Sabtu, 24 September 2011
Cinta Linda untuk Herman
Pintu diketuk.
Kamu waktu itu berdiri di depan pintu. Kita saling berpandangan. Aku memutuskan memilihmu untuk bercinta.Untuk tidak perawan lagi.
Beberapa kali Linda punya pacar. Tanpa hubungan sex. Perempuan harus menolak hubungan sex. Harus membentengi diri. Begitulah yang harus dilakukan perempuan. Menurut norma masyarakat yang berlaku.
Linda membuka pintu dan bertanya, “Mau ketemu siapa?” Kemudian terjadi perkenalan dan perbincangan dengan pria yang mengetuk pintu. Seorang teman menitipkan pesan umelalui pria muda itu. Herman namanya. Selama mereka saling bicara, Linda memandang wajah si pria. Dan sebaliknya. Tak lama, selesai sudah tugas Herman sebagai penyampai pesan. Linda melihatnya berjalan pergi. Pria itu menoleh ke belakang dan mereka saling berpandangan lagi sebentar.
Kemudian, suatu hari kamu datang lagi. Kita pun lalu bercinta. Aku memilihmu untuk melakukan sex. Setelah selalu berpura-pura tidak mau. Seperti yang dilakukan oleh kebanyakan perempuan yang baik. Aku kehilangan keperawananku pada tahun 1992 di Bandung. Usiaku 31 tahun. Aku tidak khawatir. Aku menikmatinya.
Usia mudaku sudah hampir lewat. Kamu bilang, sex denganku bukan untuk yang pertama kalinya. Keperjakaanmu hilang pada umur 14 tahun.
***
Linda menghabiskan hampir satu tahun untuk menulis dan menyunting sebuah buku tentang pembuatan kerajinan kulit. Berhenti menjadi jurnalis. Menyerah hanya karena intimidasi yang dilakukan intel yang berwajah penuh senyuman. Atau karena pemalas saja. Linda bukan seorang pejuang. Tidak ingin menjadi jurnalis lagi karena harus bermental pejuang.
Dia tidak punya rencana. Melakukan apa yang ada di depan matanya. Tak punya ambisi. Merumuskannya pun tak tahu bagaimana caranya.
Satu-satunya yang terfikir olehnya adalah menjadi penulis. Yang diinginkannya adalah bekerja di penerbitan. Linda butuh pekerjaan yang memberikan gaji. Tidak bermaksud menjadi penulis novel atau cerpen yang menghasilkan honor. Tapi ingin jadi editor yang makan gaji dari sebuah penerbit. Dan menulis di luar jam kerja sebagai kesenangan belaka.
Maka, pekerjaan menulis dan menyunting buku tentang pembuatan kerajinan kulit itu dilakukannya sebagai kerja. Herman membantu Linda menggarap pekerjaan yang didapatkan dari seorang teman yang mengenal sebuah kantor yang mendapatkan proyek penulisan buku itu dari Depdikbud. Saat itu, Linda juga melamar pekerjaan ke sebuah penerbitan terkenal untuk menjadi editor. Setelah test, lalu tidak diterima. Sementara Linda mencari-cari kerja baru, Herman setiap hari kuliah dan menghabiskan sisa waktunya untuk belajar komputer.
Kamu selalu bersamaku selama tahun ini..... Tahun 1993 adalah salah satu tahun kedigjayaan Orde Baru. Tak seorang pun tahu bagaimana diktator negeri ini dapat ditumbangkan. Gerakan perlawanan telah mandul.
Tapi kita tak memikirkan politik. Kita bercinta penuh nafsu. Makan nasi bungkus satu untuk berdua....
Usiamu 22 tahun. Tak sedikit pun kamu tunjukkan rasa risi terhadap pandangan mata orang-orang yang melihat kita berjalan sambil berpegangan tangan. Aku merasa 20 tahun.
***
Tahun ini, Linda menghabiskannya untuk menyunting dua buah buku. Buku-buku tentang pembangunan. Berbeda dengan buku-buku fiksi yang jadi kesukaannya. Juga berbeda dengan penulisan feature dan reportase yang dulu pernah dikerjakannya sebagai wartawan. Linda bekerja di sebuah lembaga pengembangan masyarakat dengan pembuatan publikasi sebagai salah satu kegiatannya. Pekerjaan ini didapatnya dari seorang teman yang mengatakan “Kamu akan suka pekerjaannya...”
Linda memang suka pekerjaannya. Hidupnya jadi begitu mewah. Membaca banyak buku. Bertemu dengan orang-orang yang menjadi narasumber penyuntingan buku. Bertemu dengan masyarakat di berbagai tempat yang menjadi subyek tulisan dari publikasi yang dikerjakan. Funding asing membiayainya.
Selebihnya, banyak waktunya untuk melamun. Terbersit dalam pikirannya suatu saat ia akan menuliskan khayalan-khayalannya. Menjadi sebuah novel. Atau paling tidak kumpulan cerita pendek.
Linda banyak melakukan perjalanan-perjalanan ke pedalaman. Bertemu dengan orang-orang di suatu tempat yang asing. Sementara Herman santai saja menjalani kuliahnya. Berkat subsidi pemerintah, biaya kuliah murah di perguruan tinggi negeri dapat dinikmati mahasiswa santai untuk tidak cepat lulus.
Setiap aku pulang dari perjalanan, kamu orang yang akan mendengar cerita-cerita perjalananku. Kamu memberiku sebuah kue ulang tahun dengan 3 lilin saja dan kita hanya berdua. Kamu menyanyikan “Selamat ulang tahun... Selamat ulang tahun.... Selamat ulang tahun, Linda.... Selamat ulang tahun....” sambil menciumi leherku dari belakang.
Pada tahun 1994 kita masih suka bercinta dan banyak membaca buku yang sama.....Kita tak suka menonton TV karena takut melihat wajah menteri penerangan yang setiap berkata dimulai dengan frasa “berdasarkan petunjuk Bapak Presiden” akan memualkan perut.... Membuat kita tidak jadi makan.
***
Linda menikmati saja pekerjaannya dan membiarkan waktu habis. Seperti menghabiskan tabungan di bank. Bukan mencari uang untuk ditabungkan di bank. Begitu caranya memperlakukan waktu.
Waktunya dihabiskan untuk perjalanan ke berbagai daerah, pulau-pulau. Ia menghilang di kampung-kampung pedalaman berminggu-minggu, kadang bulan. Antara lain merekam apa yang dikerjakan Silvia bersama para petani lahan kering di sebuah desa di Timor Tengah Utara. Silvia berada di kampung 3 minggu dalam sebulan. Hanya 1 minggu dalam sebulan berada di kota dan berkumpul dengan suami dan anak-anaknya. Pekerjaan Silvia disebut sebagai petugas lapangan. Sedangkan pekerjaan Linda tidak bernama.
Linda menulis buku tentang cara kerja pendampingan. Membuat pelatihan-pelatihan untuk para petugas lapangan dan kader masyarakat. Melatih mereka menuliskan bahan belajar dengan masyarakat. Menuliskan proses dan hasil ujicoba teknologi yang mereka kerjakan di kebun-kebun yang sedang dikonservasi.
Pekerjaannya tidak punya nama. Linda tidak pernah bisa menuliskan pekerjaannya disebuti apa di dalam CV-nya. Juga tidak bisa menyebutkan pekerjaannya apa bila ditanya orang. Ia sering duduk-duduk bersama masyarakat yang sedang kerja kelompok. Menjadi teman baru mereka yang datang dan kemudian pergi.
Herman yang santai. Linda yang santai, tidak merumuskan arah tujuan hidupnya. Mereka generasi santai yang membelanjakan waktu begitu saja.
Percintaan di antara kita mulai melelahkan. Kita jemu dengan percumbuan yang dilakukan tanpa cinta yang lebih spiritual. Hubungan fisik yang dilakukan secara biologis belaka. Itu bukan cinta.
Kita tak peduli politik. Aku menemanimu memotong rambut di bawah pohon di tepi Jalan Supratman. Kamu menemaniku bekerja di rumah. Kita jalan-jalan sambil berpegangan tangan. Makan nasi padang satu piring berdua. Aku membaca buku dan kamu menyuapiku. Kita sudah jarang bercinta....
Berita di koran pada tahun 1995 memprovokasi rejim bahwa Megawati semakin berbahaya. Kelompok marhaen menggunakan atribut hitam dan merah di jalan, di angkot, dan posko-posko yang bertebaran di seluruh kota. Tukang becak mengibarkan bendera-bendera bergambar banteng sebagai atribut becaknya. Menjadi simbol rakyat. Masyarakat akar rumput. Dan mereka mayoritas.
Salahnya, semua pagar di jalan umum dan gedung publik, bahkan bangunannya, serta kios-kios pedagang kaki lima, dicat serba kuning. Sehingga bermunculan atribut dan warna yang melambangkan rakyat. Melawan.
***
Linda mencari cinta sejati. Cinta yang mengikat dua jiwa menjadi satu. Menjadi cinta birahi yang lebih spiritual. Ia bertemu dengan Yusuf. Pria lembut yang memperlakukan wanita dengan begitu santun. Memandang mesra dengan cara seorang pria yang sopan. Kemudian Linda bertemu Nico. Hasratnya menyala-nyala dan membuat Linda merasa jadi Ratu Sedunia. Menikahlah denganku, pinta Nico. Begitu cepat dan tanpa keraguan. Birahi menyala-nyala dalam cintanya.
Namun Linda terlalu ragu. Ragu dengan cinta. Yusuf bilang cinta itu hanya untuk Allah. Menikahlah demi Allah. Sebagai ibadah. Nico seorang pencinta sejati. Bunga dan puisi dikirimnya. Kekasih yang ingin dimiliki. Herman tak pernah menyatakan cinta. Tak meminta apa pun tapi selalu ada dalam keseharian Linda. Memasak untuk Linda. Membetulkan genteng yang bocor. Yang manakah cinta?
Linda ragu dengan pernikahan. Perempuan harus masih perawan. Sedang lelaki tidak. Perempuan menjadi pengikut. Pria menjadi pemimpin. Perempuan tidak lagi menjadi individu. Nama perempuan menikah akan dihapuskan menjadi nama suaminya. Ibu Yusuf. Ibu Nico. Ibu Herman (tidak terpikir oleh Linda mengingat Herman berusia 9 tahun lebih muda darinya). Atau mamanya Polan (anak lelakinya). Mamanya Mulan (anak perempuannya).
Linda lebih memilih menghabiskan waktu tanpa komitmen. Menghindari pengorbanan yang banyak. Enggan dengan tanggung jawab insan untuk berkeluarga. Ingin menggunakan waktu kebebasannya sedikit lebih lama lagi. Lalu sedikit waktu lagi. Kemudian, lagi. Waktu pun berlalu tanpa terasa.
Kamu mencari cinta sejatimu.... Aku dan kamu masing-masing mencari cinta sejati. Di antara kita telah didefinisikan menjadi hubungan tak sejati. Tapi setiap aku pulang dari perjalanan, aku kembali padamu....
Tahun 1996 kamu pergi ke kota lain untuk bekerja setelah lulus kuliah. Aku kira berakhirlah lebersamaan kita setelah itu. Tapi setiap akhir minggu kamu datang dengan perjalanan bis 4 jam. Meski kita bersama dalam waktu lebih sedikit dan jarang, hubungan kita belum tamat.
Aku memutuskan untuk tidak menikah karena keharusan. Menikah karena gunjingan orang, desakan keluarga, atau status di masyarakat. Aku tidak berfikir untuk menikah denganmu.... Karena kamu bukan cinta sejatiku.....
***
Kita tidak memutuskan untuk mencintai. Karena cinta itu tidak bisa dipilih. Cinta itu yang memilih. Kebebasan manusia ada batasnya. Menyadarkan manusia pada kelemahannya. Linda meragukan cinta. Tapi dia terjerumus dalam cinta. Linda enggan pada pernikahan. Tetapi cinta itu mengikat bagai perangkap.
Ia harus menerima kenyataan bahwa akhirnya tak bisa melarikan diri dari cinta. Cinta membuat jiwanya rapuh. Menjadi perih tanpa kehadiran Herman. Dilanda kerinduan. Meneteskan air mata karena takut kehilangan. Karena cemburu.
Aku menikahi kamu tepat pada tanggal, bulan, dan tahun terjadi penyerangan terhadap kantor pusat PDI di Jakarta. Sebuah peristiwa yang mungkin memantik api yang menggelorakan gerakan mahasiswa yang melahirkan era reformasi dan melengserkan Soeharto di tahun berikutnya.
Tapi kita tak percaya politik. Aku dan kamu tidak peduli lagi apakah pada Pemilu berikut kita akan tetap Golput ataukah tidak. Kita menikah dan berikrar cinta sehidup semati.
Usiaku dan usiamu terpaut jauh. Tapi aku menjadi muda dan bahagia. Persetan warna kuning, merah, dan hijau....
Aku mencintaimu, Herman. Jadilah kekasihku selama-lamanya....
***
Selasa, 20 September 2011
Senin, 19 September 2011
Terlambat
Dina ingin melupakannya. Tapi Indra terus-menerus datang melalui mimpi-mimpinya. Sepertinya tak ingin dilupakan. Seperti roh penasaran yang bergentayangan. Mencoba mencari jawaban atas sejumlah pertanyaan. Dan menyelesaikan pekerjaan yang belum terselesaikan.
“Pergilah dan lupakan semua yang terjadi antara kita....” Kata Dina kepada Indra. Cukup sudah, aku tak sanggup lagi kamu sakiti.
“Mengapa kamu menyerah padaku?” Tanya Indra kepada Dina. Kamu meninggalkan aku. Menikah dengan pria lain.
“Apakah kamu mencintaiku?” Tanya Dina kepada Indra. Kalau cinta, mengapa kita berpisah. Kalau tak cinta, mengapa kita bersama sekian lama. Aku tak sanggup melihatmu tak mencintai aku. Itu sebabnya aku pergi.
“Kita telah bersama selama 5 tahun...” Kata Indra. Aku tak biasa tanpamu sesudah itu. Cinta karena rupa, bisa pudar. Cinta karena pandangan, bisa indah sesaat. Tapi kita telah bersama sekian tahun. Aku tak bisa melepaskan kenangannya begitu saja.
***
Dua puluh lima tahun telah berlalu. Dina terbangun di subuh hari dengan air mata membasahi wajahnya. Bukankah 25 tahun itu lama. Kenapa belum berakhir juga? Tanya Dina pada dirinya sendiri. Selama dua puluh lima tahun, Indra tak pernah absen menjenguk Dina melalui mimpi.
Apakah kamu sesedih aku? Lima tahun bersama itu begitu dalam menyakiti hatiku. Membuat aku sangat terluka. Karena kamu tidak mencintai aku. Tapi 25 tahun perpisahan membuat Dina mengerti, cintanya pada Indra tak bisa hilang. Sakit terasa.
Bukan aku yang pergi. Kamulah yang pergi meninggalkan aku. Kata Indra dalam sebuah mimpi. Seharusnya kamu tak menyerah. Kamu seharusnya menyanderaku. Kamu seharusnya mengurangi rasa harga dirimu karena harus merebut cintaku dari perempuan lain. Kamu seharusnya mempertahankanku.
Indra memutuskan kekasihnya. Perasaan sayangnya pada Dina –sahabatnya- telah membuatnya melakukan itu. Indra menyadari kecemburuan dan luka di hati Dina yang timbul bila seorang perempuan dekat dengannya.
***
Dina meninggalkan Indra. Kebersamaan selama 5 tahun, terasa menyakitkan bagi Dina. Karena dia jatuh cinta pada Indra, sebaliknya Indra hanya menganggapnya sebagai sahabat. Indra tidak memiliki cinta seperti yang dialami Dina kepadanya.
Cinta itu tumbuh. Cinta Indra kepada Dina. Ketika mereka telah terpisah. Indra jatuh cinta kepada Dina ketika dia ditinggalkan. Berharap Dina akan kembali. Namun akhirnya menyadari bahwa takdir hanya akan menjadikan cintanya dan Dina tak akan pernah dipertemukan. Hanya dapat mencintai dari kejauhan.
“Aku cinta padamu...” Indra berkata kepada Dina. Sementara Dina tidak mengetahuinya karena ucapan itu hanya tercetus di dalam sanubari Indra. Sedang Dina berada di suatu tempat. Menjadi istri dari seorang suami. Menjadi ibu dari anak-anaknya. Menjadi kekasih Indra dalam fatamorgana.
“Aku masih cinta padamu...” Dina berkata kepada Indra. Sementara Indra tak mendengar karena memang ia tak ada. Indra ada di suatu tempat. Menjadi suami dari istrinya. Menjadi bapak dari anaknya. Menjadi kekasih Dina, walau hanya bayangan. Dina menyadari bahwa cinta Indra hanya dapat dimilikinya dari kejauhan. Indra menyadari cintanya pada Dina tak bisa kesampaian.
Indra dan Dina selalu saling berkunjung dalam kerinduannya. Jiwa mereka tetap terhubung. Dua puluh lima tahun berlalu, dan mereka tak saling melupakan.
***
Rambut Indra sudah separuhnya memutih. Tubuhnya menjadi lebih gemuk dan perutnya membuncit. Wajah Dina telah banyak memiliki kerut. Tubuhnya pun menjadi lebih gemuk dan rambutnya tidak lagi berkilau seperti dulu. Kemudaan itu telah berlalu.
Orang yang pernah mereka cintai telah tak ada. Telah menjadi orang yang berbeda. Bayangan wajah orang yang dicintainya adalah wajah-wajah masa lalu.
***
“Pergilah dan lupakan semua yang terjadi antara kita....” Kata Dina kepada Indra. Cukup sudah, aku tak sanggup lagi kamu sakiti.
“Mengapa kamu menyerah padaku?” Tanya Indra kepada Dina. Kamu meninggalkan aku. Menikah dengan pria lain.
“Apakah kamu mencintaiku?” Tanya Dina kepada Indra. Kalau cinta, mengapa kita berpisah. Kalau tak cinta, mengapa kita bersama sekian lama. Aku tak sanggup melihatmu tak mencintai aku. Itu sebabnya aku pergi.
“Kita telah bersama selama 5 tahun...” Kata Indra. Aku tak biasa tanpamu sesudah itu. Cinta karena rupa, bisa pudar. Cinta karena pandangan, bisa indah sesaat. Tapi kita telah bersama sekian tahun. Aku tak bisa melepaskan kenangannya begitu saja.
***
Dua puluh lima tahun telah berlalu. Dina terbangun di subuh hari dengan air mata membasahi wajahnya. Bukankah 25 tahun itu lama. Kenapa belum berakhir juga? Tanya Dina pada dirinya sendiri. Selama dua puluh lima tahun, Indra tak pernah absen menjenguk Dina melalui mimpi.
Apakah kamu sesedih aku? Lima tahun bersama itu begitu dalam menyakiti hatiku. Membuat aku sangat terluka. Karena kamu tidak mencintai aku. Tapi 25 tahun perpisahan membuat Dina mengerti, cintanya pada Indra tak bisa hilang. Sakit terasa.
Bukan aku yang pergi. Kamulah yang pergi meninggalkan aku. Kata Indra dalam sebuah mimpi. Seharusnya kamu tak menyerah. Kamu seharusnya menyanderaku. Kamu seharusnya mengurangi rasa harga dirimu karena harus merebut cintaku dari perempuan lain. Kamu seharusnya mempertahankanku.
Indra memutuskan kekasihnya. Perasaan sayangnya pada Dina –sahabatnya- telah membuatnya melakukan itu. Indra menyadari kecemburuan dan luka di hati Dina yang timbul bila seorang perempuan dekat dengannya.
***
Dina meninggalkan Indra. Kebersamaan selama 5 tahun, terasa menyakitkan bagi Dina. Karena dia jatuh cinta pada Indra, sebaliknya Indra hanya menganggapnya sebagai sahabat. Indra tidak memiliki cinta seperti yang dialami Dina kepadanya.
Cinta itu tumbuh. Cinta Indra kepada Dina. Ketika mereka telah terpisah. Indra jatuh cinta kepada Dina ketika dia ditinggalkan. Berharap Dina akan kembali. Namun akhirnya menyadari bahwa takdir hanya akan menjadikan cintanya dan Dina tak akan pernah dipertemukan. Hanya dapat mencintai dari kejauhan.
“Aku cinta padamu...” Indra berkata kepada Dina. Sementara Dina tidak mengetahuinya karena ucapan itu hanya tercetus di dalam sanubari Indra. Sedang Dina berada di suatu tempat. Menjadi istri dari seorang suami. Menjadi ibu dari anak-anaknya. Menjadi kekasih Indra dalam fatamorgana.
“Aku masih cinta padamu...” Dina berkata kepada Indra. Sementara Indra tak mendengar karena memang ia tak ada. Indra ada di suatu tempat. Menjadi suami dari istrinya. Menjadi bapak dari anaknya. Menjadi kekasih Dina, walau hanya bayangan. Dina menyadari bahwa cinta Indra hanya dapat dimilikinya dari kejauhan. Indra menyadari cintanya pada Dina tak bisa kesampaian.
Indra dan Dina selalu saling berkunjung dalam kerinduannya. Jiwa mereka tetap terhubung. Dua puluh lima tahun berlalu, dan mereka tak saling melupakan.
***
Rambut Indra sudah separuhnya memutih. Tubuhnya menjadi lebih gemuk dan perutnya membuncit. Wajah Dina telah banyak memiliki kerut. Tubuhnya pun menjadi lebih gemuk dan rambutnya tidak lagi berkilau seperti dulu. Kemudaan itu telah berlalu.
Orang yang pernah mereka cintai telah tak ada. Telah menjadi orang yang berbeda. Bayangan wajah orang yang dicintainya adalah wajah-wajah masa lalu.
***
Rabu, 14 September 2011
From Molluca with Love
Teman mudaku ini –Shanti- kehausan akan cinta. Dan itu membuat aku iri hati padanya. Pria baik hati yang bertutur kata sopan, membuatnya jatuh hati. Cinta segera berbunga begitu melihat wajah yang tampan. Namun kali yang lain, rayuan gombal dan tatapan mata sahdu seorang pria bisa membuatnya merasa itu cinta sejatinya.
Sungguh menyedihkan mengenang masa-masa aku semuda itu, jadinya. Sungguh sekejap berakhirnya masa-masa penuh gairah dan semangat untuk mengejar cinta seseorang. Aku bahkan telah menyia-nyiakannya. Aku hanya mencinta satu orang. Aku akan patah hati bila kehilangan. Akan tenggelam dalam kesedihan bila dikhianati. Masa mudaku sudah berlalu tanpa banyak cerita cinta. Sementara dalam kemudaannya, energi cinta yang dimiliki Shanti begitu bersinar. Begitu terbuka.
***
Shanti asyik membuka laptop dan menelusuri foto-foto indah perjalanan kami di Pulau Ternate, Halmahera, Ambon, dan Seram. Beberapa foto pria yang dibidiknya lebih menarik perhatiannya ketimbang panorama indah kepulauan Maluku dengan pantai-pantainya yang biru.
“Banyak pria tampan di Maluku....” kata Shanti. Penuh dengan gairah perempuan muda pencari cinta. “Mana yang lebih tampan, Zul atau Jose?” tanyanya.
Zul, pria yang merasa dirinya dan seluruh orang Maluku keturunan Bugis, berwajah kearab-araban. Sedangkan Jose, berwajah tampan eksotis, dengan wajah gelap khas etnis Alifuru. Dua profil yang mewakili dua kelompok yang hampir sama banyaknya di Maluku, orang Muslim dan orang Kristen.
“Keduanya tampan....” kataku.
”Betul, kan?” kata Shanti dengan ceria. “Mungkin aku akan tinggal di sini dan menikahi salah satunya.....” katanya. Selalu begitu. Jatuh cinta dengan cepat. Mengkhayalkan pangerannya. Kemudian besok lusa jatuh cinta lagi.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. :”Terserah kau lah, yang penting segera selesaikan laporan lapangannya. Aku mau semua selesai di sini. Tidak ada yang belum selesai saat kita pulang ke Jakarta.....”
“No problem, bunda!” katanya sambil menghempaskan badan di atas tempat tidur. Telentang dan mengkhayalkan pria tampan yang turun dari khayangan. Ah, menjengkelkan panggilannya itu padaku. Membuatku menjadi tua. Sementara dia menikmati kemudaan dan fantasi cintanya dengan gairah. Sungguh usia kepala empat yang tak siap kuhadapi. Dan anak centil 23 tahun yang sudah S-2 ini dengan semena-mena memanggilku bunda, sehingga aku menjadi setua ibunya.
“Kerjakan sekarang, Shanti....” kataku. “Sebentar lagi, bunda!” katanya sambil memejamkan mata. Di lantai kamar hotel tempat kami menginap, berserakan buku, dokumen, dan kertas-kertas. Laptop terbuka di atas lantai....
***
Keesokan harinya, kami melakukan perjalanan ke sebuah desa yang sangat indah. Pulau-pulau kecil mengambang di atas lautan biru. Terlihat dari tempat yang tinggi. Aku dan Shanti ditemani oleh tiga orang pemerintah yang usianya masih muda-muda, selama melakukan studi di lapangan. Dua orang pria dan satu perempuan.
Shanti sangat bersemangat. Jose ada di antara kelompok ini, menyopiri mobil yang membawa tim ke lapangan. Mendadak dia berpendapat bahwa Jose lebih tampan dibandingkan Zul. Juga lebih berwajah Maluku. Dalam anggapan kebanyakan orang Jawa, orang Maluku itu berkulit gelap. Padahal kenyataannya, separuhnya berwajah kearab-araban serupa Zul.
Keceriaan orang-orang muda yang ada di timku itu menyenangkan. Membuat aku merasa ikut bersemangat. Jadi, aku tidak keberatan bila Shanti dan Jose selalu berdekatan. Selama, tugas-tugas yang harus kami kerjakan bisa dilakukan. Pekerjaan itu menjadi lebih ringan dengan adanya bunga-bunga cinta yang memberi gairah.
Kami makan ikan bakar dan nasi kuning yang sangat enak di sebuah pasar lokal. Minum air kelapa. Duduk-duduk sebentar di tepi pantai yang menghadap Laut Banda.Samar-samar nampak Pulau Arafuru dan Saparua bersisian.
Hari sudah gelap ketika kami tiba di hotel tempat aku dan Shanti menginap. Sementara teman-teman muda yang mengantar kami ke lapangan itu kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka senang bisa mendampingi kerja kami, rupanya. Dengan penuh minat terlibat dalam pekerjaan studi yang kami lakukan dan juga membuat catatan-catatan sendiri.
Kami berpisah dan berjanji besok pagi untuk mengantar bertemu dengan beberapa orang yang akan kami wawancara. Dari Dinas dan DPRD.
***
Shanti berbaring telentang sambil memejamkan mata. Kemudian dia memperhatikan aku. Sambil menghela nafas panjang. “Capek?” tanyaku. “Kangen karena berpisah dengan calon pendamping hidupmu di Maluku? Kan besok ketemu lagi....”
Sambil merengut Shanti melemparku dengan buah pala yang dipungutnya saat di desa. “Sial. Dia menatapmu terus, bunda! Dia tidak pernah menatap aku....”
Aku menoleh padanya. Tersenyum. Membayangkan wajah Jose yang malu-malu memandangku. Sangat gembira ketika memegang tanganku saat kami berjalan di medan yang sulit, sementara Shanti harus bersusah payah berjalan sendiri karena tak mau dibantu oleh yang lainnya. Saat berjalan di sisi Shanti, wajahnya pun lebih banyak memperhatikanku. Menatap dan tersenyum. Entah apa artinya.
Shanti menutup wajahnya dengan bantal. Kecewa setengah mati karena mengharapkan mendapatkan momen cinta di saat berjalan di atas pasir di tepian pulau yang indah permai. “Bunda sudah terlalu tua buat dia....” katanya dari balik bantal.
Aku berbaring di sebelah Shanti. “Sial!” kataku.
“Sial kenapa?” Shanti membuka bantal penutup mukanya. “Sial, seandainya saja aku masih semuda kamu....” kataku. Shanti menjadi jengkel. “Tahu diri dong....” katanya.
Kami berdua berbaring bersisian. Lalu sama-sama ketiduran. Besok, Shanti akan menemukan cinta yang lain. Sayang sekali, Jose telah mematahkan harapannya.
***
Sungguh menyedihkan mengenang masa-masa aku semuda itu, jadinya. Sungguh sekejap berakhirnya masa-masa penuh gairah dan semangat untuk mengejar cinta seseorang. Aku bahkan telah menyia-nyiakannya. Aku hanya mencinta satu orang. Aku akan patah hati bila kehilangan. Akan tenggelam dalam kesedihan bila dikhianati. Masa mudaku sudah berlalu tanpa banyak cerita cinta. Sementara dalam kemudaannya, energi cinta yang dimiliki Shanti begitu bersinar. Begitu terbuka.
***
Shanti asyik membuka laptop dan menelusuri foto-foto indah perjalanan kami di Pulau Ternate, Halmahera, Ambon, dan Seram. Beberapa foto pria yang dibidiknya lebih menarik perhatiannya ketimbang panorama indah kepulauan Maluku dengan pantai-pantainya yang biru.
“Banyak pria tampan di Maluku....” kata Shanti. Penuh dengan gairah perempuan muda pencari cinta. “Mana yang lebih tampan, Zul atau Jose?” tanyanya.
Zul, pria yang merasa dirinya dan seluruh orang Maluku keturunan Bugis, berwajah kearab-araban. Sedangkan Jose, berwajah tampan eksotis, dengan wajah gelap khas etnis Alifuru. Dua profil yang mewakili dua kelompok yang hampir sama banyaknya di Maluku, orang Muslim dan orang Kristen.
“Keduanya tampan....” kataku.
”Betul, kan?” kata Shanti dengan ceria. “Mungkin aku akan tinggal di sini dan menikahi salah satunya.....” katanya. Selalu begitu. Jatuh cinta dengan cepat. Mengkhayalkan pangerannya. Kemudian besok lusa jatuh cinta lagi.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. :”Terserah kau lah, yang penting segera selesaikan laporan lapangannya. Aku mau semua selesai di sini. Tidak ada yang belum selesai saat kita pulang ke Jakarta.....”
“No problem, bunda!” katanya sambil menghempaskan badan di atas tempat tidur. Telentang dan mengkhayalkan pria tampan yang turun dari khayangan. Ah, menjengkelkan panggilannya itu padaku. Membuatku menjadi tua. Sementara dia menikmati kemudaan dan fantasi cintanya dengan gairah. Sungguh usia kepala empat yang tak siap kuhadapi. Dan anak centil 23 tahun yang sudah S-2 ini dengan semena-mena memanggilku bunda, sehingga aku menjadi setua ibunya.
“Kerjakan sekarang, Shanti....” kataku. “Sebentar lagi, bunda!” katanya sambil memejamkan mata. Di lantai kamar hotel tempat kami menginap, berserakan buku, dokumen, dan kertas-kertas. Laptop terbuka di atas lantai....
***
Keesokan harinya, kami melakukan perjalanan ke sebuah desa yang sangat indah. Pulau-pulau kecil mengambang di atas lautan biru. Terlihat dari tempat yang tinggi. Aku dan Shanti ditemani oleh tiga orang pemerintah yang usianya masih muda-muda, selama melakukan studi di lapangan. Dua orang pria dan satu perempuan.
Shanti sangat bersemangat. Jose ada di antara kelompok ini, menyopiri mobil yang membawa tim ke lapangan. Mendadak dia berpendapat bahwa Jose lebih tampan dibandingkan Zul. Juga lebih berwajah Maluku. Dalam anggapan kebanyakan orang Jawa, orang Maluku itu berkulit gelap. Padahal kenyataannya, separuhnya berwajah kearab-araban serupa Zul.
Keceriaan orang-orang muda yang ada di timku itu menyenangkan. Membuat aku merasa ikut bersemangat. Jadi, aku tidak keberatan bila Shanti dan Jose selalu berdekatan. Selama, tugas-tugas yang harus kami kerjakan bisa dilakukan. Pekerjaan itu menjadi lebih ringan dengan adanya bunga-bunga cinta yang memberi gairah.
Kami makan ikan bakar dan nasi kuning yang sangat enak di sebuah pasar lokal. Minum air kelapa. Duduk-duduk sebentar di tepi pantai yang menghadap Laut Banda.Samar-samar nampak Pulau Arafuru dan Saparua bersisian.
Hari sudah gelap ketika kami tiba di hotel tempat aku dan Shanti menginap. Sementara teman-teman muda yang mengantar kami ke lapangan itu kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka senang bisa mendampingi kerja kami, rupanya. Dengan penuh minat terlibat dalam pekerjaan studi yang kami lakukan dan juga membuat catatan-catatan sendiri.
Kami berpisah dan berjanji besok pagi untuk mengantar bertemu dengan beberapa orang yang akan kami wawancara. Dari Dinas dan DPRD.
***
Shanti berbaring telentang sambil memejamkan mata. Kemudian dia memperhatikan aku. Sambil menghela nafas panjang. “Capek?” tanyaku. “Kangen karena berpisah dengan calon pendamping hidupmu di Maluku? Kan besok ketemu lagi....”
Sambil merengut Shanti melemparku dengan buah pala yang dipungutnya saat di desa. “Sial. Dia menatapmu terus, bunda! Dia tidak pernah menatap aku....”
Aku menoleh padanya. Tersenyum. Membayangkan wajah Jose yang malu-malu memandangku. Sangat gembira ketika memegang tanganku saat kami berjalan di medan yang sulit, sementara Shanti harus bersusah payah berjalan sendiri karena tak mau dibantu oleh yang lainnya. Saat berjalan di sisi Shanti, wajahnya pun lebih banyak memperhatikanku. Menatap dan tersenyum. Entah apa artinya.
Shanti menutup wajahnya dengan bantal. Kecewa setengah mati karena mengharapkan mendapatkan momen cinta di saat berjalan di atas pasir di tepian pulau yang indah permai. “Bunda sudah terlalu tua buat dia....” katanya dari balik bantal.
Aku berbaring di sebelah Shanti. “Sial!” kataku.
“Sial kenapa?” Shanti membuka bantal penutup mukanya. “Sial, seandainya saja aku masih semuda kamu....” kataku. Shanti menjadi jengkel. “Tahu diri dong....” katanya.
Kami berdua berbaring bersisian. Lalu sama-sama ketiduran. Besok, Shanti akan menemukan cinta yang lain. Sayang sekali, Jose telah mematahkan harapannya.
***
Urbanisasi
Tahun 1940. Seorang pemuda meninggalkan kampung halamannya di sebuah lembah yang indah di alam perdesaan Jawa Barat. Tujuannya untuk sekolah di kota. Sebuah perjalanan yang sangat jauh menurut anggapan orang kampung masa itu. Penuh dengan derai airmata dari kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Menjadi bahan cerita masyarakat kampung itu yang tak pernah bosan-bosannya dibicarakan. Tentang pemuda yang teguh pada kemauannya dan dengan berani meninggalkan kampungnya untuk berjuang di tempat yang jauh.
Tujuh tahun kemudian, terjadi lagi dua orang pemuda dari kampung itu melakukan perjalanan ke kota. Kedua pemuda itu berbekal secarik kertas bertuliskan alamat saudaranya yang ada di kota, yaitu pemuda pertama yang berangkat ke kota untuk sekolah. Salah satu dari dua pemuda yang berangkat menyusul itu adalah sepupu, dan seorang lagi seorang anak kerabat dari pemuda yang pertama berangkat.
Setelah lulus sekolah menengah, pemuda yang pertama berangkat itu kemudian bekerja menjadi guru. Perjuangannya bersekolah di kota bukanlah mudah, melainkan penuh peluh dan kepahitan. Bekerja apa saja untuk membiayai hidupnya karena utusan dari kampung yang membawa uang dari orang tuanya hanya setahun sekali atau dua kali. Menumpang hidup pada orang lain dan membayar dengan tenaga sambil tetap sekolah, tentu saja suatu keadaan yang sulit. Pernah harus putus sekolah dahulu, bekerja dan kemudian bertemu dengan seorang baik yang bersedia mempekerjakannya sambil melanjutkan lagi sekolah.
***
Berkat ketekunan dan kejujurannya, banyak orang yang menyukainya sehingga membantunya untuk memperoleh pekerjaan itu. Selain itu, seorang guru bersimpati padanya dan berharap pemuda itu menjadi suami dari anak perempuan sulungnya. Guru tua inilah yang membantunya bekerja pada seorang kenalannya sambil menyelesaikan sekolah.
Maka, setelah memperoleh pekerjaan sebagai guru, menikahlah dia dengan anak guru, perempuan yang berasal dari kota itu.
Kedua pemuda saudaranya yang datang itu menumpang tinggal di rumahnya yang kecil bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Sampai keduanya kemudian lulus dari sekolah menengah. Guru tua –mertua sang guru muda- memberikan sebuah alamat di Kota Bandung kepada pemuda yang baru lulus itu. “Kakak lelakiku seorang pegawai negeri. Mungkin bisa membantumu mencari pekerjaan....” Demikian guru tua itu membantu pemuda-pemuda yang bermimpi muluk melihat Kota Bandung itu. Sebuah tempat yang jauh dan tak pernah terbayangkan wujudnya oleh orang-orang kampung di lembah itu terutama generasi terdahulu.
Kedua pemuda bersaudara itu kemudian menjadi pelopor perpindahan keluarga dan kerabatnya ke Kota Bandung. Perjalanan demi perjalanan pemuda dari kampung yang ada di lembah yang indah itu berjalan selama puluhan tahun. Sebuah proses yang disebut urbanisasi.
***
Tahun 2011. Acara kumpul keluarga merupakan saat yang hangat dan menyenangkan. Hidangan-hidangan di atas meja. Kamera dijital yang mudah saja digunakan setiap saat untuk mengabadikan momen bahagia keluarga. Para perempuan dewasa berbincang tentang pekerjaan dan perkembangan politik. Para pria berbincang tentang memancing dan main golf. Anak-anak semua usia –dari yang kecil sampai remaja- asyik masyuk dengan facebook dan twitter. Tertawa-tawa sendiri. Masing-masing memiliki laptop, net book, atau tablet, dan ayik berbicara dengan alat itu ketimbang dengan saudara-saudaranya.
Seorang ipar perempuan –insinyur dari ITB- yang bekerja di perusahaan asing di Jakarta, mulai iseng mengganggu keponakan-keponakannya. Dikeluarkannya segepok uang yang masih baru dari dalam tasnya. “Teka-teki dan lima puluh ribu rupiah untuk setiap jawaban yang benar....” katanya sambil mengibaskan kertas-kertas berwarna biru di tangannya.
Serentak seluruh perhatian itu berpaling kepadanya. Anak-anak menutup laptop dan netbooknya, dan mengalungkan handphonenya. Barulah mereka berkomunikasi dengan sesama manusia, setelah berjam-jam asyik berbincang dengan layar monitor komputer.
“Pertanyaan pertama, berapa umur aki almarhum?” Jawaban-jawaban yang salah dilontarkan.
“Pertanyaan kedua, dimana aki dilahirkan?” Seruan kekecewaan karena pertanyaan itu tak mungkin terjawab pun terdengar. Nama kampung itu terlalu sulit untuk diakrabi telingan anak-anak kota itu.
“Pertanyaan ketiga, Kampung Patakaharja itu terletak dimana?”
Anak-anak kecewa karena pertanyaan-pertanyaan terlalu sulit untuk dijawab. Semua meneriakkan “huuuuuu” kepada ipar yang dengan senangnya mengipas-kipas uang itu dan kemudian memasukkannya lagi ke dalam tas.
“Kalian payah, tidak tahu sejarah kakek buyut kalian sendiri....” katanya cuek.
***
Tahun 2005 adalah lebaran terakhir kami masih mudik ke kampung di lembah yang hijau permai itu. Tidak sejauh seperti cerita masa lalu. Kami bisa mencapai kampung dengan mobil pribadi di masa sekarang. Satu-satunya keluarga yang masih ada di kampung adalah kakak perempuan sulung bapak. Aki dari anak-anak yang tidak tahu nama kampung leluhurnya itu.
Karena uwak perempuan itu sudah terlalu tua, akhirnya diboyong juga ke Kota Bandung. Habislah kerabat dekat di sana. Semua sudah hijrah ke Kota Bandung. Generasi mudanya pun berpencar, ke Jakarta, Bogor, Bekasi, Surabaya, Bali, Kalimantan, luar negeri.
Maka cerita tentang pemuda yang pertama kali meninggalkan kampung halaman di lembah itu pada tahun 1940 hanya diketahui oleh orang-orang tua yang sudah sepuh. Diceritakan kepada anak-anaknya berulang kali. Namun oleh anak-anaknya tak diceritakan pada generasi yang lebih muda. Kemudian hilang.
***
RD. In memoriam my Father.
Tujuh tahun kemudian, terjadi lagi dua orang pemuda dari kampung itu melakukan perjalanan ke kota. Kedua pemuda itu berbekal secarik kertas bertuliskan alamat saudaranya yang ada di kota, yaitu pemuda pertama yang berangkat ke kota untuk sekolah. Salah satu dari dua pemuda yang berangkat menyusul itu adalah sepupu, dan seorang lagi seorang anak kerabat dari pemuda yang pertama berangkat.
Setelah lulus sekolah menengah, pemuda yang pertama berangkat itu kemudian bekerja menjadi guru. Perjuangannya bersekolah di kota bukanlah mudah, melainkan penuh peluh dan kepahitan. Bekerja apa saja untuk membiayai hidupnya karena utusan dari kampung yang membawa uang dari orang tuanya hanya setahun sekali atau dua kali. Menumpang hidup pada orang lain dan membayar dengan tenaga sambil tetap sekolah, tentu saja suatu keadaan yang sulit. Pernah harus putus sekolah dahulu, bekerja dan kemudian bertemu dengan seorang baik yang bersedia mempekerjakannya sambil melanjutkan lagi sekolah.
***
Berkat ketekunan dan kejujurannya, banyak orang yang menyukainya sehingga membantunya untuk memperoleh pekerjaan itu. Selain itu, seorang guru bersimpati padanya dan berharap pemuda itu menjadi suami dari anak perempuan sulungnya. Guru tua inilah yang membantunya bekerja pada seorang kenalannya sambil menyelesaikan sekolah.
Maka, setelah memperoleh pekerjaan sebagai guru, menikahlah dia dengan anak guru, perempuan yang berasal dari kota itu.
Kedua pemuda saudaranya yang datang itu menumpang tinggal di rumahnya yang kecil bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Sampai keduanya kemudian lulus dari sekolah menengah. Guru tua –mertua sang guru muda- memberikan sebuah alamat di Kota Bandung kepada pemuda yang baru lulus itu. “Kakak lelakiku seorang pegawai negeri. Mungkin bisa membantumu mencari pekerjaan....” Demikian guru tua itu membantu pemuda-pemuda yang bermimpi muluk melihat Kota Bandung itu. Sebuah tempat yang jauh dan tak pernah terbayangkan wujudnya oleh orang-orang kampung di lembah itu terutama generasi terdahulu.
Kedua pemuda bersaudara itu kemudian menjadi pelopor perpindahan keluarga dan kerabatnya ke Kota Bandung. Perjalanan demi perjalanan pemuda dari kampung yang ada di lembah yang indah itu berjalan selama puluhan tahun. Sebuah proses yang disebut urbanisasi.
***
Tahun 2011. Acara kumpul keluarga merupakan saat yang hangat dan menyenangkan. Hidangan-hidangan di atas meja. Kamera dijital yang mudah saja digunakan setiap saat untuk mengabadikan momen bahagia keluarga. Para perempuan dewasa berbincang tentang pekerjaan dan perkembangan politik. Para pria berbincang tentang memancing dan main golf. Anak-anak semua usia –dari yang kecil sampai remaja- asyik masyuk dengan facebook dan twitter. Tertawa-tawa sendiri. Masing-masing memiliki laptop, net book, atau tablet, dan ayik berbicara dengan alat itu ketimbang dengan saudara-saudaranya.
Seorang ipar perempuan –insinyur dari ITB- yang bekerja di perusahaan asing di Jakarta, mulai iseng mengganggu keponakan-keponakannya. Dikeluarkannya segepok uang yang masih baru dari dalam tasnya. “Teka-teki dan lima puluh ribu rupiah untuk setiap jawaban yang benar....” katanya sambil mengibaskan kertas-kertas berwarna biru di tangannya.
Serentak seluruh perhatian itu berpaling kepadanya. Anak-anak menutup laptop dan netbooknya, dan mengalungkan handphonenya. Barulah mereka berkomunikasi dengan sesama manusia, setelah berjam-jam asyik berbincang dengan layar monitor komputer.
“Pertanyaan pertama, berapa umur aki almarhum?” Jawaban-jawaban yang salah dilontarkan.
“Pertanyaan kedua, dimana aki dilahirkan?” Seruan kekecewaan karena pertanyaan itu tak mungkin terjawab pun terdengar. Nama kampung itu terlalu sulit untuk diakrabi telingan anak-anak kota itu.
“Pertanyaan ketiga, Kampung Patakaharja itu terletak dimana?”
Anak-anak kecewa karena pertanyaan-pertanyaan terlalu sulit untuk dijawab. Semua meneriakkan “huuuuuu” kepada ipar yang dengan senangnya mengipas-kipas uang itu dan kemudian memasukkannya lagi ke dalam tas.
“Kalian payah, tidak tahu sejarah kakek buyut kalian sendiri....” katanya cuek.
***
Tahun 2005 adalah lebaran terakhir kami masih mudik ke kampung di lembah yang hijau permai itu. Tidak sejauh seperti cerita masa lalu. Kami bisa mencapai kampung dengan mobil pribadi di masa sekarang. Satu-satunya keluarga yang masih ada di kampung adalah kakak perempuan sulung bapak. Aki dari anak-anak yang tidak tahu nama kampung leluhurnya itu.
Karena uwak perempuan itu sudah terlalu tua, akhirnya diboyong juga ke Kota Bandung. Habislah kerabat dekat di sana. Semua sudah hijrah ke Kota Bandung. Generasi mudanya pun berpencar, ke Jakarta, Bogor, Bekasi, Surabaya, Bali, Kalimantan, luar negeri.
Maka cerita tentang pemuda yang pertama kali meninggalkan kampung halaman di lembah itu pada tahun 1940 hanya diketahui oleh orang-orang tua yang sudah sepuh. Diceritakan kepada anak-anaknya berulang kali. Namun oleh anak-anaknya tak diceritakan pada generasi yang lebih muda. Kemudian hilang.
***
RD. In memoriam my Father.
Kamis, 08 September 2011
Musuh di Masa Kecil
Ada 2 permainan yang selalu kujuarai, yaitu sorodot gaplok dan gatrik. Butuh lapangan untuk melakukan permainan ini. Batu-batu pipih yang besar yang menjadi target. Dan batu pipih lebih kecil yang ditaruh di atas kaki untuk digunakan memukul target. Perlu ketepatan dan tenaga untuk bisa menjatuhkan batu pipih yang lumayan berat. Sedangkan gatrik dilakukan dengan potongan bambu yang juga merupakan permainan memukul target sasaran secara tepat dengan menggunakan bambu sepanjang sekitar 30 Cm dan bambu lebih pendek yang dipukulkan supaya kena ke bambu kecil yang jadi target. Aku selalu unggul.
Seorang anak pendendam yang tidak pernah bisa menerima kekalahannya menjadi musuhku sewaktu kanak-kanak. Namanya Dadang. Sorot matanya bengis. Aku menjadi sasaran balas dendamnya dengan cara menggangguku. Mencegatku sepulang sekolah. Menakut-nakutiku dengan gerak-gerik seolah akan memukul dan menyerigai penuh ejekan. Betapa senangnya memiliki kekuatan fisik seperti dia yang bisa digunakan untuk mengancam anak-anak yang lebih kecil dan anak perempuan.
Ibuku mendapat laporan dari ibu tetangga tentang Dadang yang suka menggangguku. Kemudian ibu mendatangi ibunya si Dadang dan terjadilah pertengkaran di antara mereka. Si Dadang membalas dendam dengan mengancamku lebih garang. Ibu mengadu kepada Pak RT. Urusan anak-anak ini menjadi kisruh. Tapi si Dadang berhenti mengancamku sejak itu. Kemudian keluargaku pindah rumah ke daerah yang lebih ‘aman’, kata ibuku.
***
Setelah SMU, aku bertemu lagi dengan Dadang karena kami satu sekolah. Nyaris aku tidak mengenalinya kalau saja dia tidak menyapaku. Mengherankan sekali, dia berubah wujud menjadi pria tampan yang peramah. Aku nyaris tidak percaya bahwa itu si bengis Dadang di masa kecil.
Ketika ibuku tahu Dadang mendekatiku, dengan marah dilarangnya aku bergaul dekat dengannya. Keturunan jelek, kata ibuku. Bapaknya buruh bangunan. Ibunya berjualan rujak dan lotek. Kakak sulungnya menjadi sopir angkot. Kakak perempuannya menjadi pelayan toko. Banyak sekali penghuni rumahnya, entah itu nenek, keponakan bapaknya, dan juga kakak perempuan ibunya yang janda. Rumah itu selalu penuh dengan pertengkaran orang dewasa maupun anak-anak. Perkelahian dan kekerasan. Begitu yang diketahui masyarakat sekitar tentang keluarganya.
Tapi, Dadang begitu tampan di saat SMU, bertubuh atletis, dan memiliki senyum yang luar biasa. Sayang sekali keluargaku semua memusuhinya. Aku hanya bisa jatuh hati dari kejauhan. Aku terpesona pada pria yang masa kecilnya begitu jahat. Kalau saja kesempatan yang baik diberikan kepadanya, seharusnya ia bisa mendapatkan jalan untuk keluar dari kehidupan keluarganya yang keras.
Aku pikir sekolah adalah jalan keluar bagi Dadang. Ia bisa masuk ke SMU Negeri yang sama denganku. Sekolah yang hanya bisa dimasuki anak pandai dengan nilai masuk yang tinggi. Aku berharap dia akan berhasil melalui kepandaiannya, dan ambisinya yang membuatnya tak mau kalah.
***
Sekarang aku menjadi dokter, dan aku pernah bertemu dengan seseorang yang tidak kukenali lagi kalau saja dia tidak menyapaku. Dadang. Memakai pakaian satpam di sebuah mall. Wajahnya nampak tua dan rambutnya agak botak. Ketika menatap wajahnya, aku mencoba mengingat ketampanannya pada masa lalu.
Dadang tidak bersikap sungkan padaku. Ia tersenyum dan menyapaku, menyebut namaku tanpa embel-embel Bu. Seorang teman lama. Kami saling menanyakan kabar. Menanyakan berapa jumlah anak. Tinggal dimana. Sejumlah pertanyaan dan komentar ramah tamah biasa.
“Nurul, kamu kelihatan masih muda dan semakin cantik....” ucap Dadang tanpa basa-basi. Menyatakan apa yang dipikirkannya begitu saja. Tersenyum memaklumi perbedaan garis hidup antara dirinya dengan sang kawan.
Ketika aku berjalan meninggalkannya, menuju toko buku Gramedia yang menjadi tujuanku, dalam hatiku bertanya-tanya: “Kemana ambisi seorang anak yang tidak pernah mau kalah itu?” Ambisi itu berakhir dengan sebuah seragam putih biru dan topi seorang satpam. Aku merasa menyesal bahwa Dadang tidak mencapai sesuatu yang aku pernah harapkan untuknya. Dia seorang anak pemarah bila keinginannya untuk menang atau mencapai sesuatu tak tercapai. Entah itu dalam permainan kanank-kanak, maupun pelajaran di sekolah.
***
Wajah dapat menggambarkan keberhasilan dan kemiskinan. Seorang temanku pernah mengatakan begitu sebagai lelucon. “Wajahku semakin tua semakin tampan, pertanda aku seorang yang sukses....” katanya menyombong. Itu karena wajahnya jelek sekali sewaktu muda. Aku mengenalnya sejak di sekolah.
Aku percaya bahwa ukuran keberhasilan tidaklah selalu harus duniawi. Aku mengenang wajah satpam itu, tersenyum ramah. Sorot matanya lembut. Wajahnya teduh. Sebuah tampilan wajah seorang yang baik hati dan jujur. Tidak ada garis yang keras atau sorot kemarahan di masa lalu. Meski wajahnya nampak tua dan miskin, namun diliputi kedamaian dan penerimaan.
Sebaliknya, teman baikku yang lain, seorang direktur rumah sakit dan dokter selebritis yang sering tampil sebagai narasumber di televisi itu, justru garis wajahnya semakin menampakkan keangkuhan. Aku masih ingat, saat di sekolah dulu dia sangat peragu dan seorang pengikut saja dalam segala hal: permainan maupun kegiatan kelompok di sekolah. Selalu berada di belakang anak-anak yang lain dan khawatir bila tidak diajak masuk ke dalam kelompok. Selalu mendapatkan pertolongan anak yang lain untuk terlibat dalam suatu kegiatan bersama, pertolongan untuk masuk dan diterima oleh anggota kelompok lainnya. Selain itu, wajahnya jelek dan memelas.
***
Pada sebuah reuni SMU, aku bertemu lagi dengan Dadang. Dia memperkenalkanku pada istrinya. Seorang wanita yang mungkin “pernah” cantik kalau saja kesusahan tidak mempercepat wajahnya menjadi tua seperti suaminya. Wajah perempuan itu ramah dan penuh senyuman. Suaminya merangkul pundaknya. Mereka terkadang saling berpandangan dengan penuh kasih sayang.
Sementara itu, temanku yang sukses dan berbangga diri itu hadir dengan istrinya yang berwajah angkuh, sangat menonjolkan diri, dan semua mata menyorotinya dan kemudian saling berpandangan. Seorang perempuan yang nampak galak dan tak segan-segan menampakkan kekuasaannya terhadap suaminya di hadapan publik. Aku tahu itu karena sudah beberapa kali bertemu dalam forum para dokter yang dipimpin oleh suaminya.
Aku rasa, kebahagiaan Dadang memiliki format yang berbeda dari harapan yang pernah ada dalam pikiranku dulu. Ketika aku menjadi musuh kanak-kanaknya karena sebuah persaingan dan kemudian di masa remaja permusuhan itu berubah menjadi rasa simpati. Aku pernah berharap Tuhan membuktikan bahwa seseorang dapat mengubah nasibnya karena Tuhan maha adil.
Mungkin aku harus mengubah pemahamanku tentang Tuhan dan keadilan-Nya. Sayang, aku kurang relijius dan kemudian tak berhasil memperoleh pemahaman yang lebih baik. Setahuku, menjilat dan menyuap akan lebih menyokong keberhasilan di negeriku yang korup ini. Bukan keteguhan hati yang jujur.
Akhirnya, aku percaya bahwa ada format lain dari keberhasilan. Bukan jenis pekerjaan. Bukan pula jabatan. Begitu saja.
***
Seorang anak pendendam yang tidak pernah bisa menerima kekalahannya menjadi musuhku sewaktu kanak-kanak. Namanya Dadang. Sorot matanya bengis. Aku menjadi sasaran balas dendamnya dengan cara menggangguku. Mencegatku sepulang sekolah. Menakut-nakutiku dengan gerak-gerik seolah akan memukul dan menyerigai penuh ejekan. Betapa senangnya memiliki kekuatan fisik seperti dia yang bisa digunakan untuk mengancam anak-anak yang lebih kecil dan anak perempuan.
Ibuku mendapat laporan dari ibu tetangga tentang Dadang yang suka menggangguku. Kemudian ibu mendatangi ibunya si Dadang dan terjadilah pertengkaran di antara mereka. Si Dadang membalas dendam dengan mengancamku lebih garang. Ibu mengadu kepada Pak RT. Urusan anak-anak ini menjadi kisruh. Tapi si Dadang berhenti mengancamku sejak itu. Kemudian keluargaku pindah rumah ke daerah yang lebih ‘aman’, kata ibuku.
***
Setelah SMU, aku bertemu lagi dengan Dadang karena kami satu sekolah. Nyaris aku tidak mengenalinya kalau saja dia tidak menyapaku. Mengherankan sekali, dia berubah wujud menjadi pria tampan yang peramah. Aku nyaris tidak percaya bahwa itu si bengis Dadang di masa kecil.
Ketika ibuku tahu Dadang mendekatiku, dengan marah dilarangnya aku bergaul dekat dengannya. Keturunan jelek, kata ibuku. Bapaknya buruh bangunan. Ibunya berjualan rujak dan lotek. Kakak sulungnya menjadi sopir angkot. Kakak perempuannya menjadi pelayan toko. Banyak sekali penghuni rumahnya, entah itu nenek, keponakan bapaknya, dan juga kakak perempuan ibunya yang janda. Rumah itu selalu penuh dengan pertengkaran orang dewasa maupun anak-anak. Perkelahian dan kekerasan. Begitu yang diketahui masyarakat sekitar tentang keluarganya.
Tapi, Dadang begitu tampan di saat SMU, bertubuh atletis, dan memiliki senyum yang luar biasa. Sayang sekali keluargaku semua memusuhinya. Aku hanya bisa jatuh hati dari kejauhan. Aku terpesona pada pria yang masa kecilnya begitu jahat. Kalau saja kesempatan yang baik diberikan kepadanya, seharusnya ia bisa mendapatkan jalan untuk keluar dari kehidupan keluarganya yang keras.
Aku pikir sekolah adalah jalan keluar bagi Dadang. Ia bisa masuk ke SMU Negeri yang sama denganku. Sekolah yang hanya bisa dimasuki anak pandai dengan nilai masuk yang tinggi. Aku berharap dia akan berhasil melalui kepandaiannya, dan ambisinya yang membuatnya tak mau kalah.
***
Sekarang aku menjadi dokter, dan aku pernah bertemu dengan seseorang yang tidak kukenali lagi kalau saja dia tidak menyapaku. Dadang. Memakai pakaian satpam di sebuah mall. Wajahnya nampak tua dan rambutnya agak botak. Ketika menatap wajahnya, aku mencoba mengingat ketampanannya pada masa lalu.
Dadang tidak bersikap sungkan padaku. Ia tersenyum dan menyapaku, menyebut namaku tanpa embel-embel Bu. Seorang teman lama. Kami saling menanyakan kabar. Menanyakan berapa jumlah anak. Tinggal dimana. Sejumlah pertanyaan dan komentar ramah tamah biasa.
“Nurul, kamu kelihatan masih muda dan semakin cantik....” ucap Dadang tanpa basa-basi. Menyatakan apa yang dipikirkannya begitu saja. Tersenyum memaklumi perbedaan garis hidup antara dirinya dengan sang kawan.
Ketika aku berjalan meninggalkannya, menuju toko buku Gramedia yang menjadi tujuanku, dalam hatiku bertanya-tanya: “Kemana ambisi seorang anak yang tidak pernah mau kalah itu?” Ambisi itu berakhir dengan sebuah seragam putih biru dan topi seorang satpam. Aku merasa menyesal bahwa Dadang tidak mencapai sesuatu yang aku pernah harapkan untuknya. Dia seorang anak pemarah bila keinginannya untuk menang atau mencapai sesuatu tak tercapai. Entah itu dalam permainan kanank-kanak, maupun pelajaran di sekolah.
***
Wajah dapat menggambarkan keberhasilan dan kemiskinan. Seorang temanku pernah mengatakan begitu sebagai lelucon. “Wajahku semakin tua semakin tampan, pertanda aku seorang yang sukses....” katanya menyombong. Itu karena wajahnya jelek sekali sewaktu muda. Aku mengenalnya sejak di sekolah.
Aku percaya bahwa ukuran keberhasilan tidaklah selalu harus duniawi. Aku mengenang wajah satpam itu, tersenyum ramah. Sorot matanya lembut. Wajahnya teduh. Sebuah tampilan wajah seorang yang baik hati dan jujur. Tidak ada garis yang keras atau sorot kemarahan di masa lalu. Meski wajahnya nampak tua dan miskin, namun diliputi kedamaian dan penerimaan.
Sebaliknya, teman baikku yang lain, seorang direktur rumah sakit dan dokter selebritis yang sering tampil sebagai narasumber di televisi itu, justru garis wajahnya semakin menampakkan keangkuhan. Aku masih ingat, saat di sekolah dulu dia sangat peragu dan seorang pengikut saja dalam segala hal: permainan maupun kegiatan kelompok di sekolah. Selalu berada di belakang anak-anak yang lain dan khawatir bila tidak diajak masuk ke dalam kelompok. Selalu mendapatkan pertolongan anak yang lain untuk terlibat dalam suatu kegiatan bersama, pertolongan untuk masuk dan diterima oleh anggota kelompok lainnya. Selain itu, wajahnya jelek dan memelas.
***
Pada sebuah reuni SMU, aku bertemu lagi dengan Dadang. Dia memperkenalkanku pada istrinya. Seorang wanita yang mungkin “pernah” cantik kalau saja kesusahan tidak mempercepat wajahnya menjadi tua seperti suaminya. Wajah perempuan itu ramah dan penuh senyuman. Suaminya merangkul pundaknya. Mereka terkadang saling berpandangan dengan penuh kasih sayang.
Sementara itu, temanku yang sukses dan berbangga diri itu hadir dengan istrinya yang berwajah angkuh, sangat menonjolkan diri, dan semua mata menyorotinya dan kemudian saling berpandangan. Seorang perempuan yang nampak galak dan tak segan-segan menampakkan kekuasaannya terhadap suaminya di hadapan publik. Aku tahu itu karena sudah beberapa kali bertemu dalam forum para dokter yang dipimpin oleh suaminya.
Aku rasa, kebahagiaan Dadang memiliki format yang berbeda dari harapan yang pernah ada dalam pikiranku dulu. Ketika aku menjadi musuh kanak-kanaknya karena sebuah persaingan dan kemudian di masa remaja permusuhan itu berubah menjadi rasa simpati. Aku pernah berharap Tuhan membuktikan bahwa seseorang dapat mengubah nasibnya karena Tuhan maha adil.
Mungkin aku harus mengubah pemahamanku tentang Tuhan dan keadilan-Nya. Sayang, aku kurang relijius dan kemudian tak berhasil memperoleh pemahaman yang lebih baik. Setahuku, menjilat dan menyuap akan lebih menyokong keberhasilan di negeriku yang korup ini. Bukan keteguhan hati yang jujur.
Akhirnya, aku percaya bahwa ada format lain dari keberhasilan. Bukan jenis pekerjaan. Bukan pula jabatan. Begitu saja.
***
Paman
Herman tidak pernah merasa dekat dengannya. Tidak mengenalnya. Kanak-kanak selalu ingin bersahabat. Tetapi orang dewasa menjaga jarak. Tidak mau mendapat kesusahan dari kerabat dan keponakan-keponakannya yang banyak. Apalagi bila seorang paman yang kaya dengan perjuangan yang panjang dan penuh keringat.
Setiap tahun uwak, paman, bibi, keponakan, sepupu, dan pinisepuh, bertemu beberapa kali. Lebaran. Acara pernikahan. Acara kematian. Sunat seorang anak dalam keluarga. Semua bersalaman dan saling bertegur sapa. Tetapi jarak tetap dijaga. Herman menyebut pinisepuh untuk semua orang yang lebih tua dari orang tuanya, yaitu kakek nenek dan termasuk paman dan bibi dari orang tuanya.
Paman tak pernah bertanya tentang sekolah keponakannya. Tidak tentang cita-citanya. Atau tentang hal-hal yang menunjukkan keakraban. Apalagi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Masalah utama pasti uang. Keluarga dengan anak banyak, biaya pendidikan pasti akan selalu menjadi kesulitan.
Keponakan senang mendapat nasihat-nasihat dari paman. Tapi kalau masalah utamanya bukan memerlukan nasihat melainkan sedikit kemurahan hati dengan uang, lebih baik seorang paman tidak memberi nasihat.
Seingat Herman, pamannya itu tak pernah memberi nasihat. Hanya berbicara beberapa kalimat sapaan saat berjumpa.
Jadi, Herman tidak mengenal pamannya itu. Hanya tahu dari kulit luarnya.
***
Dibandingkan dengan ayah Herman, pamannya itu lebih berhasil dalam jabatan, ekonomi, dan juga relasi sosial. Keberhasilan dalam pengertian yang berlaku di masyarakat Indonesia. Mungkin begitu. Herman mencoba mengerti perbedaan ayahnya dengan adik kandungnya itu.
Ayah Herman memiliki rumah yang sederhana sekali ketika menyerahkan begitu saja rumah dinas yang sangat bagus. “Lebih baik rumah sendiri, meskipun sederhana...” begitu katanya. Herman sangat sakit hati pada ayahnya pada waktu kitu. Sakit hati karena keluarganya menempati rumah di perkampungan, saat itu masih di pinggir Kota Bandung.
Kampung yang hijau dan pernah memiliki sawah, kebun dan rumpun-rumpun bambu di pinggir kalinya itu, tiga puluh tahun kemudian sudah berada di tengah kota yang padat dengan bangunan. Hilang juga rumah-rumah berkaki yang ada di sekeliling rumah Herman pada masa kanak-kanak.
Ayah memakai motor vespa, ketika adiknya sudah memiliki dua mobil dengan rumah yang bagus dilengkapi garasi. Kelima anak paman masing-masing punya sepeda sehingga garasi itu pun cukup besar untuk memuat semuanya. Sedangkan Herman harus berpuas diri menggunakan sepeda bergantian dengan kakak-kakak dan adik-adiknya. Hanya ada satu sepeda untuk tujuh bersaudara itu.
Paman sering masuk koran lokal karena jabatannya. Pernah juga menjadi berita karena kasus korupsi. Dua tahun kemudian jabatannya naik dan Herman melihatnya bertambah kaya. Rumahnya ganti dengan yang lebih mewah.
***
Herman tahu ibunya sering kesulitan saat ganti semester. Biaya sekolah. Selalu saat itu menjadi momen keluhan ibunya terhadap sang paman. “Apakah dia lupa bahwa sekolahnya dibiayai oleh ayahmu?” tanyanya. “Aku tidak meminta, tapi meminjam. Akan kucicil pembayarannya....” Ibu selalu mengulang hal itu setiap semester. Ayahku adalah anak sulung, sedangkan paman yang kaya merupakan anak ke-6 dari 8 bersaudara.
Paman khawatir pinjaman itu hanya basa-basi. Sebenarnya meminta. Pinjaman untuk biaya sekolah bukanlah hal sedikit. Ibu berjanji akan membayar cicilan sampai 6 bulan. Artinya bukan sedikit. Riskan dengan hal itu, paman selalu mengatakan tidak punya karena anak-anaknya pun menghadapi semesteran. Begitu dugaan Herman.
Tidak pernah pamannya itu memberi uang pada keponakan-keponakannya. Sekalipun hanya untuk sekedar jajan. Apalagi memberi uang untuk pembeli buku atau uang sekolah bulanan. Keponakan-keponakan sebanyak itu. Sebaiknya tidak pernah memberi apa-apa karena akan sangat menyulitkan.
Sesudah dewasa, Herman merasa maklum saja. Itulah jaman yang terakhir sebuah keluarga memiliki anak banyak. Ayah dan ibunya adalah generasi orang tua beranak banyak yang terakhir. Terimakasih pada Keluarga Berencana karena sekarang kebanyakan keluarga hanya punya dua anak. Terimakasih juga pada jaman yang baru karena sekarang tidak punya anak bisa menjadi sebuah gaya hidup yang bebas atau kepongahan bagi mereka yang mengejar karier. Paling tidak di kota besar bisa.
***
Telepon berdering. Herman mendengar suara ibunya yang sudah tua di seberang sana. “Pulanglah, pamanmu meninggal dunia....” begitu inti pembicaraan ibunya. Herman punya jadwal seminar di luar negeri. Tiket pesawat sudah tersedia untuk penerbangan besok. “Kamu harus pulang. Pamanmu sendiri meninggal. Paman kandungmu...” kata ibunya.
Herman mencoba menjelaskan bahwa dia akan datang setelah pulang nanti. Berarti seminggu kemudian. Ibunya menjadi marah. “Ketika kalian menikah, paman kalian menjadi wali karena ayah kalian sudah tak ada....” Selesai sudah perdebatan itu. Herman berangkat dari Jakarta ke Bandung saat itu juga. Langsung menuju rumah duka.
Seperti yang selalu dialaminya sejak kanak-kanak, Herman bertemu dengan para kerabat. Pinisepuh sudah hampir semua tak ada, kecuali seorang uwak yang berusia hampir 100 tahun dan sudah tidak dapat mengenali siapa pun. Seorang uwak yang berusia 85 tahun dan daya ingatnya masih baik, kecuali berjalannya sudah agak terseok. Sedangkan paman-paman dan bibi-bibi sudah menjadi pengganti pinisepuh yang lama, merekalah yang sudah sepuh-sepuh sekarang. Pikun, tuli, dan pemarah. Ibu Herman sendiri sudah sangat tua, pikun, pengomel, dan ajaib... ia melupakan semua hal-hal tak enak yang terjadi dengan saudara-saudara dari suaminya yang jarang membantu kesulitannya.
Para anak, keponakan, sekarang sudah menjadi para orang tua. Anak-anak mereka pun sudah tak terlalu mengingat hubungan persaudaraan keluarga besar. Anak-anak sekarang hanya mengingat paman dan bibi kandung serta sepupu-sepupunya saja. Tidak mengenal cabang dan ranting kekerabatan yang lebih luas.
***
Herman duduk di atas tikar di hadapan jenasah pamannya untuk berdoa. Tikar dan karpet digelar diseluruh ruang tamu dan tengah. Para pelayat duduk di pinggir-pinggir, sepanjang tembok. Jenasah terletak di tengah ruang tamu.
Kehadiran Herman mengorbankan seminarnya yang penting. Herman tak mengenal pamannya. Tak pernah ada percakapan antara paman dan dirinya sepanjang ingatannya. Ketika kanak-kanak, pamannya hanya bersalaman dengannya sambil berkata pada ibunya “Ini anak yang nomor berapa ya....” Ibunyalah yang menjawab. “Itu si Herman, anak nomor empat...” Pertanyaan yang diulang setiap kesempatan bertemu. Tentu saja Herman maklum dengan hal itu. Karena keponakan terlalu banyak dan wajah anak-anak mudah berubah. Setahun kemudian sudah menjadi anak yang lebih besar atau gemuk, atau kurus, atau botak.
Herman menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran-pikiran kacau itu. Ibunya memperhatikan dan memandangnya dengan tajam. Herman menoleh pada bibinya yang sudah tua dan berlinang-linang air mata menangisi jenasah. Haruskah saya memeluk bibi? Tanyanya dalam hati. Seingatnya, belum pernah ada kekariban serupa itu antara dirinya dengan bibinya.
Ibunya memandang Herman terus. Haruskah aku mengucapkan kata-kata sanjungan bahwa aku kehilangan paman? Herman tidak mengenal pamannya dan tidak merasa kehilangan. Herman menjadi canggung.
Sebagai jalan keluar, Herman menyerahkan sebuah amplop tebal kepada bibinya sambil bersalaman. Mengucapkan ikut belasungkawa sambil menepuk pundak bibinya. Sang bibi menangis dan mengucapkan terimakasih. “Itu Herman, anakku nomor empat....” ibunya mengatakan itu dengan rasa bangga pada pada semua yang hadir di dekat dia. Kemudian kepala-kepala itu mengangguk-angguk sambil memandang dan tersenyum pada Herman. Mereka semua juga melihat amplop yang tebal itu. Para orang tua itu memandang Herman dengan wajah lembut. Keponakan yang baik, membantu biaya sang paman. Selama hampir satu tahun keluar masuk rumah sakit telah menghabiskan harta bendanya.
Herman kemudian bergabung dengan saudara-saudaranya yang lain, duduk menunggu pemberangkatan jenasah ke pemakaman. Pamannya meninggal pada usia 76 tahun.
***
Setiap tahun uwak, paman, bibi, keponakan, sepupu, dan pinisepuh, bertemu beberapa kali. Lebaran. Acara pernikahan. Acara kematian. Sunat seorang anak dalam keluarga. Semua bersalaman dan saling bertegur sapa. Tetapi jarak tetap dijaga. Herman menyebut pinisepuh untuk semua orang yang lebih tua dari orang tuanya, yaitu kakek nenek dan termasuk paman dan bibi dari orang tuanya.
Paman tak pernah bertanya tentang sekolah keponakannya. Tidak tentang cita-citanya. Atau tentang hal-hal yang menunjukkan keakraban. Apalagi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Masalah utama pasti uang. Keluarga dengan anak banyak, biaya pendidikan pasti akan selalu menjadi kesulitan.
Keponakan senang mendapat nasihat-nasihat dari paman. Tapi kalau masalah utamanya bukan memerlukan nasihat melainkan sedikit kemurahan hati dengan uang, lebih baik seorang paman tidak memberi nasihat.
Seingat Herman, pamannya itu tak pernah memberi nasihat. Hanya berbicara beberapa kalimat sapaan saat berjumpa.
Jadi, Herman tidak mengenal pamannya itu. Hanya tahu dari kulit luarnya.
***
Dibandingkan dengan ayah Herman, pamannya itu lebih berhasil dalam jabatan, ekonomi, dan juga relasi sosial. Keberhasilan dalam pengertian yang berlaku di masyarakat Indonesia. Mungkin begitu. Herman mencoba mengerti perbedaan ayahnya dengan adik kandungnya itu.
Ayah Herman memiliki rumah yang sederhana sekali ketika menyerahkan begitu saja rumah dinas yang sangat bagus. “Lebih baik rumah sendiri, meskipun sederhana...” begitu katanya. Herman sangat sakit hati pada ayahnya pada waktu kitu. Sakit hati karena keluarganya menempati rumah di perkampungan, saat itu masih di pinggir Kota Bandung.
Kampung yang hijau dan pernah memiliki sawah, kebun dan rumpun-rumpun bambu di pinggir kalinya itu, tiga puluh tahun kemudian sudah berada di tengah kota yang padat dengan bangunan. Hilang juga rumah-rumah berkaki yang ada di sekeliling rumah Herman pada masa kanak-kanak.
Ayah memakai motor vespa, ketika adiknya sudah memiliki dua mobil dengan rumah yang bagus dilengkapi garasi. Kelima anak paman masing-masing punya sepeda sehingga garasi itu pun cukup besar untuk memuat semuanya. Sedangkan Herman harus berpuas diri menggunakan sepeda bergantian dengan kakak-kakak dan adik-adiknya. Hanya ada satu sepeda untuk tujuh bersaudara itu.
Paman sering masuk koran lokal karena jabatannya. Pernah juga menjadi berita karena kasus korupsi. Dua tahun kemudian jabatannya naik dan Herman melihatnya bertambah kaya. Rumahnya ganti dengan yang lebih mewah.
***
Herman tahu ibunya sering kesulitan saat ganti semester. Biaya sekolah. Selalu saat itu menjadi momen keluhan ibunya terhadap sang paman. “Apakah dia lupa bahwa sekolahnya dibiayai oleh ayahmu?” tanyanya. “Aku tidak meminta, tapi meminjam. Akan kucicil pembayarannya....” Ibu selalu mengulang hal itu setiap semester. Ayahku adalah anak sulung, sedangkan paman yang kaya merupakan anak ke-6 dari 8 bersaudara.
Paman khawatir pinjaman itu hanya basa-basi. Sebenarnya meminta. Pinjaman untuk biaya sekolah bukanlah hal sedikit. Ibu berjanji akan membayar cicilan sampai 6 bulan. Artinya bukan sedikit. Riskan dengan hal itu, paman selalu mengatakan tidak punya karena anak-anaknya pun menghadapi semesteran. Begitu dugaan Herman.
Tidak pernah pamannya itu memberi uang pada keponakan-keponakannya. Sekalipun hanya untuk sekedar jajan. Apalagi memberi uang untuk pembeli buku atau uang sekolah bulanan. Keponakan-keponakan sebanyak itu. Sebaiknya tidak pernah memberi apa-apa karena akan sangat menyulitkan.
Sesudah dewasa, Herman merasa maklum saja. Itulah jaman yang terakhir sebuah keluarga memiliki anak banyak. Ayah dan ibunya adalah generasi orang tua beranak banyak yang terakhir. Terimakasih pada Keluarga Berencana karena sekarang kebanyakan keluarga hanya punya dua anak. Terimakasih juga pada jaman yang baru karena sekarang tidak punya anak bisa menjadi sebuah gaya hidup yang bebas atau kepongahan bagi mereka yang mengejar karier. Paling tidak di kota besar bisa.
***
Telepon berdering. Herman mendengar suara ibunya yang sudah tua di seberang sana. “Pulanglah, pamanmu meninggal dunia....” begitu inti pembicaraan ibunya. Herman punya jadwal seminar di luar negeri. Tiket pesawat sudah tersedia untuk penerbangan besok. “Kamu harus pulang. Pamanmu sendiri meninggal. Paman kandungmu...” kata ibunya.
Herman mencoba menjelaskan bahwa dia akan datang setelah pulang nanti. Berarti seminggu kemudian. Ibunya menjadi marah. “Ketika kalian menikah, paman kalian menjadi wali karena ayah kalian sudah tak ada....” Selesai sudah perdebatan itu. Herman berangkat dari Jakarta ke Bandung saat itu juga. Langsung menuju rumah duka.
Seperti yang selalu dialaminya sejak kanak-kanak, Herman bertemu dengan para kerabat. Pinisepuh sudah hampir semua tak ada, kecuali seorang uwak yang berusia hampir 100 tahun dan sudah tidak dapat mengenali siapa pun. Seorang uwak yang berusia 85 tahun dan daya ingatnya masih baik, kecuali berjalannya sudah agak terseok. Sedangkan paman-paman dan bibi-bibi sudah menjadi pengganti pinisepuh yang lama, merekalah yang sudah sepuh-sepuh sekarang. Pikun, tuli, dan pemarah. Ibu Herman sendiri sudah sangat tua, pikun, pengomel, dan ajaib... ia melupakan semua hal-hal tak enak yang terjadi dengan saudara-saudara dari suaminya yang jarang membantu kesulitannya.
Para anak, keponakan, sekarang sudah menjadi para orang tua. Anak-anak mereka pun sudah tak terlalu mengingat hubungan persaudaraan keluarga besar. Anak-anak sekarang hanya mengingat paman dan bibi kandung serta sepupu-sepupunya saja. Tidak mengenal cabang dan ranting kekerabatan yang lebih luas.
***
Herman duduk di atas tikar di hadapan jenasah pamannya untuk berdoa. Tikar dan karpet digelar diseluruh ruang tamu dan tengah. Para pelayat duduk di pinggir-pinggir, sepanjang tembok. Jenasah terletak di tengah ruang tamu.
Kehadiran Herman mengorbankan seminarnya yang penting. Herman tak mengenal pamannya. Tak pernah ada percakapan antara paman dan dirinya sepanjang ingatannya. Ketika kanak-kanak, pamannya hanya bersalaman dengannya sambil berkata pada ibunya “Ini anak yang nomor berapa ya....” Ibunyalah yang menjawab. “Itu si Herman, anak nomor empat...” Pertanyaan yang diulang setiap kesempatan bertemu. Tentu saja Herman maklum dengan hal itu. Karena keponakan terlalu banyak dan wajah anak-anak mudah berubah. Setahun kemudian sudah menjadi anak yang lebih besar atau gemuk, atau kurus, atau botak.
Herman menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran-pikiran kacau itu. Ibunya memperhatikan dan memandangnya dengan tajam. Herman menoleh pada bibinya yang sudah tua dan berlinang-linang air mata menangisi jenasah. Haruskah saya memeluk bibi? Tanyanya dalam hati. Seingatnya, belum pernah ada kekariban serupa itu antara dirinya dengan bibinya.
Ibunya memandang Herman terus. Haruskah aku mengucapkan kata-kata sanjungan bahwa aku kehilangan paman? Herman tidak mengenal pamannya dan tidak merasa kehilangan. Herman menjadi canggung.
Sebagai jalan keluar, Herman menyerahkan sebuah amplop tebal kepada bibinya sambil bersalaman. Mengucapkan ikut belasungkawa sambil menepuk pundak bibinya. Sang bibi menangis dan mengucapkan terimakasih. “Itu Herman, anakku nomor empat....” ibunya mengatakan itu dengan rasa bangga pada pada semua yang hadir di dekat dia. Kemudian kepala-kepala itu mengangguk-angguk sambil memandang dan tersenyum pada Herman. Mereka semua juga melihat amplop yang tebal itu. Para orang tua itu memandang Herman dengan wajah lembut. Keponakan yang baik, membantu biaya sang paman. Selama hampir satu tahun keluar masuk rumah sakit telah menghabiskan harta bendanya.
Herman kemudian bergabung dengan saudara-saudaranya yang lain, duduk menunggu pemberangkatan jenasah ke pemakaman. Pamannya meninggal pada usia 76 tahun.
***
Langganan:
Postingan (Atom)