“Neng Eli. Neng Eli….” Suara panik menggedor-gedor pintu. Eli sedang memandikan anak bungsunya. Tidak segera membuka pintu. Gedoran di pintu semakin keras membuatnya meninggalkan anaknya di kamar mandi. Pintu dibuka. Di hadapannya berdiri seorang wanita separuh baya berwajah kusut masai, wajah bersimbah air mata, berkeringat. Begitu pintu dibuka, segera wanita itu menerobos masuk ke dalam. Bruk. Duduk terpuruk di atas lantai dan menangis tersedu-sedu.
”Ada apa Yuk Minah?? Masya Allah, ada apa?” tanya Eli. Yuk Minah tak dapat menjawab karena tak bisa berhenti menangis. Ingus dan airmatanya bercampur sehingga terpaksa Eli memberikan serbet dari atas meja. Tidak ada tisu di rumah. Setelah agak tenang, Yuk Minah berkata terpatah-patah. ”Tolong saya.... Tolong saya....” Lalu menangis lagi dengan pilu.
”Tolong kenapa? Ada apa?” Eli mengguncang bahunya.
”Suami saya.... Suami saya jatuh dan kejang-kejang...."
”Kapan? Dimana?” Kenapa?” Eli bertanya bertubi-tubi.
”Tadi siang.... Saya tidak tahu kenapa.... Tolong saya. Tolong saya, Neng Eli. Huhuhuhuuuu...” Yuk Minah memegang kedua bahu Eli sambil menangis tersedu. Tolong. Tolong. Kata itu diucapkannya terus.
Setelah menyelesaikan mandi anaknya, Eli menyuruh anak sulung perempuannya yang kelas 1 SMP, untuk menjaga adiknya sambil menyuapi makan. Juga menunggu adik lainnya yang sebentar lagi pulang dari sekolah. Kemudian Eli berjalan tergopoh-gopoh dengan Yuk Minah menuju ke kamar kost Yuk Minah.
Si sakit terbaring dengan tubuh bergetar dan bergerak-gerak seperti orang terkena listrik. Busa keluar dari mulutnya. Tiba-tiba tangannya menyentak menarik rambut. Eli terperanjat dan berteriak meminta kain pada Yuk Minah. Menyumpalkannya ke mulut si sakit. Eli berkutat mencoba melepaskan tangan si sakit yang keras menjambak rambutnya sendiri. Darah dari dahi ketika sejumput rambut tercabut. Yuk Minah menjerit-jerit. Anak lelakinya yang berumur 11 tahun, memandang terpana. Eli berteriak memintanya mencari tali atau sesuatu untuk mengikat tangan bapaknya. Anak itu lama kebingungan tak tahu apa yang harus dilakukan. ”Tali sepatumu!!!!” bentak Eli yang terengah-engah menahan si sakit. Anak itu melompat mengambil sepatu warior, sepatu anak sekolah, dan menarik talinya keluar. Memberikannya kepada Eli.
Keduanya bergulat mencoba mengikat ke dua tangan lelaki yang meronta itu. Tangan itu mencoba mencakar muka dan menjambak rambutnya.
Hari sudah sangat sore menjelang maghrib. Gelap mulai turun.
Eli tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Setengah sadar, dia berjalan ke luar menuju ke rumah para tetangga. Kamar-kamar kost maksudnya.
Sepi. Tidak nampak seorang pun. Kebanyakan lelaki. Pedagang bubur ayam. Pedagang bakso. Pedagang cilok. Pedagang mie ayam. Penjual VCD/DVD bajakan di kaki lima. Biasanya sebagian besar dari mereka duduk-duduk di depan kamarnya -kecuali yang jualan malam.
Ada juga kamar yang ditempati suami istri dengan anak kecil. Istrinya ada yang pedagang jamu. Ada yang tukang pijit. Ada yang pembantu rumah tangga setengah hari.
Mereka tinggal di kotak-kotak sempit di dalam sebuah perkampungan raksasa yang ada tepat di tengah Kota Bandung. Eli pun tinggal di kamar kost. Tempat yang sama seperti itu, tapi blok yang lain. Eli mengenal Yuk Minah saat mereka tinggal berdekatan. Tapi Yuk Minah, suami, dan anak lelakinya yang kelas 5 SD, pindah ke blok lainnya yang lebih kumuh. Demi harga sewa yang lebih murah.
Hampir tanpa sadar, Eli mengetuk sebuah pintu. Tidak ada yang menyahut. Eli berteriak, ”Tolong.... Tolong.... Ada yang sakit....” Kepanikan menyergap dirinya karena telah melihat wujud si sakit yang mengerikan.
Eli hampir tidak menyadari bahwa dia telah mengetuk dari satu pintu ke pintu. Tidak terbuka. Tidak ada orang. Bumi ini kosong.
***
Sepanjang malam, Eli menemani Yuk Minah dan anaknya, Roni, bersama-sama kebingungan menghadapi si sakit yang terkapar. Sementara suami Eli bersama anak-anak di rumah. Esok pagi, suami Eli harus berangkat kerja memburuh.
Kamar kos Yuk Minah sangatlah lembab. Entah bau apa. Barang-barang lusuh dan dinding yang penuh bekas bercak air menjadi dekorasi ruangan itu. Meja buatan sendiri di sudut, di atasnya dipenuhi dengan perkakas: piring, gelas, termos, wadah-wadah plastik, dan TV 14 inch yang sudah berpenampilan kumuh. Panci dan katel di atasnya, dikaitkan ke paku. Kardus pakaian di bawah meja. Sepatu sekolah dan berbagai benda lainnya diletakkan berjejalan disamping kardus.
Subuh masih gelap, Eli mendengar suara pintu berkelotak dibuka. Bergegas dirinya bangkit, terhuyung-huyung karena hampir semalaman tidak tidur. Eli membuka pintu dan memburu keluar. Berharap menemukan tetangga yang semalam hilang lenyap semua. Orang-orang itu seperti bayangan-bayangan yang telah berdatangan. Mereka pergi dan sekarang sudah kembali. Begitu yang ada dalam benak Eli. Atau bayangan dalam pikirannya. Tiba-tiba dunia ini seperti sebuah dunia bayangan.
Ketika Eli berjalan di lorong sempit dan gelap di antara tembok basah dan berlumut, dia tidak menemukan siapa pun. Eli terpana memandang ke muka. Kakinya yang ramping berjalan, selangkah demi selangkah. Di pagi dingin yang gelap.
Setengah sadar apa yang terjadi. Eli menuju sebuah pintu lagi. Sepertinya dirinya terkepung pintu-pintu yang kumuh dan sobek-sobek itu. Eli mengetuk pintu. Mengetuk dan mengetuk. Pintu-pintu tak terbuka. Seperti dalam mimpi buruk yang kerap dialaminya, Eli meledak dalam kemarahan karena disakiti. Menendang pintu. ”Jelema koplok. Buka siah pantona...” (Orang berengsek. Buka pintunya.) teriaknya. Pagi yang sunyi terbelah suaranya. ”Setan siah....” (Setan kamu). Tidak puas dengan luapan kemarahannya, Eli menggebrak-gebrak pintu. ”Anjing. Anjing maneh. Anjing, jelema-jelema teh. Sing modar siah maneh kabeh.” (Manusia anjing kalian. Semoga mati kalian semua).
Suara Eli seperti sebuah gempa sesaat. Kemudian sunyi. Sepi. Eli menangis mencucurkan air mata. Kembali lagi ke kamar yang kumuh dan mengenaskan itu.
Eli teringat saat dia dia belum menikah dan bekerja di tempat billiard, ucapan kotor berhamburan dari mulutnya bila memperoleh kekurangajaran keterlaluan dari tamunya. Lelaki-lelaki berbadan kekar dan berbau alkohol dari mulutnya itu tertawa terbahak-bahak kepadanya. Awalnya Eli menangis setelah kejadian semacam itu. Berkali-kali kemudian tidak perlu lagi ada tetesan air mata terhadap hal demikian. Bila sebuah colekan mendarat di payudaranya, ia akan mengumpat: ”Anjing. Koplok. Sing modar katabrak mobil siah.” (Brengsek. Semoga mati ditabrak mobil kamu). Wajahnya mengeras. Matanya menyala. Dengan sikap dingin, dia akan duduk sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Tapi, tidak ada lagi air mata. Tidak ada lagi murung sepanjang kerja karena perasaan terhina bila menghadapi pelecehan begitu.
Eli sendiri. Ruangan yang penuh dengan orang –lelaki dan perempuan- tidak akan membantunya. Eli sendiri, saat kemarahan bagai api membakarnya karena payudaranya dipegang seorang lelaki kurang ajar. Itu biasa.
Eli sendiri. Melampiaskan kemarahannya kepada pintu-pintu yang tertutup. Eli ingat bahwa saat kemarahannya meledak, pada akhirnya dia hanya sendiri. Tidak seorang pun tahu mimpi-mimpi kemarahannya yang kerap datang bila menghadapi kejadian yang menyakitkan atau membuatnya terhina. Suaminya pun tidak tahu. Tidak ada pentingnya menceritakannya.
***
Kemudian Eli mengajak Roni ke jalan untuk mencegat taksi. Suaminya semalam menyuruhnya meminta tetangga membawa suami Yuk Minah ke rumah sakit dengan taksi atau mobil angkot. Eli dan Roni berdiri hampir satu jam sampai sebuah taksi berhenti. Kalau Roni yang mencegat taksi mungkin sopirnya tidak mau berhenti.
Eli bergegas masuk ke dalam mobil –di sebelah sopir- setelah mendorong Roni masuk ke tempat duduk belakang. Kemudian dimintanya sopir masuk ke dalam gang. Mula-mula gang yang agak besar. Kemudian masuk ke gang yang sempit. Sopir terperanjat dan mulai menolak ‘perintah’ penumpangnya. Eli bersikukuh meminta sopir masuk ke dalam gang dengan mengatakan bahwa tidak jauh lagi tempatnya. Kemudian mobil tidak dapat masuk lagi karena jalan sudah benar-benar sempit.
“Pak, tolong bantu, Pak. Ada orang sakit, tolong, Pak....” Eli meminta sopir taksi ikut dengannya. Sopir taksi kebingungan dan mulai mengumpat karena kesusahannya menyetir masuk gang-gang. Namun Eli memegang tangannya. ”Tolong, Pak..... Tolong....” Eli memohon-mohon. Sepanjang jalan sopir itu melangkah setengah ditarik oleh Eli. Ketika langkahnya seperti terhenti, Eli akan mengatakan ”tolong, pak”. Mereka berjalan ke dalam lorong-lorong. Sampai akhirnya sampai di lorong menuju depan pintu kamar. Kata ”tolong, pak” entah sudah berapa kali diucapkan Eli.
Eli melihat berkeliling. Roda-roda bubur ayam dan lainnya itu tadi masih ada, sekarang sudah tak ada. Dia meludah dan menendang satu pintu. ”Jelema gelooo, siaah....” (Orang-orang gila kamu) teriaknya. Sopir itu matanya membelalak melihatnya. Dan lebih membelalak lagi ketika ditarik Eli masuk ke kamar, melihat orang sakit mengenaskan yang wajahnya sulit digambarkan, sedang kejang-kejang dengan kedua tangan terikat di depan tubuhnya.
Bertiga mereka bersusah payah menggotong si sakit melewati lorong gang yang sepertinya sangat panjang berliku. Sepanjang jalan, orang-orang yang lewat atau orang yang muncul dari rumah yang mereka lewati, memandangi mereka. Tiba-tiba dunia ini dipenuhi orang yang keluar dari sarang-sarangnya. Entah dimana liang mereka. Seperti semut atau lalat dalam jumlah banyak yang kita tidak tahu asalnya. Mereka menontoni sampai akhirnya orang sakit itu dimuatkan ke dalam mobil dengan susah payah.
Eli melompat ke arah orang-orang. ”Lalajo naon, anjing?” (Menonton apa anjing?) teriaknya. Orang-orang itu blingsatan menjauh. Seperti binatang yang lari kena gebuk. Berhenti di suatu jarak untuk melihat lagi ke arah manusia yang menyerangnya.
Mobil berangkat dengan orang sakit berbaring di antara istri dan anaknya. Eli duduk di samping supir. Anjing. Anjing. Jelema anjing (manusia anjing). Modar siah (mati kamu). Anjing. Anjing siah kabeh (anjing kamu semua). Eli bersandar dan memejamkan mata dengan sumpah serapah kotor yang bermuncratan dari benaknya. Mulutnya terkatup. Kepalanya berkunang-kunang. Seluruh tubuhnya berkeringat karena mengangkat beban tadi.
Sopir melirik ke arahnya. Terdiam. Menyadari penyebab kemarahan perempuan di sebelahnya. Menyadari kekejaman keadaan yang terjadi.
***
Si sakit lama terbaring di atas brankar di depan UGD. Orang-orang yang berlalu lalang, bisa melihat si orang malang yang terkapar itu. Orang-orang bergidik. Yuk Minah terpuruk di lantai dengan tatapan mata kosong. Air matanya sudah habis. Anaknya duduk di dekat pot bunga sambil memandang lantai. Wajahnya dingin. Dia tidak menangis sejak pertama kali melihat ayahnya sakit. Juga tidak mengatakan apa-apa kecuali ditanya Eli.
Setelah 2 jam menunngu, baru suami Yuk Minah mendapat tempat di ruang UGD. Petugas mengatakan bahwa mereka sedang mencari ruang kosong. Harus menunggu. Pasien dipasangi infus. Eli melihat Yuk Minah dan anaknya. Mereka dalam keadaan tidak sadar. Bangun tapi tidak sadar. Eli melihat berkeliling dan bertatapan mata dengan seorang lelaki yang sedang memperhatikannya. ”Kang, nyuhungkeun bantos....” (Bang, minta tolong) kata Eli. Lelaki itu bangun dari duduknya dan tersenyum ramah. ”Ngabantos naon, Teh....” (Membantu apa, mbak). Eli mengajak lelaki itu membetulkan ikatan tangan si sakit yang sudah menyebabkan luka di pergelangan tangannya. Masing-masing tangan diikat ke sisi tempat tidur yang merupakan plang penghalang besi. Kedua kaki si sakit berkejut-kejut. Kedua tangannya pun demikian, namun lebih keras. Mencoba mengangkat ke depan. Mata terpejam. Buih di mulutnya sudah tidak keluar lagi.
”Teu damang naon....?” (sakit apa?) tanya lelaki itu. ”Saur petugas tadi, keuna stroke....” (Menurut petugas tadi, kena stroke) jawab Eli. ”Saha kitu?” (Siapa dia) tanya lelaki itu lagi. ”Tatanggi..... Akang oge ngantos pasen?”(Tetangga. Akang menunggu pasien juga?) jawab Eli. Lelaki itu menunjuk ke sebuah tempat tidur. ”Anak saya kena demam berdarah....” Eli merasa lega karena menemukan manusia. Akhirnya. Sejak kemarin dia dijemput Yuk Minah, dia hanya menemukan anjing-anjing yang membuatnya ketakutan dan marah karenanya. Seperti dalam sebuah mimpi. Bukan kenyataan.
Lelaki itu memberi Eli air mineral dalam kemasan gelas plastik yang dibelinya dari pedagang asongan yang berseliweran di rumah sakit. Eli membeli lagi dua untuk Yuk Minah dan Roni, lelaki itu dengan sigap membayar semuanya. Mereka kemudian duduk di depan ruang UGD. Lelaki itu menghibur Eli dengan menceritakan pasien-pasien apa saja yang masuk ke ruang UGD. Mereka semua sedang menunggu ruang kosong. Ada anak yang ketabrak motor. Ada yang kena stroke juga. Ada yang kena hepatitis. Diare. Tumor ganas. Usus buntu. Dan entah apa lagi.
***
Eli terduduk di sudut. Jenasah terbujur di tengah mesjid kecil yang letaknya di tengah-tengah pemukiman padat, tidak jauh dari tempat tinggal Yuk Minah. Yuk Minah sedang menangis tersedu-sedu dalam rangkulan seorang perempuan tetangganya. Sementara Roni, duduk menunduk di hadapan jenasah bapaknya. Mengenakan baju koko dan kopiah hitam, Roni nampak meneteskan air mata. Tidak banyak.
Lelaki dan perempuan berdatangan ke medjid. Lelaki memakai kemeja atau baju koko. Sebagian memakai kopiah. Perempuan memakai kerudung di kepalanya. Seorang perempuan tetangga lain menyediakan baskom besar dan baskom kecil yang masing-masing ditutupi serbet kotak-kotak. Baskom besar untuk menaruh beras, baskom kecil untuk menaruh uang yang diberikan para pelayat.
Pak Ustad menyiapkan kain kafan, kapas, dan minyak wangi, yang diserahkan Ketua RT kepadanya. Mengatur sejumlah lelaki yang akan berbagi tugas saat memandikan dan mengkafani jenasah. Sementara para perempuan berembug untuk mengumpulkan uang dan menugaskan seorang pria untuk membeli daun pandan dan bunga yang akan dironce. Ronce bunga itu akan diletakkan berjajar di atas tandu jenasah.
Eli memperhatikan wajah-wajah mereka. Mereka adalah manusia, katanya kepada dirinya sendiri. Wajah-wajah mereka tidaklah nampak ramah karena kesusahan hidupnya telah mengguratkan garis-garis yang buruk, kerut-merut, bercak hitam, dan tarikan wajah dingin. Seperti wajahku sendiri, kata Eli dalam hatinya, wajahku telah begitu cepat tua pada usia 30 tahun. Setelah melahirkan 3 anak, noda-noda hitam di wajah akibat menggunakan KB suntik, tidak pernah hilang. Urat-urat di tangannya menonjol karena kerja mencucikan baju sejumlah keluarga yang ada di pinggir jalan besar, untuk memperoleh tambahan uang penghasilan suaminya yang hanya buruh bangunan.
Ketika tatapan mata Eli beradu dengan salah seorang tetangga Yuk Minah yang masuk ke dalam mesjid, lelaki penjual bubur ayam itu menundukkan wajahnya. Bergegas menaruh uang di dalam baskom dan kemudian pergi lagi.
Eli melihat tetangga lainnya, yaitu perempuan tukang jamu yang suaminya penjual mie ayam, duduk di antara warga lainnya. Perempuan itu mengambil benang dan jarum untuk ikut meronce kembang dan daun pandan di pojok ibu-ibu. Dia juga telah menaruh uang di dalam baskom. Suaminya bersama para lelaki lain mulai mengumpulkan air di dalam ember-ember, ditaruh di bawah meja pemandian jenasah. Digulungnya celana dan lengan baju kokonya saat mengangkut ember-ember air itu.
Wajah demi wajah berkelebat di dalam pandangan Eli. Wajah-wajah manusia biasa.
***
Kamis, 05 Maret 2009
Selasa, 03 Maret 2009
Isah
Airmata Isah bercucuran saat menceritakan anak bungsunya yang sakit. Sebentar kemudian uang lima puluh ribu rupiah telah berpindah tangan padanya. Bulan yang lalu anak sulungnya membayar SPP. Bulan sebelumnya menunggak listrik. Sebelumnya lagi anak tengah masuk sekolah. Sebelumnya membeli sepatu sekolah. Aku memberinya pinjaman hanya bila hutang sebelumnya sudah lunas. Dicicil per minggu Rp 25.000. Gaji mingguannya Rp 100.000. Kebiasaan Isah adalah meminjam Rp 200.000. Berdasarkan karakternya yang demikian, aku menetapkan pembayaran gajinya mingguan, bukan bulanan.
Terkadang aku harus menghibahkan sebagian hutangnya agar tidak terakumulasi melebihi kemampuannya membayar. Kalau meminjam uang untuk membawa anak sakit ke Puskemas atau bayar uang sekolah, lebih sering diberikan bantuan tetapi terkadang menjadi pinjaman bila bantuan sudah diberikan sebelumnya. Ini untuk membuatnya tidak gampang meminta.
Isah seperti pembatu rumah tangga lainnya tidak pernah putus dirundung kekurangan uang. Seperti cerita-cerita teman-teman dan keluargaku tentang pembantu mereka. Ada seribu satu alasan untuk berhutang. Nampaknya Isah selalu membuat prioritas agar ajuan hutangnya bisa berhasil. Juga secara tekun menunggu cicilan hutangnya terdahulu untuk bisa mengajukan hutang baru. Hari ini lunas, besok sudah mengajukan pinjaman. Selalu dimulai dengan pendahuluan dari kasusnya secara ringkas. Isah sudah terampil presentasi dan menjabarkan dasar alasan bagi proposalnya.
Terkadang Isah meminta ijin untuk membawa anak bungsunya ikut bekerja. Anak berumur 1,5 tahun itu kurus dan kecil. Makannya hanya nasi, kerupuk aci, dan kecap. Kalau diberi ikan dan sayur, dia tidak mau makan. Ibunya hanya tersenyum kalau melihatku mencoba memerintah anak itu makan lauk dan sayur saat aku melihatnya makan. “Iman, hayo makan sayur....” kataku. Dia meninggalkan piringnya di lantai dan bersembunyi di belakang ibunya yang sedang menyapu lantai. Anak itu tidak bisa disuruh makan ikan atau opor ayam, apalagi sayur. ”Pupuk nana...” (Kerupuk mana?) katanya kepada ibunya.
Ketika Isah baru mulai bekerja, istriku terkejut karena dia tidak bisa memasak sama sekali. Bahkan sayur bayam yang paling sederhana pun tidak bisa. Itu karena Isah orang kota. Orang miskin di yang lahir di kota, tidak memasak lauk dan sayur. Mereka menanak nasi, menggoreng tahu atau tempe, membuat sambel bledag hanya dengan bahan cengek dan garam, dan membeli kerupuk aci di warung. Terkadang hanya bala-bala atau tempe goreng yang dibeli di tepi jalan sebagai lauk makan. Atau telor ceplok sesekali. Memasak terlalu mewah bagi orang miskin perkotaan. Seperti Isah.
Berbeda dengan pembantuku yang dari sebuah kampung di Banyumas, si Mar. Dia pinter masak, gudeg dan sambalnya mak nyus, dan kalau menggoreng ikan terasa kering dan gurih. Tangannya seperti punya magic. Apa pun yang dibuatnya selalu lezat. Masakan baru yang dipelajarinya dari istriku atau tetangga, dengan mudah diserapnya dan diberinya sentuhan tangan ajaibnya. Menjadi hidangan yang membuat lahap saat kita menyantapnya. Si Mar juga terheran-heran dengan teman sejawatnya yang tidak bisa memasak sama sekali. Bahkan dia jadi tahu penyebabnya. ”Orang miskin di kota tidak pernah masak. Makannya cuma nasi, sambal mentah dan kerupuk aci....” katanya pada istriku. Pembantu yang satu ini sebenarnya cerdas dan kalau saja bisa kuliah seharusnya menjadi sosiolog atau antropolog. Tapi si Mar nyaris buta huruf karena hanya lulus SD dan sudah puluhan tahun jarang membaca dan menulis.
Setiap gajian mingguan, yang pertama kali dibeli Isah adalah 5 Kg beras untuk stok. Harganya Rp 5.000 per Kg. Selebihnya uang menjadi biaya sehari-hari termasuk untuk sekolah dan jajan anaknya. Suaminya memberikan uang harian hasil kerjanya sebagai buruh bangunan. Suaminya, sebagai anggota tim buruh bangunan rumah yang bekerja dari pagi sampai sore, mendapat upah Rp 60.000 kotor per hari karena tidak disediakan makan dan rokok. Isah mendapat Rp 45.000 dari suaminya dan disimpannya untuk keperluan-keperluan besar seperti membayar uang kos Rp 200.000 per bulan, urunan listrik Rp 25.000 per bulan, biaya sekolah, membeli pakaian dan sepatu sekolah, dan sebagainya. Pekerjaan memburuh tidak selalu ada. Terkadang orderan sepi.
Untuk pakaian sehari-hari, Isah tidak sungkan meminta baju bekas. Baik untuk dirinya sendiri, suami, maupun anak-anaknya. Dengan sikapnya yang santun dan tutur katanya yang baik, tetangga pun bisa dengan senang hati memberinya pakaian bekas yang masih baik. Memulung barang bekas dari rumah pun dilakukannya untuk melengkapi perkakas rumah tangganya. Panci yang sudah lama, hitam, patah pegangannya sebelah, dan istriku membeli yang baru untuk menggantikannya, dengan segera dipintanya. Bantal kursi yang sudah kempes dan sobek, ketika diganti yang baru, juga dibawanya pulang. Kasur Palembang yang sudah dekil dan banyak bercak karena si Tedy suka jorok dan menumpahkan segala minuman atau makanan sambil main play station di depan TV-nya, juga diboyongnya karena diganti dengan yang baru.
Istrikuku terkadang merasa kehilangan sendok dan garpu. Tapi istriku tidak cerewet bertanya, dia hanya membeli saja lagi satu-dua lusin sendok dan garpu saat berbelanja.
Terkadang si Mar yang suka sengak berkomentar. ”Kamu jualan barang bekas ya. Dasar pemulung...” Isah tidak menanggapinya. Terkadang terjadi rebutan barang bekas dengan si Mar. Jadi, harus seadil-adilnya dibagi. Hanya si Mar lebih pemilih dan selalu ingin mendapat hak menentukan. Misalnya ketika ada botol bekas jus jambu yang bentuknya bagus dan ukurannya besar untuk menyimpan persediaan air minum, si Mar marah-marah ketika Isah sudah menaruhnya di tas keresek untuk dibawa pulang. Diambilnya botol itu karena Isah lebih sering mendapatkan barang, katanya. Isah biasanya mengalah saja terhadap koleganya itu.
Suatu hari Isah menghadap lagi padaku. Duduk di lantai. Kemudian bercerita bahwa suaminya melamar ke mall yang baru dibangun itu untuk menjadi satpam. Diterima. Tapi harus membeli baju seragam, sepatu bot, ikat pinggang, dan pentungan sendiri. Sudah tanya harga di Kosambi. Dia menyerahkan kertas lusuh yang terlipat-lipat, diambil dari saku bajunya. ”Kenapa tidak dikasih dari perusahaan?” tanyaku sambil membaca daftar harga tersebut. ”Katanya harus modal sendiri....” jawab Isah. ”Terus harus bayar Rp 900.000 supaya diterima kerja...” kata Isah. ”Aaahh, yang bener...” kataku. ”Betul, Pak....” jawab Isah sambil menunduk. ”Sama siapa bayarnya?” tanyaku lagi. ”Sama yang masukin kerja....” jawab Isah. ”Bayarnya nanti kalau sudah kerja, dicicil Rp 200.000 dibayar tiga kali....”
Aku menggeleng-geleng kepala. ”Memangnya berapa gaji satpam?” ”Katanya Rp 600.000 sebulan, Pak.... sudah dijamin makan sekali....” kata Isah. Aku menyerahkan kertas itu ke tangan Isah. Menunggu. Sementara Isah menarik nafas panjang dulu.
”Pak, saya minta bantu lagi pinjam uang buat beli perlengkapan si akang...” kata Isah. Suaranya penuh harap. ”Berapa?” tanyaku. Aku sebenarnya sudah melihat di kertas yang tulisannya seperti anak SD kelas 1 itu, daftar belanja senilai dua ratus ribu lebih. ”Dua ratus lima puluh ribu, Pak....” kata Isah. ”Saya cicil seperti biasa dua puluh lima ribu seminggu, Pak....”
”Kok, semua? Memangnya suami kamu gak punya uang sama sekali? Kan hutangmu belum lunas....” kataku. Tahan harga. Proses deal yang harus selalu ada bila menghadapi pembantu yang selalu berhutang. ”Tidak ada, Pak.... Suami saya sedang gak banyak dapet order....” katanya. ”Tolong ya, Pak.... supaya suami saya punya pekerjaan tetap....” Aku tidak mau kelihatannya terlalu mudah, jadi aku harus memberi persyaratan. ”Kalau suamimu nanti sudah gajian, cicilannya ditambah jadi lima puluh ribu yah.... supaya cepat lunas....”. Bagaimana kalau ada anaknya yang sakit dan harus berhutang lagi, sementara hutangnya masih banyak? Atau anaknya harus beli sepatu sekolah karena sudah jebol lagi? Atau sekolah memberikan daftar buku pelajaran yang harus dibeli? Hutang Isah memang harus diatur supaya cepat lunas, agar dia bisa berhutang lagi untuk sesuatu yang seperti itu.
Dengan cepat Isah menyetujui untuk mempercepat cairnya dana. ”Iya, Pak.... nanti kalau suami saya sudah gajian, cicilannya bisa ditambah....” Selesai sudah proses deal yang sering terjadi dengan Isah. Uang dua ratus lima puluh ribu rupiah berpindah ke tangannya. Isah bergegas pulang karena hari sudah gelap. Biasanya bila bermaksud meminjam uang, Isah akan terlambat pulang dan membiarkan si Mar pulang duluan. Dia tidak mau temannya tahu.
Sebulan pertama, setelah suaminya bekerja sebagai satpam di mall, Isah kemudian mengundurkan diri. Berhenti kerja dengan alasan mengurus anak-anaknya. Selama ini dititipkan ke neneknya bila dia kerja, dan itu betul-betul repot. Si Mar mengomel-ngomel karena harus kerja sendirian. Tapi tidak lama kemudian seseorang datang mengetuk pintu, namanya Lilis. Menurutnya, dia diberi tahu Isah bahwa ada keluarga yang membutuhkan pembantu rumah tangga baru. Lilis punya dua anak, kelas 3 SD dan adiknya yang berumur 3 tahun. Suaminya kena PHK dari pabrik garmen dan sekarang kerja serabutan. Lilis juga orang kota. Lahir dan besar di kampung Kota Bandung secara turun temurun. Kota ini terus dipadati para pendatang, sementara orang asli seperti dirinya semakin tersingkir di wilayah slum yang padat, sempit, dan terdesak ke dalam lorong-lorong yang tertutup bangunan-bangunan dan gedung baru. Kawasan baru rumah tinggal, pertokoan, atau perkantoran telah dibangun dan kampung-kampung itu menyempit ke belakang ditutupi benteng tembok.
Sisa hutang Isah tak pernah dibayar lagi. Aku sudah terbiasa. Setiap pembantu rumah tangga yang berhenti, selalu meninggalkan ratusan ribu hutang yang belum sempat dibayar cicilannya. Atau sebelum pamit berhenti, memang dia membuka hutang yang baru dan kemudian ditinggalkan tak terbayar. Dulu, begitu juga Nunung. Juga Enok, pembantu yang sebelumnya. Juga Eli yang meninggalkan hutang ke beberapa tetangga yang berhasil dilumerkan hatinya untuk meminjamkan sejumlah uang.
Setahun kemudian, aku mendengar berita bahwa suami Isah berhenti kerja sebagai satpam karena jatuh sakit. Tidak kuat kerja shift malam. Isah yang semula berjualan kecil-kecilan di dekat rumah kosnya, kembali bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Di keluarga lainnya.
Aku terbayang wajahnya yang manis, sikapnya yang santun dan agak pendiam. Menekuni hidupnya tanpa pernah mengomel. Tersenyum sumringah bila istriku memberi hadiah sekantung plastik kue kiloan untuk dibawa pulang. Berkaca-kaca matanya bila memberitakan anaknya sakit. Bekerja seharian diperintah si Mar tanpa pernah membantah atau banyak mengobrol. Menyapu. Mengepel. Mencuci piring. Menyeterika. Membersihkan bahan masakan.
Umurnya 18 tahun saat menikah. Umurnya 27 tahun sekarang ini.
Terkadang aku harus menghibahkan sebagian hutangnya agar tidak terakumulasi melebihi kemampuannya membayar. Kalau meminjam uang untuk membawa anak sakit ke Puskemas atau bayar uang sekolah, lebih sering diberikan bantuan tetapi terkadang menjadi pinjaman bila bantuan sudah diberikan sebelumnya. Ini untuk membuatnya tidak gampang meminta.
Isah seperti pembatu rumah tangga lainnya tidak pernah putus dirundung kekurangan uang. Seperti cerita-cerita teman-teman dan keluargaku tentang pembantu mereka. Ada seribu satu alasan untuk berhutang. Nampaknya Isah selalu membuat prioritas agar ajuan hutangnya bisa berhasil. Juga secara tekun menunggu cicilan hutangnya terdahulu untuk bisa mengajukan hutang baru. Hari ini lunas, besok sudah mengajukan pinjaman. Selalu dimulai dengan pendahuluan dari kasusnya secara ringkas. Isah sudah terampil presentasi dan menjabarkan dasar alasan bagi proposalnya.
Terkadang Isah meminta ijin untuk membawa anak bungsunya ikut bekerja. Anak berumur 1,5 tahun itu kurus dan kecil. Makannya hanya nasi, kerupuk aci, dan kecap. Kalau diberi ikan dan sayur, dia tidak mau makan. Ibunya hanya tersenyum kalau melihatku mencoba memerintah anak itu makan lauk dan sayur saat aku melihatnya makan. “Iman, hayo makan sayur....” kataku. Dia meninggalkan piringnya di lantai dan bersembunyi di belakang ibunya yang sedang menyapu lantai. Anak itu tidak bisa disuruh makan ikan atau opor ayam, apalagi sayur. ”Pupuk nana...” (Kerupuk mana?) katanya kepada ibunya.
Ketika Isah baru mulai bekerja, istriku terkejut karena dia tidak bisa memasak sama sekali. Bahkan sayur bayam yang paling sederhana pun tidak bisa. Itu karena Isah orang kota. Orang miskin di yang lahir di kota, tidak memasak lauk dan sayur. Mereka menanak nasi, menggoreng tahu atau tempe, membuat sambel bledag hanya dengan bahan cengek dan garam, dan membeli kerupuk aci di warung. Terkadang hanya bala-bala atau tempe goreng yang dibeli di tepi jalan sebagai lauk makan. Atau telor ceplok sesekali. Memasak terlalu mewah bagi orang miskin perkotaan. Seperti Isah.
Berbeda dengan pembantuku yang dari sebuah kampung di Banyumas, si Mar. Dia pinter masak, gudeg dan sambalnya mak nyus, dan kalau menggoreng ikan terasa kering dan gurih. Tangannya seperti punya magic. Apa pun yang dibuatnya selalu lezat. Masakan baru yang dipelajarinya dari istriku atau tetangga, dengan mudah diserapnya dan diberinya sentuhan tangan ajaibnya. Menjadi hidangan yang membuat lahap saat kita menyantapnya. Si Mar juga terheran-heran dengan teman sejawatnya yang tidak bisa memasak sama sekali. Bahkan dia jadi tahu penyebabnya. ”Orang miskin di kota tidak pernah masak. Makannya cuma nasi, sambal mentah dan kerupuk aci....” katanya pada istriku. Pembantu yang satu ini sebenarnya cerdas dan kalau saja bisa kuliah seharusnya menjadi sosiolog atau antropolog. Tapi si Mar nyaris buta huruf karena hanya lulus SD dan sudah puluhan tahun jarang membaca dan menulis.
Setiap gajian mingguan, yang pertama kali dibeli Isah adalah 5 Kg beras untuk stok. Harganya Rp 5.000 per Kg. Selebihnya uang menjadi biaya sehari-hari termasuk untuk sekolah dan jajan anaknya. Suaminya memberikan uang harian hasil kerjanya sebagai buruh bangunan. Suaminya, sebagai anggota tim buruh bangunan rumah yang bekerja dari pagi sampai sore, mendapat upah Rp 60.000 kotor per hari karena tidak disediakan makan dan rokok. Isah mendapat Rp 45.000 dari suaminya dan disimpannya untuk keperluan-keperluan besar seperti membayar uang kos Rp 200.000 per bulan, urunan listrik Rp 25.000 per bulan, biaya sekolah, membeli pakaian dan sepatu sekolah, dan sebagainya. Pekerjaan memburuh tidak selalu ada. Terkadang orderan sepi.
Untuk pakaian sehari-hari, Isah tidak sungkan meminta baju bekas. Baik untuk dirinya sendiri, suami, maupun anak-anaknya. Dengan sikapnya yang santun dan tutur katanya yang baik, tetangga pun bisa dengan senang hati memberinya pakaian bekas yang masih baik. Memulung barang bekas dari rumah pun dilakukannya untuk melengkapi perkakas rumah tangganya. Panci yang sudah lama, hitam, patah pegangannya sebelah, dan istriku membeli yang baru untuk menggantikannya, dengan segera dipintanya. Bantal kursi yang sudah kempes dan sobek, ketika diganti yang baru, juga dibawanya pulang. Kasur Palembang yang sudah dekil dan banyak bercak karena si Tedy suka jorok dan menumpahkan segala minuman atau makanan sambil main play station di depan TV-nya, juga diboyongnya karena diganti dengan yang baru.
Istrikuku terkadang merasa kehilangan sendok dan garpu. Tapi istriku tidak cerewet bertanya, dia hanya membeli saja lagi satu-dua lusin sendok dan garpu saat berbelanja.
Terkadang si Mar yang suka sengak berkomentar. ”Kamu jualan barang bekas ya. Dasar pemulung...” Isah tidak menanggapinya. Terkadang terjadi rebutan barang bekas dengan si Mar. Jadi, harus seadil-adilnya dibagi. Hanya si Mar lebih pemilih dan selalu ingin mendapat hak menentukan. Misalnya ketika ada botol bekas jus jambu yang bentuknya bagus dan ukurannya besar untuk menyimpan persediaan air minum, si Mar marah-marah ketika Isah sudah menaruhnya di tas keresek untuk dibawa pulang. Diambilnya botol itu karena Isah lebih sering mendapatkan barang, katanya. Isah biasanya mengalah saja terhadap koleganya itu.
Suatu hari Isah menghadap lagi padaku. Duduk di lantai. Kemudian bercerita bahwa suaminya melamar ke mall yang baru dibangun itu untuk menjadi satpam. Diterima. Tapi harus membeli baju seragam, sepatu bot, ikat pinggang, dan pentungan sendiri. Sudah tanya harga di Kosambi. Dia menyerahkan kertas lusuh yang terlipat-lipat, diambil dari saku bajunya. ”Kenapa tidak dikasih dari perusahaan?” tanyaku sambil membaca daftar harga tersebut. ”Katanya harus modal sendiri....” jawab Isah. ”Terus harus bayar Rp 900.000 supaya diterima kerja...” kata Isah. ”Aaahh, yang bener...” kataku. ”Betul, Pak....” jawab Isah sambil menunduk. ”Sama siapa bayarnya?” tanyaku lagi. ”Sama yang masukin kerja....” jawab Isah. ”Bayarnya nanti kalau sudah kerja, dicicil Rp 200.000 dibayar tiga kali....”
Aku menggeleng-geleng kepala. ”Memangnya berapa gaji satpam?” ”Katanya Rp 600.000 sebulan, Pak.... sudah dijamin makan sekali....” kata Isah. Aku menyerahkan kertas itu ke tangan Isah. Menunggu. Sementara Isah menarik nafas panjang dulu.
”Pak, saya minta bantu lagi pinjam uang buat beli perlengkapan si akang...” kata Isah. Suaranya penuh harap. ”Berapa?” tanyaku. Aku sebenarnya sudah melihat di kertas yang tulisannya seperti anak SD kelas 1 itu, daftar belanja senilai dua ratus ribu lebih. ”Dua ratus lima puluh ribu, Pak....” kata Isah. ”Saya cicil seperti biasa dua puluh lima ribu seminggu, Pak....”
”Kok, semua? Memangnya suami kamu gak punya uang sama sekali? Kan hutangmu belum lunas....” kataku. Tahan harga. Proses deal yang harus selalu ada bila menghadapi pembantu yang selalu berhutang. ”Tidak ada, Pak.... Suami saya sedang gak banyak dapet order....” katanya. ”Tolong ya, Pak.... supaya suami saya punya pekerjaan tetap....” Aku tidak mau kelihatannya terlalu mudah, jadi aku harus memberi persyaratan. ”Kalau suamimu nanti sudah gajian, cicilannya ditambah jadi lima puluh ribu yah.... supaya cepat lunas....”. Bagaimana kalau ada anaknya yang sakit dan harus berhutang lagi, sementara hutangnya masih banyak? Atau anaknya harus beli sepatu sekolah karena sudah jebol lagi? Atau sekolah memberikan daftar buku pelajaran yang harus dibeli? Hutang Isah memang harus diatur supaya cepat lunas, agar dia bisa berhutang lagi untuk sesuatu yang seperti itu.
Dengan cepat Isah menyetujui untuk mempercepat cairnya dana. ”Iya, Pak.... nanti kalau suami saya sudah gajian, cicilannya bisa ditambah....” Selesai sudah proses deal yang sering terjadi dengan Isah. Uang dua ratus lima puluh ribu rupiah berpindah ke tangannya. Isah bergegas pulang karena hari sudah gelap. Biasanya bila bermaksud meminjam uang, Isah akan terlambat pulang dan membiarkan si Mar pulang duluan. Dia tidak mau temannya tahu.
Sebulan pertama, setelah suaminya bekerja sebagai satpam di mall, Isah kemudian mengundurkan diri. Berhenti kerja dengan alasan mengurus anak-anaknya. Selama ini dititipkan ke neneknya bila dia kerja, dan itu betul-betul repot. Si Mar mengomel-ngomel karena harus kerja sendirian. Tapi tidak lama kemudian seseorang datang mengetuk pintu, namanya Lilis. Menurutnya, dia diberi tahu Isah bahwa ada keluarga yang membutuhkan pembantu rumah tangga baru. Lilis punya dua anak, kelas 3 SD dan adiknya yang berumur 3 tahun. Suaminya kena PHK dari pabrik garmen dan sekarang kerja serabutan. Lilis juga orang kota. Lahir dan besar di kampung Kota Bandung secara turun temurun. Kota ini terus dipadati para pendatang, sementara orang asli seperti dirinya semakin tersingkir di wilayah slum yang padat, sempit, dan terdesak ke dalam lorong-lorong yang tertutup bangunan-bangunan dan gedung baru. Kawasan baru rumah tinggal, pertokoan, atau perkantoran telah dibangun dan kampung-kampung itu menyempit ke belakang ditutupi benteng tembok.
Sisa hutang Isah tak pernah dibayar lagi. Aku sudah terbiasa. Setiap pembantu rumah tangga yang berhenti, selalu meninggalkan ratusan ribu hutang yang belum sempat dibayar cicilannya. Atau sebelum pamit berhenti, memang dia membuka hutang yang baru dan kemudian ditinggalkan tak terbayar. Dulu, begitu juga Nunung. Juga Enok, pembantu yang sebelumnya. Juga Eli yang meninggalkan hutang ke beberapa tetangga yang berhasil dilumerkan hatinya untuk meminjamkan sejumlah uang.
Setahun kemudian, aku mendengar berita bahwa suami Isah berhenti kerja sebagai satpam karena jatuh sakit. Tidak kuat kerja shift malam. Isah yang semula berjualan kecil-kecilan di dekat rumah kosnya, kembali bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Di keluarga lainnya.
Aku terbayang wajahnya yang manis, sikapnya yang santun dan agak pendiam. Menekuni hidupnya tanpa pernah mengomel. Tersenyum sumringah bila istriku memberi hadiah sekantung plastik kue kiloan untuk dibawa pulang. Berkaca-kaca matanya bila memberitakan anaknya sakit. Bekerja seharian diperintah si Mar tanpa pernah membantah atau banyak mengobrol. Menyapu. Mengepel. Mencuci piring. Menyeterika. Membersihkan bahan masakan.
Umurnya 18 tahun saat menikah. Umurnya 27 tahun sekarang ini.
Langganan:
Postingan (Atom)