnya yang menakutkan. Melihat wajah Ivan. Bergantian.
"Ivan tidak menjual panci, Pak. Ivan cuma mendemokan cara masak. Dan cara menggunakan panci ini... Dengan begitu..." belum selesai ucapannya yang mencerocos, suamiku memotongnya. 
"Heh, kenapa kamu harus jadi pembohong untuk menjual barang-barangmu itu?!" Bentaknya. Tapi tak seganas tadi. Rupanya muncul perasaan salutnya kepada Ivan yang pemberani itu.
***

Setelah suamiku pergi, Ivan duduk di kursi teras seperti kelelahan. "Ivan jamin Ibu tidak rugi lho punya alat seperti ini. Enggak mahal kok harga segitu dibandingkan dengan manfaatnya. Awetnya bisa seumur hidup lagi...."
Terus dia berbisik sambil menyorongkan wajahnya: "Bu, Ivan bisa datang lagi ke sini. Kalau hari biasa Bapak enggak di rumah kan? Pas bapak kerja saja Ivan ke sini lagi...."
Saya pun berbisik sambil menyorongkan wajah pula: "Ivan, kalau ketahuan suami saya, saya bisa dicekik. Kamu juga  bisa dicekik.... Paham?"
***

Ivan yang pemberani itu tidak nampak menyesal. Tidak pula mengeluh. Kemudian dia membereskan semua peralatannya. Mengucapkan terimakasih sudah diperbolehkan demo masak. Wajahnya penuh keringat.
Aku tentu saja sudah mengusirnya sejak awal kalau tak berniat membeli panci-pancinya itu.
***

Aku menata panci-panci itu di dinding dapur.
“Si Ivan itu akhirnya berhasil menipumu, sayang....” Kata suamiku sambil membenahi wadah perkakas, setelah selesai memasang paku-paku untuk panci-panci itu.
Aku tidak menoleh, asyik menatap kilau panci-panci itu. Nampak cantik. Kakak perempuanku pasti akan terbatuk-batuk kalau melihatnya saat arisan keluarga nanti. Meskipun aku mencicilnya sepuluh kali, tapi akan kukatakan kepadanya bahwa Robert membayar lunas panci-panci itu untuk membuatnya tambah iri.
***


Gila


Wahab menulis SMS kepadaku: Apa kabar, Har? Lisna sudahkah bercerai dari suaminya? Aku masih jomblo lho.
Aku memperlihatkan SMS itu pada Taufik, teman sekantorku yang juga mengenal Wahab sewaktu masih bekerja. Apakah dia masih gila? Aku tidak tahu siapa Lisna.
Taufik membaca SMS itu cukup lama. Mungkin dia masih gila. Jawabnya.
Aku membalas SMS itu: Kabar baik, sobat. Apa kabar sebaliknya? Selamat berkiprah di club para jomblo. Biar jomblo asal tetap bahagia.
***
Seharusnya ada seorang gila yang menulis bagaimana kegilaan itu terjadi padanya. Ataukah orang gila mungkin terlalu gila untuk menulis. Aku pernah membaca status facebook Wahab seperti ini: Aku masih sering kambuh. Harus kuperjuangkan agar kegilaanku bisa disembuhkan.
Aku tidak tahu, apakah Wahab terkadang sadar dari kegilaannya sehingga dia tidak selalu dalam kondisi hilang ingatan. Aku tidak tahu apakah orang gila bisa menyadari kegilaannya. Seperti seorang pelukis terkenal yang mengatakan pada wartawan yang mewawancarainya bahwa kegilaannya itu berupa “ketakutan yang amat sangat terhadap suara-suara seolah dia akan ditabrak oleh kendaraan yang sedang berseliweran ke arahnya dan akan melindasnya”. Kegilaannya tidak membuatnya tidak bisa melukis. Hanya membuatnya terkurung di dalam ruangan yang dijadikannya tempat perlindungan dan bersembunyi dari teror yang menyerangnya.
Aku rasa dokter seharusnya menyuruh orang gila seperti Wahab untuk menuliskan apa yang sedang terjadi pada dirinya di saat gila.  Bukan orang lain yang menuliskan tentang orang gila berkepribadian ganda berdasarkan wawancara. Bukan juga orang gila yang menulis buku sesudah sembuh. Apa yang terjadi padanya di saat mengalami kegilaan hanya bisa ditulis di saat sedang terjadi.
Seseorang harus menemukan cara memperlakukan orang gila. Aku kira hanya dengan memahami pikiran-pikiran kegilaannya bisa ditemukan cara itu.
Aku memikirkan ini karena ketidakberdayaanku untuk melakukan sesuatu terhadap Wahab –teman baikku yang menjadi gila pada usia 27 tahun. Itu 14 tahun yang lalu. Aku juga tidak tahu bagaimana harus bersikap padanya. Aku hanya membalas saja bila Wahab mengirimku SMS, menulis di dinding facebookku, atau mengajakku chatting. Aku tidak tahu apakah aku harus mengunjunginya.  Sedangkan Wahab tidak dapat datang berkunjung karena dia tidak mampu melakukan perjalanan. Wahab hidup di sebuah ruangan, dalam perawatan orang tuanya yang sudah semakin tua. Setelah bertahun-tahun ditangani lembaga perawatan orang sakit jiwa.
***
Sangat berbeda rasanya melihat orang gila yang tidak kita kenal dengan seseorang yang kita kenal. Apalagi kalau kita berada di dalam situasi atau proses kegilaan itu. Aku bersama Wahab saat dia mulai sakit. Sangat menyakitkan karena aku tak tahu bagaimana menghentikannya. Jangankan menghentikan, bahkan menyangka pun tidak kalau sahabatku Wahab sedang mengalami kegilaan. Aku melihatnya memandang kosong ke depan seperti melamun. Aku tidak tahu berapa lama. Dia akan segera bangun kalau aku menegurnya, lalu kami saling bicara seperti biasa. Namun orang-orang mulai mengatakan padaku bahwa dia membatu seperti itu berjam-jam sambil memandang layar monitor. Aku masih bisa berbicara dengannya. Kami masih bisa bertukar pikiran.
Aku tidak menemukan alasan Wahab harus menjadi gila. Pekerjaan yang dinginkannya entah ada dimana, tapi banyak orang lain yang juga bekerja apa saja asalkan bekerja. Kehidupan yang membosankan dan rutin, biasanya aku dan Wahab bersama mencari hiburan dengan main catur dengan Soma –tukang becak yang selalu menang itu. Atau kami nongkrong dengan teman-teman kuliah dulu. Konflik dalam rumah tangga yang dialaminya, banyak dialami orang lain juga.
Aku tidak tahu Wahab gila sampai akhirnya dia tidak masuk kerja tanpa pamit. Kutelepon keluarganya, ayahnya mengatakan bahwa Wahab sedang “diobati” untuk waktu yang belum diketahui. Aku masih tak menyangka atau tak mengerti. Beberapa tahun kemudian, ketika aku datang dan bertemu dengan Wahab di rumah orang tuanya di sebuah kota kecil yang dingin, Wahab tertawa-tawa saat memberitahuku: Har, aku sakit. Aku menjadi gila. Aku gila.... Aku menatap wajahnya seperti tak percaya dengan penglihatan dan pendengaranku.
Kapan Wahab menjadi gila? Aku selalu bersamanya. Nongkrong bersama dengan teman-teman. Bekerja. Main catur atau karambol. Aku melihatnya tapi aku tak bisa melihatnya. Aku kira Wahab menghilang karena sakit dan beberapa hari kemudian akan muncul kembali ke kantor. Sama sekali tak kusangka bahwa dia tidak akan pernah kembali. Kini sudah 14 tahun yang lalu, peristiwa itu.
Aku pernah membaca status di facebooknya: Tahukah kamu, alien naik pesawat mengintai bumi. Melihat adanya ketidakadilan gender oleh manusia.
Sekarang aku tidak ingin bertanya kapan Wahab mulai gila, tapi bisakah Wahab sembuh? Bisakah?
***
Pertama kali aku melihat seseorang mengalami kegilaan sewaktu masih di Sekolah Dasar kelas 4. Murid terpandai di sekolah, seorang anak perempuan bernama Rosa. Pada pelajaran menggambar, guru akan mengatakan: Kamu punya bakat menggambar. Kamu akan jadi pelukis nanti.. Pada pelajaran kesenian, guru terheran-heran karena Rosa bisa memainkan angklung dan pianika dengan bagus. Kamu punya bakat musik. Kamu akan jadi pemusik nanti. Kata guru kesenian. Tapi guru Bahasa Indonesia mengatakan Rosa akan menjadi pengarang terkenal. Sedangkan guru matematika mengatakan Rosa sangat pandai dan akan masuk ITB.
Pada saat kelas 4 SD Rosa mulai memandang kosong dan berdiri berjam-jam ke suatu arah. Lalu tersenyum-senyum dan tertawa sendiri. Tapi itu tidak membuatnya berhenti menjadi anak paling pintar di sekolah. Nilai-nilai ulangan Rosa selalu yang paling tinggi, melejit sendiri di antara semua murid. Kelas 6 Rosa sudah total gila dan hanya mencoret-coret kertas ulangan sehingga tidak mendapat nilai.
Aku tidak tahu kenapa Rosa mengalami kegilaan. Aku hanya pernah belajar kelompok di rumah teman dan kami menjemput Rosa yang rumahnya berdekatan untuk ikut kelompok. Rumahnya gubuk dan Rosa anak tertua dengan banyak adik yang masih kecil-kecil. Ibunya membentak Rosa untuk tidak ikut pergi dengan kami karena dia harus mengurus adik-adik sementara ibunya sangat sibuk. Rosa menangis karena ingin pergi dengan teman-temannya.
Hanya itu yang aku tahu tentang teman sekelasku Rosa. Aku kemudian mendengar kabar bahwa dia meninggal ketika aku masih SMA. Sejak Rosa total gila, setiap hari dia selalu bepergian berjalan kaki entah kemana tujuannya. Dia masuk ke rumah-rumah orang untuk minta makan dan menjadi terlalu gemuk karena makan terus. Tidak ada orang yang tidak memberinya makan kalau dia minta.
Aku masih bisa melihat proses kegilaan Rosa. Tapi aku tidak bisa melihat proses kegilaan Wahab. Sepertinya dia masih bisa bercakap-cakap biasa denganku di saat makan siang atau minum kopi. Aku tidak tahu bahwa ketika dia sedang duduk di hadapan komputer di ruang kerjanya dia sedang duduk membatu menatap layar monitor.
Semua orang duduk berjam-jam di depan layar monitor untuk menulis naskah atau membuat laporan.
***
Sampai sekarang aku masih bisa berkomunikasi dengan Wahab melalui facebook, kemudian chatting, dan dia meminta nomor hapeku. Aku meneleponnya dan kami berbicara di telepon. Kami terpisah jarak, beda kota.
Har, seperti apakah Bandung sekarang? Tanyanya. Sejak sakit, Wahab meninggalkan kota Bandung. Belum pernah lagi kembali.
Aku akan mengajakmu keliling melihat Kota Bandung kalau kamu ke Bandung. Kataku. Bandung semakin sempit, penuh dengan bangunan. Macet sekali. Ada Bandung Super Mall.
Aku ingin ke Bandung tapi aku tidak bisa bepergian. Katanya.
Aku ingin bertanya apakah aku harus menjemputnya untuk pergi ke Bandung. Tapi pertanyaan itu tersekat dalam kerongkongan. Aku tidak tahu bagaimana bicara dengan Wahab karena aku tidak tahu mana ucapan yang benar untuknya. Apakah sekarang ini dia selalu berada dalam sebuah ruangan dan tidak bisa kemana-mana kecuali dibawa orang tuanya. Aku tidak tahu situasi Wahab.
Aku berharap suatu ketika Wahab memberitahuku bahwa dia akan ke Bandung. Dan aku akan mengajaknya keliling Bandung. Nongkrong di alun-alun. Makan sate padang. Mengunjungi teman yang lain.
***