Rabu, 21 April 2010

Menjadi Perempuan Indonesia

Menjadi perempuan Indonesia adalah sebuah anugerah bagiku. Hidup menjadi penuh dengan kejutan dan petualangan. Sering menjengkelkan, tapi penuh pembelajaran.

Dalam separuh hidupku aku selalu berada di dalam dunia maskulin. Pekerjaan yang didominasi lelaki. Menjadi satu-satunya atau salah satu dari jumlah perempuan yang dapat dihitung dengan jari, perempuan yang bekerja di antara para lelaki.

Pada sebuah kegiatan di lapangan, aku tidak dapat tinggal dengan rombonganku di sebuah rumah yang menjadi base camp karena mereka semua lelaki. Aku “ditempatkan” di rumah masyarakat lainnya, di kamar anak perempuan yang menemaniku. Percuma aku bilang bahwa aku mau tinggal dengan tim karena tidak ingin terasing dari mereka, semua pria itu malah merasa terganggu. Aku sempat marah kepada pimpinan lembaga –tuan rumah kegiatan- yang bersikeras mengatakan padaku: “Kamu tidak bisa tinggal serumah dengan pria-pria....”

“Kenapa? Ada banyak orang dan saya tidak mau dipisahkan,” aku meradang. “Apa masalahnya? Jelaskan! Ini kerja lapangan, kenapa harus dipersoalkan hal seperti itu.” Aku ingat bagaimana suasana menjadi hening saat itu. Tapi itu bukan berarti keinginanku dituruti.

Begitu juga di hotel atau penginapan, aku sering sendirian sementara pria-pria bisa beramai-ramai dalam satu kamar.
***

Pernah aku berdiri di depan sebuah forum besar yang hampir 90% adalah pria. Saat itu perutku sedang buncit –hamil 5 bulan. Mereka semua memandangiku terperangah dengan mulut ternganga. Mungkin dalam pikiran mereka, lelaki seperti apa yang menjadi suamiku. Seorang perempuan yang berangkat ke luar Jawa dengan perut gendut.

Seorang teman pria yang sudah puluhan tahun malang melintang dalam kerja-kerja pengembangan masyarakat pun terkejut ketika melihatku di tempat pertemuan. “Kamu, sedang hamil?” katanya dengan mata terbelalak. Saat saya menelponnya untuk memintanya menjadi trainer tamu, dia sama sekali tidak mengira bahwa aku sedang berperut buncit. “Larangan terbang kalau di atas 7 bulan....” kataku kalem.

Sebenarnya petugas Bandara Cengkareng pun lumayan blingsatan ketika berhadapan denganku. Matanya penuh selidik memandang wajahku, karena perutku memang gendut sekali. “Apa betul baru 5 bulan?” tanyanya grogi dan bingung. Lumayan merepotkan juga punya penumpang sepertiku rupanya, karena butuh proses diskusi sekian waktu sampai akhirnya diputuskan aku menandatangani selembar pernyataan bahwa aku terbang atas kemauanku sendiri.

Aku tidak banyak cingcong dan menandatangani saja surat pernyataan itu. Sambil memperhatikan perilaku petugas yang bingung dan serba salah.
***
Temanku –seorang pria- menghela nafas sambil memandangi wajahku. “Kenapa?” tanyaku. “Tuh pria-pria itu semua memandangi kamu....” katanya. Temanku yang lain –seorang pria juga- tertarik pada pembicaraan ini berkomentar dalam bentuk pertanyaan: “Apakah itu pelecehan atau penghargaan?”

Aku mengerti bahwa aku berada di sebuah tempat yang masyarakatnya menabukan perempuan bepergian sendiri. Perempuan tidak boleh bepergian dengan pria bukan muhrim. Harus mendapat ijin suami bahkan untuk pergi ke tempat yang dekat.

“Itu penghargaan....” kata temanku yang pertama. Aku malas bicara, membiarkan saja kedua temanku ini berwacana. Memandangi wajah mereka ganti berganti. “Seorang perempuan di antara para lelaki, bepergian jauh dari rumah, berdiri di depan dengan suara nyaring di hadapan para pria,” kata temanku lagi. “Sungguh pemandangan yang aneh. Kenapa tidak pilih pekerjaan perempuan?” Kedua temanku ini hanya sedang merefleksikan suatu kejadian yang berlangsung di hadapan matanya. Jadi kubiarkan saja.

Seorang pria tidak dapat menahan pandangannya padaku terus-menerus. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Temanku berbisik padaku, “Pria itu melihat terus.....” Hal-hal seperti ini sering mewarnai pekerjaanku. Menjadi pengalaman seorang perempuan yang tak akan terjadi pada lelaki.

Yang menyebalkan adalah komentar pria yang mengatakan bahwa suamiku pasti seorang pria hebat, punya istri sepertiku. Yang menyenangkan adalah selalu ada sejumlah pria yang memberikan penghargaan. Juga jadi pelindung bila terjadi personal attack dari seorang pria kurang ajar yang terdorong ingin mengganggu. Seperti seorang pria yang mengatakan, “Saya anti gender.” Atau “Saya tidak akan punya istri yang pekerjaannya seperti lelaki....” Kalimat permusuhan. Kalau hanya sebagai pendapat pribadi dan canda, saya anggap tidak apa.
***

Bertemu dengan perempuan lain dalam komunitas lelaki adalah hal lain yang menyenangkan. Mereka pasti perempuan tangguh. Memang selalu begitu. Mudah bagiku bersahabat dengan sesama perempuan yang baru kukenal dalam dunia pria ini. Mudah bagi mereka juga untuk menerimaku dengan hangat dan karib.

Pandangan sesama perempuan berbeda. Mereka tidak melihatku seperti para pria, tidak mengatakan sesuatu seperti para pria. Selalu begitu.

Para perempuan beranggapan bahwa suamiku menerima pekerjaanku dengan biasa saja sebagai hal lumrah. Seperti suami mereka biasa saja bila istrinya kerja lapangan berhari-hari.

Menjadi perempuan adalah sebuah kesempatan untuk menghadapi tantangan ketika pilihan hiidup kita diwarnai dengan konflik nilai-nilai masyarakat tentang perempuan. Ibuku sendiri pun dalam sanubarinya sulit memahami pekerjaanku yang “seperti lelaki” atau bahkan lelaki pun tidak semua bisa kerja “seperti itu”. Kakak lelakiku saja dulu pernah tidak mendapat ijin orang tua ketika ingin kerja di Kalimantan. Itu dulu, saat keadaan jaman tidak seperti sekarang. Sekarang jarak bukan masalah lagi.

Aku belajar memahami dan membuat sikap tanpa harus meremehkan nilai dan norma itu. Tetapi juga tanpa harus mundur dari keyakinanku sendiri.

Memperingati Hari Kartini, 21 April 2010

Sekat

Orang Aceh memang pemimpin semua. Susah menjadi bawahan. Begitu kata orang-orang luar yang bekerja di Aceh. Entahlah, mungkin ini suatu penilaian yang berlebihan. Konon seorang pejabat pusat dalam pidatonya di sebuah acara yang dihadiri berbagai kalangan, mengatakan: Investor akan datang ke sini untuk membuka usaha. Ini akan menjadi peluang kerja bagi masyarakat asalkan saudara-saudara di sini bersedia bekerja sesuai dengan kapasitasnya, jangan semua ingin jadi bos.

Aku tidak mengerti orang Aceh. Juga tidak mengerti orang Dayak. Tidak mengerti orang Banjar. Orang Sasak. Orang Menado. Orang Nias. Orang Madura. Orang Maluku. Sekolah tidak mengajariku untuk mengerti kecuali mengenalkan gambarnya, pakaian dan rumah adatnya, nama tarian dan alat musiknya, dan peta. Apalagi sub-etnis seperti orang Komering di Sumsel, orang Banjar di Kalsel, suku Kajang di Sulsel yang mirip orang Badui, atau sub-etnis batak di Sumut. Tidak banyak orang luar yang memahami.

Aku belajar mengenal berbagai suku di negeriku dalam perjalanan dan kegiatanku dari suatu daerah ke daerah. Itu pun tak cukup lama. Ketika ke Aceh aku baru mengerti bahwa orang Aceh adalah multi-etnis dan kata Aceh pun ternyata dapat menjadi akronim dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindia yang menunjukkan keberagaman etnis itu. Terdapat kampung yang gadis-gadisnya berwajah indo dengan matanya yang kebiruan atau coklat. Terdapat wajah-wajah Arab yang gagah dan cantik-cantik. Terdapat juga wajah-wajah putih keturunan Cina. Juga wajah orang melayu yang lebih mirip orang Jawa dan wajah India berkulit gelap (keling).

***

Jangan marah lah Yunus, kataku. Kau cuma seorang bawahan, dia bos. Meskipun kau merasa benar. Yunus mengatupkan bibirnya. Memangnya kalau aku bawahan, aku tidak boleh berpendapat, katanya. Bisa, tapi caranya harus pas, kataku. Aku tidak tahu cara yang pas itu bagaimana. Aku orang Aceh, aku bilang apa yang aku ingin bilang, katanya keras kepala.

Tapi bukan hanya Yunus –yang berwajah Arab putih itu- yang suka mengatakan ”aku orang Aceh begini, begitu”. Entah kenapa orang-orang Aceh yang kutemui suka sekali mengatakan ”aku ini orang Aceh”, ”orang Aceh itu”, ”kalau di Aceh itu”. Belum pernah kutemukan suatu tempat dari suku lain yang orang-orangnya begitu sering menyebut siapa dirinya. Rasa nasionalisme kesukuan yang tinggi.

Yunus, Rahma dan aku, pergi ke sebuah kampung untuk mengobrol dengan ibu-ibu tentang pengembangan usaha keluarga. Apa yang mereka rencanakan, dan membentuk kelompok untuk belajar usaha bersama dengan mengumpulkan modal berkelompok. Aku perhatikan bahwa hampir semua keluarga di kampung ini memiliki anak yang baru. Bayi-bayi yang lahir pasca tsunami begitu banyak. Banyak keluarga yang anak-anak kecil dan bayinya menjadi korban tsunami. Seorang ibu yang punya 4 anak, kehilangan 3 anaknya yang masih kecil-kecil dan punya bayi yang lahir paska tsunami dalam usia si ibu tak terlalu muda lagi. Yunus pun, kehilangan ibu, adik, dan kakaknya. Hanya tinggal dia dan ayahnya yang hidup.

Rahma dan Yunus nampak sangat antusias saat berbincang dengan masyarakat. Kedua orang staf lembaga program pengembangan masyarakat ini tidak mudah akrab denganku, begitu kesanku selama 2 minggu berada di organisasi mereka. Hanya sedikit demi sedikit yang dikatakan Rahma meskipun aku terus mencoba mengajaknya bertukar pikiran. Sampai suatu ketika dia mengatakan: Saya benci mengingat Tsunami. Saya tidak mau menontonnya di TV. Saya tidak mau membicarakannya. Saya tidak membaca buku apa pun tentang tsunami di Aceh.

Wanita muda yang baru lulus sekitar 2 tahun dari Unsyiah itu berwajah cantik, profilnya juga lebih ke Arab seperti Yunus, hanya lebih berwana coklat. Mereka berdua menjadi satu tim tetapi nampak tidak terlalu akrab terutama karena Yunus memang sering menimbulkan ketegangan karena pertentangannya dengan bosnya yang Jawa.

***

Sebelum konflik di Aceh berakhir dengan penandatanganan perjanjian perdamaian, Yunus adalah aktivis LSM yang pada masa itu dalam kondisi selalu dicurigai dan sembunyi-sembunyi. Tak heran sikapnya selalu keras.

Sebagai supervisor, Yunus memiliki sejumlah anak buah, yaitu para petugas lapangan. Mereka belum menghayati apa itu kerja pengembangan masyarakat. Mereka harus dikirim ke LSM di Jawa atau NTT yang para petugas lapangannya sangat militan, kataku ketika Yunus bersungut-sungut tentang cara kerja mereka. Bos bodoh itu tidak mau kerja betul, mana mau dia mengeluarkan dana untuk yang seperti itu, kata Yunus ketus.

Kerja betul. Bersungguh-sungguh peduli. Aku menemukan kata-kata itu yang menjadi inti dari rasa antipati Yunus kepada orang-orang luar. Orang-orang datang ke Aceh hanya sekedar untuk cari makan di atas kemalangan korban tsunami atau korban perang dan konflik. Sepertinya begitu yang terdapat dalam sikapnya yang tak bersahabat, meskipun tak dikatakan eksplisit padaku yang pengunjung dari luar. Sebuah prasangka yang menjadi sekat penghalang.

Aku di Aceh bersama seorang teman yang merupakan pejuang tangguh dalam kerja-kerja kemasyarakatan di desa-desa terpencil di pulau yang kondisi alamnya sangat kering. Kami menayangkan video dokumenter pendek kerja-kerja pendampingan di wilayah tandus dan kekeringan, cara kerja, dan proses-proses yang dibangun. Aku memandu para petugas lapangan itu untuk merumuskan sendiri dedikasi apa yang diminta kepada seorang yang bekerja untuk masyarakat. Mempelajari kesan yang mereka dapatkan dari mimik wajahnya satu per satu. Juga sikap mereka saat menjalankan tugas ke lapangan. Apakah menjadi semangat. Ataukah malah surut.

***

Saat-saat istirahat siang atau sore. Atau malam hari ketika aku duduk sendiri di beranda base camp lapangan tempat kami tinggal. Aku akan mendapat kunjungan dari teman-teman petugas lapangan itu. Kadang seorang saja. Kadang berdua orang. Atau berkelompok. Mengajak berbincang tentang Aceh dan masyarakatnya. Bertukar kata hati. Aku juga mencatat dalam hatiku, siapa yang justru menjauh dan menutup dirinya.

Bila kesempatan itu ada, akulah yang kemudian datang padanya. Rahma, maukah mendengar cerita tentang dua anak lelakiku, kataku. Aku selalu suka bercerita tentang mereka, dan banyak orang pun ternyata suka mendengarnya. Lalu bertukar cerita tentang anak-anaknya atau keluarganya. Rahma tersenyum mendengar cerita lucu tentang anak-anakku. Kalau saya punya suami dan anak-anak nanti, saya pun ingin mereka terbiasa bila saya lama pergi ke lapangan, katanya. Rahma tertarik untuk mendengar ceritaku sebagai perempuan yang pekerjaannya sering meninggalkan keluarga dalam waktu cukup lama.

Saya bercerita tentang Ella di Sumba, Laksmi di Lombok, Sri di Klaten, Kominta di Medan, dan banyak perempuan lain yang saya kenal, yang sering tinggal di desa berhari-hari dan mendapat dukungan suami dan anak-anaknya.

Saya dan Rahma asyik bercakap-cakap sampai larut malam. Yunus datang mendekat dan melemparkan senyuman. Saya akan buatkan kopi, mau? tanyanya. Rahma menoleh pada saya sambil tersenyum. Maulah, tengku, jawab saya.

Malam itu sungguh indah, bertaburan bintang di langit. Dari beranda tempat kami duduk-duduk, di atas bukit, nampak garis laut nun di bawah sana. Suara debur ombaknya samar-samar terdengar.

Bandung, April 2010