Kedua anak lelakiku memiliki ayah yang sempurna. Seorang ayah yang pemurah dengan pelukan, ciuman, dongeng sebelum tidur, obrolan antar ’kawan’, lawan yang pengalah dalam permainan berkelahi ala Naruto, dan juga hadiah ulang tahun yang penuh kejutan. Aku tidak punya ayah seperti ayah kalian, kataku kepada kedua anak lelakiku. Banyak anak yang tidak punya ayah seperti ayah kalian.
”Apakah kakek galak?” tanya anak sulungku –Benny– yang berumur 12 tahun. ”Tidak. Kakek tidak galak,” jawabku. ”Hanya kakek tidak pernah memeluk dan mencium anak-anaknya....” Anakku memandangku, mengerutkan keningnya. ”Pentingkah ciuman dari seorang ayah kepada anaknya?” Aku memandang anakku dan manggut-manggut. ”Ya. Bagi seorang anak yang belum pernah mendapat ciuman ayahnya, ya....”
Arman, anakku yang berumur 7 tahun dan sejak berumur 2 tahun telah mulai akrab berteman dengan PC, buku cerita dan film, memperhatikan percakapan ini dan berkomentar: ”Willy Wonka juga tidak suka ayahnya”. Willy Wonka adalah pencinta permen. Tetapi ayahnya yang dokter gigi melarang Willy makan permen. Willy memutuskan untuk meninggalkan rumah karena baginya sebuah keluarga itu membosankan (dengan larangan-larangannya). Kemudian Willy membangun pabrik coklat terlezat di dunia.
Benny menimpali: ”Peter Pan dan anak-anak di Negeri Wonderland juga tidak mau punya orang tua...”. ”Bahkan mereka tidak mau menjadi dewasa karena orang dewasa itu menyebalkan....”
Arman menambahkan: ”Tapi sedih kalau kita seperti Harry Potter yang sejak bayi sudah kehilangan ayah dan ibunya. Dan tinggal dengan paman, bibi dan sepupunya yang jahat.”
Aku mengatakan pada kedua anakku, banyak anak-anak yang tidak membenci ayahnya tetapi juga tidak (terlalu) mencintainya. Berbeda dengan ibu. Anak-anak biasanya lebih dekat dengan ibunya. Lebih menyayangi ibunya.
”Apakah temanmu Donny memiliki ayah yang mengajaknya bermain dan bercerita?” tanyaku kepada Arman.
”Aku rasa tidak. Kalau ke rumahnya, aku tidak pernah melihat Donny dan ayahnya berbicara akrab atau berkelakar. Aku rasa ayahnya seorang yang sangat seriussss....” Arman memonyongkan mulutnya.
Willy Wonka tidak membenci ayahnya, tapi juga tidak menyukainya. Peter Pan tidak membenci ayahnya, tapi merindukan kebersamaan dengan ayahnya. Para ayah yang terlalu serius berperan sebagai pencari nafkah keluarga, memisahkan diri dari peran sebagai sahabat anaknya. Ayah yang tidak bisa bertukar cerita dengan anaknya. Ayah di dalam konsep ayah yang tidak menarik bagi anak-anaknya. Ayah di dunia ayah yang berjarak dan bersikap dingin terhadap anak-anaknya. Padahal anak-anak rindu mencintai ayahnya.
***
Ayahku seorang pria yang diam. Memisahkan diri dari anak-anaknya. Sepertinya ada ruangan ayah di rumah. Sudut ayah di meja makan. Kursi ayah. Mug keramik bertutup ayah. Masakan dalam mangkuk-mangkuk terpisah untuk ayah. Koran bacaan ayah. Dunia ayah di kantor sana. Teman-teman ayah. Tamu ayah. Tapi tidak ada sebuah keluarga dengan ayah dan anak-anaknya bercengkerama bersama. Waktu itu aku mengira setiap ayah seharusnya memang demikian.
Ayah tidak diam di kantornya. Ayah seorang pemimpin yang handal. Ayah seorang teman yang hangat. Ayah bisa bercerita banyak bersama tamunya. Tapi tidak ada cerita ayah untuk anak-anaknya. Tidak ada perbincangan orang tua dan anak yang mengasyikkan.
Ayah berbicara sedikit sekali kepada kami. Ayah menyampaikan pujian tentang rapot anak-anaknya melalui ibu. Ayah menegur perbuatan kami yang nakal atau menurutnya tidak boleh, melalui ibu. Suatu ketika ibuku memanggilku dan menyampaikan ucapan ayah: ”Jangan memandang wajahku. Jangan menentang orang tua....” Sebuah teguran atas kesalahanku –yaitu melanggar kesopanan menurut ayah– yang terjadi ketika ayah melalui ibu tidak mengijinkanku kedatangan seorang teman laki-laki apel malam minggu. Aku pergi menghadap ayah dan melontarkan pertanyaan: ”Kenapa aku tidak boleh?”
Aku pastinya menatap wajah ayah saat itu. Memperoleh jawaban singkat darinya: ”Kamu harus lulus SMU dulu....” Aku tidak paham karena kakak-kakak perempuanku sejak SMU sudah punya pacar. Aku juga tidak paham ketika ibu menyampaikan teguran ayah tentang ’memandang wajahnya’. Aku marah dan menendang sesuatu yang berdentang keras menabrak dinding dapur.
Ibuku terperanjat dan segera memarahiku: ”Shhh. Shhh. Jangan sampai ketahuan ayahmu kamu bersikap begitu....”. Aku berbicara dengan suara keras menjawab ibu: ”Kenapa ayah tidak mengatakannya langsung kepada saya? Kenapa tidak menegur saya saat itu.... Memandang muka, apa?” Ibu mencengkeram lenganku. ”Shhh. Shhhh. Jangan kamu berbicara begitu. Bagaimana kalau kedengaran ayahmu.... Sudah. Sudah. Diam. Diam.....”
Aku melangkah pergi dengan marah. Ayah yang aneh. Ibu yang tidak bisa kupahami. Bagaimana mereka menjadi seorang ayah dan seorang ibu bagi anak-anaknya. Aku memerlukan seorang ayah dan ibu yang bisa kuajak bicara. Aku membutuhkan keluarga yang bisa membahas sesuatu dari pendapat semua orang. Sebuah pembicaraan yang mendidik. Bukan ketentuan, larangan, pujian, kecaman, yang secara sepihak diberikan pemilik otoritas tertinggi dalam keluarga: ayah. Aku ingin mengerti kenapanya.
***
Memiliki seorang ayah yang bersahabat, hanyalah impian masa kanak-kanak dan remajaku. Setelah aku mulai dewasa, impianku terfokus pada diriku sendiri: aku mau menjadi seorang yang berdiri di atas kakiku sendiri. Sebuah impian biasa, tetapi sebagai seorang perempuan menjadi impian yang sering diganggu oleh pasang surut persoalan yang dihadapi karena berjenis kelamin perempuan. Mengapa tidak menikah dengan pria yang memiliki pendidikan baik, bakat, dan pekerjaan yang punya prospek? Kenapa harus bekerja keras di sektor publik, bila sebagai perempuan harus mengurus begitu banyak di sektor domestik sebagai ibu rumah tangga dan istri? Tentang berapa banyak beban kerja seorang perempuan karier dan (yang) menikah, aku lebih banyak mendengar hal ini sebagai persoalan yang menjengkelkan, dari teman-teman dan sahabatku.
Aku belum memiliki patron sebuah pasangan suami-istri dan orang tua bagi anak-anaknya, yang menurutku ideal dalam konsep mau pun prakteknya. Pada usiaku menjelang 30 tahun, aku belum menemukan sebuah contoh. Aku juga belum menemukan konsepku sendiri. Aku meragukan pernikahan sama besarnya dengan aku meragukan kesanggupanku untuk tidak menikah. Apa masa depan yang akan kujalani bila menikah dan bila tidak menikah, aku tidak bisa membayangkannya. Bila aku tidak menikah, mungkin 30 tahun ke depan aku menyesalinya. Atau bila aku menikah dan punya anak, mungkin aku bercerai dan menyesali rasa sakitnya. Menyesali apa yang dialami anak akibat perceraian orang tuanya. Pada usia 30 tahun, aku tidak pasti dengan apa yang kumau.
Sehingga akhirnya aku memutuskan untuk menikah dengan Faisal pada usia 31 tahun. Seorang pria yang berhati baik, santun, dapat diajak diskusi, memiliki pendidikan yang baik dan pekerjaan. Juga setuju aku tetap bekerja kantoran setelah kami menikah. Aku tidak pasti apakah aku akan bertahan 1 tahun atau lebih pendek dalam pernikahan. Ataukah aku akan merayakan ulang tahun perak dan emas pernikahanku nanti. Pada usia 31 tahun, saat pernikahanku, aku tidak tahu masa depanku seperti apa. Aku meragukan pernikahan sama besar seperti aku meragukan kehidupan melajang sebagai perlawanan perempuan terhadap beban ganda dan hambatan-hambatan karier yang dialaminya karena peran-peran perempuan dan prasangka-prasangka nilai tentang perempuan dan keperempuanan. Aku anggota kelompok teman perempuan feminis yang selalu mengejek-ejek setiap seorang anggota kelompok menikah. Dan bersorak ”huray kemerdekaan” setiap seorang anggota kelompok bercerai.
Bagaimana bisa sih, punya suami yang tidak bisa kita ajak omong porno sebagai pemanasan sebelum begituan, kata sahabatku yang paling sarkastis. Pasti bosan banget. Melakukan hubungan sex seperti ritual mingguan atau bulanan. Jangankan diajak ngomong porno, diajak ngomong (tanpa porno) saja susah. Komunikasi satu arah sebagai perintah, petunjuk, dan keputusan yang merupakan peran atau hak mutlak seorang suami atau ayah, pemimpin atau kepala keluarga. Huahahahaha. Begitulah salah satu contoh ejekan teman-temanku "para perempuan ekstrimis" tentang pernikahan.
***
Ayahku adalah ”pria yang kasihan deh” menurut konsepsi sahabat-sahabatku. Pria yang mengira sedang menjalankan peran suami yang ideal, ayah yang baik, padahal ”menindas” dan ”membelenggu”. Atau lebih lunak lagi ”membosankan” dan ”enggak banget deh”. Cara menyisir rambutnya termasuk yang ”enggak banget deh”. Kurang humor, kaku dan formalistik, dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Saat mencoba ramah pun, seseorang akan berjarak dengannya. Ayah memiliki sejumlah sahabat karib dari masa mudanya yang masih saling mengunjungi. Membawa istri dan anak-anaknya untuk berkunjung singkat dan saling bertukar kabar. Ayah memiliki cara sendiri untuk disayangi orang yang mengenalnya, terutama para sahabatnya. Tapi mereka bisa begitu karena bukan anaknya. Seorang anak, butuh lebih.
Ayahku adalah pria yang baik di mata teman, tetangga, dan keluarga. Suami yang baik dan ayah yang bertanggung jawab, di mata istri dan anak-anak. Pria, suami, dan ayah yang ”enggak banget deh” di mata perempuan masa kini yang ingin lebih. Aku selalu ingin lebih, sejak aku kecil. Ayahku bukan idealku. Aku merasa jarak antara aku (dan anak-anak lainnya) dengan ayah terlalu jauh. Aku merasa tidak mengenal ayahku. Aku tidak pernah bertukar pikiran dengannya. Aku memandangnya diam-diam. Menerka apakah yang sedang dipikirkan ayahku dalam kesendiriannya di kursinya. Duduk bekerja. Duduk membaca koran sambil minum kopi. Duduk mendengarkan radio.
Ibuku terlalu sibuk untuk mengeluhkan sesuatu. Sejak dini hari sampai malam hari menjelang tidur. Kerja domestik yang tidak henti-hentinya. Di dapur. Di kamar mandi. Di meja makan. Di setiap ruangan. Di pagar rumah saat berbelanja di tukang sayur. Entah berapa kilometer ditempuhnya dalam sehari: berjalan di dalam rumah. Dari ruangan ke ruangan. Ibuku adalah ”perempuan yang kasihan deh” menurut konsepsi sahabat-sahabatku. Perempuan yang tidak membaca koran. Perempuan yang tidak berdiskusi. Perempuan yang menerima perintah-perintah dari suaminya. Perempuan yang selalu menghadapi persoalan finansial dapur keluarga dan dengan tekun menanganinya. Menghitung rupiah demi rupiah penghasilan suami dan menambah kekurangannya dengan membuat kue basah untuk dijual di warung-warung dan toko-toko kecil.
Ayah dan ibuku adalah misteri. Aku tidak mengerti, apakah ayahku bahagia karena memiliki istri sebaik ibuku. Ibuku bahagia memiliki suami sebaik ayahku. Ataukah mereka bahagia karena hidup tanpa pertentangan dan tuntutan. Ataukah mereka hidup dalam kebosanan dan kehilangan rasa.
Aku tidak bisa mengajak ayahku bicara. Aku tidak mau. Aku takut ditolak. Aku takut tidak ditanggapi. Aku mungkin seharusnya bisa memulai percakapan dengan ayahku. Aku pikir sia-sia. Aku pikir mungkin bisa membuat ayahku mulai suka berbicara denganku. Pikiran-pikiran yang bertentangan ini berkecamuk sejak saat aku berumur 15 tahun. Setelah aku berumur 22 tahun, aku sudah memiliki kelompok temanku yang asyik. Aku punya organisasi sosial yang membuka pikiranku lebih luas. Aku memiliki pekerjaan yang membuatku harus bekerja keras untuk menampilkan kinerja dan performaku. Aku punya pacar yang bisa kuajak berkelahi konsep dan tetap bertahan jadi pacarku. Maka hilanglah ayahku dari daftarku.
***
Aku tidak membenci ayahku. Apakah aku mencintai ayahku? Aku menghormatinya sebagai seseorang yang menjadi ayahku dan menafkahi dan membiayai sekolah dan pendidikanku. Tetapi cinta? Cinta membutuhkan perasaan yang bergetar, menghangati hati kita dengan pengertian dan kehangatan perasaan, kedekatan yang mesra, dan tatapan mata. Sedikit sentuhan. Kalau pelukan dan ciuman bukan tradisi kita. Ucapan-ucapan dan pembicaraan ayah dan anak. Kalau ucapan cinta bukan kebiasaan kita. Cinta semacam itu aku tidak punya kepada ayahku.
Ayah adalah sosok yang (nyaris) tidak kukenal. Pikiran dan perasaannya. Pendapatnya. Semua hampir tak dapat kurekam dalam memoriku. Ayah ada dalam hidupku sejak aku anak-anak sampai dewasa. Tetapi kami tidak banyak bicara. Kami tidak bertukar pikiran. Kami tidak bertukar cerita dan tertawa terbahak-bahak bersama karena suatu kejadian aneh atau lucu.
Lebaran tahun 2008. Aku berdiri terpekur di atas nisan ayahku. Di sampingku adalah suami dan anak-anakku. Kami telah selesai berdoa. Suamiku merangkul bahuku dan menepuk-nepuknya lembut, seraya menatap wajahku. Mataku berlinangan air mata. ”Merindukan orang yang dicintai memang terkadang sedih....” kata suamiku. Aku tidak mengatakan apa-apa. Terasa sakit di dadaku mendengar kata ”cinta” yang disebutkan suamiku.
Aku terkadang sangat sedih karena aku selalu ingin lebih dari ayahku. Aku terkadang sangat sedih karena tidak bisa mencintai ayahku. Aku tidak merasa kehilangan ketika suatu hari saat sedang bekerja di kantor, mendapat telepon yang menyampaikan berita bahwa ayahku sedang menghadapi kematian. Ketika aku menghadiri ke pemakamannya, aku tidak menangis seperti saudara-saudaraku yang lain. Sejak aku bekerja dan tinggal di kota lain, ayahku (nyaris) tidak pernah ada dalam memoriku. Ibuku masih bisa menimbulkan kerinduan untuk datang menjenguk. Tapi ayahku seolah-olah sama sekali tidak punya kenangan untuk dirindui.
Kali ini, air mataku menitik karena aku sudah berumur 43 tahun dan mengerti bahwa ayahku tidaklah ideal, namun ayah yang baik. Bahwa karena itulah aku bisa mencintai ayahku apa adanya. Sekarang. Pada saat usiaku lebih 40 tahun. Aku mengenang ayahku sebagai pria yang demikian adanya. Itulah yang kurindui dan membuatku berlinang air mata. ”Maafkan aku, Ayah.... Aku sulit mencintaimu...” Air mataku jatuh ke atas rumput.
Anak-anak berjalan bergandengan dengan ayahnya. Suamiku memeluk bahuku. Kami berjalan bersama meninggalkan makam ayahku yang baru kami ziarahi. ”Aku cinta padamu, Ibu....” begitu ucapan si kecil padaku saat aku memeluknya menjelang tidur. Ucapan cinta yang beribu-ribu kali kubisikkan di telinganya untuk membalas masa kecilku yang tidak pernah mendapatkannya. Anak-anakku terbiasa mendapat ucapan cinta dariku. Mereka juga terbiasa mengucapkan cinta pada ayah dan ibunya.
Ayahkulah yang telah membuat aku bisa memberi kata cinta kepada anak-anakku. Menjadikannya suatu kebutuhan dalam hubungan kami. Suami dan anak-anakku. Aku cinta padamu…, suamiku berbisik di telingaku. Ucapan cinta yang menjadi biasa. Tidak membutuhkan kejadian luar biasa untuk memberikannya. Hangat dan dibutuhkan untuk diucapkan lagi dan lagi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar