Pintu diketuk.
Seorang pria muda mengucapkan salam.
"Saya Ivan. Ivan mau mendemokan suatu masakan. Ibu nanti menilai apakah
masakan Ivan enak. Ivan mau kerja di rumah makan... (menyebutkan nama restauran
terkenal)"
Saya bicara (tak ramah). "Kamu demo
masak untuk apa?"
"Ivan demo masak. Nanti ibu menilai,
masakannya enak tidak?"
"Untuk apa kamu demo masak?"
"Ivan nanti tunjukkan bagaimana cara
masak ayam crispy atau ayam bakar,
ibu suka ayam apa?"
"Kamu demo masak buat melamar kerja di
restauran...." Saya membantunya berbohong. Tak sabar.
"Ivan akan tunjukkan bahwa masak itu
mudah...."
"Iya, kamu demo masak untuk apa,
tadi......?"
Tiba-tiba suamiku, Robert, yang segalak
anjing herder, muncul dari belakang punggungku. "Kalau kau TERNYATA mau
jual alat masak sama istriku.... kutempeleng kau!!” Katanya. Keringat meleleh di wajahnya, kuas
cat di tangannya. Berdiri tepat di belakangku dengan nafas mendengus.
"Siaaaap, Pak...." anak muda itu
kaget dan dengan spontan menjawab sambil menegakkan badan. "Ivan tidak
jualan apa-apa, Pak.... Ivan mau demo masak...."
"Kamu bilang tadi sama istri saya bahwa
kamu demo masak untuk ngelamar kerja...." Kata suami saya. "Awasss
kalau bohong...." Sambil ngeloyor. Kembali ke pekerjaannya. Mengecat
lemari.
***
Saya fikir Ivan tidak akan datang lagi. Tapi
Ivan datang, setelah pergi dulu mengambil peralatan masak. Aku kira sebuah
mobil menunggu di suatu tempat dan Ivan bukan satu-satunya orang yang mengetuk
pintu-pintu rumah untuk demo masak.
Dia pergi ke dapur, mengambil ayam dari
kulkas dan membumbui. Kemudian memasang kompor gas kecil di beranda rumah, dan
meletakkan potongan ayam di dalam sebuah panci keramik dengan tutup kaca di
atasnya. "Ibu, Ivan mau menjelaskan cara masaknya...." katanya
memanggilku yang sedang duduk di depan layar komputer.
Mulailah dia menceritakan cara membuat ayam
bakar. Bumbunya.Cara kerjanya. Mudah sekali. Harum baunya. Dibukanya
tutup panci. Memasak itu tidak sulit sama sekali. Katanya terus mencerocos.
Karena panci ini memudahkan memasak. Nah, kita sekarang taruh wadah berisi
adonan bolu kukus di atasnya. Tidak akan tercemar dengan bau ayam. Airnya
mengalir ke sisi, tidak akan jatuh ke atas bolu kukus. Itu karena tutup
pancinya yang luar biasa. Bisa memasak sekaligus tanpa saling mencampurkan
aromanya. Itu sebabnya memasak jadi mudah. Praktis.
Aku bilang begini: "Ivan, kalau suamiku
tahu kamu akan menjual panci.... kamu akan celaka...." Bicaraku berbisik,
supaya terasa dramatis.
"Ivan tidak menjual apa-apa, Bu. Ivan
hanya menjelaskan cara memasak dan cara menggunakan panci ini. Panci ini satu
setnya ada 6, ukuran berbeda-beda. Kalau ibu beli di toko atau di pameran, Ibu
sudah tahu cara kerjanya...."
"Berapa harganya?"
"Ivan tidak menjual kok, Bu. Ibu bisa
beli di toko atau pameran. Tapi kalau lewat Ivan, harganya lebih menguntungkan.
Cuma satu juta sembilan belas ribu rupiah satu set. Bisa diciciln sepuluh kali
lagi...." Ivan pun ikut berbisik.
Bolu kukus sudah matang. Ivan
memotong-motongnya dan mempersilakan saya makan.
"Enak juga...." kata saya.
Tiba-tiba, sosok yang menyeramkan itu datang lagi. Duduk di sampingku sambil
bertanya: "Jadi, berapa harga pancimu itu?" Aku makan bolu sambil
melihat wajahnya yang menakutkan. Melihat wajah Ivan. Bergantian.
"Ivan tidak menjual panci, Pak. Ivan
cuma mendemokan cara masak. Dan cara menggunakan panci ini... Dengan
begitu..." belum selesai ucapannya yang mencerocos, suamiku
memotongnya.
"Heh, kenapa kamu harus jadi pembohong
untuk menjual barang-barangmu itu?!" Bentaknya. Tapi tak seganas tadi.
Rupanya muncul perasaan salutnya kepada Ivan yang pemberani itu.
***
Setelah suamiku pergi, Ivan duduk di kursi
teras seperti kelelahan. "Ivan jamin Ibu tidak rugi lho punya alat seperti
ini. Enggak mahal kok harga segitu dibandingkan dengan manfaatnya. Awetnya bisa
seumur hidup lagi...."
Terus dia berbisik sambil menyorongkan
wajahnya: "Bu, Ivan bisa datang lagi ke sini. Kalau hari biasa Bapak
enggak di rumah kan? Pas bapak kerja saja Ivan ke sini lagi...."
Saya pun berbisik sambil menyorongkan wajah
pula: "Ivan, kalau ketahuan suami saya, saya bisa dicekik. Kamu juga
bisa dicekik.... Paham?"
***
Ivan yang pemberani itu tidak nampak
menyesal. Tidak pula mengeluh. Kemudian dia membereskan semua peralatannya.
Mengucapkan terimakasih sudah diperbolehkan demo masak. Wajahnya penuh
keringat.
Aku tentu saja sudah mengusirnya sejak awal
kalau tak berniat membeli panci-pancinya itu.
***
Aku menata panci-panci itu di dinding dapur.
“Si Ivan itu akhirnya berhasil menipumu,
sayang....” Kata suamiku sambil membenahi wadah perkakas, setelah selesai
memasang paku-paku untuk panci-panci itu.
Aku tidak menoleh, asyik menatap kilau
panci-panci itu. Nampak cantik. Kakak perempuanku pasti akan terbatuk-batuk
kalau melihatnya saat arisan keluarga nanti. Meskipun aku mencicilnya sepuluh
kali, tapi akan kukatakan kepadanya bahwa Robert membayar lunas panci-panci itu
untuk membuatnya tambah iri.
***