***
Selama lebih dari 20 tahun kami mengenalnya sebagai orang baik. Sekarang kami tidak tahu harus menyebutnya sebagai apa.
Saat lulus kuliah dan kemudian diterima sebagai pegawai negeri sipil bergaji rendah, kami melihatnya sebagai orang yang biasa. Bekerja dari pagi sampai siang, selebihnya menjadi suami yang baik di rumah. Turut membantu pekerjaan istri. Menjadi saudara yang suka membantu dan teman bicara yang menyenangkan.
Terkadang mencari-cari penghasilan tambahan dengan ikut bisnis teman-teman kuliahnya. Kesabaran yang dijalaninya dengan dasar keyakinan bahwa ketekunan suatu saat akan membuahkan hasil.
Aku pikir orang baik pada dasarnya adalah orang baik sehingga tak akan ada setan sekali pun yang bisa membuatnya berubah menjadi jahat. Sebaliknya orang jahat mungkin suatu saat akan memperoleh kebaikannya.
Bahkan perubahan dirinya pun sangat sulit kami sadari.
***
Kesuksesan materi adalah baik tetapi hanya bila materi itu diperoleh dengan cara yang baik. Kami tidak silau dengan harta berlimpah yang dipamerkannya. Uang yang dihambur-hamburkannya tak berarti apa-apa, tak akan dapat membeli penghormatan kami kepadanya.
Kami juga tidak takut dengan pistol di pinggangnya yang seolah-olah hanya tindakan biasa saja diletakkannya di atas lemari pendek atau seolah hanya obrolan biasa saja ketika diceritakannya siapa petinggi polisi yang membantunya mendapat ijin memiliki senjata api itu. Ini tak akan memaksa kami untuk menjadi takut padanya.
Sangat lama kami tidak tahu bahwa dia seorang pria yang bisa begitu bangga memiliki senjata api. Senjata api untuk mengancam siapa? Seorang pegawai negeri sipil memiliki senjata apa bukanlah hal yang biasa. Sama tidak wajarnya dengan kemewahan hidup yang dipamerkannya. Rumah bak istana dan garasi besar yang berisi delapan mobil bagi kami tak lebih sebagai pameran kejahatan belaka.
Kami tidak tahu bagaimana caranya memperoleh uang dan semua harta kekayaannya yang mencolok mata itu.
***
Anehnya, keluarganya tidak bersikap sama seperti kami. Keluarganya nampak senang dan menikmati kemewahan yang dihambur-hamburkan kepada mereka.
Orang tua seperti apa yang tidak bertanya kepada anaknya tentang perubahan drastis yang terjadi seperti itu? Dari tak punya apa-apa, berangkat ke kantor naik angkutan kota (angkot), tiba-tiba memiliki rumah besar dan mobil BMW. Tak lama kemudian membangun rumah lainnya yang begitu mewah, dan mobil-mobil baru yang dipamerkannya kepada keluarganya.
Keluarga seperti apa yang tidak memperdulikan bahwa tak mungkin seorang staf biasa dapat memiliki kekayaan seperti itu? Tapi keluarga itu bahkan memusuhi kami dan menjauh. Sang ayah yang pensiunan birokrat tentunya sangat tahu bahwa anaknya telah melakukan hal-hal yang tak wajar.
Kami tak mengerti bahwa sebuah keluarga lebih memilih berpura-pura tak tahu dan hidup dalam kepalsuan semacam itu.
***
Setelah lebih dari 20 tahun menjadi bagian dari keluarga kami, menjadi menantu ibuku, akhirnya kakak iparku itu pun tak dapat bertahan lagi. Sosok seperti dia menjadi tak nyaman di dalam keluargaku yang bersahaja.
Gerak-geriknya menjadi terlalu dibuat-buat untuk bisa menjadi bagian dari keluargaku yang tak pernah mengijinkan hal-hal yang melanggar. Hadiah-hadiah yang dibawanya tak pernah mendapat sambutan yang baik melainkan digeletakkan di atas lemari atau meja.
Tawaran-tawaran murah hati untuk liburan dan uang tak membuat keluargaku bimbang. Kami terganggu dengan pemberian-pemberiannya.
Perlahan-lahan, mulailah kehadirannya berkurang dalam acara-acara keluargaku. Menurut kakak perempuanku, sekarang suaminya sering mengadakan pesta dan acara-acara keluarga di rumah baru mereka yang mewah. Di sanalah dia merasa dapat memuaskan keinginannya untuk mempertontonkan diri.
***
Kami tahu bahwa kami harus siap bila suatu saat mendapat berita buruk tentang ipar kami itu. Entah apa pun kasusnya. Namun kekayaan dan kemewahan hidupnya bila berakhir pada suatu yang buruk akan menjadi hal yang sangat lumrah. Kami tak mendoakannya celaka, kami hanya bersiap saja demi anak-anak saudara perempuanku.
Tahun demi tahun telah berlalu. Tidak terjadi apa-apa. Hampir sepuluh tahun telah berlalu sejak hubungan keluargaku terputus dengannya dan dia tak lagi pernah menampakkan hidungnya di tengah acara keluargaku. Lebaran sekali pun.
Keluargaku menganggapnya sudah keluar dari daftar anggota keluarga kami. Bahkan sesungguhnya kami tak tahu apa kejahatannya. Kami tak tahu apa yang dilakukannya. Yang kami tahu adalah perilakunya menjadi berubah, uang banyak yang dimiliki dan dihambur-hamburkannya kami tolak, kemudian kami mulai semakin berjarak dengannya.
Ketika dia mulai melontarkan ucapan-ucapan tentang kebodohan orang baik di dalam mesin birokrasi yang jahat, kami semua memandang wajahnya. Kami adalah keluarga birokrat dan hidup dalam kesederhanaan. Ayah kami adalah seorang birokrat. Beberapa anak dalam keluarga adalah birokrat. Paman, bibi dan sepupu-sepupu juga birokrat. Kami belum tahu siapa yang telah menjadi birokrat jahat itu di antara keluarga kami.
Akhirnya kata-katanya terhenti dengan sendirinya. Dengan lagak percaya diri yang dibuat-buat akhirnya kamilah yang berhasil membuatnya gelisah karena tidak memenangkan upaya penaklukannya.
***
Suatu ketika telepon genggamku berbunyi. Kakak iparku mengatakan bahwa dia ingin bertemu dan berbicara denganku mengenai masalah pernikahannya. Aku mengatakan padanya, “Aku tidak punya urusan apa pun denganmu lagi.... Bicarakan hal semacam itu dengan kakak sulung....”
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi berkomunikasi telepon dengannya. Juga hampir tidak pernah bertemu dengannya, kecuali pernah tak sengaja bertemu dengannya di jalan. Bila mengantarkan istri dan anak-anaknya ke rumah ibu, selalu didropnya sampai di luar rumah saja, kemudian pergi lagi.
Kakak perempuanku seorang ibu rumah tangga yang menjalani pernikahannya sebagai sebuah takdir. Dalam hatinya tentunya terasa sakit menjalani pernikahan dengan seorang pria yang tak dapat menjadi bagian dari keluarganya.
Anak-anaknya pun bahkan memahami situasi yang terjadi meskipun baru kelas 5 SD dan SMP. Anak-anak itu lebih nyaman berada di tengah keluarga ibunya dan seringkali bersitegang dengan ayahnya bila diharuskan hadir dalam acara-acara keluarga pihak ayahnya.
Anak perempuan sulung yang masih SMP itu menyebut acara di dalam keluarga ayahnya sebagai “pesta topeng” yang penuh dengan kata-kata manis dan pameran kekayaan.
Sedangkan yang lebih kecil –anak lelaki kesayangan ayahnya- secara berkelakar menyebut ayahnya itu sebagai “Mr. OKB”. Istilah buat orang kaya baru yang bertabiat suka memamerkan kemewahan. Sang ayah pura-pura tak mendengar kata-kata anaknya yang dilontarkan di tengah keluarga besarnya yang juga berpura-pura tak mendengarnya.
***
Tahun demi tahun telah berlalu. Kami tidak mendengar berita penangkapan. Tidak terjadi apa-apa.
Barangkali terdapat satu kebenaran yang disampaikan kakak iparku itu. Bahwa di tengah sistem yang begitu jahat dan korup, justru orang baiklah yang celaka.
***
Idul Fitri, Hari ketiga, Senin, 13 September 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar