Begitu keluar ruangan pengambilan bagasi, seorang pria yang rambutnya kemerahan dan kusut mawut, seperti tak kenal sisir, menghampiriku dan menyapa dengan ramah. Kami berjabatan tangan dengan erat.
“Tidak bisa berhenti makan sirih....” katanya ketika melihat aku memperhatikan warna merah di bibirnya. Aku tertawa dan mengikuti langkah kakinya menuju tempat parkir mobil bandara.
“Sekarang musim hujan....” Umbu Jaka menyampaikan kabar baik itu padaku. Aku tertawa terkekeh, teringat pada saat aku datang di musim kemarau dan melihat api yang menghanguskan padang rumput. Begitu keringnya sehingga sinar matahari dapat menyalakan api seperti sebuah pemantik raksasa.
“Nona, sudah lama sekali tak jumpa,” seorang pria tak kukenal menyapaku. Aku tercengang dan memandang wajahnya. “Dua tahun lalu nona datang kemari....” katanya. Aku mengangguk-angguk dan menyalaminya.
Hmmmm di pulau ini, peristiwa-peristiwa mudah diingat karena tidak banyak hal yang terjadi. Kataku dalam hati.
Kami akan melakukan perjalanan ke kebun-kebun di beberapa kampung. Ini bukanlah perjalanan yang mudah. Jalan yang dilewati adalah jalan yang bergelombang raksasa untuk mencapai suatu kampung di sebuah lembah. Apa yang disebut gelombang adalah bila dilihat dari atas langit. Tapi di daratan artinya adalah gunung yang harus didaki dan dituruni dengan kemiringan yang terkadang membuat wajah menyentuh dengkul sendiri saat naik.
Aku menyiapkan perlengkapan di dalam ransel: jas hujan botol plastik berisi air putih yang dwi fungsi (untuk minum dan cebok bila kencing), sejumlah permen, dan kamera. Kali ini pria-pria yang menjadi peserta kegiatan.
Hanyalah aku dan Rambu Ella,perempuan dalam rombongan ini. Ella tak pernah repot-repot membawa ransel. Hanya jas hujan model jubah yang dibawanya di dalam sebuah kantong plastik yang diikatkannya di tali pinggangnya. Dia bahkan memakai rok dan sandal jepit. Sementara aku memakai sepatu untuk naik gunung yang nampak tebal. Sebuah ransel yang nampak besar di punggungku.
Perjalanan dilalui dengan bernyanyi-nyanyi untuk menghilangkan rasa lelah. Sambil bersenda gurau saling mengganggu.
Tiba-tiba hujan tercurah dengan deras diisertai angin yang kencang. Secepatnya kami mengenakan jas hujan: aku menggunakan celana dan baju dari plastik tebal. Kemudian rombongan melanjutkan perjalanan dengan diterjang hujan badai dan angin yang membutakan penglihatan.
Wo, wo, wo, wo, wo, sambil berjalan kami berteriak-teriak. Seolah-olah menggertak alam yang mengganas. Tidak takut!! Hayo maju!! Berjalan terus!!
Cepat. Cepat kita lewat. Teriak Umbu. Aku terpana karena di hadapanku adalah sebuah bentang air yang mengalir deras. Sungai selebar jalan protokol di Jakarta. Bagaimana mungkin kita lewat?
Berpegangan tangan. Berpegangan tangan. Teriak Umbu. Kami berpegangan tangan untuk melangkah di dalam air.
Cepat. Cepat kita masih sempat. Teriak Umbu. Air menaik dengan cepat sampai ke atas lutut. Namun kami telah menyeberang.
Kami bersorak-sorai penuh kemenangan dan air telah menjadi sungai lebar yang dalam. Kami semua berjongkok di tepinya untuk menontoni air yang lewat. Sambil diguyur hujan. Umbu mendekatiku. Kalau kita terlambat menyeberang, kita harus menunggu air surut sekitar 2 jam. Katanya menjelaskan.
Kami lalu melanjutkan perjalanan. Sambil berjalan kami berteriak-teriak: wo, wo, wo, wo, wo. Lawan!! Lawan!! Lawan!! Manusia lebih tangguh dari hujan, badai dan angin!! Kemudian kami sampai di sebuah perkampungan.
Segelas kopi dan ubi-ubian rebus yang panas sungguh menyenangkan saat kami duduk bersama di dalam rumah. Riuh rendah suara menceritakan “kemenangan” kami melewati sungai yang mendadak muncul menghalangi perjalanan.
Aku dan Ella duduk berhimpitan untuk saling menghangatkan. Pria-pria itu melirik padaku saat bercerita, melontarkan pujian atas kegigihanku saat berkejar-kejaran dengan waktu untuk secepat-cepatnya melewati sungai itu. Aku orang dari kota, sedangkan Ella orang sini, itu jadi lain. Ehemmmmmmm.
Hanya aku dan Tuhan yang tahu saat itu. Ketika aku berjalan di dalam air, aku tak bisa menahan kencing.