Sahabatku,
Nina, hanya tersenyum saja.
Aku tahu ia
menyembunyikan perasaannya. Tidak ingin kelihatan kejujuran hatinya. Sebab
kejujuran itu bisa menjadi kesalahan besar.
Kamu merasa biasa saja menghianati suamimu. Kamu merasa biasa saja berniat
menjadi istri simpanan suami orang. Kamu merasa biasa saja menjadi pengganggu
rumah tangga orang. Mengganggu Bapak dari anak-anaknya. Suami dari istrinya.
Aku mengerti
isi hati Nina meskipun tidak ada yang dikatakannya. Tidak ditunjukan perasaan apa-apa di wajahnya.
Tidak menampakkan dirinya yang
sebenar-benarnya.
Aku datang
bukan atas permintaan dia.
Suaminya lah
yang datang padaku. Suaminya bilang bahwa istrinya, Nina, sahabatku sejak kanak-kanak,
sangat membutuhkan bantuanku sekarang. Aku bertanya, memangnya ada apa.
Suaminya mengatakan, datang saja ke rumah.
Aku ikut
dengannya. Ke rumahnya.
***
Pertama-tama
aku dibawa singgah ke rumah Pak RT.
Pak RT di
lingkunganku adalah pria yang masih muda dan cukup menganggur sehingga mau jadi
RT. Atau sudah tua sehingga juga benar-benar menganggur dan mengharap sedikit
penghasilan untuk sekedar membeli rokok.
RT yang ini
masih muda dan cukup menganggur. Tidak terpelajar. Pekerjaannya membantu
istrinya yang berdagang nasi untuk para buruh bangunan yang sedang membangun
hotel dan pegawai-pegawai yang bekerja di mall.
Aku seorang
terpelajar dan Pak RT tahu itu sehingga sikapnya sangat hormat. Aku katakan
padanya bahwa aku berteman dengan Nina sejak kecil dan kami lebih tua cukup
banyak dari Pak RT. Kami penghuni asli perkampungan ini dan Pak RT adalah
pengembara dari Jawa Timur sana yang ketemu jodoh di sini dan menikahi anak
mbok penjual nasi yang kemudian meninggal dan mewariskan usahanya kepada anak
perempuannya, istri Pak RT itu.
Pak RT yang
logat bicaranya masih sedikit medok itu menundukkan kepala. Aku bilang bahwa
sebelum Pak RT ada di tempat ini, kakek moyangku adalah penduduk asli. Aku
lahir di suatu kampung yang pernah ada di tempat ini. Kampungnya sekarang sudah
hilang lenyap dan Pak RT tidak tahu sama sekali bahwa warung nasinya itu
berdiri di atas lahan yang dulu ditanami mentimun dan ubi jalar sebagai
pembatas dengan sungai kecil supaya
tidak longsor. Sungai itu sekarang ada di antara dua dinding tembok bangunan
dan tidak kelihatan lagi, tersembunyi di antara bangunan. Oh, tentu Pak RT
tidak tahu sama sekali. Sekarang wilayah ini sudah menjadi bangunan-bangunan beton,
hotel, mall, supermarket,
toko-toko, kampus, klinik, warung-warung
makan, rumah-rumah bertingkat untuk tempat kost, dengan latar belakang perkampungan yang berdesakan. Sebuah sungai
yang lebih besar –katanya anak Sungai Cikapundung- membelah dua wilayah menjadi kawasan bisnis dan
real estate di depan, serta kawasan perkampungan di belakang. Tak ada lagi
pepohonan yang hijau menyejukkan. Tak ada lagi kilau air dari sawah-sawah yang
terhampar luas. Sungai yang mengalir deras itu sudah menjadi genangan air penuh
sampah. Di antara dua wilayah itu dibatasi oleh benteng tinggi yang ingin
menutupi pemandangan kampung dari perumahan mahal, hotel, dan mall. Pemilik
hotel dan mall tentunya juga tidak
mau tamunya melihat pemandangan sungai ini.
Aku bercerita
tentang itu semua untuk mengatakan bahwa aku penduduk asli kampung ini, aku dan
Nina adalah teman sejak kanak-kanak, dan sekarang banyak warga masyarakat –termasuk
Pak RT– adalah pendatang yang tidak tahu masa lalu kampung ini.
Lalu aku
mengatakan bahwa aku akan mengantar Nina pergi dari kampung ini. Pak RT
menganggukkan kepala dan mengirim SMS kepada Ustadz Nanang supaya datang.
Ketika Ustadz
Nanang datang dan usianya kelihatan lebih tua dariku, aku menceritakan kembali
masa lalu kampung ini. Ternyata Ustadz Nanang bukan penduduk asli kampung
ini, berasal dari sebuah desa di Tasikmalaya
dan bertemu jodoh di sini. Aku pun mengatakan kepada Ustadz Nanang bahwa aku
kenal tanah di kampung ini, aku tahu yang sekarang menjadi mall dulunya apa, bangunan-bangunan restauran, pusat kebugaran,
dealer mobil dan supermarket itu dulunya apa. Ada rumah tukang roti yang setiap
pagi menebarkan wangi lezatnya roti yang sedang dipanggang. Ada rumah-rumah
panggung berjajar di sepanjang sungai yang dipagari rumpun bambu. Ada pembuat
kue odading yang menjadi salah satu
makanan sarapan pagi. Ada keluarga pembuat kerupuk jajanan anak-anak. Ada
keluarga pembuat tembikar untuk keperluan rumah tangga seperti gentong, piring,
dan cangkir. Ada orang Cina –juragan bemo- yang menikah dengan perempuan Jawa
dan memungut 3 orang anak Sunda karena mereka tidak punya keturunan. Ada Ustadz
yang terkenal karena bisa menyembuhkan orang yang sakit. Ada Pak Haji Dadang,
juragan bako (tembakau) yang menjadi
asal usul keluargaku.
Sewaktu kecil
aku hidup di antara jemuran tembakau yang menghampar coklat di halaman rumah
kami yang luas, ditumbuhi 2 batang pohon lengkeng, pohon jambu, pohon sirsak, dan
pagar hidup dari semak beluntas. Lahan keluargaku itu sekarang menjadi sebuah
kampus setelah dijual karena bagi waris. Namun masih ada orang-orang yang belum
lupa bahwa keluargaku memberikan wakaf tanah untuk jalan dan mesjid kecil yang
sampai saat ini masih ada. Aku sendiri tinggal di perumahan baru, tidak jauh
dari kampung lama.
Istri yang
dinikahi Ustadz Nanang berasal dari keluarga pembuat odading. Aku katakan pada
Ustadz Nanang bahwa waktu kecil setiap pagi aku membeli odading ketika nenek
dari istrinya itu masih hidup. Aku senang menontoni perempuan berbadan besar
dan berwajah sedikit indo itu ketika sedang menggoreng bulatan-bulatan kue dari
terigu itu.
Ustadz Nanang
teringat cerita tentang mesjid yang menjadi tempatnya mengajar mengaji adalah
pemberian dari Haji Dadang, seorang juragan bako. Jadi, dia sedang berhadapan
dengan salah satu cucunya. Aku mengingatkannya.
Pak Ustadz
menundukkan kepala.
Aku mengatakan
padanya bahwa aku akan mengantar temanku sejak kanak-kanak, Nina, untuk pergi
meninggalkan kampung ini. Pak ustadz menganggukan kepala.
Setelah meninggalkan
rumah Pak RT, aku berjalan melewati rumah-rumah. Sejumlah perempuan
memperlihatkan diri dari dalam rumah. Aku menyapa dan menyalaminya. Aku
menyebutkan namaku dan keluargaku, barangkali mereka ingat-ingat lupa. Beberapa
perempuan tua berlinang air matanya. O
alah, aku tahu kamu waktu masih kecil.
Katanya sambil memegang lenganku. Mungkin itu yang menyebabkannya terharu. Dulu
aku masih kecil dan dirinya tentu masih muda. Aku pun nyaris tidak mengenalinya
lagi karena wanita itu sudah tua sekarang.
Aku tahu di
jendela sesosok bayangan berdiri.
Kuketuk pintu, dan seorang perempuan membuka pintu. Aku tersenyum padanya dan masih bisa mengingat wajahnya meskipun sudah puluhan tahu tak bertemu. Dia kakak perempuan tertua dari salah satu teman masa kanak-kanakku di kampung ini.
Kuketuk pintu, dan seorang perempuan membuka pintu. Aku tersenyum padanya dan masih bisa mengingat wajahnya meskipun sudah puluhan tahu tak bertemu. Dia kakak perempuan tertua dari salah satu teman masa kanak-kanakku di kampung ini.
Kemudian aku
masuk dan duduk di ruang tamu yang penuh barang itu. Mungkin karena terlalu
sempit sehingga terlihat terlalu banyak barang. Lalu aku bertanya tentang adik
perempuannya –temanku waktu kecil itu– dan aku pun bercerita kenangan-kenangan
masa kecil di kampung ini.
Aku pun
bertanya tentang keluarga perempuan yang sedang aku kunjungi ini. Dia
berbahagia karena anak-anaknya sudah menemukan jodoh masing-masing dan bekerja.
Sekarang dirinya dan suaminya menikmati masa pensiun berdua saja. Perempuan ini
seorang guru, itu sebabnya dirinya sangat tahu apa yang baik dan benar.
Perempuan ini mewakili keluarganya yang menjadi salah satu kelompok orang yang
paling vokal dalam menyerang orang yang menjadi musuh keluarganya. Kemudian karena Bu Guru pandai bertutur, Nina
dijadikannya sebagai musuh masyarakat. Melalui kampanyenya.
Aku mengatakan
kepada perempuan pensiunan guru ini bahwa aku akan mengantarkan Nina pergi
meninggalkan kampung ini. Aku mengingatkan Bu Guru ini bahwa kami berteman
sejak kanak-kanak, aku dan adik perempuan Bu Guru itu.
Keluargaku
dihormati di kampung ini. Aku pun rupanya dihormati oleh Bu Guru ini yang
memandang wajahku secara lunak, tidak segarang yang dikatakan Pak RT bila dia sedang
berbicara tentang persoalan Nina. Bu Guru tidak berbicara apa pun.
Maka aku pun
pamit dan mengucapkan salam.
***
Nina sedang
mengemasi pakaiannya.
Anak
perempuannya, si sulung yang sudah kuliah di sebuah kampus swasta untuk belajar
program komputer, mengatakan pada ibunya untuk tidak membawa semuanya sekarang
karena sisanya dia yang akan mengantarkan. Adik lelakinya, seorang anak SMP
yang bertubuh bongsor seperti anak SMA kelas 3, duduk termangu melihat adegan
ibu dan kakak perempuannya. Aku melihat suaminya duduk di kursi yang ada di
dapur sambil menghisap rokok. Tubuhnya ceking, wajahnya muram.
Suasana menjadi
hening karena semua orang bicara dalam hatinya.
“Buatkan kopi
untuk Tante Ineu....” kata Nina pada anak perempuannya. Anak perempuan itu
pergi ke dapur untuk membuat kopi. Aku mengikutinya ke dapur. Adik lelakinya
mengikutinya ke dapur. “Kamu tahu apa yang terjadi dengan ibumu?” Tanyaku.
“Tahu, Tante...” Kata Nola, anak perempuan cantik yang berwajah tidak mirip
ibunya itu, dengan suara lirih. “Apa
yang terjadi, Nola?” Tanyaku.
“Masyarakat di
sini marah dan membenci ibu. Mau mengusirnya dari kampung ini. Mau
mengadilinya... Mau menghukum ibu...” Katanya. Terngiang kembali ucapan-ucapan
Pak RT di telingaku bahwa keluarga Bu Guru ingin Nina mengakui dosa
perselingkuhannya dengan salah satu anggota keluarga itu, adik ipar Bu Guru. Suami
adik perempuannya, tapi bukan yang teman sebaya masa kecilku. Keluarga itu
ingin ada sidang pengadilan bagi Nina.
“Bukan
masyarakat, Nola... Tapi Bu Guru Ami dan beberapa ibu-ibu....” Kataku. “Apa
yang dikatakan perempuan-perempuan yang suka bergosip itu tidak benar....” Aku
tidak tahu apakah aku sedang bicara benar atau sekedar menolong anak-anak Nina.
Aku menyentuh
pundak Nola. Anak perempuan itu memelukku dan menangis terisak. “Tante Ineu...”
katanya dengan suara serak. “Bawa Ibu pergi dari sini....” Aku meminta sang adik lelaki –Naufal– mendekat. Aku memeluk keduanya.
Bapak kedua
anak itu tidak berbicara apa-apa. Pergi meninggalkan dapur. Melangkah ke luar
rumah dan entah kemana.
***
Nina berangkat dari
rumahnya.
Aku melihat
Ustadz Nanang dan Pak RT berdiri di jalan. Aku melihat beberapa orang berdiri
di depan rumahnya. Aku merasa sejumlah orang berdiri di depan jendela di dalam
rumahnya.
Mereka melihat
Nina berjalan membawa kantong pakaiannya. Aku berjalan di sisinya. Kedua
anaknya berjalan di belakang ibunya. Suaminya berjalan di belakang
anak-anaknya. Suasana hening karena semua orang berbicara dalam hatinya.
Kami hanya
harus segera sampai ke ujung jalan.
Sebelum sampai
ke ujung jalan, anak-anak tegang dan berkeringat. Bagaimana kalau Bu Guru
meneriakkan kemarahannya dan mencegat ibunya. Bagaimana kalau kemudian
orang-orang terpancing dan kemudian menjadi kerumunan massa.
Bagaimana kalau
penghukuman kepada ibunya dilakukan?
Hanya
dibutuhkan beberapa menit untuk sampai ke ujung jalan. Beberapa menit yang terasa lama. Airmata Nola
mengalir di atas pipinya, berjatuhan di atas jalan. Adiknya merangkul bahunya.
Wajah anak lelaki itu menatap berkeliling ke arah orang-orang dengan tatapan mata
rendah hati namun teguh.
Anak yang
pintar.
***
Dalam
perjalanan, kami lebih banyak diam membisu. Berbicara dengan hati
masing-masing. Aku mengantarkan Nina ke Stasiun Kiaracondong. Kereta api akan mengantarkannya ke rumah adik
perempuannya. Nina akan tinggal sementara bersama keluarga adik perempuannya
sampai dia tahu harus kemana lagi.
Nina memeluk
aku ketika sebelum dia melangkah pergi ke dalam stasiun. “Nuhun pisan, Neu...” (Terimakasih banyak) Katanya dengan mata
berkaca-kaca.
Aku melihatnya
melangkah pergi. Tegar.
***
Waktu itu aku
dan Nina masih sangat muda.
Keluargaku
tidak senang atas pertemananku dengannya. Aku dan Nina senang berteman satu
sama lain sehingga larangan itu tak kuindahkan. Nina bilang dia ingin menjadi
aku. Aku ingin menjadi Nina.
Menjadi Nina
adalah menjadi perempuan muda yang baru mekar, cantik, berkaki indah, dan
selalu penuh gelora petualangan asmara di dalam sekujur tubuhnya. Caranya berjalan. Caranya melirik. Caranya
tertawa. Semua memberitakan dengan jelas jiwa dan perasaannya yang erotis.
Jarang terbebani oleh pikiran yang mendalam. Nina menimbulkan rasa jengkel perempuan
yang melihat para pria mudah ditaklukkan oleh kecantikannya yang menggoda. Nina
menimbulkan antipati pria-pria yang sopan.
Nina mudah saja
membalas sentuhan pria yang disukainya, menghindar pria yang tidak
diinginkannya. Nina mudah saja menerima atau menolak rayuan lelaki.
Lelaki
tergila-gila pada kecantikannya. Tidak peduli apa kata orang bahwa perempuan
itu bekas si anu, si anu dan banyak lagi nama yang disebutkan.
Sampai suatu
ketika Nina menikah dengan Erwin. Seorang pria berwajah manis dari keluarga
yang baik, keluarga kelas menengah dan terpelajar. Erwin tidak mengindahkan apa
kata keluarganya tentang calon istrinya “yang cantik tapi kampungan” karena
terbuai oleh cinta yang membuatnya menggambarkan Nina sebagai gadis sederhana,
asli, lembut hati, ibarat seorang “Upik
Abu”, puteri yang hidup di kampung sebelum ditemukannya.
Kampung itu
kehilangan legendanya tentang perempuan segar-muda yang ingin menguasai semua
lelaki. Nina pergi diboyong suaminya.
Lima belas
tahun kemudian dia kembali lagi, menempati rumah peninggalan orang tuanya. Suaminya
menjadi pria yang kurus, tua, dan menjemukan. Nina menjadi wanita matang yang tetap
cantik, langsing, dan penuh antusias. Hidup
dalam kesulitan ekonomi karena suaminya seorang pegawai yang tidak pernah
menanjak ke atas, tidak dapat memadamkan sifatnya yang menyala-nyala dan selalu
berbicara ramai. Juga tidak mengubah kesukaannya pada warna-warna cerah
pakaiannya.
Bertemu lagi
dengan pria yang pernah bercinta dengannya di masa lalu. Nina terjerat pada situasi
yang menghidupkan ingatan orang terhadap reputasi dirinya di masa lalu. Bu Guru
Ami tak akan lupa itu. Sejumlah orang yang hidup sejak kanak-kanak di kampung
ini juga menggeliat kembali ingatannya.
Salah satu pria
yang pernah menjadi mantan pacar Nina adalah suami adik perempuan Bu Guru Ami. Juga
suami beberapa perempuan lain. Para perempuan ini jadi mudah terbakar kampanye
Bu Guru Ami tentang “perempuan pengganggu suami orang itu”.
Suasana memanas
karena sifat dan sikap Nina yang tak peduli, Menuruti kata hatinya, mengikuti hasrat
masih memiliki kecantikan yang dipuja lelaki. Paling tidak lelaki-lelaki yang
usianya setengah baya seperti dirinya.
Bu Guru Ami
menantang Pak RT untuk mengadili Nina atas perselingkuhannya dengan suami adik
perempuannya.
Perempuan-perempuan
itu bersatu dalam amarah dan nafsu balas dendam terhadap perempuan separuh baya
yang menjadi fokus perhatian para suami mereka yang juga sudah tak muda.
Tergoda untuk memiliki hasrat nakal karena perempuan yang memberikan senyuman
dan lirikan memikat itu, masih cantik dan semampai.
Begitulah wujud
Nina dalam pandangan perempuan-perempuan di lingkungannya yang serentak bersatu
dalam sikap permusuhan yang semakin memuncak dari waktu ke waktu melalui
peredaran gosip yang biasalah pasti berisikan hal-hal yang dibesar-besakan.
Katanya Nina
berbicara dengan Pak Anu dan kelihatan berdekatan mesra. Katanya Nina juga
berbicara dengan Pak Bejo, dan dia ketawa mendengar apa yang dikatakan Pak Bejo
seraya mencolek tangannya. Katanya Pak RT dan istrinya bertengkar karena ulah
Nina begini begitu. Perempuan itu meminta Pak RT mengurus KTPnya.
Akhirnya, Bu
Guru Ami tak tahan lagi. Karena Pak Bejo adalah suaminya. Karena gosip santer
yang “terbukti benar” adalah tentang adik iparnya –mantan pacar Nina- telah
beberapa kali bertemu di suatu tempat dengan perempuan itu.
***
Dua tahun
kemudian. Setelah Nina meninggalkan suami dan anak-anaknya.
Nola, anak
perempuan Nina berkunjung ke rumahku. “Apa kabar ibumu?” Tanyaku. Nola
menceritakan bahwa ibunya menjadi istri simpanan seorang lelaki yang pernah
menjadi pacar masa sekolahnya. Lelaki itu sekarang memiliki jabatan yang
lumayan di sebuah instansi pemerintah.
“Aku cuma
seorang anak, Tante. Aku tidak bisa melarang Ibu...” Kata Nola. Aku melihat
wajahnya. Mata yang selalu sedih sejak masa kecil. “Ibulah yang harus membiayai
sekolah aku dan Naufal sejak Ayah menikah lagi....”
Anak yang
pintar. Membela ibunya. Nola menjelaskan bahwa ibunya tidak pernah mengganggu
“suami orang” seperti yang dituduhkan para tetangga. “Suami orang” yang sekedar
benostalgia masa lalu dengan ibunya, mendekat dan menyapa. Tapi tak lebih dari
itu. Setelah bercerai dari ayahnya, barulah ibunya menjalin hubungan dengan seorang
mantan. Menjadi istri “simpanan”. Atau orang menyebutnya sebagai istri siri.
Aku
membayangkan gerak tubuh Nina. Aku membayangkan pandang mata pria padanya. Pada
betisnya yang menopang kaki ramping berbalut celana ¾ sehingga membuatnya
seperti perempuan yang masih muda.
“Nola, kamu tidak harus seperti ibumu, menikah
terlalu muda, cepat punya anak, dan jadi perempuan rumahan yang mengharapkan
masa depan pada seorang suami, lelaki, dan bukan pada diri sendiri....” Kataku
dengan nafas sedikit terengah. “Kamu pernah menjadi juara Olimpiade Fisika
ketika masih di SMA. Kamu anak yang pintar di sekolah. Sekolah terlalu sulit
buat ibumu yang sampai kelas 3 SD baru bisa membaca. Setahu aku ibumu ingin
kamu sekolah dan bekerja....”
Aku memegang
bahu Nola. “Kamu harus selesaikan kuliahmu. Jangan menikah sebelum kamu lulus
dan punya kerja...” Sepertinya aku menekannya agak keras karena Nola seperti terkejut.
“Ya, ya, Tante...” Katanya terbata-bata.
***
Saat aku
melihat Nola, aku teringat ibunya dan kenangan pertemanan kami di masa lalu.
Nina membujuk pria untuk memberanikan diri merayuku dan memberiku pengalaman
cinta. Meyakinkan mereka bahwa aku tidak sekaku dan segalak penampilanku.
Kamu memang bersal dari keluarga haji yang dihormati di sini, tapi kamu
mau tahu dan merasakan ciuman dan cumbu lelaki kan? Kamu ingin pelan-pelan disentuh,
tangan, lengan, dan pundakmu. Kamu suka lelaki itu kalau melakukan hal kurang
ajar, memaksamu, dan membuat kamu terpojok, tak bisa menolak....
Nina tahu
rahasia dalam hatiku meskipun itu tak dikatakan. Aku tersenyum teringat hal
itu. Sia-sia. Pria menjadi malu untuk memaksa. Aku tak punya daya tarik seperti
Nina yang bisa membutakan hati dan menimbulkan nyali melanggar batasan.
Yah, kalau bisa
kami bertukar tempat. Aku menjadi Nina dengan petualangannya. Sedang Nina menjadi aku karena dia selalu
ingin menjadi perempuan yang sekolah tinggi dan memakai pakaian seperti seorang
perempuan karier. Begitu katanya.
Mungkin Nola
akan menjadi perempuan yang diidamkan ibunya.
***