Sabtu, 31 Desember 2011
Pekuburan
Pendidikan, membuat hidup Tio jadi muram. Tio kecil belajar dari gurunya tentang makanan empat sehat lima sempurna. Tapi tak pernah ada susu di rumahnya. Sayur dan lauk pauk pun jarang ada. Makan sekedarnya. Tio mengerjakan PR tentang pembagian tugas dalam keluarga. Ayah pergi ke kantor. Ibu mengurus anak dan memasak. Tapi ibunya menjadi penjual kue yang selalu kerja siang dan malam. Sementara ayahnya lebih banyak sakit dan menganggur.
Semua kebohongan yang disampaikan di sekolah, membuat Tio malas belajar. Tio lebih suka mencari uang. Sejak kecil Tio sudah menjadi ojek payung di mall pada musim hujan. Menjual es buah pada musim kemarau. Membersihkan kuburan pada saat bulan puasa dan lebaran.
Jangan mengemis. Itu pelajaran dari ibunya. Tio masih mempercayai ibunya yang bekerja keras menghidupi dirinya dan keluarga. Satu-satunya orang yang kata-katanya masih berharga bagi Tio.
***
Tio dan Nita berteman sejak kecil. Pelataran tempat mereka bermain adalah pekuburan. Ketika pintu rumah Nita dibuka, langsung membawa langkah ke pekuburan. Sebuah kuburan yang disemen bercampur kerikil, terletak hanya beberapa langkah dari pintu rumah Nita. Tio sering melihat Nita duduk di atas kuburan itu sambil menguap saat baru bangun tidur. Atau makan.
Nita tidak suka sekolah. Sekolah membuat dirinya takut. Takut menjadi dirinya. Menurut pelajaran sekolah, rumah yang sehat itu harus punya cukup jendela dan punya meja belajar. Jangankan meja belajar, ruang dalam rumahnya hanya ruang tidur dengan kasur-kasur yang digulung di saat bangun. Ibunya memasak di luar, dengan sebuah kuburan menjadi dinding dapurnya. Tio sering membantu ibunya Nita mengambil seember air bersih untuk memasak dari sumur umum. Kemudian minum kopi panas sambil duduk-duduk dengan Nita dan kakak lelakinya, Nico.
Tio, Nita dan Nico tak suka sekolah. Mereka lebih suka duduk-duduk dengan teman-temannya dan tak mengerjakan apa-apa. Menghabiskan waktu dalam hampa. Tumbuh menjadi remaja dan semakin kesulitan mencari uang untuk memenuhi keinginan mereka dalam membeli sesuatu. Terutama membeli rokok, bagi anak lelaki. Tio sudah tidak lagi menjadi ojek payung dan membersihkan kuburan karena itu pekerjaan anak-anak kecil, bukan pria muda seperti dirinya sekarang. Tapi Tio terlalu muda untuk meminta pekerjaan sebagai tukang parkir kepada Gembong, penguasa mall dan kawasan pertokoan yang mengatur pembagian kerja sebagai satpam, tukang parkir, office boy, cleaning service. Tidak ada majikan yang merekrut pekerja seperti itu tanpa melalui Gembong di wilayah kekuasaannya. Sedang yang ingin kerja begitu banyak.
Perebutan pekerjaan satpam bisa membuat terjadi ancam mengancam yang berbuntut penusukan. Gembong tak segan bertindak keras apabila keputusannya dipertentangkan. Untuk reputasinya, Gembong harus jadi orang yang mampu menjagal orang agar tak ada yang berani menentang aturannya.
***
Tio belajar berdagang jajanan untuk anak sekolah di wilayah itu. Itu pun harus seijin Gembong. Tidak ada tempat mangkal untuk bubur ayam, nasi kuning, rujak, martabak, nasi goreng, sate, pisang goreng, ayam crispy, dan pedagang kaki lima lainnya, tanpa melalui aturan Gembong. Perpindahan hak berjualan di suatu tempat dapat dilakukan dengan membeli hak itu dari pedagang sebelumnya yang ingin pindah ke daerah lain atau berhenti berdagang melalui Gembong.
Gembong seorang pria yang kejam dan ditakuti. Para istri majikan mengira Gembong berwajah buruk dan seram. Saat lebaran, para istri majikan bertemu Gembong untuk mengatur pembagian dan pengiriman hadiah lebaran untuk lurah, RW, RT, hansip, serta pembagian sembako untuk warga miskin. Ci Henny, istri Ko Wawan, pemilik minimart yang baru dibuka, terkejut ketika pertama kali bertemu dengan Gembong. Wajahnya ternyata bersih, ganteng, dan sikapnya terpelajar. Bekas-bekas luka senjata tajam di wajahnya tidak membuatnya nampak menyeramkan.
Tio beruntung karena Gembong adalah adik ibunya. Pamannya.
Meskipun ibunya selalu mengatakan jangan tiru amang kamu yang menjadi penjahat, tapi Tio tahu bahwa seorang seperti amangnya harus ada. Kalau bukan Gembong, pasti ada yang lain. Menjadi penguasa “dunia bawah” yang tidak kelihatan oleh orang-orang baik dan terhormat. Hanya para bisnisman dan orang-orang tertentu yang mengetahui dunia yang dipimpin oleh Gembong. Orang tertentu? Misalnya polisi dan tentara yang juga berurusan dengan keamanan di wilayah itu.
Tio tidak terlalu dekat dengan pamannya itu. Nyalinya terlalu kecil untuk berurusan dengan pertarungan kekuasaan yang lekat dengan Gembong. Tio hanya berani merokok. Tidak berani menyentuh minuman keras atau pun narkoba. Suatu hal yang harus dijalani bila ada di lingkar dekat pamannya itu.
Tio terlalu lemah untuk hal-hal seperti itu. Berjualan saja yang diinginkannya setelah menamatkan SMP.
***
Pekuburan itu terletak di tengah perkampungan luas yang ada di balik dinding tinggi mall dan hotel dan terpisah oleh dinding yang menutupi perumahan mahal dan pemukiman kalangan keluarga yang rumahnya bagus. Perkampungan itu semakin mendesak pekuburan sehingga banyak rumah gubuk yang pintu-pintunya langsung berpelataran pekuburan.
Pekuburan adalah dunia Tio. Bersama Nita.
Sedangkan Nico berusaha setengah mati untuk mendekat pada Gembong. Ingin menjadi kuat dan punya reputasi seperti Gembong. Menjadi pengikut. Berjualan jajanan anak sekolah seperti yang dilakukan oleh Tio nampak terlalu rendah untuknya. Lebih bergaya menjual narkoba. Atau menarik setoran dari para pedagang yang ada di salah satu kawasan kekuasaan Gembong.
Niko tidak cukup punya kekuatan untuk itu. Baru saja mulai, dia sudah menjadi beban Gembong karena lebih banyak mabuk. Tak mampu bekerja. Perbuatannya mencuri motor di perumahan membuat Gembong berang. Keamanan adalah pelayanan yang diberikannya kepada pedagang dan aparat sehingga perbuatan anak buahnya itu merusak kepercayaan atas bisnis utamanya. Keamanan.Suatu hari Nico terkapar di semak-semak kuburan dengan luka senjata tajam di wajah dan bahunya, berlumur darah. Setelah itu Nico menghilang. Katanya ke Jakarta.
Tio belajar dari kesalahan Nico. Setiap orang harus menjalani hidupnya sesuai dengan kemampuannya. Tio tak mampu mengikuti jejak pamannya.
Minum kopi sambil melepaskan lelah setelah berjualan, di dapur ibunya Nita, merupakan dunianya Tio. Lalu mandi sore dan shalat magrib di mesjid bersama warga lainnya. Berbincang malam hari di pekuburan yang menjadi beranda rumah mereka dengan anak-anak kecil yang bermain kejar-kejaran di antara nisan-nisan batu.
***
“Tio, beri nasihat Nita. Saya sudah tak sanggup...” kata Juleha. “Dua minggu tak pulang, entah kemana....” Tio menjawab. “Kalau euceu saja sudah tak sanggup menasihati dia, apalagi saya....” Tio tak pernah percaya dirinya bisa menjadi seorang pemberi nasihat. Seorang yang ucapannya berharga bagi orang lain. “Kamu kan sahabatnya, Tio.... Kalian selalu sama-sama sejak kecil. Kalau sama ibunya sendiri dia sudah tidak pedulikan...” kata Juleha.
Juleha perempuan berusia 40 tahunan tapi sudah kelihatan sangat tua. Bekerja sebagai pembantu yang pulang sore di perumahan. Anaknya 5 orang, Nico yang paling tua seharusnya sudah lulus SMA, sedangkan Nita seharusnya SMA. Nico hanya sampai SMP, sedangkan Nita tidak sampai lulus SMP. Tiga adik-adik mereka sekarang masih sekolah di SMP dan SD. Suaminya, pedagang tempe di pasar.
Sejak lulus SMP, Tio menjadi jarang bertemu Nita.
Ketika bertemu, Nita sudah sangat berbeda. Rambutnya berwarna merah, serasi dengan kulitnya yang putih. Hampir Tio tidak mengenali lagi sahabatnya itu. Teman sekelasnya di SD dan SMP itu. Tio punya hape yang dibelinya dengan harga 200ribu, sekedar untuk menelpon dan sms. Nita memiliki hape mahal berwarna pink, senada dengan rambutnya. Berdandan dan berpakaian bagus. Seperti wanita dewasa.
Tio tak pernah punya keberanian untuk mengatakan sesuatu. Meski banyak kata-kata yang ada dalam benaknya.
Nita tak lagi menggandeng lengannya untuk duduk di atas batu kuburan dan berbincang-bincang. Nita hanya menatapnya dan kemudian menjauh.
***
Ada banyak cerita di pekuburan itu yang didengar Tio sejak kanak-kanak.
Beberapa kuburan tua tetap dibiarkan ada. Sementara kuburan-kuburan lain yang sudah tidak punya kerabat, digantikan dengan yang baru. Batu nisan dengan tahun 2000 lebih banyak menggantikan nisan-nisan tua yang tak lagi dikunjungi siapa pun.
Ada kuburan tua yang punya cerita. Tokoh di masa lalu. Ada kuburan tua yang tak punya cerita. Entah siapa.
Biasanya kuburan baru dari warga setempat lebih punya cerita. Kebanyakan cerita sedih. Kemiskinan. Sakit. Drama keluarga.
Ketika ayah Tio meninggalkan dan dikuburkan di situ, semua orang terkenang pada sosok sakit-sakitan yang lebih banyak menganggur di rumah ketimbang menafkahi keluarganya. Tubuhnya yang kurus. Penderitaannya sebagai suami yang menjadi beban keluarga dan istrinya serong dengan pria lain untuk memenuhi kebutuhan bathinnya. Tio tahu setiap orang meninggal akan diperbincangkan kenangan hidupnya. Dan selalu hal yang cukup tragis sebagai bahan untuk dibicarakan.
Kebanyakan kematian adalah hal biasa. Menjadi tua dan sakit. Sakit meskipun belum terlalu tua. Merupakan kematian yang wajar.
Ada kematian yang memang mengenaskan. Terbunuh dalam perkelahian. Gantung diri karena sakit yang tak tersembuhkan. Pengangguran (sebenarnya maling!) yang mati overdosis. Kemiskinan menjadi faktornya. Tapi miskin merupakan hal yang biasa karena warga kampung itu lahir dan mati dalam kemiskinan.
Terkadang kuburan baru itu berada tepat di depan pintu rumah warga. Tanahnya yang coklat dan kembang-kembang kertas berwarna merah-oranye masih nampak segar. Tio dan teman-temannya menganggap hal itu biasa saja. Anak-anak bermain dan berlarian seperti biasa.
Cerita-cerita hantu selalu membuat takut anak-anak dan orang dewasa. Tapi Tio dan warga di situ hidup di dalamnya. Bersama hantu.
***
Tio berjalan di antara kuburan-kuburan yang disemen bercampur kerikil. Standar kuburan yang ditetapkan oleh dinas pemakaman. Kuburan baru yang belum disemen akan hancur oleh hujan. Menimbulkan lubang dan genangan yang menakutkan untuk dilihat.
Tio membetulkan makam baru yang rusak oleh hujan itu dengan cangkul yang dipinjamnya dari Mang Ujang, pengurus kuburan. Kemudian dia berjongkok dan memandang batu nisan yang masih baru tapi terkena lumpur. Airmata menggenang di pelupuk matanya. Sedih teringat masa kecilnya bersama Nita. Berangkat ke sekolah bersama. Mengaji di mesjid kecil bersama. Nita sangat cantik. Banyak anak lelaki yang menggodanya. Tio menyayangi Nita karena mereka lahir pada waktu hampir sama dan besar bersamaan. Apa pun yang dikatakan orang tentang Nita tidak akan mengubah sejarahnya dengan Nita. Perasanaan yang terbangun karena kebersamaan. Nita selalu menggandeng lengannya bila berjalan malam hari ke mesjid. Merasa percaya pada Tio sehingga mudah baginya untuk selalu memilih Tio bila merasa takut atau perlu pertolongan.
Pada usia 22 tahun, Nita telah meninggalkan dunia ini. Orang tuanya tidak pernah menceritakan semua kepada para tetangga. Hanya mengatakan bahwa Nita sakit paru-paru yang sudah sangat parah. Tubuhnya menjadi sangat kurus dan wajahnya nyaris tak dikenali karena sangat kurus dan rusak. Setelah beberapa tahun tak pulang, Nita kembali dalam keadaan sakit. Hanya enam bulan kemudian, meninggal dunia.
Tio pernah diminta Juleha, ke sebuah tempat bilyar yang menjadi tempat kerja Nita. Tapi Nita tak ada, sudah berpindah tempat. Suatu hari Nita pulang dan menitipkan bayi berumur beberapa bulan kepada ibunya. Kemudian menghilang lagi.
***
Pekuburan adalah tempat Tio dan Nita dilahirkan dan tumbuh dewasa. Sekolah, bukan tempat mereka. Tio dan Nita merasa selalu diceritakan kebohongan di sekolah. Guru menanyakan apa cita-citamu kalau sudah besar. Padahal mereka tidak mungkin punya cita-cita. Untuk menyelesaikan SMP saja mereka tak sampai hati melihat susahnya orang tua membiayai. Bagi mereka, setiap anak harus punya cita-cita dan bekerja keras meraih cita-citanya, hanyalah sebuah kebohongan.
Suatu hari Nita sedang berbincang dengan Tio. Duduk di atas sebuah kuburan sambil makan bakso. “Aku tidak mau kawin dengan orang sepertimu, Tio...” katanya sambil ketawa usil. “Kenapa?” tanya Tio tak acuh. “Aku tidak mau punya anak yang lahir dan besar di kuburan....” katanya sambil tertawa terbahak-bahak. Waktu itu mereka masih sekolah dasar. Banyak yang kawin di usia belasan tahun di kampungnya itu.
Tio melihat anak perempuan kecil yang sedang berjalan tertatih-tatih itu menuju sebuah kuburan. Berpegang pada semennya. Juleha sedang menyuapinya. Anaknya Nita. Anak itu akan besar di kuburan seperti ibunya. Anak itu secantik ibunya. Seperti bunga yang begitu cantik dan tumbuh di semak-semak pekuburan. Sungguh mengherankan di tempat itu bisa terlahir anak-anak yang sangat cantik.
Seorang anak lelaki kecil mendekati anak perempuan itu. Merekapun saling berbicara dengan bahasa anak kecil yang tak jelas.
Tio memandang anak lelakinya itu. Sebuah pikiran terbersit di benak Tio. Tio akan membawa anak lelakinya keluar dari kampung di pekuburan itu. Dia harus membawanya pergi, merantau sambil berjualan bubur ayam di suatu tempat.
“Juleha, bolehkah aku memungut anaknya Nita untuk menjadi anakku? Aku ingin membawanya pindah dari sini...” Kata Tio pada Juleha. Perempuan yang wajahnya menjadi sangat tua karena kesusahannya itu menangis dan memeluk Tio.
***
Note: Terinspirasi dari kisah seorang perempuan muda yang diceritakan pembantuku.
SELAMAT TAHUN BARU NEGERIKU!
Langganan:
Postingan (Atom)