Herman tidak pernah merasa dekat dengannya. Tidak mengenalnya. Kanak-kanak selalu ingin bersahabat. Tetapi orang dewasa menjaga jarak. Tidak mau mendapat kesusahan dari kerabat dan keponakan-keponakannya yang banyak. Apalagi bila seorang paman yang kaya dengan perjuangan yang panjang dan penuh keringat.
Setiap tahun uwak, paman, bibi, keponakan, sepupu, dan pinisepuh, bertemu beberapa kali. Lebaran. Acara pernikahan. Acara kematian. Sunat seorang anak dalam keluarga. Semua bersalaman dan saling bertegur sapa. Tetapi jarak tetap dijaga. Herman menyebut pinisepuh untuk semua orang yang lebih tua dari orang tuanya, yaitu kakek nenek dan termasuk paman dan bibi dari orang tuanya.
Paman tak pernah bertanya tentang sekolah keponakannya. Tidak tentang cita-citanya. Atau tentang hal-hal yang menunjukkan keakraban. Apalagi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Masalah utama pasti uang. Keluarga dengan anak banyak, biaya pendidikan pasti akan selalu menjadi kesulitan.
Keponakan senang mendapat nasihat-nasihat dari paman. Tapi kalau masalah utamanya bukan memerlukan nasihat melainkan sedikit kemurahan hati dengan uang, lebih baik seorang paman tidak memberi nasihat.
Seingat Herman, pamannya itu tak pernah memberi nasihat. Hanya berbicara beberapa kalimat sapaan saat berjumpa.
Jadi, Herman tidak mengenal pamannya itu. Hanya tahu dari kulit luarnya.
***
Dibandingkan dengan ayah Herman, pamannya itu lebih berhasil dalam jabatan, ekonomi, dan juga relasi sosial. Keberhasilan dalam pengertian yang berlaku di masyarakat Indonesia. Mungkin begitu. Herman mencoba mengerti perbedaan ayahnya dengan adik kandungnya itu.
Ayah Herman memiliki rumah yang sederhana sekali ketika menyerahkan begitu saja rumah dinas yang sangat bagus. “Lebih baik rumah sendiri, meskipun sederhana...” begitu katanya. Herman sangat sakit hati pada ayahnya pada waktu kitu. Sakit hati karena keluarganya menempati rumah di perkampungan, saat itu masih di pinggir Kota Bandung.
Kampung yang hijau dan pernah memiliki sawah, kebun dan rumpun-rumpun bambu di pinggir kalinya itu, tiga puluh tahun kemudian sudah berada di tengah kota yang padat dengan bangunan. Hilang juga rumah-rumah berkaki yang ada di sekeliling rumah Herman pada masa kanak-kanak.
Ayah memakai motor vespa, ketika adiknya sudah memiliki dua mobil dengan rumah yang bagus dilengkapi garasi. Kelima anak paman masing-masing punya sepeda sehingga garasi itu pun cukup besar untuk memuat semuanya. Sedangkan Herman harus berpuas diri menggunakan sepeda bergantian dengan kakak-kakak dan adik-adiknya. Hanya ada satu sepeda untuk tujuh bersaudara itu.
Paman sering masuk koran lokal karena jabatannya. Pernah juga menjadi berita karena kasus korupsi. Dua tahun kemudian jabatannya naik dan Herman melihatnya bertambah kaya. Rumahnya ganti dengan yang lebih mewah.
***
Herman tahu ibunya sering kesulitan saat ganti semester. Biaya sekolah. Selalu saat itu menjadi momen keluhan ibunya terhadap sang paman. “Apakah dia lupa bahwa sekolahnya dibiayai oleh ayahmu?” tanyanya. “Aku tidak meminta, tapi meminjam. Akan kucicil pembayarannya....” Ibu selalu mengulang hal itu setiap semester. Ayahku adalah anak sulung, sedangkan paman yang kaya merupakan anak ke-6 dari 8 bersaudara.
Paman khawatir pinjaman itu hanya basa-basi. Sebenarnya meminta. Pinjaman untuk biaya sekolah bukanlah hal sedikit. Ibu berjanji akan membayar cicilan sampai 6 bulan. Artinya bukan sedikit. Riskan dengan hal itu, paman selalu mengatakan tidak punya karena anak-anaknya pun menghadapi semesteran. Begitu dugaan Herman.
Tidak pernah pamannya itu memberi uang pada keponakan-keponakannya. Sekalipun hanya untuk sekedar jajan. Apalagi memberi uang untuk pembeli buku atau uang sekolah bulanan. Keponakan-keponakan sebanyak itu. Sebaiknya tidak pernah memberi apa-apa karena akan sangat menyulitkan.
Sesudah dewasa, Herman merasa maklum saja. Itulah jaman yang terakhir sebuah keluarga memiliki anak banyak. Ayah dan ibunya adalah generasi orang tua beranak banyak yang terakhir. Terimakasih pada Keluarga Berencana karena sekarang kebanyakan keluarga hanya punya dua anak. Terimakasih juga pada jaman yang baru karena sekarang tidak punya anak bisa menjadi sebuah gaya hidup yang bebas atau kepongahan bagi mereka yang mengejar karier. Paling tidak di kota besar bisa.
***
Telepon berdering. Herman mendengar suara ibunya yang sudah tua di seberang sana. “Pulanglah, pamanmu meninggal dunia....” begitu inti pembicaraan ibunya. Herman punya jadwal seminar di luar negeri. Tiket pesawat sudah tersedia untuk penerbangan besok. “Kamu harus pulang. Pamanmu sendiri meninggal. Paman kandungmu...” kata ibunya.
Herman mencoba menjelaskan bahwa dia akan datang setelah pulang nanti. Berarti seminggu kemudian. Ibunya menjadi marah. “Ketika kalian menikah, paman kalian menjadi wali karena ayah kalian sudah tak ada....” Selesai sudah perdebatan itu. Herman berangkat dari Jakarta ke Bandung saat itu juga. Langsung menuju rumah duka.
Seperti yang selalu dialaminya sejak kanak-kanak, Herman bertemu dengan para kerabat. Pinisepuh sudah hampir semua tak ada, kecuali seorang uwak yang berusia hampir 100 tahun dan sudah tidak dapat mengenali siapa pun. Seorang uwak yang berusia 85 tahun dan daya ingatnya masih baik, kecuali berjalannya sudah agak terseok. Sedangkan paman-paman dan bibi-bibi sudah menjadi pengganti pinisepuh yang lama, merekalah yang sudah sepuh-sepuh sekarang. Pikun, tuli, dan pemarah. Ibu Herman sendiri sudah sangat tua, pikun, pengomel, dan ajaib... ia melupakan semua hal-hal tak enak yang terjadi dengan saudara-saudara dari suaminya yang jarang membantu kesulitannya.
Para anak, keponakan, sekarang sudah menjadi para orang tua. Anak-anak mereka pun sudah tak terlalu mengingat hubungan persaudaraan keluarga besar. Anak-anak sekarang hanya mengingat paman dan bibi kandung serta sepupu-sepupunya saja. Tidak mengenal cabang dan ranting kekerabatan yang lebih luas.
***
Herman duduk di atas tikar di hadapan jenasah pamannya untuk berdoa. Tikar dan karpet digelar diseluruh ruang tamu dan tengah. Para pelayat duduk di pinggir-pinggir, sepanjang tembok. Jenasah terletak di tengah ruang tamu.
Kehadiran Herman mengorbankan seminarnya yang penting. Herman tak mengenal pamannya. Tak pernah ada percakapan antara paman dan dirinya sepanjang ingatannya. Ketika kanak-kanak, pamannya hanya bersalaman dengannya sambil berkata pada ibunya “Ini anak yang nomor berapa ya....” Ibunyalah yang menjawab. “Itu si Herman, anak nomor empat...” Pertanyaan yang diulang setiap kesempatan bertemu. Tentu saja Herman maklum dengan hal itu. Karena keponakan terlalu banyak dan wajah anak-anak mudah berubah. Setahun kemudian sudah menjadi anak yang lebih besar atau gemuk, atau kurus, atau botak.
Herman menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran-pikiran kacau itu. Ibunya memperhatikan dan memandangnya dengan tajam. Herman menoleh pada bibinya yang sudah tua dan berlinang-linang air mata menangisi jenasah. Haruskah saya memeluk bibi? Tanyanya dalam hati. Seingatnya, belum pernah ada kekariban serupa itu antara dirinya dengan bibinya.
Ibunya memandang Herman terus. Haruskah aku mengucapkan kata-kata sanjungan bahwa aku kehilangan paman? Herman tidak mengenal pamannya dan tidak merasa kehilangan. Herman menjadi canggung.
Sebagai jalan keluar, Herman menyerahkan sebuah amplop tebal kepada bibinya sambil bersalaman. Mengucapkan ikut belasungkawa sambil menepuk pundak bibinya. Sang bibi menangis dan mengucapkan terimakasih. “Itu Herman, anakku nomor empat....” ibunya mengatakan itu dengan rasa bangga pada pada semua yang hadir di dekat dia. Kemudian kepala-kepala itu mengangguk-angguk sambil memandang dan tersenyum pada Herman. Mereka semua juga melihat amplop yang tebal itu. Para orang tua itu memandang Herman dengan wajah lembut. Keponakan yang baik, membantu biaya sang paman. Selama hampir satu tahun keluar masuk rumah sakit telah menghabiskan harta bendanya.
Herman kemudian bergabung dengan saudara-saudaranya yang lain, duduk menunggu pemberangkatan jenasah ke pemakaman. Pamannya meninggal pada usia 76 tahun.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar