Sabtu, 27 Oktober 2012

Jumlah Anak dalam Keluarga


Pada era 1980-an ke belakang, setiap keluarga memiliki anak banyak karena anak-anak telah lahir sebelum alat kontrasepsi dikenal. Atau alat KB menurut istilah Orde Baru. Benda itu baru mulai dimasyarakatkan pada tahun 1970-an di Era Orde Baru dan pada awalnya mendapatkan resistensi yang keras dari masyarakat karena dianggap melanggar kehendak Yang Di Atas.

Bahkan ketika alat KB mulai dikenal luas dan dicanangkan secara gencar, para ibu masih banyak melahirkan anak-anak termudanya dengan tahun kelahiran 70-an. Mungkin anak ke-5, 7, 9 atau lebih. Sementara anak sulungnya sudah ada yang punya anak. Ketika ibuku hamil anak sulung, ibunya (nenekku) juga sedang hamil anak bungsunya. Paman dan keponakan itu menjadi teman sebaya.

Keluarga Sumpena memiliki anak delapan, 3 laki-laki dan 5 perempuan. Dua anak lahir pada tahun 50-an, empat anak lahir dengan kepala tahun 60-an dan dua  dilahirkan dengan kepala tahun 70-an. Ketika sang ibu sedang hamil anak ketiga, berbarengan dengan ibunya (sang nenek) yang sedang hamil anak terakhirnya, anak ke-11.  Keluarga Sumpena adalah tetangga keluargaku.

Bukan sesuatu yang aneh pada masa itu bila seorang paman atau bibi seusia dengan keponakannya atau bahkan lebih muda.

***

Ibu di Keluarga Sumpena kalau memasak selalu banyak. Dia memiliki banyak wadah dengan beragam fungsi. Ada mangkuk-mangkuk untuk menaruh camilan seperti kacang rebus atau urap ketan. Ada mangkuk lebih kecil untuk menaruh candil ubi atau bubur lemu. Ada gelas-gelas plastik untuk menaruh kolak, bubur kacang hijau atau cendol. Berjajar-jajar di atas meja dan diberi nama masing-masing anak. Setiap anak mendapat jatah dua atau tiga gelas. Terserah mau dimakan sekaligus atau satu-satu. Mug keramik bertutup itu punya ayah dan ibu. Mangkuk gelas juga punya ayah dan ibu. Sayur dan lauk untuk ayah juga dipisahkan, tidak boleh bekas diacak anak-anak.

Cara yang dilakukan Keluarga Sumpena sungguh lebih baik daripada cara di rumahku. Ibuku melakukan pengawasan ketat ketika acara makan berlangsung. Ini membuat rasa tidak nyaman kalau mendapat omelan karena mengambil sesuatu terlalu banyak. Tapi itu masih lebih baik daripada di keluarga pamanku yang dibiarkan saja dengan cara “hukum rimba”. Siapa cepat dia dapat, siapa kuat dia bisa merajai meja makan. Aku pernah melihat suasana itu dan melihatnya sebagai situasi yang buruk sekali. Lebih menyenangkan suasana dalam Keluarga Sumpena yang teratur dalam hal pembagian makanan dan pekerjaan.

Aku sering menontoni ibunya yang sedang menuangkan makanan ke dalam wadah-wadah. Si ibu memberikan satu wadah yang terisi dan aku melanjutkan menonton sambil makan.

Semua anak perempuan sibuk dengan pekerjaan di dapur dan rumah. Mereka memiliki bangku-bangku kayu kecil yang dibuat sang ayah disebut jojodog dalam Bahasa Sunda (dalam Bahasa Jawa disebut dingklik). Digunakan untuk duduk sambil bekerja membersihkan sayuran, bawang, dan bahan-bahan masakan lain di atas tampah. Bak dan ember-ember selalu terisi air, merupakan pekerjaan anak lelaki.

Keluarga Sumpena memiliki sumur yang digunakan bersama keluarga tetangga.  separuh sumur ada di dalam kamar mandi Keluarga Sumpena, separuh sumur ada di dalam kamar mandi keluarga tetangga. Sekat dinding kamar mandi di atas sumur dibuat sekitar 2-3 cm di atas dinding sumur. Pada masa itu banyak juga keluarga berbagi sumur seperti itu.

Aku tidak pernah melakukan pekerjaan dapur di rumah. Ibuku memberiku tugas belajar dan memperoleh nilai yang baik. Karena itu aku punya waktu untuk melihat perempuan-perempuan di Keluarga Sumpena menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyiapkan dan memasak terutama di hari Minggu.

Keluarga itu suka makan. Makan adalah prioritas pengeluarannya. Setelah lulus SMEA atau STM, anak-anak keluarga itu memilih bekerja. Anak perempuan juga memilih menikah pada usia muda. Saat aku masuk kuliah, teman sebayaku, salah satu anak perempuan Keluarga Sumpena, sudah mulai bekerja dan beberapa tahun kemudian menikah.

***

Ada tindakan ’kejahatan’ yang dilakukan anak-anak di keluarga besar Sumpena, yaitu mengambil satu sendok dari setiap wadah lain supaya mendapat lebih banyak. Tapi itu semua hanya permainan untuk menjadi cerita yang membuat tertawa. Keluarga itu selalu memasak banyak. Cukup untuk semua. Bukan makanan yang mewah. Tapi makanan yang enak. Sambal yang sangat pedas dan menimbulkan selera. Aku masih ingat makanan istimewa yang mereka buat adalah paria yang diiris sangat tipis dengan bumbu cabe berwarna merah darah, sungguh membuat makan siang menjadi sangat nikmat. Mereka bahkan menanam sendiri pohon paria itu di samping jemuran baju. Ikan mas, mujaer kecil-kecil, telur setengah kilo yang dikocok dengan banyak bawang daun, atau ikan asin, menjadi lauk yang sering disajikan bersama tahu dan tempe. Tidak pernah ketinggalan kerupuk aci dalam blek yang selalu diisi setiap pagi, melengkapi menu makan keluarga itu.

Aku juga senang melihat dan ikut mencoba mengerjakan pembuatan makanan kecil yang dilakukan anak-anak perempuan Keluarga Sumpena. Mereka sering membuat kue bolu dengan loyang besar bulat yang bolong di tengah. Kue cheestick yang sebenarnya tanpa keju, terbuat dari adonan terigu dan telor ditambah penyedap rasa dan irisan bawang daun agar menjadi gurih, menjadi makanan kecil yang paling sering dibuat. Ada lagi makanan yang paling enak yaitu nasi ketan yang disebut “bangkerok”. Beras ketan yang diberi garam, bumbu, dan kelapa muda parut, dimasak dalam ketel besar dan tebal dengan ditutup dengan api kecil sampai matang dan berkerak. Sedaaap sekali ketika dimakan panas-panas. Mereka juga sering membuat urap dari sayuran mentah yang disebut tarancam, sejenis urap yang dikenal Ibu Sumpena dari sebuah keluarga Jawa dengan racikan khas berupa sayuran mentah ditambah daun kemangi dan buah petai cina. Sedap sekali rasa bumbu kelapanya. Selain itu, yang paling sering dibuat adalah lotek, campuran sayuran dengan bumbu kacang tanah yang diulek mendadak di atas cobek besar. Setiap orang akan meracik dan membuat bumbu sendiri-sendiri sesuai seleranya. Sayuran yang direbus setengah matang seperti kangkung, toge, kacang panjang dan kol, disediakan di atas tampah yang dialasi daun pisang. Seperti berjualan saja. Aku senang sekali membuat lotekku sendiri, dan menaruhnya di dalam pincuk daun pisang. Rasanya enak sekali lotek buatanku sendiri. Ibu Sumpena tertawa melihat gerak-gerikku di dapur. Dia sering menyebutku si murid teladan yang kerjanya hanya belajar dan jarang ke dapur.

Sementara anak-anak perempuan Keluarga Sumpena bekerja di dapur, anak lelaki sulung punya kesibukan dengan motornya. Motor butut yang sering mogok itu harus diotak-atik supaya bisa jalan. Menjadi alat transportasi buat dirinya sendiri dan anggota keluarga lain terutama bila kakak perempuan harus diantar belanja ke pasar. Terkadang anak lelaki yang masih SD pun mengantar kakak perempuannya ke pasar dengan motor itu. Keterampilan yang diperoleh karena paksaan keadaan ketika si kakak lelaki sedang sibuk mengerjakan hal lain atau mogok jadi juru antar.

Bapak dan anak lelaki di Keluarga Sumpena sering sibuk dengan perkakas tukangnya. Ayah mereka seorang tentara gemblengan jaman perang mempertahankan kemerdekaan yang pernah terjun ke Irian Barat, sangat pandai membuat sesuatu dari bahan kayu. Aku iri melihatnya memasang papan-papan kayu di sepanjang dinding kamar yang kemudian menjadi rak-rak buku apik dan cantik, dicat warna-warna yang disukai anak perempuan. Maklum anak banyak, masing-masing diberi jatah tempat buku pelajaran.

Tujuh anak dalam keluargaku memiliki tugas utama belajar. Sebagian besar pekerjaan dapur dan rumah tangga dikerjakan ibuku sendiri bersama seorang pembantu. Ibuku punya pemikiran yang berbeda dengan keluarga Sumpena. Menurut ibuku anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan harus sekolah sampai pendidikan tinggi sehingga anak-anak sulung punya kewajiban cepat bekerja untuk menopang biaya anak-anak yang paling muda nantinya.

Itu yang membuat Keluarga Sumpena menjadi rumah keduaku. Sebab aku merasakan suasana yang berbeda di sana. Suasana yang lebih gembira.

Mereka pun selalu menerima kehadiranku dengan baik.

***

Tiga puluh tahun kemudian.

Ibuku dan adik perempuan bungsunya –Bibi Nety- sedang bercengkerama dan bercakap-cakap di ruang tamu rumah ibu. Berbagi cerita tentang anak-anak dan cucu mereka. Semua anak ibuku punya anak “dua saja cukup” seperti dalam iklan KB yang bintang iklan utamanya Ibu Tien dan Pak Soeharto, ibu dan presiden Orde Baru. Kecuali aku, yang hanya punya satu anak.

Kudengar ibuku melontarkan keheranannya karena anak-anak Bibi Nety hanya punya anak satu saja. “Kasihan tidak ada temannya kalau cuma anak satu...” Kata ibuku. Bibi Nety hanya mengangkat bahu saja: “Entah, anak-anak sekarang. Mereka tidak mau repot....” Katanya. “Tapi, jaman sekarang apa-apa mahal. Apalagi sekolah anak, mahal sekali ketimbang jaman dulu kita. Anak dua saja belum tentu mampu membiayai sampai ke Perguruan Tinggi....” Katanya lagi.

Lebih enak di jaman Soeharto, biaya hidup tidak semahal ini. Anak-anak bisa sekolah murah. Buku-buku tidak harus beli bisa diwariskan terus dari kakak-kakaknya. Bayaran sekolah murah. Tidak ada les ini dan itu...” Kata Ibuku, mengiyakan.

Bibiku tertawa saja sambil melihat kepadaku. Maklum usia bibi dengan kakak sulungnya terpaut jauh sehingga dia masih memahami perbedaan antara pikiran generasinya dengan generasi berikut yang pro reformasi meskipun sama-sama memiliki suami pegawai negeri. “Suami-istri sekarang kan sama-sama sarjana, Ceu. Sama-sama bekerja.... Makanya anak cuma satu....” Kata Bibi yang "hanya" memiliki tiga anak.

Buat apa dua orang kerja untuk satu anak?” Tanya ibuku seperti mencela. “Perempuan jaman sekarang. Perempuan modern itu mau kerja, mengejar karier, menikmati hidup, dan tetap cantik.... mana mau punya anak banyak....” Kata Bibi seperti mengeluhkan anak dan menantu perempuannya. Atau menyindirku karena dia melirik padaku sambil tersenyum simpul.

Nenek jaman sekarang sih.... Tidak mau dititipi cucunya kalau anak sedang butuh, sedang tidak ada pembantu, padahal suami-istri sama-sama kerja....”  Kata saya, balas menyindir ibu dan bibi. Ibu yang cepat merasa tersindir segera menjawab. “Saya ini sudah capek mengurus anak banyak, kok masih harus mengurus cucu-cucu....”

Bibi dan saya pun tertawa karena berhasil memancing ibu. Perempuan jaman sekarang. Anak sekarang. Lha, nenek jaman sekarang bagaimana?? Mau hidup sendiri tanpa digangggu keributan cucu-cucunya.

Itu sebabnya bibi sekarang sedang berada di rumah ibu. Mencoba membujuk kakak sulungnya untuk pindah ke rumah salah satu anak. Sudah lansia, hidup sendirian, menjadi kekhawatiran semua orang. Bukan cuma anak-anaknya dan keluarga, tetapi juga para tetangga.

***

Setahun setelah tinggal dengan salah satu kakak perempuanku, ibuku selalu mengeluh tentang ini itu. Mita, anak SD yang berangkat pagi sampai sore baru pulang. Mega, anak SMA yang sering pulang malam atau malah tidak pulang. Rahmat, si Bapak yang berhari-hari tidak pulang karena tugas luar. Mila, ibu yang sehari-hari berangkat pagi, pulang menjelang maghrib sebagai pekerja di bank. Anak-anak sejak kecil mengikuti sekolah-sekolah full time yang menyediakan makan siang dan tempat istirahat. Sesudah anak bisa mandiri, selain sekolah juga mengikuti berbagai kegiatan yang dipilihnya seperti musik, olah raga, atau les bahasa.

Ibu merasa sendirian. Tapi keluhan utamanya tentang kenapa Mita begini. Kenapa Mega begitu. Kenapa keluarga Mila dan Rahmat itu begitu. Keluarga yang sehari-harinya jarang berkumpul. Hanya saling berpapasan. Atau bahkan tidak sempat bertemu.

Ibu sering berdiri di depan jendela ke luar rumah.

Pembantu tak acuh dengan kesibukannya sendiri. Pagar rumah yang tinggi membuatnya bahkan tidak dapat melihat apa pun yang ada di luar sana.

***

Aku mengerti perasaan ibu. Aku mengerti gaya hidup kakak perempuanku sekarang karena aku pun hidup dalam cara itu.  Tapi, kenangan hidup dalam keluarga besar menjadi bagian dari hidupku yang tak mungkin terlupakan.

Aku punya kenangan mengesankan bersahabat dengan Keluarga Sumpena yang memiliki banyak peralatan buatan Bapak dan anak-anak lelakinya untuk memenuhi kebutuhan sebuah keluarga besar. Kursi-kursi kecil untuk para perempuan memasak. Lemari di bawah tangga untuk menyimpan berbagai barang. Palang-palang kayu dialasi triplek untuk menyimpan panci, ketel, dan alat-alat memasak lain yang ukurannya besar-besar di atas dapur, dilengkapi dengan tangga kayu untuk bisa menyimpan dan mengambilnya. Sebuah rak buatan ayah untuk menyimpan jajaran gelas dan mangkuk pembagian makanan untuk seluruh keluarga, diletakkan di samping meja makan. Kayu-kayu triplek penyekat untuk membagi fungsi ruangan dalam kamar tidur –memisahkah kamar tidur anak lelaki besar dengan anak lelaki kecil. Sedang di kamar perempuan terdapat satu tempat tidur bertingkat dengan anak perempuan yang sudah besar di bawah, dan yang lebih kecil di atas. Bantal-bantal dengan inisial nama masing-masing pemiliknya yang dijahitkan ibunya. Gelas dan mangkuk untuk ayah dan ibu yang tidak akan berani dipakai anak-anaknya.

Keluarga besar itu sungguh penuh kehangatan. Menjadikan makanan terasa lezat karena segera dimakan begitu masak, dibagi dan dihabiskan hari itu juga. Sedangkan di meja makanku sekarang, banyak sisa makanan yang setelah berhari-hari makin buruk rupa dan kemudian dibuang ke tempat sampah. Di dalam kulkas, berbagai bahan dan jenis makanan juga tidak menggugah selera makan senikmat di masa kecilku. Makanan yang pernah beku, tak akan jadi hidangan selezat masakan di masa kecilku. Bahan segar dari pasar atau dipetik di pekarangan rumah.

Aku rindu makanan panas yang mengepul di dapur sederhana ibuku. Aku berterimakasih pada Keluarga Sumpena yang memberiku kenangan manis di masa kecilku, dan selalu memberiku tempat di rumah mereka yang ramai.

Aku punya kenang-kenangan itu yang tidak akan menjadi kenang-kenangan anak tunggalku dan sebagian besar anak sekarang yang lahir dalam keluarga kecil.

***