Tahun 1940. Seorang pemuda meninggalkan kampung halamannya di sebuah lembah yang indah di alam perdesaan Jawa Barat. Tujuannya untuk sekolah di kota. Sebuah perjalanan yang sangat jauh menurut anggapan orang kampung masa itu. Penuh dengan derai airmata dari kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Menjadi bahan cerita masyarakat kampung itu yang tak pernah bosan-bosannya dibicarakan. Tentang pemuda yang teguh pada kemauannya dan dengan berani meninggalkan kampungnya untuk berjuang di tempat yang jauh.
Tujuh tahun kemudian, terjadi lagi dua orang pemuda dari kampung itu melakukan perjalanan ke kota. Kedua pemuda itu berbekal secarik kertas bertuliskan alamat saudaranya yang ada di kota, yaitu pemuda pertama yang berangkat ke kota untuk sekolah. Salah satu dari dua pemuda yang berangkat menyusul itu adalah sepupu, dan seorang lagi seorang anak kerabat dari pemuda yang pertama berangkat.
Setelah lulus sekolah menengah, pemuda yang pertama berangkat itu kemudian bekerja menjadi guru. Perjuangannya bersekolah di kota bukanlah mudah, melainkan penuh peluh dan kepahitan. Bekerja apa saja untuk membiayai hidupnya karena utusan dari kampung yang membawa uang dari orang tuanya hanya setahun sekali atau dua kali. Menumpang hidup pada orang lain dan membayar dengan tenaga sambil tetap sekolah, tentu saja suatu keadaan yang sulit. Pernah harus putus sekolah dahulu, bekerja dan kemudian bertemu dengan seorang baik yang bersedia mempekerjakannya sambil melanjutkan lagi sekolah.
***
Berkat ketekunan dan kejujurannya, banyak orang yang menyukainya sehingga membantunya untuk memperoleh pekerjaan itu. Selain itu, seorang guru bersimpati padanya dan berharap pemuda itu menjadi suami dari anak perempuan sulungnya. Guru tua inilah yang membantunya bekerja pada seorang kenalannya sambil menyelesaikan sekolah.
Maka, setelah memperoleh pekerjaan sebagai guru, menikahlah dia dengan anak guru, perempuan yang berasal dari kota itu.
Kedua pemuda saudaranya yang datang itu menumpang tinggal di rumahnya yang kecil bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Sampai keduanya kemudian lulus dari sekolah menengah. Guru tua –mertua sang guru muda- memberikan sebuah alamat di Kota Bandung kepada pemuda yang baru lulus itu. “Kakak lelakiku seorang pegawai negeri. Mungkin bisa membantumu mencari pekerjaan....” Demikian guru tua itu membantu pemuda-pemuda yang bermimpi muluk melihat Kota Bandung itu. Sebuah tempat yang jauh dan tak pernah terbayangkan wujudnya oleh orang-orang kampung di lembah itu terutama generasi terdahulu.
Kedua pemuda bersaudara itu kemudian menjadi pelopor perpindahan keluarga dan kerabatnya ke Kota Bandung. Perjalanan demi perjalanan pemuda dari kampung yang ada di lembah yang indah itu berjalan selama puluhan tahun. Sebuah proses yang disebut urbanisasi.
***
Tahun 2011. Acara kumpul keluarga merupakan saat yang hangat dan menyenangkan. Hidangan-hidangan di atas meja. Kamera dijital yang mudah saja digunakan setiap saat untuk mengabadikan momen bahagia keluarga. Para perempuan dewasa berbincang tentang pekerjaan dan perkembangan politik. Para pria berbincang tentang memancing dan main golf. Anak-anak semua usia –dari yang kecil sampai remaja- asyik masyuk dengan facebook dan twitter. Tertawa-tawa sendiri. Masing-masing memiliki laptop, net book, atau tablet, dan ayik berbicara dengan alat itu ketimbang dengan saudara-saudaranya.
Seorang ipar perempuan –insinyur dari ITB- yang bekerja di perusahaan asing di Jakarta, mulai iseng mengganggu keponakan-keponakannya. Dikeluarkannya segepok uang yang masih baru dari dalam tasnya. “Teka-teki dan lima puluh ribu rupiah untuk setiap jawaban yang benar....” katanya sambil mengibaskan kertas-kertas berwarna biru di tangannya.
Serentak seluruh perhatian itu berpaling kepadanya. Anak-anak menutup laptop dan netbooknya, dan mengalungkan handphonenya. Barulah mereka berkomunikasi dengan sesama manusia, setelah berjam-jam asyik berbincang dengan layar monitor komputer.
“Pertanyaan pertama, berapa umur aki almarhum?” Jawaban-jawaban yang salah dilontarkan.
“Pertanyaan kedua, dimana aki dilahirkan?” Seruan kekecewaan karena pertanyaan itu tak mungkin terjawab pun terdengar. Nama kampung itu terlalu sulit untuk diakrabi telingan anak-anak kota itu.
“Pertanyaan ketiga, Kampung Patakaharja itu terletak dimana?”
Anak-anak kecewa karena pertanyaan-pertanyaan terlalu sulit untuk dijawab. Semua meneriakkan “huuuuuu” kepada ipar yang dengan senangnya mengipas-kipas uang itu dan kemudian memasukkannya lagi ke dalam tas.
“Kalian payah, tidak tahu sejarah kakek buyut kalian sendiri....” katanya cuek.
***
Tahun 2005 adalah lebaran terakhir kami masih mudik ke kampung di lembah yang hijau permai itu. Tidak sejauh seperti cerita masa lalu. Kami bisa mencapai kampung dengan mobil pribadi di masa sekarang. Satu-satunya keluarga yang masih ada di kampung adalah kakak perempuan sulung bapak. Aki dari anak-anak yang tidak tahu nama kampung leluhurnya itu.
Karena uwak perempuan itu sudah terlalu tua, akhirnya diboyong juga ke Kota Bandung. Habislah kerabat dekat di sana. Semua sudah hijrah ke Kota Bandung. Generasi mudanya pun berpencar, ke Jakarta, Bogor, Bekasi, Surabaya, Bali, Kalimantan, luar negeri.
Maka cerita tentang pemuda yang pertama kali meninggalkan kampung halaman di lembah itu pada tahun 1940 hanya diketahui oleh orang-orang tua yang sudah sepuh. Diceritakan kepada anak-anaknya berulang kali. Namun oleh anak-anaknya tak diceritakan pada generasi yang lebih muda. Kemudian hilang.
***
RD. In memoriam my Father.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar