Sabtu, 17 November 2012

Monster Kecil


Anak kurang ajar itu benar-benar menakutkan. Matanya liar. Giginya kotor. Ketawa terkekeh-kekeh memuakkan. Benar-benar tidak tahu takut. Tidak juga punya malu bila orang dewasa menyebutkan hal-hal buruk tentang kelakuannya.
Anak perempuan yang sudah SMP bahkan yang sudah SMU pun tidak berdaya menghadapi anak Kelas 4 SD yang jahat itu. Monster. Kalau lengah dia bisa memegang payudara anak perempuan yang lebih besar. Atau mencolek pantat. Kemudian lari sekencang-kencangnya.
Semua korban rasanya ingin membunuhnya. Atau menguburnya hidup-hidup. Monster kecil itu bisa menebarkan kuman monster dalam diri  korban-korbannya. Mimpi buruk. Ketakutan. Dendam. Kemarahan.
***
Tetapi, anak liar yang bernama Asep itu merupakan bentuk ekstrim saja.
Buat anak-anak perempuan, ancaman semacam itu sering diperoleh dari anak lelaki atau pemuda tanggung. Bahkan laki-laki dewasa. Bila anak-anak perempuan sedang berjalan melewati sekelompok anak-anak lelaki, maka kita akan menjadi takut. Bukan gangguan secara fisik. Tetapi kata-kata usil. Hey, bondon. Itu kata-kata yang paling dibenci anak perempuan.
Salah satu yang sering dilakukan warga masyarakat di minggu pagi adalah lari pagi sampai ke Alun-alun Bandung. Kalau sekelompok anak perempuan lari pagi, ancaman dicolek pantat juga sering mengganggu.
Apabila seorang melakukan kejahatan itu. Penonton tertawa menikmati. Itu sebabnya monster kecil itu tidak merasa takut. Menurutnya kejahatannya menjadi hiburan yang disukai penonton.
Setiap korbannya dibicarakan orang. Orang punya bahan cerita.
Orang dewasa bahkan sambil tertawa bersama-sama ketika membicarakan anak perempuan yang payudaranya diremas. Kecuali kalau korban itu salah satu keluarganya.
***
Si Asep mempunyai ibu. Ibunya tak sanggup menahan amarah perempuan-perempuan yang anaknya jadi korban. Atau anak perempuan yang dengan penuh amarah melampiaskan caci makinya kepada ibu si Asep.
Monster cilik berumur 12 tahun itu dihajar ibunya dengan sapu lidi. Sampai menggerung-gerung tapi tak bisa lari ke luar karena pintu dikunci ibunya. Perempuan bertubuh gempal itu melampiaskan amarahnya dengan memukul membabi buta. Si Asep berteriak-teriak kesakitan dan mengatakan hal-hal jorok kepada ibunya.
Perempuan pedagang gorengan itu sakit hatinya mendapatkan ucapan-ucapan buruk dari perempuan-perempuan yang menjadi korban anaknya. Anak setan. Anak jadah tanpa bapak. Ibu pelacur. Hati Sri terasa perih mendengar kata-kata semacam itu. Mengingatkannya pada lelaki yang menghamilinya lalu lari. Luka terasa semakin sakit melihat anak yang dilahirkannya menjadi monster kecil, pencuri, cabul, jahat, dan tak kenal malu.
Dipukulinya anak itu sejadi-jadinya sampai tenaganya habis. Lalu anak itu melarikan diri. Sementara ibunya menangis sesenggukan.
Nenek si Asep yang tua, duduk sambil menundukkan wajah di kursi kayu yang reyot dan setua dirinya.
Bukan berarti si Asep berubah. Anak itu malah semakin bengal, cabul dan jahat. Kepada anak-anak yang lebih kecil suka mengancam dan merampas. Kepada perempuan-perempuan kecil dan muda bersikap cabul. Dia bahkan meremas rok  anak perempuan dan menohokkan tangannya ke arah vagina. Anak perempuan korbannya akan menangis melolong-lolong karena tak menerima perlakuan itu.
Adik ibunya, seorang ustad muda yang mengajar anak-anak mengaji di mesjid sedang merantau ke negeri Arab, sehingga si Asep tidak ada yang mengawasi lagi dan semakin menjadi-jadi. Bila pamannya itu ada, si Asep masih punya rasa takut.
***
Masyarakat memperlakukan aturan berbeda untuk anak perempuan dan lelaki. Anak perempuan tidak boleh main jauh-jauh. Kalau sudah magrib, anak perempuan harus sudah di rumah. Sementara anak-anak lelaki masih bisa nongkrong malam dengan teman-temannya. Anak-anak perempuan keluar malam hanya untuk mengaji ke mesjid. Berjalan di lampu remang dan bayangan gelap menjadi berbahaya. Karena ada monster yang bersembunyi. Si Asep.
Suara ketawanya terbahak apabila melihat anak-anak perempuan menjerit-jerit dan berlarian. Kemudian terdengar suara orang dewasa berteriak. Anak anjing. Kamana siah kua aing dipodaran!! (Kemana dia, akan kubunuh dia!!)
Si Asep tak kenal takut. Tertawanya meringis mengejek. Menyepelekan. Bahkan orang dewasa -yang memukulnya karena marah anak perempuannya menangis keras-keras mengadukan perbuatan si Asep- menjadi risi karena berhadapan dengan anak kecil sebagai lawan. Menempeleng anak yang berperawakan kecil tapi lentur liat itu memang serba salah.
Kelemahan si Asep adalah ibunya. Ibunya yang tak tahan menjadi sasaran pembalasan atas perbuatan anaknya. Memukuli si Asep sambil berteriak-teriak. Suaranya terdengar di seantero pemukiman padat yang rumah-rumahnya berdinding bilik itu. Anak celaka. Anak terkutuk. Kenapa kamu lahir...
***
Si Asep tidak takut meskipun Kepala Keamanan di pemukiman itu seorang tentara berperawakan besar dan galak telah menyatroni ibunya. Superioritasnya semakin ditancapkan. Tidak takut apa pun.
Bahkan dia sudah mampu melawan ibunya. Memukulnya balik sehingga perempuan pekerja kasar itu pun terjengkang dan jatuh. Sementara si Asep pergi meninggalkannya sambil meludah ke lantai.
Montong balik. Budak doraka siah!!!  (Jangan kembali. Anak durhaka kamu!!!) Teriak ibunya dengan murka. Menangis tersedu-sedu atas nasibnya yang malang.
Aibnya di masyarakat karena semua orang mengenalnya sebagai ibu si Asep dikaitkan dengan perbuatannya sehingga anak itu lahir tanpa bapak. Monster kecil. Anak jahat yang dibicarakan orang. Setiap langkah Sri kemana pun yang didengarnya adalah bisik-bisik orang. Itu ibunya si Asep.
Si Asep kemudian dikejar-kejar beberapa lelaki dewasa yang akhirnya bertekad akan menundukkannya. Apa pun caranya akan membuat anak itu minta ampun.
Si Asep pun lari dari rumah.
***
Fajar naik motor untuk berkeliling pemukiman itu. Sama sekali berbeda dengan keadaan yang dikenalnya di masa kecil. Hilang sudah lapangan sepak bola. Hilang sudah rumpun bambu di sepanjang sungai. Kebun mentimun dan singkong. Sawah. Pagar bambu. Rumah panggung. Semua hilang tak berbekas. Berganti menjadi sebuah labirin pemukiman padat kota. 
Dia pernah bertemu Pian, seorang satpam yang di masa kecilnya menjadi temannya bermain bola. Pian mengatakan padanya bahwa si Asep sekarang menjadi tukang becak yang mangkal di depan Supermarket Yoyo. Setelah lari dari rumah pada umur 14 tahun, si Asep hidup di jalanan Kota Jakarta. Kembali lagi sesudah dewasa dengan tubuh kecil dipenuhi tattoo.
Asep pulang sesudah ibunya tua. Dia menghidupi ibunya dengan menjadi tukang becak. Kawin beberapa kali. Punya anak dari setiap istrinya. Anak-anaknya mengemis di perempatan jalan. Hirupna balangsak. (Hidupnya brengsek). Kata Pian.
Fajar hanya mengingat di masa kecilnya dia pernah mempunyai teman sebaya yang reputasinya sangat luar biasa. Asep suka main bola. Sikap jahatnya tidak diberlakukan kepada teman-teman main bolanya. Fajar hanya berteman dengan Asep di lapangan sepak bola. Sekolah mereka berbeda. Fajar di sekolah swasta, Asep di SD Inpres. Tempat tinggal mereka berbeda. Fajar di perumahan, Pian di perkampungan di seberang sungai. Anak-anak itu tidak peduli dengan perbedaan saat di lapangan bola. Fajar teringat bagaimana ibunya sangat marah bila mengetahui dirinya bermain bola dengan Asep, Pian dan anak-anak lain.  Tapi kegilaannya terhadap permainan bola membuatnya kembali lagi ke lapangan itu.
Kalau berdiri berhadapan dengan Asep, nampak anak itu kecil. Sedangkan Fajar lebih besar dan tegap. Itulah yang diingat Fajar tentang anak yang ditakuti itu. Anak itu kecil, licin, dan liar. Dia tak perlu curang di lapangan bola karena bermain bola merupakan keunggulannya. Larinya kencang dan tendangannya selalu telak. Asep pemain bola yang luar biasa.
Tak ada yang tak kenal Asep. Baik itu warga di pemukiman kumuh maupun warga di perumahan baru yang terpisahkan dengan benteng tembok yang tebal.
Kejahatan Asep melewati batasnya ketika dia mulai merambah ke wilayah perumahan baru. Itu sebabnya dia dikejar sejumlah lelaki dewasa yang diperintahkan oleh Kepala Keamanan yang tentara itu.
Berakhirlah kejayaannya sebagai monster kecil.
***
Fajar melihat tukang becak itu sedang terkantuk-kantuk di dalam becaknya yang sedang mangkal. Meskipun tukang becak itu nampak tua. Meskipun Fajar sudah tak pernah bertemu Asep sejak 30 tahun lalu. Namun tukang becak yang mengantuk itu dikenalinya sebagai Asep. Monster kecil yang ditakuti di masa kecil.
Tukang becak itu terbangun dan matanya melihat kepada Fajar. Mengernyitkan alis seolah mengingat-ingat.
Sep... masih inget ka sayah?” Tanya Fajar. Tukang becak itu menyerigai dengan giginya yang kotor. “Saha nya? Poho deui atuh....” (Siapa ya? Lupa lagi...) katanya dengan sorot mata segan, namun berusaha seperti seorang teman lama yang kebetulan bertemu. “Nya moal apal da didinya mah beuki gandang...” (Ya, enggak ingat karena kamu sih tambah gagah...).
Fajar tersenyum. “Fajar. Babaturan maen bola basa keur leutik....” (Fajar. Teman main waktu masih kecil) Katanya. Tukang becak itu memandangnya lekat-lekat kemudian mengangguk-angguk. “Eleuh, geus jadi naon ayeuna kamu teh, Jar? Jelema sakolaan mah beda....” (Waduh, udah jadi apa kamu sekarang, Jar? Orang berpendidikan sih beda...) Katanya.
Jelema sakolaan.
Seorang yang tak pernah menamatkan SD-nya seperti Asep pun mengerti bahwa seseorang berbeda ketika sekolah dan tidak sekolah. Kalau pun ada yang sukses tanpa sekolah dan pendidikan, itu barangkali kekecualiaan.
Jelema teu nyakola.
Ketika masih kecil Asep menjalani pelajarannya dengan susah payah. Merasa tidak akan pernah sukses dengan yang disebut sekolah karena otak bebalnya. Menjadi anak yang bengis, nakal, dan ditakuti menjadi reputasi yang bisa dicapainya dan dinikmatinya benar.
Sesudah dewasa dan setua sekarang, Asep seorang tukang becak. Istrinya yang sekarang seorang pembantu rumah tangga. Anak-anaknya tiga. Tinggal di sebuah gubuk kecil peninggalan ibunya.
Setelah bertukar cerita dan bercakap-cakap, Fajar meninggalkan Asep yang berdiri di depan becaknya. Sebungkus rokok pemberian Fajar diterima tukang becak itu sebagai rejeki nomplok sore ini, disulutnya dengan nikmat sambil duduk di dalam becaknya.
Saha eta?” (Siapa itu?) Tanya teman sesama tukang becak.
Babaturan keur leutik....” Jawab Asep tak acuh. “Osok maen bola bareng....” (Teman waktu masih kecil. Suka main bola bareng...).
Kedua tukang becak itu pun menghisap rokok tanpa memperdulikan sekelilingnya. Bagi Asep, seorang teman di masa kecil bukanlah hal yang penting karena dia tahu semua orang yang mengenalnya di masa itu membencinya.
Sementara bagi Fajar, seorang Asep membekaskan kesan di masa kecilnya ketika dia pernah diancam, dirampas, dan ditendang ke dalam selokan berlumpur olehnya. Bermain bola dengan anak kampung jahat itu menjadi caranya untuk aman karena hanya teman-teman bermain bola saja yang tidak pernah menjadi sasaran Asep. Selain itu, mengenal secara dekat dengan anak yang menakutkan itu telah memberikan latihan nyali padanya.
Fajar pernah menciut nyalinya ketika melihat wajah Asep menyerigai dengan giginya yang buruk begitu dekat di hadapan wajahnya. Ketika itu ia menepuk pundaknya, menahannya dari perbuatan yang jahat kepada seorang anak perempuan. Wajah Asep nampak menyeramkan sehingga Fajar merasa berkeringat dingin dengan degup jantung tak karuan memikirkan entah apa yang akan terjadi selanjutnya akibat perbuatannya. Ternyata Asep menggandeng tangannya sambil menggerutu dan sumpah serapah. Bagi rokona, anjing. (Minta rokoknya, anjing). Katanya.
Fajar bernafas lega ketika melihat anak perempuan itu terlepas dari bahaya. Sementara monster itu menyulut rokok yang diberikan Fajar. Rokok yang dicurinya dari rumah. Kepunyaan ayahnya.
 ***
Pada saat memandang wajah anak-anaknya, Fajar teringat pada dirinya sendiri di masa kecil. Saat dia berumur 10 tahun dan harus menghadapi seorang monster berumur lebih tua, berperawakan lebih kecil tetapi sangat menakutkan.
Pernah dia ingin menyerah pada sikap pengecut seperti anak-anak yang lain. Menangis kalau diancam. Mengompol di celana bila digertak. Tapi dia berhasil melawan kepengecutan itu. Berhasil bermain bola dengan Asep dan kelompoknya. Suatu ketika dia menepuk pundak Asep dan mengatakan: Tong kitu euy ngerakeun ngaganggu awewe mah... Lawan mah si Centeng nu leuwih badag....(Jangan begitu lah, memalukan mengganggu anak perempuan... Lawan saja si Centeng yang badannya besar...)
Asep dan kawan-kawannya tertawa terbahak-bahak. Si Centeng itu sebutan mereka untuk Pak Tentara yang jadi Kepala Keamanan. Fajar ikut tertawa dengan rasa lega karena ucapannya telah diterima sebagai lelucon anggota tim.
Sementara Asep tidak mengenang apa pun tentang temannya yang bernama Fajar itu. Juga tidak tahu bahwa orang yang menyapanya saat terkantuk-kantuk di dalam becak itu, sekarang sudah jadi penggede militer.
***