Minggu, 19 Februari 2012

Skandal

Asri menjadi jarang keluar dari rumah. Itulah hukuman dari masyarakat untuknya. Meski tentu saja tak seorang pun melarangnya terlihat. Namun tatapan mata tetangga membuat Asri tidak mau kelihatan siapa pun kecuali terpaksa.

Dua puluh lima tahun yang lalu, masyarakat mungkin akan melakukan penghakiman kepada pelanggar norma. Namun sekarang semua sibuk memikirkan dirinya sendiri. Atau mungkin masyarakat menjadi semakin rasional, itu bukan urusan saya. Hanya orang yang berkepentingan yang akan bertindak.

Tapi di pemukiman ini, sebuah kampung raksasa di perkotaan, pelanggaran norma akan berhadapan dengan mata masyarakat. Walau hanya itu.

***

Cerita tentang skandal itu beredar. Orang-orang tak tahan untuk tidak menggunjingkan aib orang lain. Itu sebabnya mudah untuk memperoleh cerita itu. Belanja di tukang sayur dan bertemu beberapa ibu, kemudian sepertinya tidak sengaja melontarkan keheranan mengapa tidak pernah melihat Asri berbelanja lagi. Maka cerita pun akan mengalir dari dan kepada para ibu.

Sebuah peristiwa bisa menghasilkan sebuah cerpen. Itu kepentinganku. Sungguh suatu perbuatan memetik keuntungan dari tragedi orang lain. Kilahku adalah merekam cerita manusia untuk menjadi perenungan.

Tidakkah kita bisa merasakan bathin seorang Asri? Seorang terhukum sosial. Lebih bersalah dari pria selingkuhannya karena dia perempuan yang mengganggu pria baik-baik dan keluarga baik-baik yang sebelumnya tenteram dan damai.

Aku merencanakan sebuah “pengkajian” tentang skandal ini untuk menghindari ingatan yang diisi gosip semata. Aku ingin kenyataan tergambarkan.

Gosip hanya mengatakan sisi murahan dari skandal itu.

***

Asri yang berwajah manis itu selalu ramah. Tidak pernah merendah, meski orang-orang berbisik bahwa ibunya seorang pembantu rumah tangga. Tidak juga meninggi, meski keluarga suaminya termasuk berada. Pembawaannya sangat sesuai dengan dirinya. Seorang perempuan muda yang menyenangkan dan tidak mencolok. Orang-orang mengenalnya.

Suaminya seorang pria yang kelihatan berfisik lemah. Selalu menundukkan wajah terhadap orang lain. Jarang berbicara atau menyapa tetangga. Banyak orang yang “lupa” seperti apa wajahnya. Istrinya lebih dikenal orang.

Aku selalu mendapat sapaan Asri bila bertemu. Dan senyuman.

Keluarga muda itu tinggal di sepetak ruangan yang dibangun menempel dengan rumah orang tua suami Asri. Suami Asri merupakan anak bungsu, ibunya sudah sangat tua, sedangkan ayahnya sudah tiada.

***

Sangat mengejutkan cerita skandal antara Asri dan Pak Kosim, perempuan muda berumur 25 tahunan dan pria berumur lebih dari 60 tahun. Pak Kosim tergila-gila pada perempuan tetangganya itu. Istri orang lain.

Pak Kosim seorang pria yang sejak muda dikenal kebaikannya. Apalagi pada usia tua sekarang ini, kegiatan sehari-harinya adalah pengajian dan mengurus mesjid. Lebih sering berpeci dan mengenakan sarung dan sering terlihat pergi dan pulang dari mesjid untuk shalat bersama teman-teman baiknya.

Pria itu pastinya malu dengan heboh hubungan gelapnya itu. Namun hasratnya mengalahkan rasa malu itu. Dia berharap suami Asri menceraikan istrinya dan juga istrinya meminta cerai, sehingga dia bisa bersatu dengan Asri.

Tentu saja itu tidak mungkin.

Istri Pak Kosim menganggap suaminya terlalu tua untuk diceraikan. Tak terbayangkan olehnya kemana akan pergi suaminya itu. Sedangkan suami Asri menganggap bahwa anak-anak mereka akan sengsara bila mereka berpisah.

Skandal itu terbongkar dan hubungan dihentikan. Kebanyakan gosip akan membuat kesimpulan-kesimpulan stereotype. Bahwa motif Asri adalah uang, dan memberikan sex kepada lelaki tua itu demi uang. Sedangkan dorongan Pak Kosim adalah nafsu birahi seorang lelaki uzur yang bangkit kembali karena menemukan perempuan muda dan segar yang bisa dibeli di sebelah rumah. Kedua orang itu sama sekali tidak memiliki wajah dan karakter yang patut menjadi musuh publik.

Pada suatu hari, istri Pak Kosim memergoki suaminya di kamar bersama seorang perempuan. Ibu Kosim pulang terlalu awal dari rencana semula untuk bepergian ke keluarga kerabat bersama anaknya. Pak Kosim yang mengaku tidak bisa ikut karena tidak enak badan itu ternyata memiliki rencana percintaan dengan Asri.

Asri mendapat pukulan dan tamparan dari istri Pak Kosim yang berteriak-teriak marah sehingga menggemparkan para tetangga.

***

Bagi para ibu, pergunjingan yang menggoda adalah “perselingkuhan dengan istri orang yang ada di dekat kita, bisa saja terjadi pada suami seseorang siapa saja”. Bahkan seorang suami yang dikenal santun, baik, dan dihormati masyarakat. Gosip akan menggunakan peribahasa stereotype tentang jiwa kotor para lelaki yaitu “seperti kucing melihat ikan asin, pasti mencuri kalau kita lengah”. Sedangkan perempuan berjiwa “ikan asin” yang suka menggoda kucing demi uang atau menjadi perempuan yang dipenuhi prasangka rendah kepada suami dan perempuan lain.

Begitulah cara kerja gosip. Stereotype.

Aku tahu Asri memiliki seorang sahabat. Seorang teman yang sering kelihatan bersama-sama ke pasar atau bepergian. Seorang sahabat tentunya tempat berbagi rasa. Curhat. Kala aku berkesempatan bertemu dengan Ina, sahabatnya itu, aku bisa mendapatkan cerita yang lebih dalam. Ina bercerita sambil memijit punggungku dengan minyak zaitun dan body scrub.

Pak Kosim pada awalnya merasa bersimpati pada Asri karena kehidupannya yang susah. Karena itu, diam-diam –tanpa sepengetahuan istrinya- Pak Kosim sesekali memberi Asri uang untuk keperluan kedua anaknya yang masih kecil. Begitulah cerita Ina tentang awal hubungan Pak Kosim dan Asri.

Keakraban keduanya hanya disimpan dalam hati masing-masing. Asri sering mengantar anaknya mengaji ke mesjid dan bertemu dengan Pak Kosim dalam perjalanan maupun saat di mesjid. Tak ada pandangan mata siapa pun yang curiga atau merasa aneh atas kedekatan keduanya.

Rumahnya berdekatan. Tidak aneh kalau mereka berjalan sama-sama menuju pulang atau pergi ke mesjid. Selain itu Asri selalu bersama anak-anaknya. Pak Kosim selalu bersama sahabat-sahabatnya seusia.

Kelihatannya tidak ada hal yang aneh bagi siapa pun yang melihat kedekatan keduanya. Seorang perempuan muda –berbadan kuat karena selalu bekerja keras dan berwajah segar remaja- dan seorang pria berusia lanjut –berbadan langsing dan berwajah pertapa- yang nampak berbincang-bincang sambil berjalan pulang dari mesjid. Tak seorang pun melihatnya sebagai hal “apa-apa”.

Simpati Pak Kosim muncul karena watak Asri yang santun dan perilakunya yang baik, serta wajah yang manis. Hasrat Pak Kosim kepada Asri mulai timbul pada suatu ketika yang tak pasti. Asri merasakannya dari pandangan matanya. Juga tutur katanya yang berubah menjadi begitu lembut. Serta pemberian-pemberiannya menjadi lebih sering.

Tentu saja Asri tidak mengharapkan perselingkuhan dengan pria berusia lanjut. Atau pria mana pun yang merupakan suami tetangga.

***

Pak Kosim tidak memaksa, namun hasrat itu semakin menyala di matanya. Pada suatu kesempatan bertemu di dekat mesjid, Pak Kosim berbisik padanya. “Istriku pergi dengan si bungsu untuk menengok cucu. Mereka pulang besok. Nanti kamu ambil uang ke rumah ya....”

Astri terpana mendengarnya. Menundukkan kepala sambil bergegas berjalan pulang. Hampir berlari. Meninggalkan Pak Kosim yang berjalan pelan.

Malam itu Asri bisa saja tidak pergi ke rumah Pak Kosim. Uang selalu dibutuhkannya. Tapi dia tidak terpaksa harus pergi saat itu.

Itulah pertama kali dia melakukan hubungan badan dengan pria yang lebih tua dari ayahnya sendiri. Pria itu berwajah baik. Mungkin tampan sewaktu muda, menurut pikiran Asri. Asri memejamkan matanya selama pria itu menyetubuhinya.

Peristiwa itu terjadi setahun sebelum hubungan gelapnya terbongkar.

***

“Kenapa dia mau?” Tanyaku. Suaraku tidak mencela. Aku sedang menjadi seorang “peneliti”, seorang yang mendengar untuk memahami kenapa peristiwa itu terjadi. Bukan seorang penyidik yang akan menegakkan hukum. Aku juga tidak ingin bergosip, tetapi justru ingin melawan informasi gosip yang mampir di telinga saat belanja sayur. Saat arisan lingkungan. Atau saat-saat lain dalam kehidupan masyarakat kampung kota tempat aku bermukim yang punya hobi bergunjing.

“Asri membutuhkan uang, memang,” Kata Ina sambil menggosokkan telapak tangannya di punggungku sampai aku meringis-ringis kesakitan. “Tapi dia juga membutuhkan sex yang tidak dapat diberikan suaminya....”

“Kalau dia melakukannya berkali-kali selama setahun, tentunya diapun merasa enak. Apakah dia merasa enak?” Aku bertanya. Pertanyaan lugas di antara perempuan dewasa yang sama-sama berpengalaman dengan seks.

Ina tertawa geli membayangkan lelaki lanjut usia itu. “Ya, enak mungkin. Ketimbang dengan pria muda brengsek yang menganggapnya bondon murahan?”

Aku mengangkat kepala dan memandang wajah Ina. “Memangnya dia pernah dengan pria lainnya?” Perempuan ini sepenuhnya percaya padaku ataukah dia orang yang mudah membocorkan rahasia sahabatnya sendiri? Pikirku dalam hati.

“Kadang aku mengajaknya ke salon tempat kerjaku. Karena dia memaksa-maksa mau diajak kerja,” Kata Ina. “Di salon bisa ketemu lelaki yang mau membawa dia dan memberi uang tentu saja. Tapi Asri tidak suka dengan lelaki yang mulut dan sikapnya kurang ajar. Sejak dengan Pak Kosim, dia tidak mau lagi dengan orang lain....” Ina tertawa geli ketika mengatakan, “Pak Kosim cinta beneran lho sama Asri.... Dia masih suka nitip surat lewat saya.... hahahaha”

“Suaminya tidak marah atas perselingkuhan istrinya?” Tanyaku. “Suaminya kan sakit. Gak mampu begituan lho, Bu. Jadi, maklum aja sama istrinya. Dia tidak marah kalau istrinya pulang pagi...”

“Aneh. Mereka bisa punya dua anak....” Kataku. “Kebetulan aja barangkali, Bu.... Biar pun jarang dilakukan dan tidak sempurna, tapi masih bisa hamil....” Ina tertawa terus seolah membicarakan hal yang lucu.

“Pak Kosim kan sudah tidak berhubungan juga dengan istrinya, wong sudah tua-tua....” Kata Ina.

“Bu, saya belum pernah cerita sama siapa-siapa lho.... Jangan diceritakan ke orang lain ya....” Kata Ina. Mengakhiri ceritanya.

***

Peristiwa itu tidak membuat Pak Kosim berhenti ke mesjid atau mengurung diri seperti Asri. Namun Pak Kosim menjadi lebih pendiam.

Sifatnya yang ramah dan suka mengajak bicara menjadi hilang. Hanya tersenyum kecil bila bertemu di jalan. Semua orang tetap bersikap seperti biasa kepada Pak Kosim. Figurnya yang simpatik dan profilnya membuatnya tidak menjadi sasaran olok-olok atau ucapan jahil siapa pun. Berbeda dengan posisi Asri yang menjadi takut memperoleh ucapan-ucapan menyakitkan atau tatapan mata yang menusuk. Dia pun mengurung diri di dalam rumahnya. Nyaris tak kelihatan lagi selama dua tahun setelah kejadian tertangkap basah.

Sungguh suatu keadaan yang berbeda terhadap kedua orang itu.

Asri mempunyai hasrat seksual yang sehat, meluap, muda dan belum terpuaskan. Tetapi hasrat seksual itu tidak ditujukan kepada Pak Kosim. Hasrat seksual itu untuk seorang pria yang dapat menghargainya, muda, dicintai, dan membahagiakan. Sebuah fantasi.

Sebuah jeritan kepada Tuhan.

Bukankah Engkau yang bertanggung jawab atas kehidupan? Aku ingin seorang suami seperti perempuan lainnya, tangis Asri dalam bathinnya maupun saat ia tersedu-sedu sendirian di rumah. Suami sedang kerja di sebuah supermarket. Anak-anak bermain dengan teman-temannya di luar.

Bukankah hasrat seksual Asri dimilikinya karena seorang manusia –lelaki maupun perempuan- punya kelamin? Asri tidak bersalah memiliki hasrat seksual. Asri manusia normal –bukan cacing yang melakukan seks dengan dirinya sendiri. Manusia bukan hermaprodit.

Ingin rasanya aku menyebut “si brengsek” pada suaminya yang dengan semena-mena menikahi Asri yang tidak tahu bahwa calon suaminya lemah syahwat. Kemudian membuatnya tersiksa dan terjebak. Terbayang wajah pria pendiam dan pemalu itu yang jarang bergaul dengan siapa-siapa.

“Mengapa tak ditinggalkan saja suaminya dan Asri cari suami lain?” Tanyaku.

“Mana bisa, Bu. Anak-anak sayang sama Bapaknya....” Kata Ina.

Lalu Ina melanjutkan, “Pak Kosim benci sama saya, Bu. Dia cemburu. Dia benci kalau`Asri pergi ke salon. Dia bilang saya menjerumuskan Asri untuk menjadi korban laki-laki hidung belang. Biar pun begitu, dia tetap saja masih menitip amplop lewat saya....”

***

Asri duduk di tepi tempat tidur, membuka amplop dari Pak Kosim yang berisikan surat ucapan menyabarkan dan selembar uang seratusan ribu rupiah. Airmatanya luruh membasahi wajahnya. Sejak lahir kehidupan yang dijalaninya selalu miskin. Menikah dengan pria dari keluarga yang dianggapnya lumayan, tetapi ternyata suaminya berbeda dengan saudara-saudaranya, dia memberinya kemiskinan dan juga dahaga cinta birahi. Pantas mau pada gadis miskin sepertiku, pikir Asri.

Tak mungkin baginya kembali ke rumah orang tuanya yang begitu miskin bersama anak-anaknya. Adik-adiknya pun tanggungan berat bagi ayahnya yang buruh sehingga ibunya juga menjadi pembantu rumah tangga.

Ina mengajaknya kembali kerja ke salon semata-mata karena iba, bukan jahat seperti yang dituduhkan publik bahwa Asri terjerumus oleh Ina si perempuan binal perusak rumah tangga orang. Suami Asri tak pernah melarang. Tak bermusuhan dengan Ina. Para tetangga hanya menatap. Itu bukan urusanku, pikir orang-orang.

Skandal itu diselesaikan oleh dua keluarga yang terlibat dengan bantuan seorang ustadz. Ibu Kosim ingin Asri enyah dari pemukiman itu.

***

“Apakah saya mengajaknya melakukan dosa, Bu?” Tanya Ina padaku suatu saat ketika sedang melulur badanku di rumah. Penghasilan tambahan dengan bekerja di rumah pelanggan, di luar jam kerja di salon.

Aku menghela nafas panjang.

“Apakah saya mengajaknya melakukan dosa, Bu?” Tanya Ina bersikukuh.

“Aku harap salah satu lelaki yang bertemu Asri akan memberinya cinta. Menikahinya. Membawanya pergi...” Kataku berpuisi. Mengelak.

Ina menarik nafas panjang. “Apa ada ya lelaki baik yang suka nyalon dan mau menikahi dia?” Ina lebih tahu dari aku. Dia sendiri pun tak pernah berharap menjadi istri baik-baik dari seorang lelaki karena selalu berhubungan dengan suami orang. Tapi Ina selalu siap dengan posisinya itu sedangkan Asri tidak. Bahkan Ina pun menganggap Asri seorang perempuan malang ketimbang dirinya. Asri tidak dengan senang hati menjadi perempuan yang tidur dengan lelaki hidung belang. Hasrat birahinya yang bergejolak mendorongnya kembali lagi ke salon.

Apakah ada kebahagiaan untuk Asri. Apa dia dilahirkan hanya untuk kemiskinan dan kepedihan. Lalu anak-anaknya pun demikian.

Entah.

***

Semakin umurku bertambah dan dengan usahaku untuk belajar dari sesama manusia –termasuk Asri dan Ina- aku tahu bahwa setiap manusia punya hati yang baik. Kalaupun tidak baik sepenuhnya, masih ada sepotong kebaikan hati.

Ina tak sebinal apa kata orang. Dia seorang penolong. Seorang yang mengharapkan sahabatnya –Asri- menemukan pria yang lebih baik untuk menjadi suami. Tidak terbersit dalam hatinya kejahatan untuk menjerumuskan Asri agar menjadi bondon atau pelacur, seperti ungkapan orang. Seorang perempuan binal yang tidak mengharapkan perempuan lain menjadi binal. Seperti dirinya ingin menjadi istri baik-baik kalau saja bisa mengubah awal kehidupannya.

Suatu hari Asri menggantikan Ina, memijit dan melulurku di rumah. Ibu-ibu tetangga memperhatikan. Seorang ibu bahkan bertanya padaku untuk menunjukkan keheranannya. Aku mengatakan padanya bahwa benar Asri bekerja melulurku.

“Kalau mau menolongnya memperoleh uang dengan cara bekerja, kenapa tidak mempekerjakan dia untuk melulur, memijit, atau creambath di rumah?” Tanyaku kepada ibu tetangga itu. Wanita itu termangu sambil menatap wajahku.

***

Kebaikan ada dalam diri manusia. Tidak semua mau, tapi aku mendengar Asri mulai punya lebih banyak panggilan ke rumah ibu-ibu.

Suami Asri berusaha untuk sembuh dengan pengobatan alternatif. Ina mengoper aku untuk menjadi pelanggan Asri.

Aku menemukan di balik skandal yang memalukan itu terdapat tindakan-tindakan mulia banyak orang. Ina, seorang yang menjadi tudingan sebagai biang kerok penular kejahatan asusila itu, menjadi penolong Asri tanpa pamrih. Tidak mundur meskipun menjadi kambing hitam dalam skandal ini dan banyak berkorban perasaan untuk Asri. Pak Kosim, pria yang jatuh cinta itu menyatakan kepada ustaz kesediaan untuk bertanggung jawab dan menikahi Asri. Ibu Kosim yang memaafkan suaminya dan tak sampai hati menceraikannya, serta berdamai dengan keberadaan Asri sebagai tetangganya. Suami Asri yang meneteskan air mata karena mengkasihani istrinya yang tak terpenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya, menjadi bapak yang bapak bagi anak-anaknya. Sahabat-sahabat pengajian Pak Kosim yang tetap merangkul pundaknya dan tak mengatakan apa pun tentang skandal itu. Para ibu yang kemarahannya berubah menjadi simpati pada Asri yang berusaha bekerja menolong suaminya mencari uang tambahan.

Gosip itu dangkal dan jahat. Informasi gosip itu membunuh karakter dan membodohkan. Merupakan rekaan dalam benak orang-orang.

Kutuliskan cerpen ini untuk belajar tidak menghakimi. Untuk belajatr menemukan kemuliaan-kemuliaan yang dimiliki jiwa manusia. Meski manusia itu mudah melakukan dosa.

***

Sabtu, 11 Februari 2012

Ibu yang Penyayang

Sejak kecil Yusuf menganggap bundanya adalah bidadari yang suci dan mulia. Dekapan dan pelukan ibunya selalu menemani. Pandangan matanya yang mesra dan penuh cinta, tak pernah lepas dari wajah anak semata wayangnya itu. Yusuf hanya satu-satunya yang menjadi pusat kasih sayang sang bunda.
Ketika masih kecil, bunda memasak apa saja yang diinginkan Yusuf. Kue-kue yang lezat dan dibuat dengan proses yang lama dan penuh ketekunan untuk terhidang di atas meja dengan warna warni yang lucu dan bentuk menawan, semua hanya untuk Yusuf. Buku-buku resep masakan koleksi ibunya, semuanya untuk memasak makanan-makanan yang leza,t hanya untuk Yusuf.
Dalam ingatan Yusuf, ayahnya jarang makan di rumah. Ayah tidak sempat makan pagi dan pergi tergesa-gesa. Ayah makan siang di kantor. Ayah pulang terlalu malam dan tidak makan malam di rumah. Ayah tugas luar beberapa hari, bahkan beberapa minggu.
Sedang bunda memasak seharian untuk Yusuf. Bunda membuat kue seloyang kecil saja dan tekun menghiasinya dengan mentega-gula kocok berwarna-warni, hanya untuk Yusuf. Bunda senang berbelanja ke supermarket dan semua daftar belanjaannya hanya untuk keperluan Yusuf.
Bunda selalu berkata, “Lihat ini keju leleh untuk membuat kue kesukaanmu....”. “Pilihlah buah-buahan yang kamu mau....”  “Ayo kita cari udang dan ikan laut supaya kamu jadi anak pandai dan sehat....”
Yusuf menemani ibu belanja. Yusuf les renang dan ibu menunggui sambil membaca resep-resep makanan anak di tabloid wanita. Yusuf bermain bersama anak-anak tetangga di dalam rumahnya, tapi anak-anak itu cepat bosan dan pergi bermain ke lapangan, sedangkan Yusuf tidak diperbolehkan oleh ibunya.
Yusuf duduk di meja makan dengan hidangan serba istimewa yang dimasak ibunya. Ibunya memandangi wajah anaknya untuk melihat reaksi anaknya terhadap kelezatan makanan buatannya. Mereka sering berdua saja.
***
Ketika remaja, Yusuf anak yang pandai di sekolah. Sibuk dengan les ini dan itu. Aktif di organisasi sekolah. Punya banyak teman yang senang dengan kesibukan belajar dan berlatih berorganisasi. Anak-anak baik yang disukai ibu Yusuf.
Terkadang Yusuf pulang kemalaman karena kegiatan organisasi. Bunda selalu menangis bila Yusuf pulang kemalaman, apalagi bila tidak pulang semalam. Kalau begitu, Yusuf berjanji tidak akan melakukan itu lagi karena akan mencemaskan ibunya.
Yusuf selalu mengatakan kepada teman-temannya yang sedang sibuk menyiapkan sesuatu bersama,  “Maaf, saya harus pulang sekarang. Ibu saya hanya mengijinkan saya pulang terlambat sampai jam 07.00. malam....” Tak perduli wajah teman-temannya memprotes karena masih banyak persiapan yang harus dilakukan untuk kegiatan besok, Yusuf akan tetap pulang.
Siapa pun yang mengenal Yusuf akan menyukai sifatnya yang baik, tekun, ramah, dan penyayang. Suatu ajaran yang sempurna dari ibunya yang tak pernah absen membacakan dongeng pengantar tidur sejak Yusuf bayi sampai masa anak-anaknya berlalu. Ketika Yusuf tidak lagi perlu dibacakan dongeng pengantar tidur, bunda selalu duduk di samping tempat tidurnya sebelum memadamkan lampu.
“Yusuf, jangan lupa berdoa sebelum tidur....” Begitu kata bunda selalu.
***
Setelah selesai kuliah, Yusuf sama sekali tidak ingin beranjak kemana pun selain di dekat bundanya. Tidak terfikir olehnya untuk kuliah di kota lain. Tidak mungkin ibunya mengijinkan. Tidak mungkin pula Yusuf meninggalkan ibunya.
Teman-teman kuliah Yusuf senang berkumpul di rumahnya. Tentu saja karena ibunya akan menyediakan makan siang, kue-kue buatannya yang enak, dan minuman-minuman dengan buah-buahan. Masalahnya, mereka tidak boleh merokok. Yusuf mengatakan kepada teman-temannya bahwa ibunya akan sangat kecewa melihat anak muda yang merokok.Tentu saja hal ini mengurangi kenyamanan mahasiswa-mahasiswa yang suka minum kopi sambil merokok ketika mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Yusuf disukai para wanita karena sifatnya yang lembut kepada ibunya. Pelukan dan ciumannya ketika pamit kepada ibunya mengesankan teman-temannya. Sembahyangnya rajin. Tidak merokok dan jajan sembarangan. Tidak sulit bagi Yusuf untuk mendapatkan pacar. Yusuf memilih Shanti yang cantik, lembut, suka pekerjaan dapur, tidak banyak bicara dan cocok dengan ibunya.
Sesungguhnya Yusuf menyukai Mita yang periang, sedikit ceriwis, lucu, dan banyak sekali gagasannya. Tapi ibunya kurang cocok pada sosok semacam itu.
Yusuf menikah dengan Shanti yang telah menjadi teman baik ibunya selama hampir sepuluh tahun. Sepertinya, dia tidak perlu mempertimbangkan pilihan lain.
***
Bunda sudah sangat tua sekarang. Yusuf merawatnya dan tidak pernah berpisah dengannya. Apalagi setelah ayahnya meninggal karena sakit, ibunya tak bisa lepas dari perhatian Yusuf. Entah itu kepalanya sakit. Dadanya berdebar. Kakinya terkilir. Ibunya hanya menyebutkan nama Yusuf untuk merawatnya. Bahkan ketika masalahnya tak harus membuat Yusuf pulang tergopoh-gopoh dari kantornya, bundanya ingin Yusuf hadir.
Yusuf mengabaikan promosi dalam pekerjaannya ketika harus pindah ke Jakarta atau kota lain. Gajinya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan tidak cukup untuk membiayai sekolah anak-anaknya sehingga Yusuf selalu mempunyai cicilan hutang biaya sekolah ke kantor.  Itu membuatnya selalu menerika keadaannya di kantor.Yusuf  tidak dapat melanjutkan jenjang pendidikan sehingga pegawai-pegawai muda yang bergelar lebih tinggi segera melampauinya.
Istrinya, Shanti, berhenti kerja ketika mereka punya dua anak. Menurut ibunya Yusuf , tugas seorang istri adalah merawat anak-anaknya sehingga mau tak mau Shanti mengikuti keadaan itu. Apalagi mereka tinggal di rumah ibu mertuanya itu. Shanti mencoba menambah pendapatan suaminya dengan membuat usaha kue di rumah. Penghasilan suaminya saja tidak cukup sedangkan biaya sekolah semakin mahal. Apalagi anak ketiga juga lahir.
***
Yusuf meninggal pada usia belum lagi 60 tahun karena sakit ginjal dan diabetes, pada saat anak-anak sudah dewasa. Si sulung dan si tengah sudah bekerja di Jakarta dan Bali. Sedangkan si bungsu kuliah di Yogya. Anak-anak selalu ingin segera pergi dari rumah karena tidak tahan dengan dominasi nenek mereka.
Shanti pernah mencintai Yusuf dan sepertinya anak-anaknya menyesali pilihannya karena harus melihat kesedihan ibu mereka meskipun dalam diamnya. Shanti terkadang tak sanggup lagi menghadapi seorang suami yang semua keputusan dan keinginannya ditentukan seorang ibu yang begitu mengendalikan. Terkadang Shanti ingin pergi, tapi dia pun telah terperangkap di rumah yang menjadi tempat Yusuf dilahirkan, dibesarkan, menikah, dan bahkan disemayamkan saat kematiannya.
 Sang bunda menangisi anak kesayangannya siang dan malam. Setiap orang yang datang menjenguk selalu mendapat cerita yang sama dan sama lagi. Tentang sang kekasih, anak kesayangan, Yusuf.
***
Shanti pernah bertemu Maya, perempuan cantik dengan kulit seperti pualam yang begitu lembut, perhatian, dan menyukai hal-hal kewanitaan. Tetapi si sulung Rahmat memberitahu ibunya bahwa dia akan menikah dengan Dina, perempuan yang karakternya sangat berseberangan dengann Maya, suka berbicara, tak sungkan menyatakan pikiran yang berbeda dengan Rahmat, dan banyak bepergian ke banyak tempat. Sang nenek memperlihatkan keberpihakan yang jelas, dan juga menganggap bahwa otoritasnya sangat tinggi dan harus dihormati cucu sulungnya itu.
Suatu hari Shanti mendengar sang nenek menyatakan pujian-pujiannya kepada Maya, dan sedikit menyatakan hal yang tidak berkenan di hatinya terhadap sikap seorang wanita atau istri yang nampaknya dimaksudkan untuk Dina meski tak disebutnya. Rahmat memeluk neneknya dan menyatakan bahwa dia akan menikah dengan Dina karena mereka cocok dalam banyak hal, pekerjaan maupun pemikiran.
“Saya tidak akan pernah menikah dengan perempuan yang hidup hanya untuk suami dan anak-anaknya...” kata Rahmat kepada neneknya. “Saya tidak mau anak saya dipenjarakan seumur hidupnya oleh ibunya sendiri....”
Shanti terkejut mendengar ucapan pedas anaknya. Namun dia menyadari bahwa sang mertua sudah sangat tua. Ucapan anaknya itu mungkin sama sekali tak berarti dalam pendengaran maupun pikiran wanita tua yang sudah pikun dan kurang mendengar itu. Bahkan ketika dia merasa sakit, masih suka memanggil-manggil Yusuf seolah anaknya masih hidup.
***