***
Aku mencoba mengerti mengapa Al Pacino menjadi aktor besar. Ia memerankan film yang bagus. Tapi film yang bagus tidak akan ditawarkan kepada aktor biasa. Pada film The Scent of A Woman, Al Pacino membuatku menangis. Ia memerankan orang brengsek dalam sebuah keluarga dan itu membuatku teringat pada seorang kakak lelaki, anak tengah dalam keluargaku. Orang brengsek dalam keluarga. Mengganggu suasana. Membuat orang lain berhenti berbicara bila dia hadir.
Hanya saja kakakku tidak menyadari bahwa dia brengsek karena menurutnya semua orang lain yang bersalah. Atasannya goblok. Koleganya tidak becus kerja. Keluarganya tidak punya pikiran besar dan tidak mungkin memahaminya. Indonesia kacau. Politik yang brengsek. Ekonomi yang ambruk. Nilai keluarga yang runtuh. Seorang teman di kantor yang musuh dalam selimut. Persahabatan tak lagi berarti pada jaman yang mengejar kehidupan duniawai. Istri yang selalu mengeluhkan persoalan materi. Anak-anak yang selalu kekurangan uang dan tidak banyak membaca. Orang-orang tidak bisa diajak bicara hal-hal mendalam. Bahkan anak dan istri pun.
Tapi sayangnya kebanyakan orang menjalani sebagai manusia biasa saja. Bekerja dan menerima perintah dari majikan yang bodoh. Mendapat perlakuan diskriminatif saat di Rumah Sakit atau pelayanan publik lainnya karena orang miskin atau orang biasa. Bekerja lembur hanya untuk dapat menjalani kehidupan paling sederhana.
***
Kebanyakan orang menerimanya dirinya. Harga diri tidak masalah karena hanya satu majikan dan seratus pekerja. Atau hanya ada dua supervisor yang bahkan lebih kejam dari majikan –sang pemilik- karena suka mengucapkan hinaan dan menekan anak buah yang harus bekerja lebih dari 10 jam tanpa upah lembur.
Sementara kakakku selalu menyuarakan protesnya atas ketimpangan itu. Menjadi orang yang selalu bersungut-sungut dan membuat orang lain ingin segera menjauh darinya bila bertemu. Membual bahwa atasannya di kantor takut padanya, meskipun tak pernah ada pekerjaan diberikan padanya, apalagi kenaikan gaji dan jabatan. Untungnya dia seorang PNS sehingga tidak dipecat melainkan ”disingkirkan” dengan cara mutasi ke pekerjaan dan jabatan yang paling tak berharga atau tak penting.
Terakhir, jabatannya adalah sebagai staf admin yang bertugas mengelola arsip dan dokumen kantor. Yang dijalaninya dengan bersungut-sungut.
***
Aa adalah panggilan untuk anak lelaki sulung di dalam keluargaku. Akang atau atau Kang –diikuti dengan nama- adalah panggilan untuk kakak lelaki lainnya. Teteh atau Teh –diikuti dengan nama- adalah sebutan bagi kakak perempuan. Sedangkan para kakak menyebut hanya nama kepada adiknya. Begitu yang menjadi tradisi di dalam keluargaku. Orang tuaku memberikan kewenangan bagi Aa untuk memarahi dan menegur adik-adiknya yang melakukan kesalahan. Sebaliknya, Aa mendapat nasihat-nasihat khusus dari orang tuaku untuk menjadi teladan dan model bagi adik-adiknya. Aa menjadi seorang yang serius, pendiam, berbicara seperlunya kepada adik-adiknya, tetapi tegas. Kelemahannya adalah dia tidak bisa merumuskan kalimat tanya, melainkan sudah menjadi kesimpulan atau keputusan sepihak.
Adiknya –anak tengah dalam keluarga- itu sering menilai tindakan dan keputusan Aa. Adik-adik lainnya tidak berani konfrontasi atau menentang langsung. Paling-paling mengomel di belakang karena mendapatkan teguran yang dianggap tidak sepadan tanpa kesempatan membela diri. Siapa orang yang mau mengaku salah begitu saja? Tapi Aa punya kewenangan untuk menentukan salah atau benar dan memberikan teguran kepada adik-adiknya bila menurutnya diperlukan.
Aa sama sekali tidak mau menerima saran dari adiknya yang mencoba memberitahu cara menilai suatu persoalan dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Sorot matanya menjadi tajam dan ekspresi wajahnya mengeras saat menatap wajah adik lelakinya yang mengguruinya itu. Mereka beradu mulut. Akhirnya Aa yang meninggalkan ruangan karena sang adik punya banyak argumen yang cerdas dan fakta-fakta sehingga tak mungkin terbantahkan. Mereka kemudian menjadi berjarak dan Aa selalu menghindari pembicaraan langsung dengan adik lelakinya yang satu itu.
Aa menyatakan dengan sikapnya bahwa dirinya punya otoritas dan sekaligus kewajiban yang harus dijalankannya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak membutuhkan seseorang yang memberi arahan bagi penilaian dan keputusannya. Orang tua dan adik-adik yang lain menerima otoritas itu seperti seharusnya. Adik lelaki yang suka protes dan membela kebenaran itu justru menimbulkan perasaan terganggu bahkan bagi saudara atau anaknya sendiri yang sedang dibelanya.
***
Aa atau Kang Rahmat adalah anak sulung lelaki yang mencoba menjalankan perannya dengan baik. Orang tua dan adik-adik membutuhkan figur serupa itu, sehingga Kang Tony –si anak tengah- dianggap menyalahi adat. Tidak sepantasnya bersikap kepada seorang kakak lelaki. Siapa yang membutuhkan kebenaran dari Kang Tony kalau yang dibutuhkan adalah Kang Rahmat yang hadir untuk menolong kesusahan saudaranya? Seorang adik perempuan butuh keputusan kakak lelakinya, bukan analisis masalah dan latihan argumentasi yang cerdas untuk bisa memutuskan sendiri.
Bahkan anak-anak Kang Tony sendiri seringkali membutuhkan uwaknya itu untuk membantu masalah utama yang mereka hadapi –membayar uang sekolah dan membeli buku. Bukan kritik tentang rejim yang melanggar hak warga untuk memperoleh keadilan pendidikan, atau kedatangan ayahnya memprotes kebijakan sekolah yang pada akhirnya menyebabkan anaknya tertekan baik oleh guru-guru maupun teman-temannya.
Barangkali Kang Tony memperoleh ”kutukan” berupa kecerdasannya yang membuatnya menjadi orang yang sering mengganggu. Aku masih ingat, Kang Tony selalu menjadi pemimpin di sekolahnya dan memperoleh nilai akademik yang baik, sehingga menjadi kebanggaan orang tua.
***
Setelah Kang Tony pensiun dan menjalani hari tuanya, anak-anaknya sudah bekerja dan mulai menjauh darinya. Meskipun mereka tetap hormat dan sayang pada ayahnya, tidak pernah lupa berkunjung dan mengirimi uang, namun dapat dikatakan anak-anak dan ayahnya tidak memiliki hubungan yang manis.
Terjadilah hal yang mengejutkan, istrinya meminta cerai dan memilih tinggal dengan anak perempuannya. Bagaimanapun kakakku mencoba berkata manis saat menolak untuk bercerai, namun sang istri tidak bergeming.
Suatu penderitaan yang luar biasa baginya menjadi istri yang mencampakkan suaminya di hari tua karena sikap permusuhan dari segenap keluargaku pun serta merta ditujukan kepadanya. ”Istri durhaka,” begitu menurut uwak perempuanku, kakak ibuku. Sejak saat itu kami tidak pernah bertemu lagi dengannya meskipun di hari lebaran. Hanya anak-anaknya yang tetap datang kepada kakek-nenek, uwak, emang dan bibinya.
Kemudian kakakku sakit dan meninggal. Menurutku kematian yang merana karena hidup di jaman yang salah. Aku tidak tahu apakah surga atau neraka akan menerima kakakku yang dalam hidupnya selalu memikirkan kebajikan, keadilan, dan kehormatan bagi umat manusia itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar