***
Kang Dedi menerima tamu. Seorang pria tua berumur di atas 70 tahun yang mengetuk rumahnya. Rambutnya telah memutih semua. Wajahnya sangat bersih, lembut dan nampak alim. Memakai kopiah. Sepertinya seorang bapak tua yang baik dan anak-anaknya pasti mencemaskan dia di rumah. Karena bapak itu mengatakan bahwa dirinya tersesat mencari-cari rumah anaknya. Kehabisan ongkos untuk kembali ke Tasikmalaya.
Kang Dedi mempersilakan kakek tua itu untuk minum. Menawarinya makan dulu. Kakek itu pun menumpang shalat ashar.
Kang Dedi seorang yang waspada. Kemudian dia memboncengkan kakek tua itu dengan motor ‘bebeknya’ ke terminal bis, membelikan karcis bis ke Tasik, membekali dengan sebotol minuman, dan menyampaikan pesan agar si kakek berhati-hati dan selamat sampai tujuan. Kakek itu berkali-kali mengucapkan terimakasih dan melambaikan tangannya kepada kakakku ketika bis mulai bergerak.
Dini yang masih di SMA, bertanya kepada kakak lelakinya itu: “Kenapa harus diantar sampai ke terminal bis?” Setahunya lelaki tua itu meminta ongkos angkot untuk ke terminal Cicaheum dan bis untuk ke Tasikmalaya. Kakaknya tinggal menaikkannya ke angkot yang akan membawa si kakek langsung ke terminal Cicaheum tanpa harus jauh-jauh mengantarnya.
Berbulan-bulan kemudian mereka kedatangan tamu yang sama. Kakek yang tersesat jalan itu. Kang Dedi mendengarkan semua cerita si kakek dengan sabar. Cerita yang sama seperti kali pertama. Setelah selesai cerita si kakek, baru Kang Dedi mengambil gilirannya. Diberi nasihatnya si kakek tentang dosa kalau berdusta atau menipu. Kalau mencari uang dengan cara yang tidak halal. Juga dinasihatinya agar si kakek ’eling’ (sadar diri) bahwa dirinya sudah tua dan harus mempersiapkan diri untuk kembali kepada Gusti Allah. Harus berbuat baik, bersih hati dan melakukan banyak ibadah. Supaya masuk surga.
Wajah kakek itu tertunduk. Tetapi kata-kata yang mengalir dari mulut Kang Dedi nampaknya tak menggerakkan perasaannya. Malu. Rasa bersalah.
Kakek itu sudah sangat tua. Kepikunannya membawanya kembali ke rumah yang sama. Orang baik pun tentu harus memaklumi kakek penipu itu.
***
Dunia ini dihuni oleh orang baik dan jahat. Orang jahat lebih militan, agresif dan tak kenal lelah. Orang baik lebih bimbang, tak percaya diri, dan menyerah.
Seorang ibu mengetuk pintu rumah. Kemudian dengan berurai air mata menyampaikan permohonan maafnya atas kedatangannya dan memperlihatkan luka yang buruk di pergelangan kakinya. Memohon bantuan untuk berobat ke rumah sakit dan cerita kecelakaan yang menimpanya.
Orang baik yang menyadari bahwa dirinya sedang ditipu, akan segera mengakhiri sandiwara itu dengan memberikan uang seribu atau mungkin juga lima ribu rupiah. Paling tidak telah terhindar dari tertipu puluhan ribu rupiah yang dimintai.
Orang jahat akan tanpa malu menerima pemberian itu. Berjalan terpincang-pincang sebentar dan kemudian di ujung jalan berjalan biasa. Lantas berjalan terpincang-pincang lagi dan mengetuk pintu rumah lainnya.
Kemudian ditemukannya orang yang percaya pada penderitaan dan kemalangannya. Memberikan dua puluh ribu rupiah dan makanan. Mengantarkannya pulang sampai ke sebuah lokasi yang menurut ibu itu tempat tinggalnya. Kemudian orang baik tak mau bersusah payah untuk membuktikan apakah benar ibu itu tinggal di sana karena gang menuju rumahnya sangat berbelit, seperti ular yang melata ke dalam relung pemukiman kumuh.
***
Seorang teman SD datang ke rumah Dini, menyatakan kegembiraannya bertemu dengan teman sekolah masa kecilnya. Menyatakan bahwa dirinya mendapat tugas untuk mendata teman-teman dalam rangka reuni. Meminta kontak nama di facebook Dini dan teman-teman lainnya. Bersemangat menyatakan bahwa dirinya salah satu panitia reuni itu yang bertugas mengkontak dan menemukan alamat-alamat. Dini mendapatkan fotokopi daftar nama teman-teman SD yang diperoleh temannya dari sekolah dengan membongkar arsip lawas.
Sekitar satu jam berbincang bersama, Dini sempat berfikir bahwa perempuan itu tak terlalu dikenalnya selama di sekolah dulu meskipun memang benar teman satu sekolahnya. Tetapi perempuan itu begitu ramai bercerita tentang masa sekolah, menyebutkan banyak nama teman di sekolah dulu, dan bahkan bersama-sama Dini membuka komputer dan masuk ke facebook untuk mencari teman-teman seangkatan mereka.
Setelah minum teh dan kue bersama, makan siang, dan shalat dhuhur, sang teman kemudian mengatakan bahwa dia besok akan ke Jakarta untuk menengok ibunya yang sakit. Seraya menyatakan rasa tak enaknya, sang teman mengatakan bahwa dirinya sedang kesulitan uang untuk ongkos ke Jakarta dan cerita-cerita tentang adik-adiknya yang masuk sekolah dan membutuhkan biaya. Bahwa dia akan memiliki uang tak lama lagi dan dapat mengembalikan pinjaman dalam 3 hari saja. Pinjamannya sebesar seratus lima puluh ribu rupiah untuk transport ke Jakarta pulang pergi.
Dini berfikir sebentar, kemudian memutuskan untuk menghibahkan saja uang yang diminta itu. Berharap bahwa dirinya tidak bersyak wasangka terhadap seseorang yang mungkin benar-benar membutuhkan, tetapi juga mengikhlaskan bila dirinya sedang dalam proses penipuan.
Sebulan kemudian beberapa teman di facebook mengirim sebuah email kelompok untuk saling menginformasikan tentang kedatangan teman SD yang datang untuk mengajak reuni, bertamu beberapa jam, dan kemudian berakhir dengan peminjaman uang.
Dini terpaksa mengakui bahwa melalui dirinyalah orang itu mendapatkan kontak facebook mereka dan kemudian satu per satu dihubungi dan didatangi rumah demi rumah.
Entah berapa jumlah total uang yang berhasil dikeruknya karena seorang teman yang orang tuanya kaya berhasil dibujuk untuk meminjamkan uang sebanyak satu juta rupiah dengan alasan kekurangan biaya untuk kakaknya yang masuk ke Unpad. Anak yang pandai dan biaya senilai tujuh juta rupiah, kekurangan ”hanya” satu juta rupiah, menjadi rangkaian cerita yang tertata dengan rapi.
Persoalan klise, cara yang klise, dan pikiran klise bahwa mungkin saja kali ini bukan sebuah cerita tipuan. Ternyata tertipu dengan cara yang sama seperti korban lainnya yang sudah pernah didengar kisahnya beberapa kali.
Teman sekolah Dini itu masih sangat muda, namun sudah memilih jalan kejahatan yang lebih memberinya keuntungan seketika.
***
Telepon di kantor berdering dan suara menangis histeris di seberang sana menularkan kepanikan pada si penerima telepon. Telepon berpindah kepada Kang Dedi atas permintaan istri Pak Benny, salah satu stafnya, yang berbicara dengan terbata-bata mengabarkan bahwa suaminya kecelakaan dengan luka parah di kepalanya. Pak Benny sekarang ada di Rumah Sakit Hasan Sadikin untuk segera masuk ruang operasi. Seseorang yang mengaku dari rumah sakit menelpon ke rumahnya dan memberikan nomor handphone dokter yang akan menangani operasi. Membujuk wanita yang shock dan histeris itu untuk tenang dan segera berangkat ke rumah sakit dan bertemu dengan dokter yang menunggunya menandatangani surat persetujuan operasi. Selain itu juga harus menyerahkan sejumlah uang senilai lima juta untuk pembayaran uang muka biaya operasi.
Dengan pikiran kalut, istri Pak Benny terpaksa menelpon ke kantor suaminya karena tidak memiliki uang sebanyak lima juta. Meminta kantor untuk menolong. Pak Benny berdiri di samping atasannya yang sedang menerima telepon sambil memandang ke arah wajahnya dengan mata terbelalak. ”Pak Benny, kepala Bapak tidak pecah kan?” tanyanya.
Pak Benny mengambil gagang telepon dan menenangkan istrinya. Sang istri tak dapat menghentikan tangisnya sehingga akhirnya Pak Benny segera berangkat pulang untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak kecelakaan. Ketika sampai di rumah, Pak Benny menemukan para tetangga sudah banyak yang berkumpul karena mendengar suara tangis yang keras dari istri dan anak-anaknya.
Penipu itu berharap bahwa istri Pak Benny memiliki uang lima juta, tanpa berpikir panjang lagi segera mengambilnya dan berangkat langsung ke rumah sakit sesuai permintaannya. Mungkin usahanya akan berhasil kalau saja yang dimintanya dua juta rupiah saja karena uang sejumlah itu ada. Kawanan penipu itu akan mencoba lagi dan menemukan korban yang lebih tepat.
***
Orang jahat tumbuh di lahan subur di negeri ini. Mulai dari penipu profesional sampai orang yang hanya gemar menipu daya saja karena menguntungkan. Politisi busuk lebih berkuasa daripada politisi baik. Orang baik tersisihkan dan koruptor menjadi pemimpin.
Sedangkan orang baik kehilangan kepercayaan dirinya. Tak ingin melakukan perlawanan terhadap para penjahat. Cukup mencari selamat. Hakim dan jaksa baik terlibas dalam keadaan dan bungkam.
Kecurigaan sering menyelimuti hati orang baik, sekalipun nilai hidup yang diajarkan orang tuanya dahulu adalah larangan untuk su’udzon kepada sesama. Berprasangka baiklah, kata orang tua dahulu.
Setiap datang orang yang meminta pertolongan –seperti salah seorang bibi kandung yang datang meminjam sejumlah uang untuk biaya masuk sekolah anak bungsunya- menimbulkan prasangka pada Kang Dedi. Bukankah bibi membeli TV baru minggu yang lalu? Tanyanya.
Bibi tersinggung dan pulang dengan perasaan marah. Meskipun diterimanya uang pinjaman sebanyak dua juta rupiah, namun dilancarkannya pembalasan bibi terhadap keponakannya itu. Bibi menelpon saudara perempuannya untuk menyampaikan betapa hatinya sakit karena ucapan keponakannya itu. Telepon ini menjalar ke berbagai penjuru seperti sebuah jaring laba-laba dan akhirnya telepon dari ayah Kang Dedi berdering untuk menyelesaikan masalahnya.
Ayah Kang Dedi yang sudah sangat sepuh mengharapkan anaknya meminta maaf atas ucapannya kepada bibinya itu, selaku orang muda kepada orang yang lebih tua. Tapi Kang Dedi menuruti kata hatinya sendiri, tidak meminta maaf pada bibinya.
Beberapa hari kemudian, seorang sepupunya menelpon dan menyampaikan bahwa bibi telah datang kepadanya untuk meminta pinjaman yang sama. Kemudian seorang kerabat lainnya pun menyampaikan informasi yang sama tentang bibi.
***
Pembunuh hati nurani, begitulah sebutan Kang Dedi terhadap orang-orang yang datang kepada orang baik untuk menimbulkan rasa bersalah bila tak punya belas kasihan, tak memberi pertolongan, atau berpraduga bahwa dirinya sedang ditipu.
Pertempuran antara baik dan jahat akan berlangsung sampai akhir jaman. Kekalahan mutlak kebaikan adalah akhir jaman itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar