Wahab menulis SMS kepadaku: Apa kabar, Har? Lisna sudahkah bercerai dari suaminya? Aku masih jomblo
lho.
Aku memperlihatkan SMS itu pada Taufik, teman
sekantorku yang juga mengenal Wahab sewaktu masih bekerja. Apakah dia masih gila? Aku tidak tahu siapa Lisna.
Taufik membaca SMS itu cukup lama. Mungkin dia masih gila. Jawabnya.
Aku membalas SMS itu: Kabar baik, sobat. Apa kabar sebaliknya? Selamat berkiprah di club para
jomblo. Biar jomblo asal tetap bahagia.
***
Seharusnya ada seorang gila yang menulis bagaimana
kegilaan itu terjadi padanya. Ataukah orang gila mungkin terlalu gila untuk
menulis. Aku pernah membaca status facebook
Wahab seperti ini: Aku masih sering
kambuh. Harus kuperjuangkan agar kegilaanku bisa disembuhkan.
Aku tidak tahu, apakah Wahab terkadang sadar dari
kegilaannya sehingga dia tidak selalu dalam kondisi hilang ingatan. Aku tidak
tahu apakah orang gila bisa menyadari kegilaannya. Seperti seorang pelukis terkenal
yang mengatakan pada wartawan yang mewawancarainya bahwa kegilaannya itu berupa
“ketakutan yang amat sangat terhadap suara-suara seolah dia akan ditabrak oleh
kendaraan yang sedang berseliweran ke arahnya dan akan melindasnya”. Kegilaannya
tidak membuatnya tidak bisa melukis. Hanya membuatnya terkurung di dalam
ruangan yang dijadikannya tempat perlindungan dan bersembunyi dari teror yang
menyerangnya.
Aku rasa dokter seharusnya menyuruh orang gila
seperti Wahab untuk menuliskan apa yang sedang terjadi pada dirinya di saat
gila. Bukan orang lain yang menuliskan
tentang orang gila berkepribadian ganda berdasarkan wawancara. Bukan juga orang
gila yang menulis buku sesudah sembuh. Apa yang terjadi padanya di saat
mengalami kegilaan hanya bisa ditulis di saat sedang terjadi.
Seseorang harus menemukan cara memperlakukan orang
gila. Aku kira hanya dengan memahami pikiran-pikiran kegilaannya bisa ditemukan
cara itu.
Aku memikirkan ini karena ketidakberdayaanku untuk
melakukan sesuatu terhadap Wahab –teman baikku yang menjadi gila pada usia 27
tahun. Itu 14 tahun yang lalu. Aku juga tidak tahu bagaimana harus bersikap
padanya. Aku hanya membalas saja bila Wahab mengirimku SMS, menulis di dinding facebookku, atau mengajakku chatting. Aku tidak tahu apakah aku
harus mengunjunginya. Sedangkan Wahab
tidak dapat datang berkunjung karena dia tidak mampu melakukan perjalanan.
Wahab hidup di sebuah ruangan, dalam perawatan orang tuanya yang sudah semakin
tua. Setelah bertahun-tahun ditangani lembaga perawatan orang sakit jiwa.
***
Sangat berbeda rasanya melihat orang gila yang
tidak kita kenal dengan seseorang yang kita kenal. Apalagi kalau kita berada di
dalam situasi atau proses kegilaan itu. Aku bersama Wahab saat dia mulai sakit.
Sangat menyakitkan karena aku tak tahu bagaimana menghentikannya. Jangankan
menghentikan, bahkan menyangka pun tidak kalau sahabatku Wahab sedang mengalami
kegilaan. Aku melihatnya memandang kosong ke depan seperti melamun. Aku tidak
tahu berapa lama. Dia akan segera bangun kalau aku menegurnya, lalu kami saling
bicara seperti biasa. Namun orang-orang mulai mengatakan padaku bahwa dia
membatu seperti itu berjam-jam sambil memandang layar monitor. Aku masih bisa
berbicara dengannya. Kami masih bisa bertukar pikiran.
Aku tidak menemukan alasan Wahab harus menjadi
gila. Pekerjaan yang dinginkannya entah ada dimana, tapi banyak orang lain yang
juga bekerja apa saja asalkan bekerja. Kehidupan yang membosankan dan rutin,
biasanya aku dan Wahab bersama mencari hiburan dengan main catur dengan Soma
–tukang becak yang selalu menang itu. Atau kami nongkrong dengan teman-teman
kuliah dulu. Konflik dalam rumah tangga yang dialaminya, banyak dialami orang
lain juga.
Aku tidak tahu Wahab gila sampai akhirnya dia
tidak masuk kerja tanpa pamit. Kutelepon keluarganya, ayahnya mengatakan bahwa
Wahab sedang “diobati” untuk waktu yang belum diketahui. Aku masih tak
menyangka atau tak mengerti. Beberapa tahun kemudian, ketika aku datang dan
bertemu dengan Wahab di rumah orang tuanya di sebuah kota kecil yang dingin, Wahab
tertawa-tawa saat memberitahuku: Har, aku
sakit. Aku menjadi gila. Aku gila.... Aku menatap wajahnya seperti tak
percaya dengan penglihatan dan pendengaranku.
Kapan Wahab menjadi gila? Aku selalu bersamanya.
Nongkrong bersama dengan teman-teman. Bekerja. Main catur atau karambol. Aku
melihatnya tapi aku tak bisa melihatnya. Aku kira Wahab menghilang karena sakit
dan beberapa hari kemudian akan muncul kembali ke kantor. Sama sekali tak
kusangka bahwa dia tidak akan pernah kembali. Kini sudah 14 tahun yang lalu, peristiwa
itu.
Aku pernah membaca status di facebooknya: Tahukah kamu, alien naik pesawat mengintai
bumi. Melihat adanya ketidakadilan gender oleh manusia.
Sekarang aku tidak ingin bertanya kapan Wahab
mulai gila, tapi bisakah Wahab sembuh? Bisakah?
***
Pertama kali aku melihat seseorang mengalami
kegilaan sewaktu masih di Sekolah Dasar kelas 4. Murid terpandai di sekolah,
seorang anak perempuan bernama Rosa. Pada pelajaran menggambar, guru akan
mengatakan: Kamu punya bakat menggambar.
Kamu akan jadi pelukis nanti.. Pada pelajaran kesenian, guru terheran-heran
karena Rosa bisa memainkan angklung dan pianika dengan bagus. Kamu punya bakat musik. Kamu akan jadi
pemusik nanti. Kata guru kesenian. Tapi guru Bahasa Indonesia mengatakan
Rosa akan menjadi pengarang terkenal. Sedangkan guru matematika mengatakan Rosa
sangat pandai dan akan masuk ITB.
Pada saat kelas 4 SD Rosa mulai memandang kosong
dan berdiri berjam-jam ke suatu arah. Lalu tersenyum-senyum dan tertawa
sendiri. Tapi itu tidak membuatnya berhenti menjadi anak paling pintar di
sekolah. Nilai-nilai ulangan Rosa selalu yang paling tinggi, melejit sendiri di
antara semua murid. Kelas 6 Rosa sudah total gila dan hanya mencoret-coret
kertas ulangan sehingga tidak mendapat nilai.
Aku tidak tahu kenapa Rosa mengalami kegilaan. Aku
hanya pernah belajar kelompok di rumah teman dan kami menjemput Rosa yang
rumahnya berdekatan untuk ikut kelompok. Rumahnya gubuk dan Rosa anak tertua
dengan banyak adik yang masih kecil-kecil. Ibunya membentak Rosa untuk tidak
ikut pergi dengan kami karena dia harus mengurus adik-adik sementara ibunya
sangat sibuk. Rosa menangis karena ingin pergi dengan teman-temannya.
Hanya itu yang aku tahu tentang teman sekelasku
Rosa. Aku kemudian mendengar kabar bahwa dia meninggal ketika aku masih SMA. Sejak
Rosa total gila, setiap hari dia selalu bepergian berjalan kaki entah kemana
tujuannya. Dia masuk ke rumah-rumah orang untuk minta makan dan menjadi terlalu
gemuk karena makan terus. Tidak ada orang yang tidak memberinya makan kalau dia
minta.
Aku masih bisa melihat proses kegilaan Rosa. Tapi
aku tidak bisa melihat proses kegilaan Wahab. Sepertinya dia masih bisa
bercakap-cakap biasa denganku di saat makan siang atau minum kopi. Aku tidak
tahu bahwa ketika dia sedang duduk di hadapan komputer di ruang kerjanya dia
sedang duduk membatu menatap layar monitor.
Semua orang duduk berjam-jam di depan layar
monitor untuk menulis naskah atau membuat laporan.
***
Sampai sekarang aku masih bisa berkomunikasi
dengan Wahab melalui facebook,
kemudian chatting, dan dia meminta
nomor hapeku. Aku meneleponnya dan kami berbicara di telepon. Kami terpisah
jarak, beda kota.
Har, seperti
apakah Bandung sekarang?
Tanyanya. Sejak sakit, Wahab meninggalkan kota Bandung. Belum pernah lagi
kembali.
Aku akan
mengajakmu keliling melihat Kota Bandung kalau kamu ke Bandung. Kataku. Bandung
semakin sempit, penuh dengan bangunan. Macet sekali. Ada Bandung Super Mall.
Aku ingin
ke Bandung tapi aku tidak bisa bepergian. Katanya.
Aku ingin bertanya apakah aku harus menjemputnya
untuk pergi ke Bandung. Tapi pertanyaan itu tersekat dalam kerongkongan. Aku
tidak tahu bagaimana bicara dengan Wahab karena aku tidak tahu mana ucapan yang
benar untuknya. Apakah sekarang ini dia selalu berada dalam sebuah ruangan dan
tidak bisa kemana-mana kecuali dibawa orang tuanya. Aku tidak tahu situasi
Wahab.
Aku berharap suatu ketika Wahab memberitahuku
bahwa dia akan ke Bandung. Dan aku akan mengajaknya keliling Bandung. Nongkrong
di alun-alun. Makan sate padang. Mengunjungi teman yang lain.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar