Terakhir kali bertemu saat Ayu masih punya satu anak. Ayu menikah cukup muda untuk ukuran Kota Bandung sekali pun saat itu, berumur 22 tahun. Sementara aku sendiri sedang kuliah. Aku memotret pernikahannya. Aku juga memesan bunga-bunga untuk menghiasi berbagai sudut rumah dan kamar pengantinnya yang sangat sederhana. Saat itu kuhabiskan satu bulan gajiku sebagai jurnalis. Aku cuma berpikir bahwa pernikahan sesederhana apa pun semestinya istimewa. Indah berhias bunga. Bukan bunga mahal memang.
Sejak Ayu pindah rumah ke wilayah Soreang, Kabupaten Bandung, aku semakin jarang bertemu atau sekedar berkomunikasi dengan Ayu dan keluarganya. Bahkan kemudian tidak berkomunikasi lagi. Aku larut dalam pekerjaanku melanglang Nusantara dengan tugas-tugas peliputanku. Ayu menjadi ibu rumah tangga. Kudengar anaknya tiga orang. Yang paling besar tentunya sudah dewasa sekarang.
***
Masa sekolah, kami bertetangga di sebuah blok pemukiman kota. Menjadi teman bermain meskipun beda sekolah. Aku di sekolah dasar swasta, Ayu di sekolah dasar negeri. Aku seringkali menginap di rumahnya hanya untuk bisa mengobrol sampai larut malam. Membaca buku. Menulis buku harian. Kami suka sekali bermain petualangan bersama. Berjalan kaki ke dalam gang-gang dan kampung-kampung Kota Bandung yang tidak kami kenal. Itu petualangannya.
Rumah Ayu sederhana dan kecil dibandingkan jumlah penghuninya. Terdapat sembilan anak, dua lelaki dan tujuh perempuan. Ditambah ayah dan ibunya. Rumah itu terletak di bagian belakang rumah-rumah yang lebih besar. Rumah-rumah di bagian dapur rumah orang-orang kaya. Untuk masuk ke pekarangan rumah Ayu harus melewati pinggir rumah orang kaya. Sebuah jalan sempit yang hanya cukup untuk satu orang berjalan. Kalau dua orang berjalan berlainan arah di jalan ini, salah satu harus berhenti dan memepetkan diri ke tembok. Istilah orang Sunda untuk jalan seperti ini adalah ‘mipir imah’ (berjalan di pinggir tembok rumah yang menuju ke belakang rumah tersebut). Jadi, dari depan, rumah-rumah belakang itu tidak terlihat. Tertutupi rumah-rumah di depannya.
Pada masa itu hal yang biasa sebuah keluarga memiliki anak banyak. Lima anak seperti keluargaku sudah dianggap tidak terlalu banyak. Teman-teman di sekolahku rata-rata bersaudara lebih dari lima. Tujuh anak. Delapan anak. Sembilan anak. Sebelas anak. Aku rasa sepuluh anak adalah angka yang jarang kudengar. Dan rasanya selalu lebih banyak anak perempuan. Menurut perasaanku.
Orang tua Ayu adalah sosok yang menarik perhatianku. Mereka selalu mesra. Sang ayah selalu memanjakan istrinya. Sang istri selalu meminta (dan memperoleh) perhatian lebih banyak dalam keluarga. Anak-anak sepertinya diharuskan sang ayah untuk melakukan segala hal untuk menyenangkan sang ibu. “Jangan ribut, anak-anak.... ibu sedang membaca...” katanya. Atau: “Beri pelukan pada ibumu karena kau sudah menumpahkan minuman di atas karpet....” “Lakukan apa suruhan ibumu. Jangan membuat ibu marah....”
Sang ayah akan membereskan segala kekacauan yang dilakukan anak-anaknya. Membujuk sang ibu agar tidak marah karena kenakalan anak-anaknya. “Biar saya yang bersihkan....” Atau: “Anak-anak, hayo kita bereskan rumah yang berantakan, jangan membuat ibu marah....” Ayah Ayu juga membuat kopinya sendiri. Dan sang istri minum kopi dari gelas kepunyaannya. Jadi, dia membuat kopi dengan gelas yang sangat besar. Gelas keramik bertutup. Mereka meminumnya bergantian sambil bercakap-cakap. Ibu Ayu bersandar di bahu suaminya dan mereka sangat mesra sepanjang waktu. Mereka bertatapan dengan kedua hidung saling bersentuhan. Mereka saling mencium. Anak-anak tersenyum melihatnya. Terbiasa.
Aku melihat adegan itu. Adegan itu terekam dalam ingatanku selama-lamanya. Kalau aku pelukis, aku bisa menuangkan adegan itu dalam lukisan.
Sang ibu adalah pusat perhatian dalam keluarga Ayu. Dipimpin oleh sang ayah, anak-anak diharuskan untuk memperhatikan dan menjadikan ibunya sebagai pusat kasih sayang.
Semua itu sangat kontras dibandingkan dengan orang tuaku. Ayahku sama sekali tidak pernah menyapu lantai. Apalagi mengepel. Atau mencuci piring. Semua dilakukan ibuku dan anak-anak perempuan. Justru sebaliknya, ibu sering berkata: “Anak-anak, ambilkan sepatu bapak....Cepat!!” Atau: “Anak-anak jangan ribut, bapak sedang tidur siang....” Ibu membuat kopi untuk ayah setiap pagi. Kalau ayah pegal dan masuk angin, ibu memijat punggung ayah dengan balsem. Aku sering duduk di samping ibu memperhatikan garis-garis merah bekas kerokan ibu dengan koin seratusan rupiah. Tetapi ini tidak istimewa karena memang merupakan hal yang umum pada setiap keluarga. Aku pernah melihat di rumah Ayu, ayahnya sedang memijat punggung sang ibu dengan balsem sambil bercakap-cakap sesuatu. Dari pintu kamar yang terbuka, saat aku melewati, kulihat si ibu telungkup bertelanjang dada sambil memejamkan mata.
”Hai, Nita.... ” teriak ayah Ayu saat melihat aku berkelebat lewat. Kalau aku menuju kamar anak-anak, kamar Ayu dan saudara-saudaranya, mau tidak mau harus melewati kamar orang tuanya. ”Hai, Oom Gunawan....” aku melangkah balik dan menongolkan kepalaku ke kamar mereka. ”Hai, Tante....”. Sang ibu membuka matanya setengah mengantuk ketika mendapat sapaanku. ”Kamu kemana aja... Sudah lama tidak kemari.” katanya. Tapi dia tidak membutuhkan jawabanku karena terus memejamkan matanya lagi. Menikmati pijatannya.
***
Ketika aku sudah mulai dewasa, aku mulai memahami cerita-cerita yang disampaikan Ayu tentang ayah dan ibunya. Ibu Ayu sangat cantik. Dengan wajah aristokrat, mata besar (belo), rambut tebal, dan perawakan indah sempurna. Tidak heran karena dia berasal dari keluarga terpandang dari kalangan trah Yogya. Anak-anaknya pun tidak tahu dan kurang menyadari arti penting riwayat ibunya. Yang mereka tahu, saudara-saudara kandung ibu mereka itu berpendidikan tinggi, bahkan ada yang melanjutkan ke luar negeri. Memiliki kehidupan yang jauh berbeda, baik di Yogya maupun di Jakarta. Mereka kaya dan merupakan kelas sosial atas. Salah seorang kakak lelaki ibu Ayu merupakan arsitek ternama yang membangun jalan layang dan gedung-gedung ternama di Jakarta.
Melihat album foto keluarga Ayu, kutemukan foto-foto orang tua mereka di saat muda. Sang ayah, Oom Gunawan biasa aku memanggil, sangat tampan dan berperawakan jantan. Wow, siapa yang tidak akan jatuh hati padanya. Komentarku pada Ayu.
Ibu Ayu menikah tanpa restu dari keluarganya. Oom Gunawan berasal dari kalangan bawah, miskin dan tidak berpendidikan tinggi. Oom Gunawan adalah seorang yang sangat percaya diri karena keunggulan mental dan fisiknya sebagai tentara tempur di lapangan. Seorang yang dilahirkan jagoan dan pemberani di medan perang mempertahankan kemerdekaan. Berbagai penghargaan di medan tempur untuknya selalu menjadi bahan cerita menarik bagi Oom Gunawan kepadaku. Yang mau mendengarkan. Aku senang mendengarkan ceritanya yang penuh semangat. Sambil menatap wajahnya. Jagoan, tampan, penyayang, romantis. Hmmmm, aku juga mau menikah dengan pria pahlawan seperti Oom Gunawan. Tentara tempur gagah berani di masa pemberontakan separatisme Orde Lama. Terjun ke berbagai daerah termasuk Papua, saat terjadi perjuangan integrasi menjadi bagian dari negara RI.
Kehidupan yang mereka jalani sangat sederhana namun penuh dengan keceriaan. Kebahagiaan dari sepasang suami-istri yang menikah karena cinta yang mendalam dan sepenuh jiwa. Anak-anak pun lahir dari cinta. Anak-anak yang berwajah rupawan. Anak-anak yang tidak dipaksakan orang tuanya untuk berpendidikan tinggi, cukup hanya sampai SMA atau SMEA bagi anak perempuan, dan STM bagi anak laki-laki. Kemudian menikah dalam usia muda. Meskipun saudara sang ibu menawarkan anak-anak untuk tinggal di rumah mereka dan ini berarti juga berkesempatan untuk masuk perguruan tinggi. Namun keluarga yang bahagia ini lebih memilih untuk selalu bersama.
Anak-anak menikah dengan cinta seperti ayah dan ibunya. Dari sekian banyak pria yang mendekat, anak perempuan yang cantik-cantik ini memilih seorang pria tampan yang dicintai untuk menikah. Dan tentunya harus sudah memiliki pekerjaan tetap. Aku menyaksikan momentum pernikahan mereka satu per satu, mulai dari anak perempuan kedua tertua. Kemudian anak perempuan sulung, anak lelaki sulung (anak ketiga), anak perempuan lagi, dan kemudian temanku Ayu yang merupakan anak kelima.
Satu per satu setiap anak memberi cucu sekaligus gelar eyang kepada Oom dan Tante Gunawan. Usia pun semakin menua, namun kemesraan dan kemanjaan ibu Ayu tetap terjaga. Tak lekang oleh waktu dan usia.
Eyang lelaki tetap membuat kopi dalam gelas keramik besar bertutup. Eyang putri minum kopi dari gelas kepunyaan eyang kakung (lelaki). Kalau eyang perempuan bilang ”Duh, kurang manis....” Eyang lelaki segera menambahkan sesendok gula dan mencicipinya agar tahu apakah sekarang manisnya sudah pas.
***
Mereka bukanlah eyang yang sudah tua dan renta ketika aku masih berteman dengan Ayu di saat-saat menjelang pernikahannya dengan Rahmat. Aku rasa perkembangan jaman menyebabkan kemerosotan ekonomi bagi masyarakat karena segala sesuatu menjadi mengandalkan uang. Segala sesuatu dibeli. Kue-kue tidak lagi dibuat di rumah tetapi dibeli dari toko. Baju tidak lagi dijahit oleh ibu tapi dibeli dari pusat perbelanjaan (mall).
Pernikahan Ayu merupakan cermin perubahan jaman dengan keempat kakaknya. Pernikahan Ayu menggunakan jasa tukang masak (catering). Tidak lagi memasak sendiri secara gotong royong bersama kerabat, tetangga dekat, dan para sahabat. Sewaktu aku masih SMP, aku menjadi anggota tim pemotong kentang ketika kakak perempuan Ayu menikah. Berkilo-kilo kentang yang harus dikupas dan dipotong dadu untuk bahan membuat sambal goreng kentang yang khas masakan hajatan.
Aku terkejut ketika melihat Ayu menangis terisak-isak di kamarnya sambil tertunduk, duduk di lantai di atas karpet. Aku berbisik di telinganya karena banyak orang berseliweran di rumah dalam suasana persiapan pernikahan Ayu: ”Kenapa kamu menangis, Ayu?” Kami di kamar berduaan. Ayu memegang baju kebayanya yang akan dipakai untuk akad pernikahan besok. Baju sewaan dari salon. ”Aku benci ibu...” katanya dengan suara tersendat. ”Ibu suka menghina anak-anaknya sendiri....” Ayu menangis tersedu-sedan. Menutupi mulutnya dengan telapak tangan supaya tidak kedengaran orang-orang.
”Memangnya ibu bilang apa?” aku berbisik lagi di telinga Ayu. Ayu harus menghabiskan dulu sedannya sebelum menjawab: ”Dia bilang aku cuma bisa menikahi pria dari keluarga miskin. Aku menikah dengan orang seperti Rahmat, tidak bisa lebih....” Aku memandang wajah temanku dengan mulut ternganga. ”Emangnya Rahmat kenapa? Dia kan orang yang baik dan sudah punya pekerjaan bagus....” tanyaku. ”Kata ibu, Rahmat cuma anak tukang dagang sayuran di pasar Kosambi....” jawab Ayu tersedu.
”Ibu itu kalau menghina benar-benar menyakitkan. Bibirnya mencibir. Matanya melirik ke samping. Ucapannya pendek-pendek tapi menusuk. Seperti diiris sembilu rasanya....” lanjut Ayu. ”Bukan cuma aku yang mendapat hinaan. Mbak Tuti juga. Mbak Tata juga. Pokoknya semua menantu dihina ibu karena bukan orang kaya. Bukan orang dari kalangan atas....” Aku melongo. Seingatku, Mbak Tuti menikah dengan guru. Mbak Tata menikah dengan pegawai perusahaan. Mas Toro, kakak lelaki Ayu yang bekerja di pabrik, menikah dengan seorang guru juga. Memang seorang guru pada masa itu bukan sarjana. ”Ibu memang terlalu.... Katanya, ibu sih bisa mendapatkan jodoh dari kalangan atas, berpendidikan tinggi, dan orang kaya.... Katanya, kami cuma bisa mendapat jodoh yang begitu....” Aku semakin melongo.
Dari melongo, kemudian aku tertawa terbahak-bahak sampai bergulingan di atas karpet. Huahahaha. Wakakakkakak. Hihihihi. Airmata dan ingusku sampai meleler. Ayu mengangkat bahu dan ikut tertawa masam. ”Lucu, ya....” katanya. Sambil ketawa geli, aku menjawab: ”Emang. Lucu juga ibumu itu yah... Wong dia sendiri menikahi orang miskin dan kelas bawah....” Aku tertawa lagi bergulingan di lantai. ”Cintaaaa, makan tu cintaaaa..... Putri keraton bunuh diri kelaaaas....” kataku. Ayu menendangku sambil bersungut-sungut. Tapi paling tidak dia tidak menangis lagi. Ayahnya adalah tentara rendahan yang punya berbagai penghargaan perang. Setelah pensiun dini di masa ’damai’, ayahnya bekerja menjadi satpam di mall yang dibuka di jalan raya dekat pemukiman kami yang memang merupakan kampung di tengah kota. Konon karena pemilik mall tersebut adalah mantan petinggi militer yang menjadi pejabat Orde Baru dan ayah Ayu menggunakan koneksi di organisasi veteran perang untuk bisa menjadi ’boss’ satpam mall tersebut.
***
Aku mendapat telepon bahwa ayah Ayu sakit keras. Itulah terakhir aku bertemu dengan Oom Gunawan. Sebenarnya usianya belumlah terlalu renta, baru 60 tahunan. Tetapi penyakit yang menggerogotinya membuatnya nampak tua, kurus, tinggal kulit berbalut tulang, dengan rambut menipis. Berbaring setengah sadar di tempat tidurnya. Ibu Ayu sangat senang ketika aku datang karena aku ditanyakan Oom Gunawan, katanya. Meskipun dalam keadaan setengah sadar, Oom Gunawan masih mengingatku. Aku pun terharu ketika mencoba menyapa Oom Gunawan untuk memberitahukan kehadiranku.
”Mas Gun, lihat ini siapa yang datang....” kata istrinya. “Lihat…. Masih kenal wajahnya?” Sang suami mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya dengan mata buram melihat ke arahku. Matanya berkedip-kedip dan mulutnya bergumam, sepertinya dia berhasil mengenaliku. Aku tersenyum dan memegang kedua tangannya erat-erat. ”Oom Gun, ini aku.... Nita....”
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kesedihan Tante Gunawan, kehilangan suami yang sangat mencintai dan dicintainya. Bagaimana dia menghadapi kehidupannya kemudian. Yang tersisa adalah buah cinta mereka berdua: anak-anak dan cucu-cucu dari kelas bawah dan tidak mampu berpendidikan tinggi. Lebih sederhana dan miskin dari kehidupan orang tuanya. Semakin merosot dalam perkembangan jaman yang semakin materialistis.
Aku pernah mendapat cerita dari Ayu, bahwa ibunya bisa memandang ke luar jendela berjam-jam. Memandang tanpa bergerak. Ia meninggal dalam usia yang cukup tua, 70 tahun lebih. Sebuah penantian yang cukup panjang untuk berkumpul kembali dengan kekasih pujaannya. Di sorga. *** (Lebaran, Oktober 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar