Senin, 02 Januari 2012

Anak

Katanya Tuhan telah menentukan kelahiran, jodoh, rejeki, dan kematian kita. Ketika Tuhan menentukan, takdir namanya. Ketika Rasyid menikah dan punya anak, takdir anaknya mempunyai Bapak dirinya, menjadi suatu rasa tanggung jawab bagi Rasyid. Untuk menjadi Bapak yang baik bagi anaknya.

Anak tidak dapat memilih lahir dari siapa. Tidak dapat memilih bapaknya siapa. Kalau bisa memilih, semua ingin menjadi anak seorang keturunan Raja atau Sultan. Atau pengusaha kaya. Jenderal. Menteri. Orang berkuasa. Orang terkenal. Tapi anak harus dilahirkan dari berbagai macam orang tua. Termasuk seorang ibu pengemis. Ayah prajurit, tentara berpangkat rendah.

Rasyid dilahirkan oleh seorang perempuan yang mengabdi sepenuhnya untuk keluarga. Sedang Bapaknya seorang perwira menengah. Masa kecil sampai dewasa yang dijalaninya tidak pernah kekurangan, tetapi juga tidak berlebihan. Rasyid bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Bekerja di bank swasta. Istrinya sarjana dan bekerja sebagai PNS di pemerintah kota. Anak-anak Rasyid dilahirkan dari orang tua yang bisa memberikan kecukupan dan masa depan yang baik.

***

“Di luar sana bukanlah kehidupan yang aman...” begitu istrinya berpendapat. “Jangan terlalu protektif terhadap anak. Biarkan dia menghadapi masalahnya sendiri....” Rasyid dan istrinya sedang membicarakan hal pilihan sekolah yang serba sulit bagi para orang tua kelas “menengah-bawah” seperti mereka. Kelas “menengah-atas” bisa mengirimkan anaknya sekolah ke luar negeri sejak SMP yang iklannya saat ini cukup banyak dan gencar. Sekolah berasrama di luar negeri, tidak masalah mengirimkan anak ke sana sejak SMP. Ini bukan jaman lama.

Sekolah elit ataukah sekolah merakyat merupakan salah satu topik perdebatan antara Rasyid dan Hana, istrinya. Istrinya ingin anak sulung mereka masuk sekolah umum, sedangkan Rasyid ingin anaknya masuk sekolah berasrama di dalam kota yang cukup mahal dan dianggapnya memiliki disiplin yang baik. Sekolah umum –terutama yang negeri- menurut Rasyid tidak memiliki disiplin yang baik. Sedang Hana menganggap setiap anak akan merespon situasi sesuai dengan kepribadiannya dan orang tua hanya bisa menjadi teman berbagi rasa. Anak bisa menjadi antagonis dari tempat yang terlalu berdisiplin. Atau sebaliknya membentuk pertahanan terhadap tempat yang terlalu longgar, membangun disiplin pribadi berdasar kemauan sendiri.

“Anak harus belajar untuk menentukan sikap terhadap banyak hal yang dihadapinya di dunia luar sana. Sedangkan dalam keluarga yang selalu kita buat keadaannya untuk selalu baik dan ideal bagi anak, akan membentuk rasa nyaman yang mungkin membuatnya tidak belajar bersikap dan otonom....” begitu kata Hana.

***

Anak SD dan SMP harus menentukan disiplinnya sendiri? Rasyid menggelengkan kepala. Kewajiban orang tua untuk memberikan tempat yang mendidik disiplin untuk anak-anaknya. Begitu pandangannya.

“Kamu pikir SD yang paling baik dan mahal itu menyediakan apa bagi si Roy?” tanya Hana. “Anak kita itu jadi belajar bahwa anak-anak orang kaya di sekolahnya itu beruntung karena setiap liburan diajak ke luar negeri oleh orang tuanya. Sedangkan anak kita tidak seberuntung itu karena kita tidak sekaya itu....”

Rasyid harus mengakui kebenaran ucapan istrinya. Roy, anak sulung mereka yang sedang diperbincangkan sekolah di SMP mana nanti setelah lulus SD seringkali harus menghadapi penolakannya bila berencana bepergian dengan teman-teman dekatnya untuk mengisi liburan. Lima sahabat karib –anak-anak SD kelas lima waktu itu- akan bepergian ke Bali saat long week-end? Roy heran sekali bahwa dirinya tidak bisa, sedangkan teman-temannya bisa. Apa susahnya bepergian dengan penerbangan ke Bali dan pemesanan hotel secara online jaman sekarang? Berangkat hari Jumat pagi yang kebetulan libur, kembali hari Minggu dengan penerbangan sore, Senin sudah kembali lagi ke sekolah. Mereka hanya akan berenang di pantai yang ada di pelataran belakang hotel, jalan-jalan ke pasar seni, dan bercengkerama di kamar sambil main games.

Roy menganggap orang tuanya tidak mengijinkan karena masalah uang. Roy merasa dirinya berasal dari keluarga yang tidak kaya dibanding teman-temannya yang bisa memperoleh biaya liburan seperti itu dari orang tuanya. Mereka bisa membeli PS dan nitendo versi baru tanpa syarat harus mengumpulkan uang jajan seperti dirinya. Roy tahu keluarganya bukan miskin, tapi tidak kaya.

***

Rasyid melihat dunia secara berbeda dengan Hana. Memasukkan anaknya ke SD yang termasuk sekolah elit, baginya adalah investasi agar anaknya melangkah lebih maju dari dirinya. Kalau anak-anak lain lebih, maka anaknya akan berusaha mengejar. Menginginkan sesuatu yang lebih dari orang tuanya kelak.

Sementara Hana menganggap anaknya masuk ke SD elit untuk mengetahui perbedaan orang. Dia ingin Roy mengerti bahwa orang tuanya merupakan keluarga yang cukup namun banyak keluarga lainnya yang berlebih, kaya, dan anak-anaknya punya banyak kesempatan yang tidak dimiliki oleh banyak anak lain. Mereka tinggal di sebuah pemukiman yang baik tapi biasa. Sedang teman-teman Roy banyak yang tinggal di pemukiman elit dengan tembok dan pagar tinggi dan pos satpam di pintu gerbangnya.

Setelah melihat apa yang dialami anaknya selama SD, Hana ingin Roy bertemu dengan teman-teman yang berasal dari berbagai kalangan di SMP negeri. Bukan sekolah elit tempat berkumpulnya anak-anak dari kalangan elit yang orang tuanya pejabat atau pengusaha. Atau orang kaya tujuh turunan karena berasal dari keluarga menak-menak.

Rasyid melihat Roy menjauh dari teman-teman di sekolahnya dan lebih karib dengan teman-teman bermain di pemukiman mereka. Menandakan anaknya melihat dirinya “tidak sama” dengan anak-anak di sekolah elit itu. Roy bahkan lebih merasa nyaman berteman dengan anak-anak kampung yang tidak satu sekolah dengannya. Anak-anak yang sekolahnya ada di perkampungan di belakang dinding yang membentengi pemukiman tempat tinggal mereka dengan perkampungan itu.

Hal itu membuat Rasyid menginginkan Roy tetap di sekolah elit.

***

Shanti tidak mau disebut anak pengadu. Namun, gadis cantik kelas 3 SD itu terkadang merasa berkewajiban untuk menyampaikan sesuatu tentang Roy kepada kedua orang tuanya. “Pah, jangan bilang A’a saya yang kasih tahu ya. Teman A’a yang namanya Kamil itu suka merokok lho...” Kata Shanti kepada ayahnya.

“Merokok???” Rasyid terperanjat. Anak SD merokok bagi dirinya tentu saja sangat luar biasa. Tapi cerita tentang anak-anak kampung yang kecil-kecil sudah merokok dan mencari uang itu memang pernah didengarnya kalau ada pertemuan di Kantor RW untuk membahas masalah keamanan dan lingkungan pemukiman.

Hana tidak ingin menanggapi isu “Roy berteman dengan anak kampung yang masih SD tapi sudah merokok” itu dengan cara yang ekstrim. “Dunia di luar sana tidak selalu aman untuk anak-anak kita. Orang-orang di luar sana tidak selalu baik. Kita tidak bisa membuat anak-anak kita bertemu dengan jenis orang yang baik saja...” Hana ingin mensikapi itu sebagai hal yang biasa saja. Baginya yang penting Roy menyatakan pendapat tentang “anak SD tapi sudah merokok itu”.

Roy hanya mengangkat bahu saja. Entah itu artinya “Teman sekolahku juga ada yang merokok kok....” Ataukah “Anak kampung sana, SMP saja sudah berciuman....” Ataukah “Yang penting kan bukan saya, Ma. Saya tahu kok mana yang betul dan tidak betul....” Anak yang pendiam dan bersikap dingin itu membuat ayah dan ibunya jadi berpolemik tanpa bisa mengetahui pikiran anaknya lebih jauh.

Rasyid melarang Roy berteman dengan anak-anak kampung. Roy hanya boleh berteman dengan teman sekolah, teman di tempat les musik dan karate.

Hana sebenarnya tidak sependapat. Tapi seorang ayah harus tampil sebagai pembuat keputusan. Biasanya begitu yang diterapkan oleh Rasyid dan Hana.

Mengapa lebih sulit menghadapi Roy ketimbang adiknya Shanti yang lebih pengertian dan menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang tuanya? Shanti merasa nyaman bersekolah di SD yang sama dengan kakaknya.

Roy tidak banyak bicara. Lebih mudah mengerti apa yang diinginkan dan dirasakan oleh Shanti ketimbang Roy. Apakah larangan berteman lagi dengan anak-anak kampung itu suatu keputusan yang baik? Roy tidak menyatakan apa-apa.

***

Ketegangan terkadang terjadi antara Rasyid dan Hana. Cara mereka menjadi orang tua berbeda. Hana ingin anak-anaknya santai saja menghadapi kehidupan. Rasyid ingin anak-anaknya bersikap tangguh. Belajar lebih keras untuk pelajaran di sekolah. Berlatih lebih keras di tempat les renang, musik dan karate. Bukan untuk berprestasi sebagai juara tapi untuk menjadi tangguh.

Kenapa Roy selalu lebih lembek daripada adiknya Shanti?

Shanti sudah menyusul kakaknya di grade 2 les musik, Roy malah semakin acuh dan ingin berhenti les musik. Shanti sudah menguasai semua gaya renang dan selalu bersemangat dengan jadwal dan kesibukannya. Roy semakin suka duduk di depan komputernya di dalam kamar.

Hana menjadi tegang ketika perbandingan antara kedua anak itu dirasanya terlalu menjadi tekanan bagi Roy. Pertengkaran dengan Rasyid mulai timbul karena Hana ingin Roy dibiarkan menikmati apa yang disukainya. Namun Rasyid menganggap Roy menyukai apa-apa saja yang membuat dirinya lalai dengan waktu dan kesempatan-kesempatan yang diberikan orang tua untuk belajar berbagai hal.

“Apa yang aku inginkan tidak selalu bisa disediakan orang tuaku dulu. Sekarang kita sediakan untuk dia, dan dia tidak menginginkan apa pun selain santai dan membiarkan waktunya habis....” Kata Rasyid.

“Aku tidak mau paksaan. Biarkan aku bicara dengan Roy tentang apa yang dia suka dan ingin lakukan...” Kata Hana. “Saya tidak tahan kalau kamu memarahi dia terus. Mengkoreksi Roy untuk segala hal...”

***

Rasyid menyetir mobil charade tua yang dibelinya di sebuah tempat lelang mobil bekas. Hana juga punya mobil dan menyetir sendiri kalau ke kantor. Mobil mereka tidak mewah dan mentereng seperti yang dipunyai keluarga teman-teman Roy dan Shanti di sekolahnya. Rasyid tidak tahu apa yang dipikirkan Roy. Shanti lebih mudah mengekspresikan perasaannya. “Pah, mobil kita ini yang paling antik kalau parkir di sekolah...” kata Shanti. Rasyid dan Hana tersenyum, mengerti apa yang dimaksud anaknya. Di halaman parkir sekolah, mobil-mobil mentereng dari para penjemput anak nampak berjejer. “Nanti kita beli selusin...” Kata Rasyid.

Rasyid berhenti di perempatan karena lampu merah menyala. Anak-anak yang mengamen, berdatangan ke pintu-pintu mobil. Ada juga yang menawarkan koran sore. Ada juga yang mengemis.

“Mungkin mereka mencari uang supaya bisa sekolah. Membantu orang tuanya mencari uang....” kata Rasyid kepada anak-anaknya. Hana mengerti arah pembicaraan suaminya. “Betapa beruntungnya kalian, anak-anak.... Kalian tidak harus mencari uang. Kalian hanya harus belajar dan belajar....” Kata Hana kepada anak-anaknya.

Roy asyik saja dengan games di handphonenya. Shanti memandang ke luar kaca mobil dan melihat anak-anak itu di bawah hujan gerimis.

***

Orang tua tidak bisa memilih anaknya seperti apa. Anak lahir dan adalah anak kita seperti apa pun adanya. Mungkin dia tampan, lebih tampan dari ayahnya. Mungkin jelek, lebih jelek dari ayahnya. Mungkin dia anak yang selalu marah dan tak puas. Mungkin dia anak yang manis dan penuh pengertian.

Rasyid belajar menjadi orang tua lebih banyak dari anak-anaknya. Bukan dari orang tuanya. Ketika dia anak, dia anak yang menginginkan banyak hal. Orang tuanya sering tak dapat memenuhinya karena mereka punya anak banyak dan gaji seorang perwira tentara tanpa sumber pendapatan lain tentunya tidak banyak.

Anak-anak Rasyid mengajarkan bagaimana cara seorang anak menjadi gembira dan bahagia bersama orang tuanya. Ketika Rasyid mengatakan kepada anaknya “Aku ingin memberikan yang terbaik untuk kalian dan kalian tidak kecewa terhadapku....” Roy yang jarang bicara itu memandang ayahnya dan tersenyum. Sorot matanya seperti Bapak yang mengerti kekecewaan anaknya bila tidak mendapat sesuatu yang diinginkannya. Sepertinya orang tualah yang membutuhkan pengertian dari anak-anaknya ketimbang sebaliknya.

Bukan ayah yang hebat yang diinginkan Roy. Bukan pemilik bank. Bukan ayah yang punya mobil mentereng. Bukan ayah yang menelpon dari Amerika atau Eropa.

Roy bahagia disayangi ayahnya. Ayahnya yang cuma punya mobil tua. Pegawai biasa bank. Membeli rumah yang dibayar dengan cicilan ke bank.

Roy bahagia melihat ayahnya sekuat tenaga menahan kegusaran dan ketakpuasan hatinya terhadap kekurangan dia. Menahan diri karena tatap mata ibunya yang melarang celaan dan keinginan-keinginan diucapkan ayahnya terhadap dirinya.

Roy mengerti apa yang terjadi antara ayah dan ibunya.

Dia mengerti arti cinta. Ayahnya mencintai Roy sehingga menuntutnya untuk berusaha lebih baik dari dirinya. Ayahnya mencintai Shanti sehingga merasa bangga atas pencapaian dan kerja kerasnya. Ayahnya mencintai ibunya, sehingga itu mencegahnya untuk mencela Roy saat menerima kertas-kertas hasil ulangan semesternya yang buruk.

***

Suatu hari Rasyid sedang di kantor ketika menerima sebuah SMS. “Selamat ulang tahun, Papa. IOU.” Sebuah kalimat yang sangat panjang dari Roy, si anak pendiam dan acuh tak acuh itu.

Rasyid teringat betapa menjengkelkannya nilai-nilai try-out UAN anak lelakinya itu. Dia tersenyum sambil  menggeleng-gelengkan kepala. “I love you too, Roy....” gumamnya sendiri sambil menuliskannya dalam SMS.

***