***
Arini memegang erat tangan Arief saat mereka berjalan berjingkat ke luar kamar ibunya. Sang bunda sesungguhnya tak tidur, memejamkan mata, berbaring tak bergerak, dan mendengar suara derit pintu terbuka. Suara bisikan anak perempuannya yang berumur 10 tahun kepada adik lelakinya yang berusia 4 tahun.
Kemudian pintu kamar sebelah terbuka dan terdengar suara perlahan seseorang. Sang bunda pun sesungguhnya tahu bahwa anak-anak rindu tidur bersama ayahnya. Arini tidur di sisi kiri ayahnya, sedangkan Arief di sisi kanan. Keduanya memeluk ayahnya seperti memeluk bantal guling.
Ayah yang tidak setiap hari ada di rumah.
***
Setiap malam, hanya lampu luar dan dapur yang menyala. Sedangkan lampu lainnya dimatikan. Lampu-lampu itu memberikan penerangan yang terbatas ke ruangan-ruangan di dalam rumah itu.
Arief takut dengan gelap.
Arini menjaganya agar merasa terlindungi saat mereka melangkah dari kamar ibunya ke kamar ayahnya. Ayahnya –entah sudah tidur atau belum- di dalam kamar tanpa nyala lampu,dapat melihat sosok-sosok yang datang itu dan bangkit untuk memberikan pelukannya.
Ayah yang selalu penuh dengan peluk cium.
***
Arini sebenarnya mempunyai kamar sendiri. Lemari buku cerita, meja belajar, dan rak boneka di kamarnya memperlihatkan betapa ayahnya pemurah dan mampu membelikannya banyak benda.
Ibu di rumah saja mengurus anak-anak. Ibu memasak, membereskan rumah, mengantarkan anak-anak ke sekolah. Arini berbisik di telingaku, “Ayahku, bukan suami ibuku lagi....” Kemudian lanjutnya, "Ayahku punya istri yang lain...."
Saat itu aku menginap di rumah Arini bersama Lia. Kami bertiga teman sekelas dan belajar bersama sambil menginap. Ibu Arini tidak datang ke kamar untuk berbicara dengan teman-teman anaknya. Dia menyiapkan makanan di atas meja makan dan kemudian tidak menampakkan dirinya.
Sedang dengan ayahnya, aku pernah bertemu sekali.
Kami berjalan-jalan dan makan di luar. Arief memegang tangan ayahnya sambil berceloteh dengan gembira. Arini dan aku berjalan di belakang mereka. Ayah Arini banyak bicara, mengajakku bercakap-cakap tentang banyak hal ketika kami makan. Saat itu, Ibu Arini di rumah sendirian.
***
Surat-surat antara aku dan Arini yang terpisah kota di masa SMP dan SMA, masih tersimpan dalam “peti”. Peti khas dari Pulau Lombok yang berwarna hitam dan berhiaskan kulit kerang yang ditanamkan di permukaan kayunya membentuk bunga-bunga dan dekorasi lain.
Setelah aku masuk perguruan tinggi, aku pun kehilangan kontak dengan Arini. Lima belas tahun kemudian, setelah seseorang menemukan apa yang disebut “handphone”, benda itu berbunyi dan seseorang di seberang sana mengajakku bicara.
Arini menelpon rumah ibuku untuk mendapatkan nomor handphoneku. Ibuku yang sudah sepuh masih tinggal di rumah masa kecilku. Begitulah ceritanya.
Sangat lama tak bertemu dengannya, aku merasa sedang berbicara dengan orang asing. Namun aku pun menyetujui untuk berkunjung ke rumahnya di Denpasar, sepulang dari perjalanan dari Kupang.
***
Aku berdiri di depan pintu, setelah sebelumnya seorang pembantu membukakan gerbang pagar halaman. Ketika pintu terbuka, seorang perempuan yang sangat cantik dan tak kukenal, berdiri di hadapanku dengan anak kecil perempuan yang juga luar biasa cantiknya mengintip dari balik roknya.
Perempuan itu melangkahkan kakinya dan merangkul pundakku. “Wajahmu terkelupas terbakar matahari....” katanya.
Inikah Arini? Pikirku. Cantik sekali.
Seorang pria yang tampan berdiri di tengah rumah. Aku menyalaminya.
“Suamiku, Rudi....” kata Arini. Kemudian anak-anak, si kecil yang cantik itu bernama Maya, sedangkan kakak lelakinya bernama Dewa. Mereka mencium tanganku dan keduanya berdiri di samping ayahnya karena ibunya sibuk membawaku ke kamar tempat menginapku.
“Letakkan tasmu di sini....” katanya. “Aku siapkan air hangat untuk mandi agar kamu merasa segar.”
Saat itu sore hari. Aku lelah dan mengantuk.
***
Aku berendam di dalam bath tub sambil bersandar. Arini duduk di sebuah meja sudut dari semen yang di atasnya terletak pot-pot tanaman mungil berdaun hijau cerah. Dia mengajakku berbicara tentang masa sekolah kami dulu.
Aku sama sekali tidak mengenalinya lagi. Arini menjelma menjadi perempuan yang sangat cantik, dengan suami yang tampan, anak-anak rupawan, dan memiliki rumah yang indah bergaya Bali dengan kamar mandi yang sama besarnya dengan kamar tidurku di Bandung. Suaminya seorang pengusaha restauran, katanya.
Aku menenggelamkan kepalaku ke dalam air bak. Seraya berfikir, wanita asing yang sangat cantik itu sedang melihatku mandi sambil berbicara denganku. Dulu kami suka mandi bersama, sampai kelas 6 SD.
Saat itulah aku teringat pada Arief.
Air menciprat karena aku keluar dari air dengan nafas tersengal. “Apa kabar adikmu?” tanyaku. Arini mengatakan bahwa adiknya masih di Bandung dan dia ingin aku bertemu dengannya. “Arief sering mengatakan bahwa dia suka kakak perempuan sepertimu. Tak banyak bicara....” katanya.
Aku memandang wajah Arini. Bagaimana mungkin, pikirku, Arief masih kecil ketika aku dan Arini lulus SD dan mereka kemudian pindah ke kota lain.
***
Aku tertidur di pesawat di sepanjang penerbangan Denpasar-Surabaya-Bandung. Oh, aku bermimpi bertemu dengan Arini, sahabatku di masa kecil. Pikirku dalam keadaan setengah sadar, perasaan mabuk orang yang baru bangun tidur dalam kelelahan yang luar biasa.
Ketika aku mengambil tas dari dalam kabin, aku menemukan sebuah bungkusan. “Titip bungkusan ini untuk Arief,” kata Arini.
Aku termangu.
Ternyata aku tidak bermimpi. Aku telah bertemu dengan sahabatku Arini. Aku dalam keadaan telanjang ketika melangkahkan kaki ke dalam bak air panas, dan dia sedang berbicara padaku. Itu bukan mimpi.
Aku naikkan ranselku ke punggung. Kemudian mengepit tas tripodku di ketiak kiri. Memegang bingkisan berwarna coklat itu dengan tangan kanan.
Melangkahkan kaki keluar dari ruang bagasi Bandara Juanda. Mencium bau udara Kota Bandung lagi.
***
(Bersambung)
Idul Fitri, Hari ketiga, Senin, 13 September 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar