Anak kurang ajar itu benar-benar menakutkan. Matanya
liar. Giginya kotor. Ketawa terkekeh-kekeh memuakkan.
Benar-benar tidak tahu takut. Tidak juga punya malu bila orang dewasa
menyebutkan hal-hal buruk tentang kelakuannya.
Anak perempuan yang sudah SMP bahkan yang sudah
SMU pun tidak berdaya menghadapi anak Kelas 4 SD yang jahat itu.
Monster. Kalau lengah dia bisa memegang payudara anak perempuan yang lebih besar. Atau mencolek pantat. Kemudian lari
sekencang-kencangnya.
Semua korban rasanya ingin
membunuhnya. Atau menguburnya hidup-hidup. Monster kecil itu bisa menebarkan kuman monster dalam diri korban-korbannya. Mimpi buruk. Ketakutan.
Dendam. Kemarahan.
***
Tetapi, anak liar yang bernama Asep itu merupakan
bentuk ekstrim saja.
Buat anak-anak perempuan, ancaman semacam itu
sering diperoleh dari anak lelaki atau pemuda tanggung. Bahkan laki-laki
dewasa. Bila anak-anak perempuan sedang berjalan melewati sekelompok anak-anak lelaki, maka kita akan menjadi takut. Bukan gangguan
secara fisik. Tetapi kata-kata usil. Hey,
bondon. Itu kata-kata yang paling dibenci anak perempuan.
Salah satu yang sering dilakukan warga masyarakat
di minggu pagi adalah lari pagi sampai ke Alun-alun Bandung. Kalau sekelompok anak perempuan lari pagi, ancaman dicolek pantat juga sering mengganggu.
Apabila seorang melakukan kejahatan itu. Penonton
tertawa menikmati. Itu sebabnya monster kecil itu tidak merasa takut.
Menurutnya kejahatannya menjadi hiburan yang disukai penonton.
Setiap korbannya dibicarakan orang. Orang punya
bahan cerita.
Orang dewasa bahkan sambil tertawa bersama-sama
ketika membicarakan anak perempuan yang payudaranya diremas. Kecuali kalau
korban itu salah satu keluarganya.
***
Si Asep mempunyai ibu. Ibunya tak sanggup menahan
amarah perempuan-perempuan yang anaknya jadi korban. Atau anak perempuan yang
dengan penuh amarah melampiaskan caci makinya kepada ibu si Asep.
Monster cilik berumur 12 tahun itu dihajar ibunya
dengan sapu lidi. Sampai menggerung-gerung tapi tak bisa lari ke luar karena
pintu dikunci ibunya. Perempuan bertubuh gempal itu melampiaskan amarahnya
dengan memukul membabi buta. Si Asep berteriak-teriak kesakitan dan mengatakan
hal-hal jorok kepada ibunya.
Perempuan pedagang gorengan itu sakit hatinya
mendapatkan ucapan-ucapan buruk dari perempuan-perempuan yang menjadi korban
anaknya. Anak setan. Anak jadah tanpa
bapak. Ibu pelacur. Hati Sri terasa perih mendengar kata-kata semacam itu.
Mengingatkannya pada lelaki yang menghamilinya lalu lari. Luka terasa semakin
sakit melihat anak yang dilahirkannya menjadi monster kecil, pencuri, cabul,
jahat, dan tak kenal malu.
Dipukulinya anak itu sejadi-jadinya sampai
tenaganya habis. Lalu anak itu melarikan diri. Sementara ibunya menangis
sesenggukan.
Nenek si Asep yang tua, duduk sambil menundukkan
wajah di kursi kayu yang reyot dan setua dirinya.
Bukan berarti si Asep berubah. Anak itu malah
semakin bengal, cabul dan jahat. Kepada anak-anak yang lebih kecil suka
mengancam dan merampas. Kepada perempuan-perempuan kecil dan muda bersikap cabul.
Dia bahkan meremas rok anak perempuan
dan menohokkan tangannya ke arah vagina. Anak perempuan korbannya akan menangis
melolong-lolong karena tak menerima perlakuan itu.
Adik ibunya, seorang ustad muda yang mengajar
anak-anak mengaji di mesjid sedang merantau ke negeri Arab, sehingga si Asep
tidak ada yang mengawasi lagi dan semakin menjadi-jadi. Bila pamannya itu ada,
si Asep masih punya rasa takut.
***
Masyarakat memperlakukan aturan berbeda untuk anak
perempuan dan lelaki. Anak
perempuan tidak boleh main jauh-jauh. Kalau sudah magrib, anak perempuan harus
sudah di rumah. Sementara anak-anak lelaki masih bisa nongkrong malam dengan
teman-temannya. Anak-anak perempuan
keluar malam hanya untuk mengaji ke mesjid. Berjalan di lampu remang dan
bayangan gelap menjadi berbahaya. Karena ada monster yang bersembunyi. Si Asep.
Suara ketawanya terbahak apabila melihat anak-anak
perempuan menjerit-jerit dan berlarian. Kemudian terdengar suara orang dewasa
berteriak. Anak anjing. Kamana siah kua
aing dipodaran!! (Kemana dia, akan kubunuh dia!!)
Si Asep tak kenal takut. Tertawanya meringis
mengejek. Menyepelekan. Bahkan orang dewasa -yang memukulnya karena marah anak
perempuannya menangis keras-keras mengadukan perbuatan si Asep- menjadi risi
karena berhadapan dengan anak kecil sebagai lawan. Menempeleng anak yang
berperawakan kecil tapi lentur liat itu memang serba salah.
Kelemahan si Asep adalah ibunya. Ibunya yang tak
tahan menjadi sasaran pembalasan atas perbuatan anaknya. Memukuli si Asep
sambil berteriak-teriak. Suaranya terdengar di seantero pemukiman padat yang
rumah-rumahnya berdinding bilik itu. Anak
celaka. Anak terkutuk. Kenapa kamu lahir...
***
Si Asep tidak takut meskipun Kepala Keamanan di
pemukiman itu seorang tentara berperawakan besar dan galak telah menyatroni
ibunya. Superioritasnya semakin ditancapkan. Tidak takut apa pun.
Bahkan dia sudah mampu melawan ibunya. Memukulnya
balik sehingga perempuan pekerja kasar itu pun terjengkang dan jatuh. Sementara
si Asep pergi meninggalkannya sambil meludah ke lantai.
Montong
balik. Budak doraka siah!!! (Jangan kembali. Anak durhaka kamu!!!) Teriak
ibunya dengan murka. Menangis tersedu-sedu atas nasibnya yang malang.
Aibnya di masyarakat karena semua orang
mengenalnya sebagai ibu si Asep dikaitkan dengan perbuatannya sehingga anak itu
lahir tanpa bapak. Monster kecil. Anak jahat yang dibicarakan orang. Setiap
langkah Sri kemana pun yang didengarnya adalah bisik-bisik orang. Itu ibunya si Asep.
Si Asep kemudian dikejar-kejar beberapa lelaki
dewasa yang akhirnya bertekad akan menundukkannya. Apa pun caranya akan membuat
anak itu minta ampun.
Si Asep pun lari dari rumah.
***
Fajar naik motor untuk berkeliling pemukiman itu.
Sama sekali berbeda dengan keadaan yang dikenalnya di masa kecil. Hilang sudah
lapangan sepak bola. Hilang sudah rumpun bambu di sepanjang sungai. Kebun
mentimun dan singkong. Sawah. Pagar bambu. Rumah panggung. Semua hilang tak
berbekas. Berganti menjadi sebuah labirin pemukiman padat kota.
Dia pernah bertemu Pian, seorang satpam yang di
masa kecilnya menjadi temannya bermain bola. Pian mengatakan padanya bahwa si
Asep sekarang menjadi tukang becak yang mangkal di depan Supermarket Yoyo.
Setelah lari dari rumah pada umur 14 tahun, si Asep hidup di jalanan Kota
Jakarta. Kembali lagi sesudah dewasa dengan tubuh kecil dipenuhi tattoo.
Asep pulang sesudah ibunya tua. Dia menghidupi
ibunya dengan menjadi tukang becak. Kawin beberapa kali. Punya anak dari setiap
istrinya. Anak-anaknya mengemis di perempatan jalan. Hirupna balangsak. (Hidupnya brengsek). Kata Pian.
Fajar hanya mengingat di masa kecilnya dia pernah
mempunyai teman sebaya yang reputasinya sangat luar biasa. Asep suka main bola.
Sikap jahatnya tidak diberlakukan kepada teman-teman main bolanya. Fajar hanya
berteman dengan Asep di lapangan sepak bola. Sekolah mereka berbeda. Fajar di
sekolah swasta, Asep di SD Inpres. Tempat tinggal mereka berbeda. Fajar di
perumahan, Pian di perkampungan di seberang sungai. Anak-anak itu tidak peduli
dengan perbedaan saat di lapangan bola. Fajar teringat bagaimana ibunya sangat
marah bila mengetahui dirinya bermain bola dengan Asep, Pian dan anak-anak lain. Tapi kegilaannya terhadap permainan bola
membuatnya kembali lagi ke lapangan itu.
Kalau berdiri berhadapan dengan Asep, nampak anak
itu kecil. Sedangkan Fajar lebih besar dan tegap. Itulah yang diingat Fajar
tentang anak yang ditakuti itu. Anak itu kecil, licin, dan liar. Dia tak perlu
curang di lapangan bola karena bermain bola merupakan keunggulannya. Larinya
kencang dan tendangannya selalu telak. Asep pemain bola yang luar biasa.
Tak ada yang tak kenal Asep. Baik itu warga di
pemukiman kumuh maupun warga di perumahan baru yang terpisahkan dengan benteng
tembok yang tebal.
Kejahatan Asep melewati batasnya ketika dia mulai
merambah ke wilayah perumahan baru. Itu sebabnya dia dikejar sejumlah lelaki
dewasa yang diperintahkan oleh Kepala Keamanan yang tentara itu.
Berakhirlah kejayaannya sebagai monster kecil.
***
Fajar melihat tukang becak itu sedang
terkantuk-kantuk di dalam becaknya yang sedang mangkal. Meskipun tukang becak
itu nampak tua. Meskipun Fajar sudah tak pernah bertemu Asep sejak 30 tahun
lalu. Namun tukang becak yang mengantuk itu dikenalinya sebagai Asep. Monster
kecil yang ditakuti di masa kecil.
Tukang becak itu terbangun dan matanya melihat
kepada Fajar. Mengernyitkan alis seolah mengingat-ingat.
“Sep...
masih inget ka sayah?” Tanya Fajar. Tukang becak itu menyerigai dengan
giginya yang kotor. “Saha nya? Poho deui
atuh....” (Siapa ya? Lupa lagi...) katanya dengan sorot mata segan, namun
berusaha seperti seorang teman lama yang kebetulan bertemu. “Nya moal apal da didinya mah beuki gandang...”
(Ya, enggak ingat karena kamu sih
tambah gagah...).
Fajar tersenyum. “Fajar. Babaturan maen bola basa keur leutik....” (Fajar. Teman main
waktu masih kecil) Katanya. Tukang becak itu memandangnya lekat-lekat kemudian
mengangguk-angguk. “Eleuh, geus jadi naon
ayeuna kamu teh, Jar? Jelema sakolaan mah beda....” (Waduh, udah jadi apa
kamu sekarang, Jar? Orang berpendidikan sih beda...) Katanya.
Jelema
sakolaan.
Seorang yang tak pernah menamatkan SD-nya seperti
Asep pun mengerti bahwa seseorang berbeda ketika sekolah dan tidak sekolah.
Kalau pun ada yang sukses tanpa sekolah dan pendidikan, itu barangkali
kekecualiaan.
Jelema
teu nyakola.
Ketika masih kecil Asep menjalani pelajarannya
dengan susah payah. Merasa tidak akan pernah sukses dengan yang disebut sekolah
karena otak bebalnya. Menjadi anak yang bengis, nakal, dan ditakuti menjadi
reputasi yang bisa dicapainya dan dinikmatinya benar.
Sesudah dewasa dan setua sekarang, Asep seorang
tukang becak. Istrinya yang sekarang seorang pembantu rumah tangga.
Anak-anaknya tiga. Tinggal di sebuah gubuk kecil peninggalan ibunya.
Setelah bertukar cerita dan bercakap-cakap, Fajar
meninggalkan Asep yang berdiri di depan becaknya. Sebungkus rokok pemberian Fajar
diterima tukang becak itu sebagai rejeki nomplok sore ini, disulutnya dengan
nikmat sambil duduk di dalam becaknya.
“Saha eta?”
(Siapa itu?) Tanya teman sesama tukang becak.
“Babaturan
keur leutik....” Jawab Asep tak acuh. “Osok
maen bola bareng....” (Teman waktu masih kecil. Suka main bola bareng...).
Kedua tukang becak itu pun menghisap rokok tanpa
memperdulikan sekelilingnya. Bagi Asep, seorang teman di masa kecil bukanlah
hal yang penting karena dia tahu semua orang yang mengenalnya di masa itu
membencinya.
Sementara bagi Fajar, seorang Asep membekaskan
kesan di masa kecilnya ketika dia pernah diancam, dirampas, dan ditendang ke
dalam selokan berlumpur olehnya. Bermain bola dengan anak kampung jahat itu
menjadi caranya untuk aman karena hanya teman-teman bermain bola saja yang
tidak pernah menjadi sasaran Asep. Selain itu, mengenal secara dekat dengan
anak yang menakutkan itu telah memberikan latihan nyali padanya.
Fajar pernah menciut nyalinya ketika melihat wajah
Asep menyerigai dengan giginya yang buruk begitu dekat di hadapan wajahnya.
Ketika itu ia menepuk pundaknya, menahannya dari perbuatan yang jahat kepada
seorang anak perempuan. Wajah Asep nampak menyeramkan sehingga Fajar merasa
berkeringat dingin dengan degup jantung tak karuan memikirkan entah apa yang
akan terjadi selanjutnya akibat perbuatannya. Ternyata Asep menggandeng
tangannya sambil menggerutu dan sumpah serapah. Bagi rokona, anjing. (Minta rokoknya, anjing). Katanya.
Fajar bernafas lega ketika melihat anak perempuan
itu terlepas dari bahaya. Sementara monster itu menyulut rokok yang diberikan
Fajar. Rokok yang dicurinya dari rumah. Kepunyaan ayahnya.
***
Pada saat memandang wajah anak-anaknya, Fajar
teringat pada dirinya sendiri di masa kecil. Saat dia berumur 10 tahun dan
harus menghadapi seorang monster berumur lebih tua, berperawakan lebih kecil
tetapi sangat menakutkan.
Pernah dia ingin menyerah pada sikap pengecut
seperti anak-anak yang lain. Menangis kalau diancam. Mengompol di celana bila
digertak. Tapi dia berhasil melawan kepengecutan itu. Berhasil bermain bola
dengan Asep dan kelompoknya. Suatu ketika dia menepuk pundak Asep dan
mengatakan: Tong kitu euy ngerakeun ngaganggu
awewe mah... Lawan mah si Centeng nu leuwih badag....(Jangan begitu lah,
memalukan mengganggu anak perempuan... Lawan saja si Centeng yang badannya
besar...)
Asep dan kawan-kawannya tertawa terbahak-bahak. Si
Centeng itu sebutan mereka untuk Pak Tentara yang jadi Kepala Keamanan. Fajar
ikut tertawa dengan rasa lega karena ucapannya telah diterima sebagai lelucon
anggota tim.
Sementara Asep tidak mengenang apa pun tentang
temannya yang bernama Fajar itu. Juga tidak tahu bahwa orang yang menyapanya
saat terkantuk-kantuk di dalam becak itu, sekarang sudah jadi penggede militer.
***