Pada era 1980-an ke belakang, setiap keluarga memiliki anak banyak karena
anak-anak telah lahir sebelum alat kontrasepsi dikenal. Atau alat KB menurut istilah Orde Baru. Benda itu baru mulai dimasyarakatkan pada tahun 1970-an di Era Orde Baru
dan pada awalnya mendapatkan resistensi yang keras dari masyarakat karena
dianggap melanggar kehendak Yang Di Atas.
Bahkan ketika alat KB mulai dikenal luas dan dicanangkan
secara gencar, para ibu masih banyak melahirkan anak-anak termudanya dengan
tahun kelahiran 70-an. Mungkin anak ke-5, 7, 9 atau lebih. Sementara anak
sulungnya sudah ada yang punya anak. Ketika ibuku hamil anak sulung, ibunya (nenekku)
juga sedang hamil anak bungsunya. Paman dan keponakan itu menjadi teman sebaya.
Keluarga Sumpena memiliki anak delapan, 3
laki-laki dan 5 perempuan. Dua anak
lahir pada tahun 50-an, empat anak lahir dengan kepala tahun 60-an dan dua dilahirkan dengan kepala tahun 70-an. Ketika
sang ibu sedang hamil anak ketiga, berbarengan dengan ibunya (sang nenek) yang
sedang hamil anak terakhirnya, anak ke-11. Keluarga Sumpena adalah tetangga keluargaku.
Bukan sesuatu yang aneh pada masa itu bila seorang
paman atau bibi seusia dengan keponakannya atau bahkan lebih muda.
***
Ibu di Keluarga Sumpena kalau memasak selalu banyak. Dia memiliki banyak wadah dengan beragam fungsi. Ada mangkuk-mangkuk untuk
menaruh camilan seperti kacang rebus atau urap
ketan. Ada mangkuk lebih
kecil untuk menaruh candil ubi atau bubur
lemu. Ada gelas-gelas plastik untuk menaruh kolak, bubur kacang hijau atau
cendol. Berjajar-jajar di atas meja dan diberi nama masing-masing anak. Setiap anak mendapat jatah dua atau tiga gelas.
Terserah mau dimakan sekaligus atau satu-satu. Mug keramik bertutup itu punya ayah dan ibu.
Mangkuk gelas juga punya ayah dan ibu. Sayur dan lauk untuk ayah juga dipisahkan, tidak boleh bekas diacak
anak-anak.
Cara yang dilakukan Keluarga Sumpena sungguh lebih
baik daripada cara di rumahku. Ibuku melakukan pengawasan ketat ketika acara
makan berlangsung. Ini membuat rasa tidak nyaman kalau mendapat omelan karena
mengambil sesuatu terlalu banyak. Tapi itu masih lebih baik daripada di
keluarga pamanku yang dibiarkan saja dengan cara “hukum rimba”. Siapa cepat dia
dapat, siapa kuat dia bisa merajai meja makan. Aku pernah melihat suasana itu
dan melihatnya sebagai situasi yang buruk sekali. Lebih menyenangkan suasana
dalam Keluarga Sumpena yang teratur dalam hal pembagian makanan dan pekerjaan.
Aku sering menontoni ibunya yang sedang menuangkan
makanan ke dalam wadah-wadah. Si ibu memberikan satu wadah yang terisi dan aku
melanjutkan menonton sambil makan.
Semua anak perempuan sibuk dengan pekerjaan di
dapur dan rumah. Mereka memiliki bangku-bangku kayu kecil yang dibuat sang ayah
disebut jojodog dalam Bahasa Sunda
(dalam Bahasa Jawa disebut dingklik).
Digunakan untuk duduk sambil bekerja membersihkan sayuran, bawang, dan
bahan-bahan masakan lain di atas tampah. Bak dan ember-ember selalu terisi air,
merupakan pekerjaan anak lelaki.
Keluarga Sumpena memiliki sumur yang digunakan
bersama keluarga tetangga. separuh sumur
ada di dalam kamar mandi Keluarga Sumpena, separuh sumur ada di dalam kamar
mandi keluarga tetangga. Sekat dinding kamar mandi di atas sumur dibuat sekitar
2-3 cm di atas dinding sumur. Pada masa itu banyak juga keluarga berbagi sumur
seperti itu.
Aku tidak pernah melakukan pekerjaan dapur di
rumah. Ibuku memberiku tugas belajar dan memperoleh nilai yang baik. Karena itu
aku punya waktu untuk melihat perempuan-perempuan di Keluarga Sumpena menghabiskan
waktu berjam-jam untuk menyiapkan dan memasak terutama di hari Minggu.
Keluarga itu suka makan. Makan adalah prioritas
pengeluarannya. Setelah lulus SMEA atau STM, anak-anak keluarga itu memilih
bekerja. Anak perempuan juga memilih menikah pada usia muda. Saat aku masuk
kuliah, teman sebayaku, salah satu anak perempuan Keluarga Sumpena, sudah mulai
bekerja dan beberapa tahun kemudian menikah.
***
Ada tindakan ’kejahatan’ yang dilakukan anak-anak di keluarga besar Sumpena, yaitu mengambil satu sendok dari setiap wadah
lain supaya mendapat lebih banyak.
Tapi itu semua hanya permainan untuk menjadi cerita yang membuat tertawa.
Keluarga itu selalu memasak banyak. Cukup untuk semua. Bukan makanan yang
mewah. Tapi makanan yang enak. Sambal yang sangat pedas dan menimbulkan selera.
Aku masih ingat makanan istimewa yang mereka buat adalah paria yang diiris
sangat tipis dengan bumbu cabe berwarna merah darah, sungguh membuat makan
siang menjadi sangat nikmat. Mereka bahkan menanam sendiri pohon paria itu di samping
jemuran baju. Ikan mas, mujaer kecil-kecil, telur setengah kilo yang dikocok
dengan banyak bawang daun, atau ikan asin, menjadi lauk yang sering disajikan
bersama tahu dan tempe. Tidak pernah ketinggalan kerupuk aci dalam blek yang
selalu diisi setiap pagi, melengkapi menu makan keluarga itu.
Aku juga senang melihat dan ikut mencoba
mengerjakan pembuatan makanan kecil yang dilakukan anak-anak perempuan Keluarga
Sumpena. Mereka sering membuat kue bolu dengan loyang besar bulat yang bolong
di tengah. Kue cheestick yang
sebenarnya tanpa keju, terbuat dari adonan terigu dan telor ditambah penyedap
rasa dan irisan bawang daun agar menjadi gurih, menjadi makanan kecil yang
paling sering dibuat. Ada lagi makanan yang paling enak yaitu nasi ketan yang
disebut “bangkerok”. Beras ketan yang diberi garam, bumbu, dan kelapa muda
parut, dimasak dalam ketel besar dan tebal dengan ditutup dengan api kecil
sampai matang dan berkerak. Sedaaap sekali
ketika dimakan panas-panas. Mereka juga sering membuat urap dari sayuran mentah
yang disebut tarancam, sejenis urap
yang dikenal Ibu Sumpena dari sebuah keluarga Jawa dengan racikan khas berupa
sayuran mentah ditambah daun kemangi dan buah petai cina. Sedap sekali rasa
bumbu kelapanya. Selain itu, yang paling sering dibuat adalah lotek, campuran sayuran dengan bumbu
kacang tanah yang diulek mendadak di atas cobek besar. Setiap orang akan
meracik dan membuat bumbu sendiri-sendiri sesuai seleranya. Sayuran yang
direbus setengah matang seperti kangkung, toge, kacang panjang dan kol,
disediakan di atas tampah yang dialasi daun pisang. Seperti berjualan saja. Aku
senang sekali membuat lotekku sendiri, dan menaruhnya di dalam pincuk daun pisang. Rasanya enak sekali
lotek buatanku sendiri. Ibu Sumpena tertawa melihat gerak-gerikku di dapur. Dia
sering menyebutku si murid teladan yang kerjanya hanya belajar dan jarang ke dapur.
Sementara anak-anak perempuan Keluarga Sumpena bekerja
di dapur, anak lelaki sulung punya kesibukan dengan motornya. Motor butut yang
sering mogok itu harus diotak-atik supaya bisa jalan. Menjadi alat transportasi
buat dirinya sendiri dan anggota keluarga lain terutama bila kakak perempuan
harus diantar belanja ke pasar. Terkadang anak lelaki yang masih SD pun
mengantar kakak perempuannya ke pasar dengan motor itu. Keterampilan yang
diperoleh karena paksaan keadaan ketika si kakak lelaki sedang sibuk
mengerjakan hal lain atau mogok jadi juru antar.
Bapak dan anak lelaki di Keluarga Sumpena sering
sibuk dengan perkakas tukangnya. Ayah mereka seorang tentara gemblengan jaman
perang mempertahankan kemerdekaan yang pernah terjun ke Irian Barat, sangat pandai
membuat sesuatu dari bahan kayu. Aku iri melihatnya memasang papan-papan kayu di
sepanjang dinding kamar yang kemudian menjadi rak-rak buku apik dan cantik,
dicat warna-warna yang disukai anak perempuan. Maklum anak banyak,
masing-masing diberi jatah tempat buku pelajaran.
Tujuh anak dalam keluargaku memiliki tugas utama
belajar. Sebagian besar pekerjaan dapur dan rumah tangga dikerjakan ibuku
sendiri bersama seorang pembantu. Ibuku punya pemikiran yang berbeda dengan
keluarga Sumpena. Menurut ibuku anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan
harus sekolah sampai pendidikan tinggi sehingga anak-anak sulung punya
kewajiban cepat bekerja untuk menopang biaya anak-anak yang paling muda
nantinya.
Itu yang membuat Keluarga Sumpena menjadi rumah
keduaku. Sebab aku merasakan suasana yang berbeda di sana. Suasana yang lebih
gembira.
Mereka pun selalu menerima kehadiranku dengan
baik.
***
Tiga puluh tahun kemudian.
Ibuku dan adik perempuan bungsunya –Bibi Nety-
sedang bercengkerama dan bercakap-cakap di ruang tamu rumah ibu. Berbagi cerita
tentang anak-anak dan cucu mereka. Semua anak ibuku punya anak “dua saja cukup”
seperti dalam iklan KB yang bintang iklan utamanya Ibu Tien dan Pak Soeharto,
ibu dan presiden Orde Baru. Kecuali aku, yang hanya punya satu anak.
Kudengar ibuku melontarkan keheranannya karena
anak-anak Bibi Nety hanya punya anak satu saja. “Kasihan tidak ada temannya kalau cuma anak satu...” Kata ibuku.
Bibi Nety hanya mengangkat bahu saja: “Entah,
anak-anak sekarang. Mereka tidak mau repot....” Katanya. “Tapi, jaman sekarang apa-apa mahal. Apalagi
sekolah anak, mahal sekali ketimbang jaman dulu kita. Anak dua saja belum tentu
mampu membiayai sampai ke Perguruan Tinggi....” Katanya lagi.
“Lebih enak
di jaman Soeharto, biaya hidup tidak semahal ini. Anak-anak bisa sekolah murah.
Buku-buku tidak harus beli bisa diwariskan terus dari kakak-kakaknya. Bayaran
sekolah murah. Tidak ada les ini dan itu...” Kata Ibuku, mengiyakan.
Bibiku tertawa saja sambil melihat kepadaku.
Maklum usia bibi dengan kakak sulungnya terpaut jauh sehingga dia masih
memahami perbedaan antara pikiran generasinya dengan generasi berikut yang pro
reformasi meskipun sama-sama memiliki suami pegawai negeri. “Suami-istri sekarang kan sama-sama sarjana,
Ceu. Sama-sama bekerja.... Makanya anak cuma satu....” Kata Bibi yang "hanya" memiliki tiga anak.
“Buat apa
dua orang kerja untuk satu anak?” Tanya ibuku seperti mencela. “Perempuan jaman sekarang. Perempuan modern
itu mau kerja, mengejar karier, menikmati hidup, dan tetap cantik.... mana mau
punya anak banyak....” Kata Bibi seperti mengeluhkan anak dan menantu
perempuannya. Atau menyindirku karena dia melirik padaku sambil tersenyum
simpul.
“Nenek jaman
sekarang sih.... Tidak mau dititipi cucunya kalau anak sedang butuh, sedang
tidak ada pembantu, padahal suami-istri sama-sama kerja....” Kata saya, balas menyindir ibu dan bibi. Ibu
yang cepat merasa tersindir segera menjawab. “Saya ini sudah capek mengurus anak banyak, kok masih harus mengurus
cucu-cucu....”
Bibi dan saya pun tertawa karena berhasil
memancing ibu. Perempuan jaman sekarang. Anak sekarang. Lha, nenek jaman
sekarang bagaimana?? Mau hidup sendiri tanpa digangggu keributan cucu-cucunya.
Itu sebabnya bibi sekarang sedang berada di rumah
ibu. Mencoba membujuk kakak sulungnya untuk pindah ke rumah salah satu anak.
Sudah lansia, hidup sendirian, menjadi kekhawatiran semua orang. Bukan cuma
anak-anaknya dan keluarga, tetapi juga para tetangga.
***
Setahun setelah tinggal dengan salah satu kakak
perempuanku, ibuku selalu mengeluh tentang ini itu. Mita, anak SD yang
berangkat pagi sampai sore baru pulang. Mega, anak SMA yang sering pulang malam
atau malah tidak pulang. Rahmat, si Bapak yang berhari-hari tidak pulang karena
tugas luar. Mila, ibu yang sehari-hari berangkat pagi, pulang menjelang maghrib
sebagai pekerja di bank. Anak-anak sejak kecil mengikuti sekolah-sekolah full
time yang menyediakan makan siang dan tempat istirahat. Sesudah anak bisa
mandiri, selain sekolah juga mengikuti berbagai kegiatan yang dipilihnya
seperti musik, olah raga, atau les bahasa.
Ibu merasa sendirian. Tapi keluhan utamanya
tentang kenapa Mita begini. Kenapa Mega begitu. Kenapa keluarga Mila dan Rahmat itu
begitu. Keluarga yang sehari-harinya jarang berkumpul. Hanya saling berpapasan.
Atau bahkan tidak sempat bertemu.
Ibu sering berdiri di depan jendela ke luar rumah.
Pembantu tak acuh dengan kesibukannya sendiri.
Pagar rumah yang tinggi membuatnya bahkan tidak dapat melihat apa pun yang ada
di luar sana.
***
Aku mengerti perasaan ibu. Aku mengerti gaya hidup
kakak perempuanku sekarang karena aku pun hidup dalam cara itu. Tapi, kenangan hidup dalam keluarga besar
menjadi bagian dari hidupku yang tak mungkin terlupakan.
Aku punya kenangan mengesankan bersahabat dengan
Keluarga Sumpena yang memiliki banyak peralatan buatan Bapak dan anak-anak
lelakinya untuk memenuhi kebutuhan sebuah keluarga besar. Kursi-kursi kecil
untuk para perempuan memasak. Lemari di bawah tangga untuk menyimpan berbagai
barang. Palang-palang kayu dialasi triplek untuk menyimpan panci, ketel, dan
alat-alat memasak lain yang ukurannya besar-besar di atas dapur, dilengkapi
dengan tangga kayu untuk bisa menyimpan dan mengambilnya. Sebuah rak buatan
ayah untuk menyimpan jajaran gelas dan mangkuk pembagian makanan untuk seluruh
keluarga, diletakkan di samping meja makan. Kayu-kayu triplek penyekat untuk
membagi fungsi ruangan dalam kamar tidur –memisahkah kamar tidur anak lelaki
besar dengan anak lelaki kecil. Sedang di kamar perempuan terdapat satu tempat
tidur bertingkat dengan anak perempuan yang sudah besar di bawah, dan yang
lebih kecil di atas. Bantal-bantal dengan inisial nama masing-masing pemiliknya
yang dijahitkan ibunya. Gelas dan mangkuk untuk ayah dan ibu yang tidak akan
berani dipakai anak-anaknya.
Keluarga besar itu sungguh penuh kehangatan.
Menjadikan makanan terasa lezat karena segera dimakan begitu masak, dibagi dan
dihabiskan hari itu juga. Sedangkan di meja makanku sekarang, banyak sisa
makanan yang setelah berhari-hari makin buruk rupa dan kemudian dibuang ke
tempat sampah. Di dalam kulkas, berbagai bahan dan jenis makanan juga tidak
menggugah selera makan senikmat di masa kecilku. Makanan yang pernah beku, tak
akan jadi hidangan selezat masakan di masa kecilku. Bahan segar dari pasar atau
dipetik di pekarangan rumah.
Aku rindu makanan panas yang mengepul di dapur
sederhana ibuku. Aku berterimakasih pada Keluarga Sumpena yang memberiku
kenangan manis di masa kecilku, dan selalu memberiku tempat di rumah mereka
yang ramai.
Aku punya kenang-kenangan itu yang tidak akan
menjadi kenang-kenangan anak tunggalku dan sebagian besar anak sekarang yang lahir
dalam keluarga kecil.
***