Lagu Sunda yang sahdu mengalun diiringi petikan kecapi, disertai suara gemericik air dan suara cicit burung yang menggambarkan suasana pedesaan yang indah dan permai. Ring tone telepon genggam Adit. ”Ya, Bu.... ada apa?” tanyanya. Kalau sedang di kantor mendapat telepon dari istri di rumah, entah kenapa suami selalu memulai percakapan dengan pertanyaan seperti itu. Ada apa. Dan juga entah kenapa, memang selalu ada kejadian yang menyebabkan istrinya menelpon Adit saat sedang di kantor. ”Bapak hilang, Mas....”
Bapak hilang. Sudah berapa kali bapak hilang dalam sebulan ini. ”Mosok hilang lagi?” Dan selalu jawaban itu yang spontan muncul dari mulut Adit kepada istrinya. ”Tadi ke warung beli rokok.....” Kata istrinya. “Tapi kok belum kembali juga sudah 3 jam.... Sudah dicari-cari sekeliling, tidak kelihatan.... Nyasar lagi seperti dulu barangkali, Mas....”
Kejadian yang dialami Adit, teman sekantorku, ternyata dialami juga oleh beberapa yang lain. Orang tua hilang. Pergi ke luar rumah dan lupa jalan pulang. Padahal cuma sekedar pergi ke warung atau olah raga berjalan kaki mengelilingi rumah untuk melemaskan otot-otot di pagi hari.
Akhir-akhir ini sering muncul obrolan tentang para orang tua di antara teman kantor dan juga teman-teman kongkowku. Mungkin karena kita ini para anak yang sudah berusia separuh baya dan memiliki orang tua yang sudah menjadi manusia usia lanjut atau manula (istilah yang aneh!) sehingga berbagai cerita tentang orang tua pun berkisar seputar kepikunan dan kekeraskepalaan para manula yang sering menjadi merepotkan dan juga lucu.
Pergi ke warung dan lupa pulang. Shalat lebih dari 5 waktu sehari. Sejam yang lalu makan siang tapi merasa belum makan siang. Menceritakan sesuatu diulang-ulang sampai puluhan kali, terutama cerita-cerita tentang memori masa lalu. Dan banyak lagi. Tapi, pengalamanku ketemu dengan seorang kakek tua di dalam angkutan kota (angkot) merah Cicadas-Kebon Kalapa ini membuatku masih bersyukur bahwa bukan aku, anak yang punya orang tua seperti itu.
Begini ceritanya.
***
Aku sedang di dalam angkot dengan suamiku. Kami menuju Alun-alun untuk sekedar iseng. Makan kalau nanti lapar. Membeli sesuatu. Biasanya aku membeli VCD/DVD di Kota Kembang. Sedangkan suamiku membeli dompet, atau ikat pinggang, atau bolpoint yang unik. Suamiku selalu membutuhkan bolpoint di saku bajunya. Seolah itu merupakan bagian baju yang harus ada. Seperti kancing, harus ada.
Mula-mula aku tidak menyadari keanehan. Satu penumpang perempuan turun bergegas-gegas sambil menyumpahi. Kemudian, penumpang lain naik. Kemudian penumpang perempuan turun lagi bergegas-gegas sambil memaki-maki. Barulah aku mulai memperhatikan penumpang lain di dalam angkot. Seorang kakek yang kelihatan tua sekali, mungkin umurnya lebih dari 80 tahun (seperti sudah 90 tahun karena wajahnya begitu tua seperti topeng), duduk dengan tenangnya. Aku terperanjat ketika dia bergeser mendekat ke penumpang perempuan yang duduk satu barisan tetapi ada jarak kosong dengannya. Aku memperhatikan terus. Dia bergeser lagi. Bergeser lagi.
Aku melihat tangan kirinya diletakkannya di samping, di atas tempat duduk. Kemudian, astaga!!! Tangan kirinya itu diletakkan di atas paha si penumpang perempuan di sebelahnya. Perempuan itu terkejut tapi terdiam. Matanya melotot. Tapi tidak dipukulnya tangan lelaki tua itu. Dari terkejut, berubah menjadi bingung. Dari bingung, berubah menjadi takut. Kemudian beringsut menjauh. Seorang lelaki renta berumur 80 tahunan yang ada di angkot, entah darimana dan mau kemana, sebenarnya bisa saja dipukul tanpa perlawanan. Tapi perempuan itu menjadi terdiam membeku dan ketakutan.
Suamiku asyik saja melihat ke jalanan. Duduk di ujung dekat pintu angkot. Sehingga posisi duduknya menghadap ke samping bukan ke depan. Aku yang duduk menghadap ke depan dan menyaksikan pemandangan si kakek tua dan perempuan itu. Aku berbisik ke telinga suamiku. Suamiku segera menoleh dan mengubah posisi duduk menghadap kepada penumpang lainnya. Barisan si kakek tua dan perempuan berseragam pegawai toko yang sedang ketakutan itu. Aku berbisik di telinga suamiku dan menceritakan detail peristiwa yang sedang terjadi. Si perempuan itu tiba-tiba berteriak histeris kepada sopir angkot: ”Stop!!! Stop!!! Kiri!!!” Kemudian segera turun bergegas-gegas dan hampir terjungkal jatuh karena memakai selop berhak tinggi. Apalagi rok mininya agak ketat sehingga menghambat langkah lebarnya. Si sopir terkejut dan memandang si penumpang perempuan yang turun dengan wajah terheran-heran. Tapi perempuan itu segera pergi setelah membayar. Sambil bergidik.
Tinggalah aku dan suamiku berhadapan muka dengan si kakek. Kami menatap wajahnya. Aku memiringkan kepala sedikit sambil menatap. Si kakek menatap juga dan tersenyum dengan ramah. Sama sekali tidak seperti sedang terjadi sesuatu. Aku tidak tersenyum balik, tapi mengencangkan mimik wajahku. Aku tahu suamiku akan menanganinya dengan baik.
Suamiku menepuk paha si kakek. ”Aki, turun dimana?” tanya suamiku. Si kakek menunjuk-nunjuk tetapi tidak mengatakan apa-apa. ”Itu kantor polisi dekat sini. Kalau aki berkelakuan seperti tadi lagi, akan saya bawa aki ke kantor polisi.....” Si kakek tua mengkeret sambil memandang suamiku. Dia memegang tongkat rotannya erat-erat. ”Paham????” tanya suamiku. Wajahnya mendekat ke wajah si kakek. Si kakek mengangguk-anggukan wajahnya.
Si kakek menggeser duduknya mendekat ke hadapanku. Kemudian memajukan badannya dan meletakkan tangannya di atas pahaku. Aku meninju tangannya supaya lepas. Kakek gila yang menakutkan. Suamiku memajukan badannya ke depan menghalangi antara aku dan si kakek. ”Mau kuseret ke kantor polisi sekarang, Aki?” tanyanya. Suara suamiku menyeramkan. Aku melotot dan tubuhku mengejang karena kaget luar biasa. Tidak ada kata-kata yang bisa terucap dari mulutku saat itu.
Kakek itu kemudian berteriak kepada sopir untuk berhenti. Kami berdua menyisi supaya dia lewat, suamiku memasang badan di depanku dengan sikap siap meninju kakek tua kurang ajar itu. Terseok di kakek mencoba berjalan dan turun dari angkot. Mau rasanya kutendang dia supaya terjerambab saat melangkahkan kaki dengan gemetaran ke atas tanah. Dibantu dengan tongkat rotannya si kakek bersusah payah menjejakkan kakinya di tanah. Sopir berpaling ke belakang untuk memperhatikan si kakek selesai turun.
Ketika si kakek tua berjalan seluruh tubuhnya bergetar. Gemetar menahan berat tubuhnya sendiri yang sudah renta. Aku mendengar si sopir berkata keras kepada dirinya sendiri: ”Eta aki-aki kolot kitu, rek kamana nya bet sorangan....” (Kakek tua renta begitu mau kemana kok sendirian).
Aku dan suamiku melihat dari jendela angkot. Amit-amit. Aku mengusap dada. Masih takjub dengan pengalaman barusan. Aki-aki tujuh mulud (kakek tua bangka yang genit, cinihin, kurang ajar).
Kakek tua itu berjalan ke arah Jalan Kepatihan. Terseok-seok. Dengan tubuh bergetar sekuat tenaga, menahan setiap langkah kakinya.
Lebaran. Oktober 20008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar