Jumat, 21 Mei 2010

Pernikahan

Wini memiliki 5 pilihan. Pria-pria yang mengejarnya. Setelah 12 tahun berpacaran dengan Rahman, Wini masih tidak tahu apakah menikah dengannya merupakan impiannya. Seharusnya pernikahan itu seperti sebuah penantian yang berakhir dengan happy ending. Seharusnnya.

Sementara usianya sudah 29 tahun. Agak terlambat menikah untuk ukuran Kota Bandung sekalipun. Pada masa sekolah, Wini membayangkan menikah pada usia 22 tahun. Muda dan segar seperti bunga yang baru mekar. Ia ingin menikah pada saat puncak kemudaannya. Wini ingin bersanding di kursi pelaminan dengan pria yang menatapnya tak lepas-lepas. Maka semua orang pun jadi tersenyum melihat cinta yang berujung pada ikatan yang mulia itu: pernikahan.

Semakin dekat pada keputusan hari pernikahannya, semakin tahulah Wini bahwa dia tidak akan mendapatkan pernikahan seperti yang dibayangkannya. Kedua orang tua Rahman dan orang tuanya sudah melakukan langkah-langkah untuk menyelenggarakan helatan pernikahannya. Rahman semakin sibuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan ini, itu, dan itu, sesuai yang diminta orang tua Wini selaku keluarga yang akan menjadi tuan rumah perhelatan. Setiap bertemu dengan Rahman, Wini hanya melihat wajah yang dingin dan lelah, terutama bila menghadapi pembicaraan dengan ayah atau ibunya mengenai ini, itu dan itu tadi, daftar kebutuhan untuk pernikahan mereka menurut pandangan orang tua dan para kerabat.

Wini memperhatikan bagaimana Rahman mencoba berbicara sopan kepada ibunya mengenai kartu undangan pernikahan. Ibunya berbicara dengan Rahman mengenai kartu undangan yang akan dicetak: warnanya, ukurannya, tulisannya, nama-nama yang dicantumkan di bawah teks “Turut Mengundang”, souvenir dan ucapan terimakasih kepada tamu undangan yang satu set dengan kartu undangannya. Mereka saling berbicara, tetapi berbicara sendiri-sendiri tidak saling mendengarkan. Intinya, Rahman mencoba mengatakan bahwa kartu undangan tidak perlu sangat mewah. Pembicaraan itu nampak melelahkan Rahman yang kemudian hanya terdiam dengan wajah yang kehilangan kegembiraan.

***

Bi Tia adalah adik ibu Wini yang murah hati dalam membantu acara-acara atau hajatan yang menyibukkan keluarga penyelenggara. Telepon sang ibu kepada adiknya itu tidak henti-henti, menanyakan tentang warna kain kebaya untuk seragam keluarga, jenis dekorasi pernikahan, menu hidangan makanan, serta ini, itu dan itu. Begitu juga dengan kakak-kakak perempuan Wini, mereka lebih sibuk daripada Wini yang akan menjadi mempelai.

Terkadang Wini unjuk pendapat, terutama bila kesibukan keluarganya itu membutuhkan uang yang diminta kepadanya. Uang yang ada di tangan Wini itu kepunyaan Rahman dan terasa semakin menipis. Menikah pada masa sekarang? Begitu mahal. Ingin menangis rasanya Wini memikirkan bahwa uang tabungan itu hasil jerih payah Rahman bekerja dalam waktu yang cukup lama. Lima tahun.

Wini adalah wanita cantik. Pada waktu sekolah, Wini mendapat surat cinta dari seorang teman lelaki yang tampan dan membuatnya berbunga-bunga. Kemudian Wini bermimpi pria itu menjadi kekasih sejatinya sampai mereka dewasa dan menikah dengan bahagia. Happy ending. Mereka saling pandang di bawah pohon rimbun yang berbunga indah dan berjatuhan di atas rumput. Padang rumput hijau membentang melatari dua sejoli yang penuh asmara. Langit di belakangnya sangat biru dengan awan-awan putih yang teduh.
Kebahagiaan itu hanya diperlukan untuk mereka berdua. Wini tidak harus membuat 1.000 undangan berpita. Cinta itu begitu indah hanya dengan sekuntum bunga yang dipetik di antara rumput dan diselipkan di antara rambutnya. Tidak harus ada pilar-pilar yang dihiasi kembang-kembang dari toko, serta patung pengantin yang diukir dari es.Wini menjadi cantik karena senyuman di wajahnya itu menggambarkan segenap perasaannya ketika kekasihnya menciumnya. Tidak perlu katering dan tenda-tenda hidangan. Tidak perlu foto-foto pre-wedding yang berlatar mobil pengantin berhias yang bukan miliknya.

Tetapi dalam dunia nyata, cinta itu memiliki jalannya sendiri. Ada aturan-aturan yang melarang cinta itu terlalu apa adanya. Ada pernik-pernik yang dibuat-buat untuk memenuhi syarat-syarat dari masyarakat, dan keluarganya tak bersalah kalau tidak ingin menjadi malu bila tidak mengikuti norma-norma itu.

***

Setelah berusia 29 tahun dan hari-hari pernikahannya semakin dekat, Wini menyadari bahwa perempuan cantik pun seharusnya memiliki uang. Uangnya sendiri yang membuatnya bisa berpendapat. Tetapi, entah kenapa selalu yang tercetus dari bibirnya adalah: “Saya harus bilang dulu kepada Kang Rahman....” Tentu saja Rahman kemudian menjadi terlalu sungkan untuk menolak keinginan –yang mendesak- dari ibunya, bibinya, kakak perempuannya. Juga ayahnya. Ayahnya membutuhkan pakaian baru yang sama dengan besan lelaki saat nanti mendampingi mempelai di atas pelaminan.

Sepertinya sulit bagi Wini untuk menyuarakan pendapatnya sendiri. Ibunya memperlakukan Wini sebagai seorang yang tak perlu membuat keputusan karena uang itu bukan miliknya. Wini lebih sering mendapat perintah mengeluarkan uang setelah ibunya menelpon Rahman dan mengajukan suatu kebutuhan. Setelah pembicaraan telpon itu, tugas Wini adalah mengeluarkan uang yang dibutuhkan ibunya untuk membayar uang muka ini dan itu.

Wini memiliki 5 pilihan. Pria-pria yang mengejarnya. Sejenak kesadaran pernah singgah di benak Wini. Seharusnya dia memilih Tommy, bukan Rahman yang menjadi pacarnya selama 12 tahun. Segala masalah pernik-pernik pernikahan itu bukanlah apa-apa bagi Tommy yang keuangannya lebih mampu. Ketika Wini menatap wajah Rahman, sementara sebaliknya tidak pernah lagi menatap wajahnya, Wini mengira bahwa pernikahan mereka bukanlah saat terbaik juga bagi Rahman. Pada tahun-tahun terakhir, sudah tidak ada lagi senyuman di bibir sambil memandang penuh rasa cinta yang dulu pernah dilihat Wini di wajah Rahman.

Setelah 12 tahun berpacaran dengan Rahman, hari-hari pernikahannya semakin mendekat. Pilihan itu artinya sudah hilang dan Wini sekarang sedang menuju ke satu keadaan –menikah dengan Rahman. Sesudah itu Wini akan menjadi ibu rumah tangga yang baik, cantik meski usianya sudah tak sangat muda, pandai memasak dan berdandan, suka membaca, memiliki banyak teman di face book, memiliki suami yang cukup tampan, sarjana, dan kerja kantoran.

Meskipun Wini seorang sarjana, namun sejak awal Rahman adalah pria yang mengharapkan Wini menjadi ibu rumah tangga. Sesuatu yang disetujui Wini demi impian cintanya dahulu. Impian yang sudah pudar menjelang hari pernikahan.

***

Apabila Rahman datang ke rumah, Wini memandang wajahnya. Sebaliknya, Rahman tidak memandang wajah Wini. Wajahnya lelaki itu terasa begitu dingin. Lelah jiwa dan raganya memenuhi tuntutan kewajiban seorang pria yang harus membiayai pernikahan yang pantas dan tidak memalukan keluarganya maupun keluarga sang istri. Saat berbicara pun nampak seperti pikiran dan perasaannya tidak hadir.

Semakin dekat pada hari pernikahannya, Wini semakin tahu bahwa dia tidak akan mendapatkan pernikahan seperti yang diimpikannya.

Wini memimpikan pria yang memandang wajahnya tak lepas-lepas saat duduk di pelaminan. Senyum di wajahnya dan getaran di sekujur tubuhnya menghadapi satu hari yang tidak akan terulang lagi adalah momentum terbaik dalam hidupnya.

Namun catatan pengeluaran dan daftar kebutuhan yang telah menghabiskan uang tabungan hasil kerja Rahman bertahun-tahun, telah menghancurkan hari yang paling berharga dalam hidupnya. Bukan hanya mereka tidak memiliki tabungan untuk bekal menghadapi hidup baru, tetapi juga sejumlah pinjaman dari kantor, bank, dan keluarga, menghantui hari esok yang akan mereka jalani.

Namun kehilangan terbesar yang dialami Wini adalah kehilangan pancaran cinta dan senyuman di wajah Rahman pada hari yang seharusnya menjadi hari terindah dalam hidupnya.

***

Bandung, 29 Januari 2010