Jumat, 12 Desember 2008

ARTI SEBUAH NAMA

Bapakku selalu cemas apabila menghadapi kelahiran seorang cucu. Apa yang paling dicemaskannya? Nama. Nama yang diberikan kepada cucunya oleh ayah dan ibu sang bayi. Kekhawatirannya bermula ketika kakakku memberi nama-nama ’aneh’ untuk anaknya. Jeffry Putra Pertama. Fenny Putri Cantika.

Aku mencoba menemukan nama yang akan menyenangkan hati bapak. Sebuah nama sederhana yang mencerminkan keislaman atau kesundaan. Ketika anak pertamaku lahir, Bapak dengan antusias menanyakan apa nama yang akan diberikan kepada si bayi. Ibnu Ksatria Utama. Untuk anak keduaku, diberikan nama Wulan Setiati. Begitu aku memberitahu nama cucu barunya, Bapak tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya. Pertanda hatinya berkenan.

Bapak tidak pernah mengajukan nama untuk cucunya. Itu bukan tradisi dalam keluarga ’kebanyakan’ (biasa) di masyarakat Sunda. Nama anak diberikan oleh orang tuanya sendiri. Barangkali berbeda kalau keluarga trah (priyayi) atau kelas atas yang menganggap pemberian nama sebagai upacara penting. Tapi dalam hati Bapakku yang orang biasa, hal ini menjadi suatu perhatian dan penting.

Bapak memberikan nama-nama yang bagus untuk anak-anaknya, tapi merupakan nama-nama sunda yang agak pasaran: Dodi, Tetty, Tita, Dedi, Tia, Diki, dan Dani. Selalu dimulai dengan huruf T untuk perempuan –sesuai nama ibu, Tati– dan huruf D untuk anak laki-laki –sesuai dengan nama bapak, Dudi.

Bapak tidak pernah mengkomentari nama-nama cucunya. Tapi, pertanyaan pertama yang selalu diajukan kepada anak-menantunya saat kelahiran bayi adalah siapa nama yang akan diberikan. Aku memperhatikan mimik wajah Bapak bila nama itu baik atau kurang sreg baginya. Kalau baik, Bapak akan tersenyum. Kalau tidak, Bapak akan terdiam.

Keponakanku selalu tertawa bila kakeknya menyebut namanya. Jepri. Peni. Nama-nama yang sulit disebutkan dengan benar oleh orang Sunda tulen seperti Bapak. Nama sunda ya Pepen atau Apep untuk laki-laki. Pipin untuk perempuan. Kalau ada huruf f maka lidah orang Sunda akan kembali melafalkannya menjadi p. Aku berkomentar: ”Itu nama metropolitan, Abah....”
Bapak biasanya menjawab: ”Kita ini orang Sunda. Ya sebaiknya pakai nama Sunda...”

Jeffry akan menyahut: ”Bapakku Batak, Aki.... Aku Sunda blasteran....”

Aku menggunakan sebutan ’abah’ untuk ayahku. Sebenarnya ’bapak’, tapi aku ingin lebih terkesan ’Sunda metal’ (gaul) dengan menyebutnya ’abah’ di tengah budaya metropolis Bandung yang keluarga Sunda pun sudah menggunakan sebutan papa dan mama. Sedangkan Jefrry menyebut ayahnya dengan ’babeh’, sebutan ’gaul’ ala anak Jakarta. Menurutku sebutan ’abah’ sama kerennya dengan ’babeh’. Begitu juga sebutan ’ambu’ untuk ibuku, sama trendynya dengan sebutan ’enyak’ yang digunakan anak-anak remaja sekarang.

”Enyak gue gak mau ngasih duit buat beli PSP euy”. kata Fenny.

”Babeh gue kesel laptopnya jebol waktu kemarin gue pinjem buat main games.” kata Jeffri yang berumur 13 tahun kalau sedang bercakap-cakap dengan sepupunya.

”Jeff, emak lo bilang lo tukang gonta-ganti hape. Hebat euy, hape bekas lo buat gue dong....” Kata anakku si Ibnu.

”Kan buat tukar tambah, coy....” jawab Jeffry. ”Mana mau si enyak beliin gue hape baru. Aku tukar tambah pake uang jajan tabunganku....”

Wulan, anakku yang berumur 5 tahun ikutan menyahut: ”Pinjem dong hapenya. Mo main games....”

Serentak sepupu-sepupunya menjawab: ”Cumiiii.... Cuma minjem mlulu lo sih....”

Belon tamat.... BERSAMBUNG



KASIH SEORANG BUNDA

“Yanti!! Yantiii…..!!” Teriakan memerintah yang sangat keras dari dalam kamar. Nama yang dipanggil pun segera bergegas datang. Begitu mendengar suara langkah kaki datang, suara memerintah tersambung kembali: “Ambilkan minumku, Yanti….” Suara yang sangat nyaring dan tegas. Kemudian diikuti suara mengomel dan mengeluh. Haus. Udara yang panas. Berkeringat. Punggung yang sakit. Anak-anak yang tidak memedulikan orang tuanya. Jarang datang menengok.

Yanti membatalkan langkahnya untuk masuk ke dalam kamar, berbalik arah. “Sebentar, Bu….” Segera dia melangkah ke dapur dan bergegas kembali ke kamar ibunya dengan segelas air putih. Disodorkannya gelas air minum ke bibir ibunya, yang meminumnya seteguk dua teguk. Kemudian memalingkan wajahnya, tanda sudah selesai. “Ibu mau kencing….” Sang Ibu bersuara memerintah.

Yanti mengambil pispot dari bawah tempat tidur ibunya. Mengatur posisi sang ibu. Meninggalkannya sebentar untuk mengambil botol air di kamar mandi. Beberapa botol kaca bekas sirup telah siap sedia berisikan air bersih untuk kebutuhan membasuh ibunya sehabis kencing atau buang air besar di pispot. Yanti meletakkan dua botol air itu di bawah empat tidur. Siap untuk digunakan.

Yanti melakukannya tanpa berkata-kata. Ribuan kali telah dia ulangi kegiatan yang sama sehingga tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Dia sudah tahu bagaimana cara mengatur posisi. Mengambil air dalam botol. Membereskan benda-benda di dalam kamar sambil menunggu ibu menyelesaikan hajatnya. ”Sudah...” Begitu ibunya mengatakan itu, Yanti membasuh ibunya di bawah kain. Sang ibu membantu mengangkat kainnya agar tidak kena air. Setelah basuhan pertama, Yanti harus menukar pispot dengan yang lain. Yang kosong. Dia harus ke kamar mandi untuk membersihkan dan menyiram pispot pertama. Meletakkannya di bawah ranjang. Membasuh lagi menggunakan pispot kedua. Kemudian menggantinya kembali dengan pispot yang pertama lagi yang sudah dikosongkan.

Biasanya dibutuhkan empat botol air untuk buang air besar. Dua botol untuk kencing. Itu yang dibutuhkan ibunya untuk merasa telah bersih.
Setelah selesai mencuci tangan dengan sabun di kamar mandi. Yanti mengisi kembali botol air. Berjajar sejumlah botol di kamar mandi. Menyiram pispot dengan air sebersih-bersihnya. Mencuci dengan sabun dan membilasnya. Pispot-pispot itu berjajar di bawah tempat tidur ibunya.

Di atas meja terletak beberapa waskom. Satu untuk cuci muka –atau dilap basah wajah dengan air hangat dan sabun. Satu untuk mandi -atau sebenarnya juga hanya dilap basah seluruh tubuh dengan air hangat dan sabun. Dibutuhkan satu waskom khusus untuk air hangat bersih yang akan digunakan melap sebagai pembersihan terakhir tanpa sabun.

Biasanya selalu dibutuhkan dua waskom untuk cuci muka maupun mandi. Satu waskom kecil untuk cuci muka bersabun, satu waskom kecil untuk air bersih hangat tanpa sabun untuk membilas wajah. Sedangkan untuk mandi, satu waskom besar untuk melap tubuh dengan waslap bersabun, dan satu waskom besar lainnya untuk air bersih pembilas. Itu yang dibutuhkan ibunya untuk merasa telah bersih.

Mandi dilakukan satu hari sekali setiap jam sembilan pagi. Cuci muka dilakukan setiap jam tiga sore. Biasanya Yanti melakukannya tanpa banyak bicara. Ribuan kali telah dilakukannya. Sehingga setiap langkah demi langkah telah menjadi ritual. Tidak ada perubahan apa pun kecuali bila ibunya yang memerintahkan.

Setelah digunakan, waskom-waskom dicuci dengan sabun dan dibilas bersih. Kemudian ditelungkupkan di atas meja di samping tempat tidur yang diberi alas plastik. Berjajar dengan rapi.

Yanti menggunakan jam weker untuk menandai jam berapa waktunya menjerang air untuk menyiapkan air hangat. Jam makan ibunya. Dan juga jam shalat. ”Yantiii.... Yantiii.... Mengapa kamu tidak memberi tahu ibu waktunya shalat....” seringkali ibunya mencoba menyalahkan Yanti karena beranggapan sudah ketinggalan shalat. Yanti biasanya mengatakan: ”Belum waktunya shalat, Bu.... jam belum berbunyi....”

”Mungkin jamnya rusak lagi seperti kemarin.... Ibu tadi mendengar sudah adzan kok....” ibunya selalu mengira bahwa jam weker itu rusak sehingga terlambat berbunyi. Padahal kejadian itu hanya pernah terjadi sekali atau dua kali. Yang pertama, mungkin empat tahun yang lalu. Yang kedua, tiga tahun yang lalu. Ibunya selalu mengatakan bahwa jamnya rusak seperti kemarin.

***

Terdengar suara langkah-langkah kaki. Dan suara riang gembira. Berceloteh. Tertawa terbahak-bahak. “Uwak Yanti.... lihat aku bawa kue buat nenek....” teriak Dani, anak lelaki sepuluh tahun berpipi tembam dan berwajah riang, membawa piring dengan penutup di atasnya. Di belakangnya mengikuti Dina, seorang anak perempuan berumur tujuh tahun berambut ikal terpilin dan berwajah cantik, berpegangan tangan dengan Dini, seorang anak perempuan berumur tiga tahun yang sangat cantik menggemaskan. Anak-anak Lina, adik bungsu perempuan Yanti. “Teh, ibu lagi apa?” Tanya Lina kepada kakaknya. Pertanyaan klise. Karena biasanya, bila Lina datang menjenguk, tentu saja ibunya sedang berbaring di tempat tidur. Matanya terpejam meskipun tidak tidur.

Rumah ibu, dibeli semenjak Lina berusia 5 tahun. Sebelumnya mereka tinggal di rumah dinas dari kantor ayahnya. Meskipun dibujuk dengan segala cara, ibu tidak mau pindah ke rumah Lina. Ibu ingin mati di rumah sendiri seperti ayah, katanya. Ibu juga tidak mau keluarga Lina pindah ke rumahnya. Anak-anak selalu ribut dan membuat rumah kotor, katanya. Ibu ingin suasana yang tenang. Usianya sudah hampir 80 tahun. Daya pikirnya masih cukup baik. Tetapi fisiknya rapuh. Sudah sejak berumur 70 tahun, ibu harus ditopang dengan tongkat rotan bila berjalan. Sekarang Ibu sudah tidak bisa berdiri di atas kedua kakinya. Ibu hanya bisa duduk, setengah berbaring.

Dua belas tahun yang lalu, Yanti memutuskan pertunangannya karena tidak bersedia melanjutkan ke jenjang pernikahan bila harus pindah mengikuti suami. Yanti memilih tinggal dengan ibunya. Berdua di rumah ibu yang mulai sakit-sakitan. Yanti tidak pernah menikah. Yanti tidak pernah bekerja di luar rumah. Usianya sudah tiga puluh delapan tahun sekarang.

Lina selalu disambut ibunya dengan keluhan-keluhan. Sakit pinggang atau sakit kepala, mungkin keluhan yang biasa. Tetapi bila ibu mulai mengeluhkan sesuatu tentang Yanti, sulit baginya untuk tidak terpancing emosi. “Ibu, Yanti tidak menikah karena harus mengurus, Ibu....” katanya dengan suara bergetar. Ibunya tidak pernah bisa menerima tuduhan serupa itu. ”Aku tidak pernah menyuruh Yanti mengurusku. Aku tidak pernah menyuruh Yanti membatalkan pernikahannya....”

Lina biasanya segera keluar dari kamar. Terduduk di atas kursi di teras rumah sambil menghembuskan nafas keras-keras. Lalu, siapa yang harus mengurus Ibu? Pembantu yang berusia agak tua dibawa Kang Agus dari kampung, tapi ternyata tidak bertahan lama. Apalagi pembantu yang muda-muda. Tidak pernah ada yang bertahan lebih dari dua minggu. Tidak ada yang mau tinggal berdua bersama nenek berumur 80 tahun. Kang Agus, anak nomor dua, kakak lelaki di atas Yanti, segera menjadi kapok mencarikan pembantu untuk mengurus ibu.

Ibu yang keras kepala, keluh Lina. Kekesalannya beralih kepada kakak-kakak lelakinya, terutama Kang Jaka dan Kang Agus, yang nampaknya tidak menganggap keadaan ini sebagai persoalan. Ibu sudah ada yang mengurus, yaitu Yanti. Biarkan saja ucapan-ucapan ibu itu, jangan dimasukkan ke hati. Ibu sudah tua. Sering tidak tahu lagi apa yang sedang diucapkannya.
Sulit bagi Lina untuk mengerti mengapa kakak-kakak lelakinya menganggap mudah hal-hal yang harus dihadapi kakak perempuannya, Yanti. Ucapan ibunya beribu-ribu kali tentang belum menikahnya Yanti. Sepertinya merupakan kesalahan Yanti karena tidak mampu mencari jodoh dan bekerja. Menjadi orang yang tidak berhasil meskipun sudah disekolahkan sampai perguruan tinggi. Menggelegak rasanya di dalam dada Lina setiap kali dia menjenguk ibunya dan ucapan itu didengarnya lagi. Lina selalu gagal untuk menganggap angin lalu ucapan ibunya. Meskipun sudah tahu sebelumnya, ucapan itu akan muncul lagi.

Ibunya akan segera terdiam bila melihat emosi Lina terhadap ucapan-ucapannya mengenai Yanti. Tapi bukan berarti itu jadi berhenti. Ucapan itu akan diulangnya lagi. Lagi. Dan lagi. Kakak perempuan Lina, Tetty, pun lebih emosional terhadap ucapan ibunya dan diekpresikannya dengan sangat keras. ”Ibu, berhentilah bicara soal Yanti tidak menikah. Itu pengorbanan Yanti untuk mengurus ibu karena ibu tidak mau pindah ke rumah salah satu anak ibu....”
Ibu menjadi antipati dan kemudian berpura-pura tidur apabila Tetty datang menjenguknya dengan suami dan anak-anaknya. Ibu menjadi ketus kepada Tetty. Ibu selalu menolak setiap pemberian atau oleh-oleh dari Tettty. ”Tetty selalu menyalahkan ibu, seolah-olah ibu yang telah memutuskan pertunangan Yanti....” Katanya mengadukan hal itu kepada Kang Agus atau Kang Jaka.
Bila kakak lelakinya menelpon Lina untuk menanyakan kebenaran pertentangan Tetty dan ibunya, Lina hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Bagaimana bisa para kakak lelaki itu bisa mempercayai ucapan ibunya. Ibunyalah yang memancing emosi anak-anak perempuannya dengan ucapan-ucapan tentang Yanti yang terasa menyakitkan hati mereka. Saudari-saudari yang merasa hiba terhadap Yanti.

Apabila ibu tiada, apa yang akan dilakukan Yanti? Apakah masa depan yang akan dihadapinya? Apakah Yanti masih mungkin mendapat jodoh? Apakah masih mungkin bekerja? Apakah Yanti akan tinggal dengan salah satu adik perempuannya: Tetty atau Lina? Apakah yang dirasakan oleh Yanti? Apakah Yanti bahagia? Apakah, apakah, apakah. Pertanyaan apakah itu mengharu biru hati Tetty dan Lina. Sesungguhnya juga hati Jaka dan Agus, namun para saudara lelaki ini tidak mengungkapkannya kepada orang lain.

Lina dan saudara-saudaranya juga kurang menyadari apakah kegundahan yang berkecamuk di dalam hati ibunya mengenai Yanti. Dibalik kata-katanya yang tajam. Sepertinya melontarkan kekecewaan dan mengecilkan arti Yanti yang sebenarnya merupakan kegundahan seorang ibu pada anaknya.

Suatu ketika, Tiara, seorang sahabat Tetty menemaninya menjenguk sang ibu. Hanya mereka berdua, Tetty tidak bersama suami dan anak-anaknya. Tiara menatap wajah ibu sahabatnya dan tersenyum lembut. Dielus-elusnya lengan wanita tua itu. Disekanya keringat di dahinya. Udara memang panas.
”Ibu.... saya punya kakak lelaki yang sudah menduda. Istrinya meninggal tahun lalu karena sakit....” katanya sambil memijit-mijit tangan ibu sahabatnya. ”Apabila ibu memberi restu, saya sangat ingin memperkenalkan kakak saya, Mas Soleh, kepada Teh Yanti....” Perempuan tua itu membalas tatapan Tiara, perlahan bibirnya tersenyum semakin lebar. Tersenyum tanpa tertahankan. Airmatanya berlinang. Tersenyum dan menangis. Dipegangnya erat tangan Tiara. Tubuhnya bergetar penuh luapan perasaan.

***

Setelah ibunya tiada, Yanti menjadikan rumah ibunya tempat penitipan anak sebagai usaha patungan keluarga. Saudara-saudara perempuan membantu mengembangkan konsepnya. Kang Jaka dan Kang Agus memberikan bantuan modal terbesar untuk merenovasi dan membangun rumah sesuai kebutuhan. Yanti juga menghubungi beberapa temannya yang pernah sama-sama punya ide membuat tempat penitipan anak usia di atas 1 tahun sampai 5 tahun. Sekaligus juga menyediakan pre-school dan play group.

Usaha ini segera mendapat sambutan dari kalangan suami-istri yang sama-sama bekerja. Tetty yang bekerja di bank pun mengundurkan diri dan bergabung dengan Yanti mengurus usaha baru yang ternyata berjalan dengan baik. Bermula dijajakan kepada kenalan, teman-teman dan kerabat, tempat penitipan anak ini ternyata memang dibutuhkan oleh keluarga muda profesional yang punya anak balita. Perluasan tempat nampaknya mulai perlu dilakukan.

Entah kebetulan atau tidak, setelah ibunya dimintai restu oleh Tiara untuk menjodohkan Yanti dengan saudara lelakinya, Yanti melihat ketenangan sang ibu menghadapi hari-harinya. Upaya perjodohan pun dilakukan Tiara dan Tetty. Mas Soleh diperkenalkan kepada Yanti, saudara-saudara Yanti, dan juga ibunya. Segala sesuatunya berjalan dengan baik.

Suatu ketika Yanti menemukan ibunya berbaring dengan mata terpejam dan senyuman di bibirnya. Saat itu dia sama sekali tidak mengira bahwa ibunya telah berpulang ke rahmatullah. Setelah menyadari, Yanti menatap ibunya dengan air mata berlinang. Mencium kening sang bunda.

Yanti tidak jadi menikah dengan Mas Soleh. Rupanya mereka memang tidak berjodoh. Kembali Yanti tidak bersedia menerima pinangan apabila sebagai konsekuensinya harus pindah ke kota lain mengikuti sang suami. Yanti tidak yakin dengan pilihan menikah. Tidak juga merasa yakin hatinya, jiwa dan raganya, siap menjadi ibu dari anak-anak calon suaminya.


(Kisah ini Terinspirasi oleh Para Ibu Usia Lanjut (Manula) dalam Obrolan dengan Sahabat dan Teman-teman)

RENCANA BESAR

Umi lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga sederhana di tengah kampung Kota Bandung. Kampung Kota Bandung ini adalah wilayah pemukiman yang lebih dari 30 tahun yang lampau masih terdiri dari kebun, sawah, rumpun bambu, dan rumah-rumah bilik . Baik rumah dengan kaki dan berkolong, maupun rumah setengah bilik (setengah tembok). Orang tua Umi sejak muda tinggal di sini. Ibu Umi lahir dan dibesarkan di sini, sedangkan ayahnya berasal dari tempat lain yang juga merupakan pemukiman asli di Kota Bandung. Ayah Umi adalah seorang pegawai kantor pos. Ibu Umi seorang guru Sekolah Dasar. Umi berdelapan saudara, ber sekolah di sekitar pemukiman ini dan rata-rata hanya menamatkan sampai SMU. Kecuali kakak lelaki sulung yang kuliah di IKIP (sekarang UPI).

Sekarang kampung kota ini menjadi pemukiman padat tanpa lahan hijau terbuka. Tanpa lapangan bola lagi. Dikepung oleh mall dan jalan-jalan besar yang padat dengan kendaraan mentereng. Rumah Umi dan keluarganya terletak di dalam kampung yang dapat dimasuki dari berbagai arah, gang-gang kecil kampung yang menghubungkan dengan kota metropolitan Bandung. Rumah Umi adalah satu-satunya harta yang berharga yang dimilikinya bersama suami. Rumah itu sekarang menjadi suatu noktah di tengah kehidupan modern dan mentereng. Rumah itu tidak pernah berubah penampilan sejak dibeli dari orang tua Umi lebih dari 30 tahun lalu.

Patokan-patokan hidup yang diterima dan dijalankan Umi adalah menjadi orang baik dan jujur, mendapat nafkah dari suami dengan cara yang halal, beribadah, memberi pelajar an agama untuk anak, bila memiliki anak perempuan memperoleh jodoh lelaki yang punya pekerjaan, dan menjaga keharmonisan keluarga. Umi menikah pada usia 21 tahun dengan seorang pria yang terpaut 13 tahun lebih tua. Dikaruniai anak pertama seorang perempuan, yang berumur 22 tahun saat sedang menyelesaikan kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri. Seorang anak perempuan yang hidup di masa kini dengan kombinasi pendidikan dari orang tua bersahaja. Dini berpenampilan sangat cantik, dengan jilbab modis, celana panjang dan tas ransel yang menunjukkan dirinya tidak lagi terkungkung adat lama.

Umi punya rencana lain untuk anak-anaknya. Dia ingin anak perempuannya berpendidikan tinggi dan bekerja. Dia ingin anaknya punya kesempatan memakai rok sepan (panjang karena berjilbab) dan blazer, serta sepatu hak tinggi. Penampilan perempuan kantoran. Perempuan modern yang percaya diri. Pandai berbicara. Bisa bediri tegak saat berbincang dengan koleganya –para pria. Cita-citanya atau rencananya itu nampak menemukan jalan ketika Dini, anak sulungnya mampu lolos seleksi perguruan tinggi negeri yang tentunya sebuah prestasi. Dan biaya kuliah saat itu masih lebih murah tentunya dibandingkan bila masuk swasta.

Anak kedua, Diki, sekarang sudah kelas 2 SMU. Jarak usia yang cukup jauh antara anak pertama dan kedua, bukanlah tidak disengaja. Umi berharap, sang kakak akan lulus kuliah dan bekerja, kemudian membantu orang tua membiayai adiknya agar bisa mengenyam perguruan tinggi juga. Anak ketiga, Mutiara, baru kelas 4 SD, seorang anak yang lumayan cerdas dan tekun belajar sesuai nasihat ibunya. Umi berbahagia karena anak-anaknya giat belajar, santun, dan mempercayai nasihat-nasihatnya untuk bekerja keras mencapai cita-cita: memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak. Suatu keadaan yang lebih baik ketimbang ayah mereka yang hanya pandai emas pegawai toko emas milik orang Cina di Pasar Baru dengan gaji kecil. Dan ibu seorang pembuat kue basah yang dititip ke warung.

Umi menjalankan rencananya dengan tekun. Dengan kesungguhan yang luar biasa. Tanpa pernah membincangkannya dengan sang suami. Sang suami yang pendiam, menjalankan tugasnya sendiri sebagai pencari nafkah utama keluarga. Tanpa pernah menentang tindakan istrinya. Tanpa juga pernah secara sadar terlibat dalam rencana besar istrinya. Sang istrilah yang membangun setiap langkah demi langkah masa depan anak-anaknya sesuai rencana besarnya.

Suatu ketika suami Umi mengalami PHK dari tempat bekerjanya karena krisis moneter (ekonomi) yang terjadi di Indonesia menyebabkan kebangkrutan berbagai usaha di pelosok negeri termasuk toko emas. Umi kemudian melanjutkan hidupnya dengan menjadi penopang nafkah keluarga sebagai penjual kue, mie goreng, dan gorengan (bala-bala, pisang goreng, cireng) yang merupakan camilan anak sekolah. Suaminya sekarang bekerja bersama Umi berjualan dengan membuat roda dorong untuk mangkal di dekat sebuah sekolah. Umi pantang menyerah.

Dengan sepeda tuanya, suami Umi setiap hari mengantarkan anak terkecil, Mutiara, ke sekolah dasar negeri yang sangat sederhana di depan sebuah mall yang sangat megah. Mengantar hanya sampai di ujung jalan karena Mutiara malu dengan 2 hal: ayah sangat tua dibandingkan dengan dirinya sehingga nampak seperti seorang kakek ketimbang ayahnya, dan sepeda jeleknya. Mutiara enggan menjawab bila seorang ibu temannya bertanya: ”Kakekmu ya yang tadi mengantar dengan sepeda, Tiara?”

Kehidupan Umi berjalan indah. Anak sulungnya lulus dengan nilai baik. Memperoleh pekerjaan di sebuah bank. Memakai pakaian seperti yang dibayangkan ibunya. Berbicara dengan cara yang diimpikan ibunya. Dini lahir dan besar di jamannya sendiri dan menjadi seorang perempuan yang berbeda dari ibunya. Dini seorang yang fasih berbicara tentang hal-hal yang tidak diketahui ibunya: dunia kantor. Dini fasih berdebat dengan teman-temannya: kenapa konstelasi politik nasional maupun lokal itu menjadi masalah bagi pekerjaan dan usaha yang dibidanginya.

Setelah 3 tahun bekerja, Dini menikah dengan seorang teman kuliahnya yang sudah bekerja di perusahaan swasta. Dini dan suaminya tinggal di rumah mereka yang baru, di sebuah perumahan di pinggir Kota Bandung yang asri dan modern yang harus dicicil selama 15 tahun. Rumah mungil berkamar dua itu dibangun ke atas sehingga Dini dan suaminya punya ruang kerja di rumah, dengan laptop dan internet sebagai perlengkapan keseharian mereka. TV flat 29 inch, mesin cuci, magic jar, dan microwave, menjadi peralatan rumah tangga pasangan muda yang sama-sama bekerja ini. Menabung, bertransaksi dengan kartu ATM dan credit card, mendiskusikan rencana punya anak dan mobil, merundingkan peluang-peluang karier masing-masing dan kesepakatan mereka, merupakan lifestyle yang dijalani Dini dengan suaminya. Pasangan ini merencanakan 5 tahun tanpa anak untuk memapankan ekonomi rumah tangganya. Pasangan ini sepakat akan bergantian melanjutkan kuliah untuk meningkatkan kariernya.

Umi dan suaminya menunaikan tugasnya yang masih belum selesai untuk menghantar anak-anaknya menghadapi masa depan. Sebuah usaha yang selalu terancam oleh berbagai krisis dan perubahan jaman yang menggila. Biaya kuliah di swasta mencekik leher. Kuliah di Unpad dan ITB yang merupakan perguruan tinggi negeri menjadi tidak murah lagi dengan berlakunya otonomi lembaga pendidikan, bahasa yang bagus untuk menyatakan kebangkrutan negara dan ketidakmampuan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau oleh rakyatnya.

Umi tidak tahu persis semua duduk persoalan itu. Umi cuma punya rencana besar untuk anak-anaknya dan menjalankannya tanpa kenal lelah apa pun hambatannya. Untuk menghemat gas, Umi merebus air dan menanak nasi dengan kompor minyak karena memakan waktu lama. Sedangkan berjualan gorengan dengan menggunakan kompor gas. Setiap rupiah yang terkumpul, disimpannya di dalam kaleng bekas susu. Kemudian ditukar menjadi lembar seratus ribu yang dilipat dengan rapi. Satu per satu disusun. Uang sebanyak 3 juta rupiah yang terkumpul dari peluh, tenaga dan waktu yang sangat lama, dalam sekejap berpindah tangan ketika Umi membayar uang masuk ke SMP untuk Tiara. Biaya masuk ke SMP dan SMU pun sudah bernilai juta rupiah saat ini. Dikumpulkan dari keuntungan setiap gorengan seharga Rp 500 per buah.

Umi menjalankan rencana hidupnya dengan ketekunan dan keyakinan seorang "pejuang di jalan Allah". Begitu lembut seperti air, begitu keras seperti baja. Kepahlawanan yang tidak dikenal karena Umi cuma seorang bersahaja.

(Kisah yang Terinspirasi oleh Seorang Ibu)

Urusan Kematian

Pak RT (lupa terus namanya) menarik iuran kematian Rp 3.500. Pertanyaan bodohku kepadanya adalah: ”Kenapa ada iuran kematian?” Aku pikir, kalau ada yang meninggal tentunya setiap orang akan datang melayat dan dengan sendirinya akan memberikan uang amplop (uang duka). Sesuai dengan tradisi dan kebiasaan masyarakat Indonesia, seingatku sejak aku masih kecil. Pak RT lalu menjawab dengan sabar: ”Kalau ada yang meninggal, pengurus RT yang akan turun tangan menyediakan kain kafan dan segala sesuatunya. Juga mencari orang yang mengurus jenasah seperti memandikan dan menshalatkan. Kebanyakan warga di sini kan tidak saling kenal dengan tetangganya.” Aku terkesima. Hah, hiya ya. Nama Pak RT saja aku tidak tahu. Sudah terpilih sejak tahun kemarin, aku masih menyebutnya Pak RT juga tanpa tambahan nama. Sedangkan Pak RT yang lama pun masih kusebut Pak RT karena tidak tahu namanya. Walakadalah.

Jangan-jangan nanti kalau aku mati, semua kenalanku akan mengirim SMS ke handphoneku, tapi dengan kalimat yang ditujukan kepada istri dan anaku-anakku: ”Ibu Herry dan seluruh keluarga yang ditinggalkan, kami mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya Bung Herry.... (dari Koko sekeluarga).” Istriku mungkin akan menjawab dengan auto replay setiap SMS: ”Terimakasih atas ucapan belasungkawanya, mohon maaf apabila ada kesalahan almarhum dan mohon doa agar diterima di sisi Allah SAW... (Tuti, Teti, dan Teddy)” Teti, anakku yang berumur 12 tahun dan Teddy, 17 tahun, juga harus membalas SMS dari teman-temannya. Sebelumnya, anak-anak atau teman dekatnya menyebarkan SMS berita kematianku. Si Teddy mengirim SMS kepada teman-teman nge-bandnya begini: ”Sorry, guwe gak bisa ikut latihan band. Bapak guwe meninggal.” Dijawab SMS oleh group band-nya: ”Kok bisa, Brur? Kan kemarin masih idup??” Dijawab SMS lagi oleh anakku: ”Babeh ketabrak motor di depan BSM tadi pagi....” Dijawab SMS lagi: ”Guwe ngelayat sesudah latihan ya. Tabah, Brur....”

Terus, berita kematianku akan beredar di dunia maya akibat perbuatan seseorang yang mengumumkannya di milist. Milist alumni perguruan tinggiku. Milist penulis Bandung, milist aktivis LSM pro-demokrasi Jawa Barat, milist otonomi desa, milist anti-globalisasi, dan milist proyek-proyek pembangunan lainnya yang merupakan ladang mata pencaharianku. Berita kematianku akan beredar di dalam dan luar negeri karena jaringan kerja programku internasional. Tidak mungkin kujawab karena aku sudah mati, sedangkan istriku kan bukan anggota milist, tidak bisa menjawabkan email-email duka cita tersebut. Tidak bisa membaca cuplikan-cuplikan kalimat in memoriam yang pasti bagus dari teman-teman dan kenalanku.

Kalau di atas cuma rekan-rekaanku tentang apa yang akan terjadi kalau aku mati ketabrak motor di depan BSM, maka yang ini kejadian betul. Temanku, Gunawan, mengirimi aku SMS: ”Kadieu, euy.... uing geuring geus sabulan diimah wae asa keueung.....” (Ke sini dong.... aku sakit sudah sebulan di rumah saja kesepian....). Aku menjawab: ”Keur di luar kota, ke balikna....” (sedang di luar kota, nanti kalau sudah pulang).


Kemudian aku lupa dengan janjiku. Terlalu banyak tugas luar. Seminggu kemudian, aku mendapat SMS dari Yanti, temanku yang rumahnya bertetangga dengan Gunawan. ”Her, si Gun maot euy... Geus ngalayat can?” (Her, si Gun meninggal..... udah melayat belum?). Aku menjawab SMS: ”Anjrit, uing poho rek kaditu. Mangkaning di SMS-an wae ku si Gun dititah datang. Geuring naon bet nepi ka maot?” (xxx, aku lupa mau ke rumahnya. Padahal sering di SMS si Gun diminta datang. Sakit apa sih kok sampai meninggal?). Yanti membalas SMS: ”Lever tapi ngarokok wae jeung momotoran….” (Lever tapi merokok terus dan naik motor).

Berbulan-bulan kemudian istriku menanyakan: ”Kok, sudah lama si Gun gak mampir kemari ya.... Biasanya datang pagi-pagi buat ngobrolin partai....” Sewaktu aku memberitahu bahwa Gunawan meninggal, istriku terperanjat dan menanyakan kapan meninggalnya. Aku bilang bulan April 2008. Istriku mengernyitkan kening: ”Waduh, aku lupa ngasih tahu kalau dia pernah ke sini mau ngobrol....” Setelah merekonstruksi waktu, ternyata Gunawan datang ke rumah seminggu sebelum meninggal. Akibat aku tidak datang juga untuk mengobrolkan tentang partai yang menjadi kegiatan penting dalam hidup Gunawan yang berniat nyaleg lagi pada Pemilu 2009. Setelah gagal pada Pemilu 2004. Sakit, tapi merasa kesal berdiam di rumah terus, dia naik motor ke rumahku yang jaraknya memang hanya 5 menit. Konon katanya, dia juga mengunjungi beberapa teman lainnya, naik motor.

Aku menyesal sekali karena tidak sempat memenuhi janjiku kepada Gunawan. Aku merenung. Mempertanyakan diriku sendiri. Seorang teman sakit, kenapa aku tidak menanyakan penyakitnya apa dan bagaimana keadaannya, apalagi datang menjenguk. Kenapa seorang teman meninggal, istriku lupa kuberi tidak tahu, apalagi diajak melayat. Seorang teman yang hampir setiap minggu mampir ke rumah dan telah mengirimiku ribuan SMS selama bertahun-tahun, sudah tidak ada lagi.

Aku sibuk mengurus program pembangunan dan malang melintang dari satu forum ke forum lainnya. Anggota forum ratusan orang, dan jutaan SMS selalu berseliweran. Teman-temanku dengan kasus sakit liver dan hepatitis lumayan banyak akibat kesibukan dan cara hidupnya seperti aku. Aku mengumumkan meninggalnya Gunawan kepada seluruh teman-teman dengan SMS dan juga milist terkait Gunawan. Kupikir istriku sudah tahu juga, padahal tentu dia di luar group milist punyaku. Dan mosok aku kirim SMS kepada istriku sendiri, begini: ”Kawan-kawan. Berita duka atas meninggalnya Gunawan Septiadi, Ketua Gerakan Muda Pemimpin Bangsa, aktivis pro-demokrasi yang tidak kenal lelah, sahabat kita dalam berjuang untuk perubahan..... Semoga almarhum dilapangkan tempat di sisi Allah SAW....” Gara-gara trend SMS dan milist.


Tak Berwajah Tak Bernama

Jam 05.00 dini hari. Suara kendaraan lewat sudah mulai. Orang harus bangun dari tidurnya. Mencari nafkah. Sopir-sopir angkot berangkat dari rumah orang Batak pemilik 10 angkot. Orang Batak. Namanya pun tidak tahu. Begitu juga dengan Pak RT. Namanya tidak tahu. Meskipun rumahnya tepat di belakang rumah kami.

Keluarga Pak Hasan sudah bangun. Mereka selalu mulai jam 05.00. Mula-mula tirai terbuka. Suara kunci pintu depan diputar. Lalu suara menyapu lantai. Menyiram tanaman dalam pot. Orang berbicara, menyapa seseorang yang lewat. Barangkali tetangga yang pergi bekerja. Mungkin kerja di pabrik di Majalaya atau Rancaekek. Mungkin sopir angkot yang bekerja dengan majikan lain, di tempat lain. Mungkin majikannya orang Batak juga –karena pemilik angkot kebanyakan Orang Batak. Mungkin bukan orang Batak, tapi Orang Sunda pemilik angkot. Banyak yang kita tidak tahu. Tapi kita tidak ingin tahu. Pak hasan yang bekerja sebagai PNS di Pemkot Bandung ini sangat ramah sehingga mungkin dikenal setiap orang.

Janda yang semua anak perempuannya menikah muda, dan semua anak lelakinya pengangguran dan belum menikah itu, membenahi meja di teras rumahnya. Menata semua dagangannya: termos nasi kuning. Nama janda itu pun tak tahu. Begitu juga anak-anaknya tak tahu namanya. Meskipun selalu datang ketika anak-anak perempuannya menikah satu per satu. Lalu punya anak. Bayi-bayi itu juga tak tahu siapa namanya. Bapak dari bayi-bayi itu juga tidak tahu siapa namanya.

Pagi hari adalah saat ibu-ibu bertemu di jalan ketika menuju ke pasar. Saling tersenyum. Meski tidak tahu namanya. Pasar hanya 5 menit berjalan kaki dari rumahku. Ketika istriku ketinggalan belanjaan di pasar, ikan mas sekilo, pedagangnya menitipkan ikan itu ke seorang ibu yang diketahui si penjual sebagai bertetangga dengan istriku karena saling menyapa bila bertemu untuk membeli ikan. Pedagang ikan mas menjelaskan ciri-ciri istriku: berbadan gemuk, suka pakai daster corak kembang sepatu besar kalau ke pasar, seperti baru bangun tidur terus mengambil sandal jepit dan langsung belanja ke pasar. Ikan mas pun sampai ke rumah. Aku tidak pernah memberitahu istriku cara si ibu penghantar ikan emas tersebut menyampaikan ciri-ciri istriku supaya tidak salah alamat. Bahaya. Yang penting ikan sudah sampai.

Terkadang, isriku malas membawa belanjaan yang berat. Diserahkannya ke tukang becak sementara dia sendiri berjalan pulang. Istriku menjelaskan kepada tukang becak: di Gang xxx, ada rumah No.xx punya pedagang ayam di pasar, rumahnya besar dan bagus, putih, pagar hijau, ada kolam ikannya. Belanjaan harus dihantar ke depan rumah itulah. Rumah di depan yang kecil, banyak pot tanaman, tanpa pagar. Tukang becak sampai ke rumah duluan dan menyerahkan belanjaan kepadaku sambil menjelaskan: punya ibu. Supaya yakin, dijelaskannya bahwa ”ibu” memakai baju daster warna coklat dengan gambar kembang sepatu merah. Istriku datang kemudian, membawa koran yang dibelinya di pinggir jalan raya. Tukang becak sudah pergi. Setelah melihat belanjaan sudah dihantar, istriku duduk di kursi membaca koran secara kilat. Sementara pembantu mengurus belanjaan di dapur.

Matahari pagi bersinar di luar pada musim cerah. Anak-anak yang berangkat ke sekolah satu per satu nampak sudah lewat. Ibu dengan bayinya, berdiri di bawah sinar pagi sambil menyuapi. Karyawan dan karyawati berangkat kerja. Deru mobil dan motor semakin ramai. Keluar dari gang. Atau di jalan besar. Pedagang makanan yang berkeliling dengan rodanya memanggil pembeli dengan suara ketukan piring atau meneriakkan dagangannya. “....ttttiii... ttttiii....” (Roti, tanpa menyebut “ro”). Ibu-ibu menjemur pakaian yang baru selesai dicuci. Aku dan istriku telah selesai mandi dan sarapan. Aku menyiapkan motor istriku supaya tidak menjadi satu-satunya orang yang menganggur di pagi hari. Sementara istriku memberi berbagai petunjuk kerja kepada pembantu sebelum berangkat ke kantor.

Setelah aku dan istriku ke kantor, dua orang pembantu mengurus rumah, menyapu, mengepel, mencuci, memasak, dan mengurus anak-anak sepulang sekolah. Juga mengancam menelpon ibunya kalau anak-anak susah disuruh mandi sore atau mengerjakan PR untuk besok. Biasanya aku dan istriku pulang sekitar jam 06.00 sore atau terlambat sampai jam 07.00 malam. Istriku akan marah-marah kalau anak-anak belum mengerjakan PR saat pulang kantor.


Salah satu pembantu kami adalah tetangga. Rumahnya di belakang pemukiman. Atau di pemukiman bagian belakang. Di perkampungan kota yang sangat luas sampai jauh ke dalam sana, ada istilah ”orang belakang”. Ada orang-orang yang kami bertemu tapi rumahnya tidak kami ketahui wujudnya seperti apa. Yaitu ”orang belakang”. Bertahun-tahun aku tidak menyadari bahwa salah seorang teman di kantorku adalah tetangga. ”Orang belakang”. Dan temanku ini meledekku dengan menceritakan kepada teman-teman lainnya bahwa: ”Orang depan” itu kelas sosial yang lain dibandingkan dengan ”orang belakang”. ”Orang depan” memiliki keadaan dan karakteristik berbeda, yaitu lebih maju dan lebih tinggi kelas sosialnya. Kata lain dari nafsi-nafsi dan tak lagi peduli kepada lingkungan sekitar. Nama tetangga sebelah pun tidak ditanyakan. Sedangkan ”orang belakang” masih saling mengenal dan akrab. Kata lain dari sering usil dan suka bertengkar dengan para tetangga.


Ketika lebaran, istriku menyiapkan bingkisan berupa kue kaleng, sirup botol, dan gula-kopi, dan daftar nama penerimanya. Tertulis paling atas di dalam daftar: tukang becak. Maksudnya adalah pria berewokan berumur 30 tahunan yang ramah dan langganan becak istriku. Berikutnya: tukang sampah. Yaitu lelaki setengah abad yang setiap Selasa dan Sabtu mengambil sampah ke rumah kami. Tukang sayur. Seorang kakek tua yang berusia 70 tahun tetapi masih berjualan sayur keliling dan membuat istriku mengeluh karena dia selalu menaruh berbagai jualannya ke rumah. Susah untuk menolak si Aki padahal istriku tidak selalu mau belanja kepadanya karena sudah ke pasar. Selain itu budek sehingga istriku harus berteriak: ”Saya tiddaakk mauuu belanja ini, Aki....” atau ”Beli baawaang meeraah sepeerempaat kiloooo....”

Setelah kesibukan pagi di rumah, istriku hendak berangkat ke kantor dan menitipkan bingkisan lebaran itu kepada pembantu. ”Berikan kepada si tukang becak berewokan. Tukang sampah kita. Aki tukang sayur. Nenek yang suka jalan kaki pagi. Jangan sampai salah ya....” katanya. ”Yang agak beda ini, punya Pak RT, jangan ketuker.... Ini punya ibu yang anaknya 5, laki-laki semua itu” Ada sebuah keluarga yang masih muda dengan 5 anak lelaki yang usianya saling berdekatan. Anak sulung kelas 6 SD. Jadi bisa dibayangkan usia adik-adiknya. Istriku menuliskan didaftar sebagai ”Ibu dengan 5 anak laki-laki” dan pembantu sudah tahu dimana rumahnya harus dicari. Rumah doyong yang punya sumur, di dekat mesjid. Untuk keluarga ini, bingkisan lebaran ditambah dengan amplop uang. Seluruh bingkisan lebaran itu sampai ke tujuan dengan benar. Meski semua tidak bernama. Semua adalah tetangga yang dijumpai tapi tidak bernama. Ini bukan melebih-lebihkan. Tapi betul-betul begitu kejadiannya.

Jam 23.00. Malam hari untuk istirahat. Suasana mulai sepi. Tapi tidak pernah sama sekali sepi. Karena ada juga karyawati yang baru pulang kerja lembur di pabrik. Ada satpam di mall yang baru pulang. Sopir angkot yang terlambat masuk ke poll angkot si orang Batak. Tetapi bisa dikatakan jam 11 malam adalah waktu berakhirnya aktivitas di pemukiman kami. Rentang waktu malam memang sangat pendek dibanding siang apabila dilihat dari jumlah jam aktivitas orang-orang di pemukiman ini.

Kembali ke jam 05.00. hari berikutnya. Suasana sudah menjadi ramai kembali dengan orang-orang yang bekerja dini hari. Pedagang-pedagang di pasar. Sopi-sopir angkot. Karyawati pabrik yang harus menunggu bis jemputan jam 05.00. untuk berangkat ke Rancaekek. Ibu-ibu yang menyiapkan sarapan pagi untuk anaknya yang ke sekolah. Ibu tetangga pedagang nasi kuning yang menyediakan sarapan pagi siap santap. Kereta roda pedagang bubur ayam dan lontong kari yang menjajakan pilihan sarapan pagi lainnya. Sepeda box pedagang roti dengan suara terompetnya.

Jam 06.30. anak-anak sekolah mencium tangan kedua orang tuanya untuk berpamitan. Pegawai bank berangkat kerja dengan mengendarai mobilnya. PNS berangkat kerja dengan naik motor dan ada juga yang bermobil. Istriku memberi berbagai petunjuk kerja kepada pembantu sebelum berangkat ke kantor. Pembantuku menyempatkan menyampaikan berita kepada istriku: ”Pedagang masakan yang ibu suka membeli di pasar itu meninggal, Bu. Katanya sakit diabetes....”

”Yang gemuk banget, jualan talas buntil, orang Jawa itu?” tanya istriku.”Bukan, yang itu, Bu. Yang agak kurusan, orang Sunda, jualan semur jengkol kesukaan ibu....” Jawab pembantuku. ”Ooo, yang itu. Kan masih muda ya...” kata istriku. Kemudian istriku meneruskan pembicaraannya kepadaku. ”Ada 3 pedagang di pasar yang meninggal tahun ini. Pedagang ikan yang sudah tua. Suaminya. Sekarang istrinya berjualan dengan anaknya. Pedagang ikan asin. Ibu yang sudah tua. Sekarang pedagang masakan yang semur jengkolnya enak banget....”

George Orwell mengatakan bahwa ”orang-orang miskin itu tidak berwajah”. Tidak kelihatan oleh sesamanya. Tidak diperhatikan. Apalagi mengenal penderitaannya. Seorang temanku bercerita tentang kejadian aneh: ada seorang tetangganya yang kehilangan dandang nasi dan isinya yang baru ditanak di atas kompor. Seseorang mencuri nasi dari sebuah rumah? Itu pertanyaannya. Temanku itu mengatakan: Berita kelaparan di Afrika bisa masuk koran dan TV. Tetapi seorang tetangga yang lapar (di Kota Bandung), siapa yang tahu?

Di Kota Bandung, tetangga tidak punya wajah atau tidak bernama. Ada orang-orang yang sering ditemui sehari-hari. Wajahnya terkadang diingat. Perbuatan dan cerita gosipnya kadang didengar. Tapi namanya sering tidak ada.

(Awal tahun 2008)


Kamis, 11 Desember 2008

UWAK CIKAL

Rudy mempunyai tugas tetap. Menjenguk uwak lelaki di Bogor yang merupakan anak sulung dari keluarga ayahnya. Uwak Tatang berumur 83 tahun. Paling tidak sekali setahun, di luar lebaran, Rudi menghantarkan kiriman ayahnya kepada Uwak Tatang. Entah itu baju koko dan kopiah. Terakhir malah telepon genggam yang dibelikan ayahnya untuk sang kakak. Selalu disertai sejumlah uang untuk pembeli rokok.

Sebenarnya tugas ini sudah mulai terasa sebagai beban bagi Rudy. Sopir sebenarnya bisa dikirim untuk tugas ini. Tapi, Rudy tidak bisa membantah tugas tersebut dari ayahnya yang mengatakan bahwa sopir bukanlah seorang yang pantas untuk menjenguk uwak. Rudy mewakili kehadiran ayahnya untuk menjenguk uwak, kakak sulung ayahnya.
Rudy harus menjalankan tugas ayahnya yang tidak bisa ditawar. Suatu ketika dirinya menugaskan sopir untuk menghantarkan bingkisan kepada sang uwak, dan ayahnya murka. Tidak ada justifikasi apa pun yang mau diterima ayahnya. Rudy kesal karena dirinya punya alasan kesibukan. Tapi jelas, Rudy tidak mungkin melakukan kesalahan serupa setelah mengalami murka sang ayah.

Rudy merupakan anak sulung juga. Adiknya dua, Rika dan Radit.
Uwak Tatang memiliki delapan adik. Ayah Rudy adalah pangais bungsu. Sering menjadi tradisi keluarga besar semacam ini, anak sulung mengambil alih beberapa adik termuda menjadi anaknya sendiri. Tinggal bersamanya mulai dari bujangan sampai saat si kakak sulung menikah. Disekolahkan dan kemudian dinikahkan. Seperti anak kandungnya sendiri.

Ayah salah satunya. Lebih menjadi anak Uwak Tatang ketimbang sebagai seorang adik.

Setelah seorang anak sulung lelaki dewasa dan bekerja, tidak jarang dia yang berperan sebagai kepala keluarga dan bertugas mengatur dan menikahkan adik-adiknya. Apabila seorang adik ’menyimpang’, sang kakak sulung akan memanggil atau mendatangi sang adik. Mewakili orang tua untuk ’meluruskan’ dan mengambil tindakan-tindakan bagi adiknya.

Seorang adik ugal-ugalan dan lambat bekerja, akan membutuhkan penanganan khusus. Sampai merintis usahanya pun agar tidak menganggur lagi, kakak sulung yang mengurusnya. Adik lainnya yang kena musibah tabrakan, kakak sulung yang mengurus segala sesuatunya bersama orang tua. Adik yang lalai menyelesaikan kuliahnya, kakak sulung yang meminta kesadaran adiknya tentang beban ekonomi orang tua yang sudah semakin menua. Kakak sulung menjaga gawang agar segala sesuatu yang diharapkan orang tua ditunaikan.

Tapi, apa hubungannya semua ini dengan Rudy? Rudy merasa bahwa dirinya tidak layak menjalankan tugas ini, yaitu semacam menjalankan kewajiban historis sang ayah untuk membalas budi kepada kakak sulungnya.

Pada upacara pemakaman, Fauzi, anak sulung Uwak Tatang menyampaikan pesan-pesan dari ayahnya kepada yang ditinggalkan. Pesan yang dipersiapkan untuk pemakamannya. Pesan itu hanyalah sebuah doa bagi kedua orang tua, istri, anak-anak, cucu-cucu, adik-adik, keponakan, cucu keponakan, yang disebutkannya satu persatu. Semua disebutkan dengan nama lengkapnya dan pesan untuk saling menyayangi, menjadi orang yang baik kepada sesama, bekerja secara halal, dan jangan lupa menjalankan agama. Tidak ada kata-kata berbunga, hanya sebuah kata perpisahan yang sangat mengena bagi semua orang yang hadir. Seperti sihir terutama bagi nama-nama yang disebutkan.

Nama Rudy disebutkan dalam sebuah kalimat khusus: Keponakanku Rudy Gunawan yang paling rajin menjenguk dan memberiku oleh-oleh....
Kalimat itu begitu dasyat dan menggetarkan bagi Rudy. Membuatnya tercenung dan meneteskan airmata. Teringat keengganan dan perasaan janggal yang timbul bila sang ayah menyuruhnya menghantarkan sesuatu kepada sang Uwak. Dirinya adalah seorang dokter yang sedang sibuk mengembangkan karier. Rudi merasa mendapat tugas yang lebih cocok dilakukannya kalau masih seorang anak SMU atau mahasiswa yang masih punya waktu. Teringat bahwa dirinya merasa tidak cukup kenal dengan sang Uwak. Teringat bahwa dirinya tidak terlalu banyak mengajak bicara sang Uwak, hanya sekedarnya dan menyampaikan apa pun titipan dari sang ayah. Teringat bahwa saat itu terlontar pertanyaan dalam pikirannya: ”Kenapa ayah memberiku tugas seperti itu?” Kenapa tidak kirim paket saja lewat jasa kurir. Kenapa tidak transfer uang saja via bank. Rasanya aneh melakukan perjalanan 4 jam untuk menghantarkan sesuatu dan berbicara beberapa menit. Kemudian kembali lagi.

Sekarang Rudy bersyukur bahwa dirinya pernah memiliki tugas itu dari ayahnya. Bertemu dan sedikit berbincang dengan sang Uwak. Seandainya dirinya bisa lebih menghargai tugasnya saat itu, tentunya akan menjadi kenangan yang lebih berharga bagi dirinya. Sayang.
Ayah Rudy memberikan sebuah amplop surat yang nampak sudah lawas. Amplop bergaris merah biru biasa yang bisa dibeli di warung. Kertas surat yang diambil dari tengah buku tulis biasa. Tulisan tangan khas masa itu. Huruf sambung yang ditulis miring ke kanan. Rapi dan rata. Warnanya pudar.

Ayah Rudy menjelaskan dengan pendek: “Surat dari Uwak Tatang kepadaku, 40 tahun yang lalu.” Rudy membuka dan membaca surat itu.

Kahatur: Rayi Djadjat (Kepada: Adikku Djadjat)

Aa akan mengingat kehidupan ini dengan rasa syukur kepada kedua orang tua kita karena telah mengembankan tugas menjadi seorang kakak sulung yang harus menjaga adik-adiknya. Setiap shalat, Aa selalu berdoa kepada Gusti Allah agar adik-adik dan anak cucunya hidup dalam kecukupan dan damai, meskipun dalam kesederhanaan. Apabila amanah dari orang tua ini bisa Aa tunaikan, inilah anugerah terbaik yang Tuhan berikan kepada saya....

Suatu saat nanti, Aa akan meninggalkan dunia yang fana ini dengan bahagia, kalau Aa bisa menjadi suami, ayah dan kakek yang menyaksikan keluarganya hidup berkecukupan, dan rukun, meskipun dalam kesederhanaan. Anak-anak mendapat pendidikan yang cukup, kemudian bekerja dan berkeluarga. Mendapatkan cucu-cucu yang baik dan tidak menyusahkan orang tuanya....

Bagi Aa, harta berlimpah itu adalah istri, anak, cucu, adik, keponakan, cucu keponakan, yang selalu meramaikan kehidupan dan peneduh jiwa. Tidak perlu materi berlimpah atau harta benda....
Aa tidak meminta kesuksesan Djadjat dalam pengertian materi atau pangkat. Aa hanya ingin Djadjat menghargai hidup dan menjalaninya dengan ikhlas....”

Rakanda: Tatang (Kakakmu: Tatang)

Rudy memandang wajah ayahnya, terharu. Sang ayah tersenyum karena ini akan menjadi momen berharga antara dirinya dan sang anak lelaki. ”Waktu itu ayah tersesat jalan, Rudy. Ayah terjerat narkoba karena tekanan ambisi untuk mencapai sesuatu. Ayah hampir kehilangan arah. Ayah hampir terlambat....”

”Ayah menugaskan kamu dan Rika untuk menjenguk Uwak-uwak kalian karena kita tinggal berbeda kota.... Khusus untuk Uwak Tatang, ayah menugaskanmu untuk hadir sebagai perwakilanku karena dia adalah ayahku, yang membesarkan, mengasuh, dan meluruskan jalan hidupku....”

Sambil menepuk-nepuk bahu Rudy, sang ayah sejenak menerawang mengenang masa-masa lalunya. Suka duka dan momentum bersama saudara-saudaranya. Orang tua. Masa kecil yang sederhana. Ambisinya untuk meraih kesuksesan dengan masuk ITB, sebuah universitas yang menjadi garansi bagi masa depannya. Kemudian kandas ketika vonis drop-out harus dihadapinya. Ternyata dirinya tidak mampu. Dirinya tidak sehebat angan-angannya.

Seolah-olah hanya satu-satunya jalan hidup, kegagalan itu membawanya kepada rasa frustasi. Malu. Terperosok kepada pelampiasan yang keliru, narkoba. Kesabaran orang tua dan kakak sulungnya yang membuatnya perlahan bangkit kembali melalui jalur wiraswasta.
”Rud, ayah tahu bahwa sosok dirimu sangat membanggakan bagi Uwak Tatang. Kau seorang dokter muda. Kau seorang yang berhasil. Kau adalah anakku. Keberhasilanmu mengobati kesusahan yang pernah aku timpakan kepadanya ketika aku jatuh dulu. Dan kakakku akan lebih berbahagia bertemu denganmu karena aku menjadi orang tua yang berhasil.... Itu alasan ayah....”

Rudy terkesima. Diingatnya bahwa sang Uwak hanyalah seorang pegawai negeri yang sederhana. Ayahnya yang mengambil jalur wiraswasta bahkan keadaannya lebih berkelimpahan dalam hal materi. Anak-anak Uwak Tatang tidak ada yang mempunyai pekerjaan mentereng seperti anak-anak ayahnya yang menjadi dokter, insinyur, dan pengacara.
Rudi pun menyadari, bahwa ambisi yang dipilih terkadang bukan hal yang terbaik. Rudy akan mengingat itu di tengah persaingan dan ambisi yang terpicu untuk mencapai sukses sebagai dokter. Rudy merasa perlu meredifinisi ambisi dirinya yang semula begitu materialistik, menjadi lebih spiritual.


Lebaran. Oktober 20008.

Catatan: Uwak cikal adalah kakak sulung ayah atau ibu

PUTRI KERATON

Ada SMS, Bu....Ada SMS, Bu.... Panggilan SMS di telepon genggamku. Aku buka. Nomor tak dikenal. Selamat Lebaran. Mohon Maaf Lahir dan Bathin. Sombong euy, gak pernah kasih kabar. Sri Rahayu (Ayu). Aku tersenyum. Pertama, berpikir bahwa lumayan juga usaha temanku ini sehingga bisa melacak nomor telepon genggamku sekarang. Kedua, teringat pada wajah Ayu, teman mainku semasa kecil. Wah, seperti apa wajahnya sekarang ini. Dulu dia secantik namanya. Tapi tidak secantik saudara-saudara perempuannya. Keluarga Ayu diberkahi wajah-wajah rupawan. Baik yang lelaki maupun perempuan.

Terakhir kali bertemu saat Ayu masih punya satu anak. Ayu menikah cukup muda untuk ukuran Kota Bandung sekali pun saat itu, berumur 22 tahun. Sementara aku sendiri sedang kuliah. Aku memotret pernikahannya. Aku juga memesan bunga-bunga untuk menghiasi berbagai sudut rumah dan kamar pengantinnya yang sangat sederhana. Saat itu kuhabiskan satu bulan gajiku sebagai jurnalis. Aku cuma berpikir bahwa pernikahan sesederhana apa pun semestinya istimewa. Indah berhias bunga. Bukan bunga mahal memang.

Sejak Ayu pindah rumah ke wilayah Soreang, Kabupaten Bandung, aku semakin jarang bertemu atau sekedar berkomunikasi dengan Ayu dan keluarganya. Bahkan kemudian tidak berkomunikasi lagi. Aku larut dalam pekerjaanku melanglang Nusantara dengan tugas-tugas peliputanku. Ayu menjadi ibu rumah tangga. Kudengar anaknya tiga orang. Yang paling besar tentunya sudah dewasa sekarang.

***

Masa sekolah, kami bertetangga di sebuah blok pemukiman kota. Menjadi teman bermain meskipun beda sekolah. Aku di sekolah dasar swasta, Ayu di sekolah dasar negeri. Aku seringkali menginap di rumahnya hanya untuk bisa mengobrol sampai larut malam. Membaca buku. Menulis buku harian. Kami suka sekali bermain petualangan bersama. Berjalan kaki ke dalam gang-gang dan kampung-kampung Kota Bandung yang tidak kami kenal. Itu petualangannya.

Rumah Ayu sederhana dan kecil dibandingkan jumlah penghuninya. Terdapat sembilan anak, dua lelaki dan tujuh perempuan. Ditambah ayah dan ibunya. Rumah itu terletak di bagian belakang rumah-rumah yang lebih besar. Rumah-rumah di bagian dapur rumah orang-orang kaya. Untuk masuk ke pekarangan rumah Ayu harus melewati pinggir rumah orang kaya. Sebuah jalan sempit yang hanya cukup untuk satu orang berjalan. Kalau dua orang berjalan berlainan arah di jalan ini, salah satu harus berhenti dan memepetkan diri ke tembok. Istilah orang Sunda untuk jalan seperti ini adalah ‘mipir imah’ (berjalan di pinggir tembok rumah yang menuju ke belakang rumah tersebut). Jadi, dari depan, rumah-rumah belakang itu tidak terlihat. Tertutupi rumah-rumah di depannya.

Pada masa itu hal yang biasa sebuah keluarga memiliki anak banyak. Lima anak seperti keluargaku sudah dianggap tidak terlalu banyak. Teman-teman di sekolahku rata-rata bersaudara lebih dari lima. Tujuh anak. Delapan anak. Sembilan anak. Sebelas anak. Aku rasa sepuluh anak adalah angka yang jarang kudengar. Dan rasanya selalu lebih banyak anak perempuan. Menurut perasaanku.

Orang tua Ayu adalah sosok yang menarik perhatianku. Mereka selalu mesra. Sang ayah selalu memanjakan istrinya. Sang istri selalu meminta (dan memperoleh) perhatian lebih banyak dalam keluarga. Anak-anak sepertinya diharuskan sang ayah untuk melakukan segala hal untuk menyenangkan sang ibu. “Jangan ribut, anak-anak.... ibu sedang membaca...” katanya. Atau: “Beri pelukan pada ibumu karena kau sudah menumpahkan minuman di atas karpet....” “Lakukan apa suruhan ibumu. Jangan membuat ibu marah....

Sang ayah akan membereskan segala kekacauan yang dilakukan anak-anaknya. Membujuk sang ibu agar tidak marah karena kenakalan anak-anaknya. “Biar saya yang bersihkan....” Atau: “Anak-anak, hayo kita bereskan rumah yang berantakan, jangan membuat ibu marah....” Ayah Ayu juga membuat kopinya sendiri. Dan sang istri minum kopi dari gelas kepunyaannya. Jadi, dia membuat kopi dengan gelas yang sangat besar. Gelas keramik bertutup. Mereka meminumnya bergantian sambil bercakap-cakap. Ibu Ayu bersandar di bahu suaminya dan mereka sangat mesra sepanjang waktu. Mereka bertatapan dengan kedua hidung saling bersentuhan. Mereka saling mencium. Anak-anak tersenyum melihatnya. Terbiasa.

Aku melihat adegan itu. Adegan itu terekam dalam ingatanku selama-lamanya. Kalau aku pelukis, aku bisa menuangkan adegan itu dalam lukisan.

Sang ibu adalah pusat perhatian dalam keluarga Ayu. Dipimpin oleh sang ayah, anak-anak diharuskan untuk memperhatikan dan menjadikan ibunya sebagai pusat kasih sayang.

Semua itu sangat kontras dibandingkan dengan orang tuaku. Ayahku sama sekali tidak pernah menyapu lantai. Apalagi mengepel. Atau mencuci piring. Semua dilakukan ibuku dan anak-anak perempuan. Justru sebaliknya, ibu sering berkata: “Anak-anak, ambilkan sepatu bapak....Cepat!!” Atau: “Anak-anak jangan ribut, bapak sedang tidur siang....” Ibu membuat kopi untuk ayah setiap pagi. Kalau ayah pegal dan masuk angin, ibu memijat punggung ayah dengan balsem. Aku sering duduk di samping ibu memperhatikan garis-garis merah bekas kerokan ibu dengan koin seratusan rupiah. Tetapi ini tidak istimewa karena memang merupakan hal yang umum pada setiap keluarga. Aku pernah melihat di rumah Ayu, ayahnya sedang memijat punggung sang ibu dengan balsem sambil bercakap-cakap sesuatu. Dari pintu kamar yang terbuka, saat aku melewati, kulihat si ibu telungkup bertelanjang dada sambil memejamkan mata.

Hai, Nita.... ” teriak ayah Ayu saat melihat aku berkelebat lewat. Kalau aku menuju kamar anak-anak, kamar Ayu dan saudara-saudaranya, mau tidak mau harus melewati kamar orang tuanya. ”Hai, Oom Gunawan....” aku melangkah balik dan menongolkan kepalaku ke kamar mereka. ”Hai, Tante....”. Sang ibu membuka matanya setengah mengantuk ketika mendapat sapaanku. ”Kamu kemana aja... Sudah lama tidak kemari.” katanya. Tapi dia tidak membutuhkan jawabanku karena terus memejamkan matanya lagi. Menikmati pijatannya.

***

Ketika aku sudah mulai dewasa, aku mulai memahami cerita-cerita yang disampaikan Ayu tentang ayah dan ibunya. Ibu Ayu sangat cantik. Dengan wajah aristokrat, mata besar (belo), rambut tebal, dan perawakan indah sempurna. Tidak heran karena dia berasal dari keluarga terpandang dari kalangan trah Yogya. Anak-anaknya pun tidak tahu dan kurang menyadari arti penting riwayat ibunya. Yang mereka tahu, saudara-saudara kandung ibu mereka itu berpendidikan tinggi, bahkan ada yang melanjutkan ke luar negeri. Memiliki kehidupan yang jauh berbeda, baik di Yogya maupun di Jakarta. Mereka kaya dan merupakan kelas sosial atas. Salah seorang kakak lelaki ibu Ayu merupakan arsitek ternama yang membangun jalan layang dan gedung-gedung ternama di Jakarta.

Melihat album foto keluarga Ayu, kutemukan foto-foto orang tua mereka di saat muda. Sang ayah, Oom Gunawan biasa aku memanggil, sangat tampan dan berperawakan jantan. Wow, siapa yang tidak akan jatuh hati padanya. Komentarku pada Ayu.

Ibu Ayu menikah tanpa restu dari keluarganya. Oom Gunawan berasal dari kalangan bawah, miskin dan tidak berpendidikan tinggi. Oom Gunawan adalah seorang yang sangat percaya diri karena keunggulan mental dan fisiknya sebagai tentara tempur di lapangan. Seorang yang dilahirkan jagoan dan pemberani di medan perang mempertahankan kemerdekaan. Berbagai penghargaan di medan tempur untuknya selalu menjadi bahan cerita menarik bagi Oom Gunawan kepadaku. Yang mau mendengarkan. Aku senang mendengarkan ceritanya yang penuh semangat. Sambil menatap wajahnya. Jagoan, tampan, penyayang, romantis. Hmmmm, aku juga mau menikah dengan pria pahlawan seperti Oom Gunawan. Tentara tempur gagah berani di masa pemberontakan separatisme Orde Lama. Terjun ke berbagai daerah termasuk Papua, saat terjadi perjuangan integrasi menjadi bagian dari negara RI.

Kehidupan yang mereka jalani sangat sederhana namun penuh dengan keceriaan. Kebahagiaan dari sepasang suami-istri yang menikah karena cinta yang mendalam dan sepenuh jiwa. Anak-anak pun lahir dari cinta. Anak-anak yang berwajah rupawan. Anak-anak yang tidak dipaksakan orang tuanya untuk berpendidikan tinggi, cukup hanya sampai SMA atau SMEA bagi anak perempuan, dan STM bagi anak laki-laki. Kemudian menikah dalam usia muda. Meskipun saudara sang ibu menawarkan anak-anak untuk tinggal di rumah mereka dan ini berarti juga berkesempatan untuk masuk perguruan tinggi. Namun keluarga yang bahagia ini lebih memilih untuk selalu bersama.

Anak-anak menikah dengan cinta seperti ayah dan ibunya. Dari sekian banyak pria yang mendekat, anak perempuan yang cantik-cantik ini memilih seorang pria tampan yang dicintai untuk menikah. Dan tentunya harus sudah memiliki pekerjaan tetap. Aku menyaksikan momentum pernikahan mereka satu per satu, mulai dari anak perempuan kedua tertua. Kemudian anak perempuan sulung, anak lelaki sulung (anak ketiga), anak perempuan lagi, dan kemudian temanku Ayu yang merupakan anak kelima.

Satu per satu setiap anak memberi cucu sekaligus gelar eyang kepada Oom dan Tante Gunawan. Usia pun semakin menua, namun kemesraan dan kemanjaan ibu Ayu tetap terjaga. Tak lekang oleh waktu dan usia.

Eyang lelaki tetap membuat kopi dalam gelas keramik besar bertutup. Eyang putri minum kopi dari gelas kepunyaan eyang kakung (lelaki). Kalau eyang perempuan bilang ”Duh, kurang manis....” Eyang lelaki segera menambahkan sesendok gula dan mencicipinya agar tahu apakah sekarang manisnya sudah pas.

***

Mereka bukanlah eyang yang sudah tua dan renta ketika aku masih berteman dengan Ayu di saat-saat menjelang pernikahannya dengan Rahmat. Aku rasa perkembangan jaman menyebabkan kemerosotan ekonomi bagi masyarakat karena segala sesuatu menjadi mengandalkan uang. Segala sesuatu dibeli. Kue-kue tidak lagi dibuat di rumah tetapi dibeli dari toko. Baju tidak lagi dijahit oleh ibu tapi dibeli dari pusat perbelanjaan (mall).

Pernikahan Ayu merupakan cermin perubahan jaman dengan keempat kakaknya. Pernikahan Ayu menggunakan jasa tukang masak (catering). Tidak lagi memasak sendiri secara gotong royong bersama kerabat, tetangga dekat, dan para sahabat. Sewaktu aku masih SMP, aku menjadi anggota tim pemotong kentang ketika kakak perempuan Ayu menikah. Berkilo-kilo kentang yang harus dikupas dan dipotong dadu untuk bahan membuat sambal goreng kentang yang khas masakan hajatan.

Aku terkejut ketika melihat Ayu menangis terisak-isak di kamarnya sambil tertunduk, duduk di lantai di atas karpet. Aku berbisik di telinganya karena banyak orang berseliweran di rumah dalam suasana persiapan pernikahan Ayu: ”Kenapa kamu menangis, Ayu?” Kami di kamar berduaan. Ayu memegang baju kebayanya yang akan dipakai untuk akad pernikahan besok. Baju sewaan dari salon. ”Aku benci ibu...” katanya dengan suara tersendat. ”Ibu suka menghina anak-anaknya sendiri....” Ayu menangis tersedu-sedan. Menutupi mulutnya dengan telapak tangan supaya tidak kedengaran orang-orang.

Memangnya ibu bilang apa?” aku berbisik lagi di telinga Ayu. Ayu harus menghabiskan dulu sedannya sebelum menjawab: ”Dia bilang aku cuma bisa menikahi pria dari keluarga miskin. Aku menikah dengan orang seperti Rahmat, tidak bisa lebih....” Aku memandang wajah temanku dengan mulut ternganga. ”Emangnya Rahmat kenapa? Dia kan orang yang baik dan sudah punya pekerjaan bagus....” tanyaku. ”Kata ibu, Rahmat cuma anak tukang dagang sayuran di pasar Kosambi....” jawab Ayu tersedu.

Ibu itu kalau menghina benar-benar menyakitkan. Bibirnya mencibir. Matanya melirik ke samping. Ucapannya pendek-pendek tapi menusuk. Seperti diiris sembilu rasanya....” lanjut Ayu. ”Bukan cuma aku yang mendapat hinaan. Mbak Tuti juga. Mbak Tata juga. Pokoknya semua menantu dihina ibu karena bukan orang kaya. Bukan orang dari kalangan atas....” Aku melongo. Seingatku, Mbak Tuti menikah dengan guru. Mbak Tata menikah dengan pegawai perusahaan. Mas Toro, kakak lelaki Ayu yang bekerja di pabrik, menikah dengan seorang guru juga. Memang seorang guru pada masa itu bukan sarjana. ”Ibu memang terlalu.... Katanya, ibu sih bisa mendapatkan jodoh dari kalangan atas, berpendidikan tinggi, dan orang kaya.... Katanya, kami cuma bisa mendapat jodoh yang begitu....” Aku semakin melongo.

Dari melongo, kemudian aku tertawa terbahak-bahak sampai bergulingan di atas karpet. Huahahaha. Wakakakkakak. Hihihihi. Airmata dan ingusku sampai meleler. Ayu mengangkat bahu dan ikut tertawa masam. ”Lucu, ya....” katanya. Sambil ketawa geli, aku menjawab: ”Emang. Lucu juga ibumu itu yah... Wong dia sendiri menikahi orang miskin dan kelas bawah....” Aku tertawa lagi bergulingan di lantai. ”Cintaaaa, makan tu cintaaaa..... Putri keraton bunuh diri kelaaaas....” kataku. Ayu menendangku sambil bersungut-sungut. Tapi paling tidak dia tidak menangis lagi. Ayahnya adalah tentara rendahan yang punya berbagai penghargaan perang. Setelah pensiun dini di masa ’damai’, ayahnya bekerja menjadi satpam di mall yang dibuka di jalan raya dekat pemukiman kami yang memang merupakan kampung di tengah kota. Konon karena pemilik mall tersebut adalah mantan petinggi militer yang menjadi pejabat Orde Baru dan ayah Ayu menggunakan koneksi di organisasi veteran perang untuk bisa menjadi ’boss’ satpam mall tersebut.

***

Aku mendapat telepon bahwa ayah Ayu sakit keras. Itulah terakhir aku bertemu dengan Oom Gunawan. Sebenarnya usianya belumlah terlalu renta, baru 60 tahunan. Tetapi penyakit yang menggerogotinya membuatnya nampak tua, kurus, tinggal kulit berbalut tulang, dengan rambut menipis. Berbaring setengah sadar di tempat tidurnya. Ibu Ayu sangat senang ketika aku datang karena aku ditanyakan Oom Gunawan, katanya. Meskipun dalam keadaan setengah sadar, Oom Gunawan masih mengingatku. Aku pun terharu ketika mencoba menyapa Oom Gunawan untuk memberitahukan kehadiranku.

Mas Gun, lihat ini siapa yang datang....” kata istrinya. “Lihat…. Masih kenal wajahnya?” Sang suami mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya dengan mata buram melihat ke arahku. Matanya berkedip-kedip dan mulutnya bergumam, sepertinya dia berhasil mengenaliku. Aku tersenyum dan memegang kedua tangannya erat-erat. ”Oom Gun, ini aku.... Nita....”

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kesedihan Tante Gunawan, kehilangan suami yang sangat mencintai dan dicintainya. Bagaimana dia menghadapi kehidupannya kemudian. Yang tersisa adalah buah cinta mereka berdua: anak-anak dan cucu-cucu dari kelas bawah dan tidak mampu berpendidikan tinggi. Lebih sederhana dan miskin dari kehidupan orang tuanya. Semakin merosot dalam perkembangan jaman yang semakin materialistis.

Aku pernah mendapat cerita dari Ayu, bahwa ibunya bisa memandang ke luar jendela berjam-jam. Memandang tanpa bergerak. Ia meninggal dalam usia yang cukup tua, 70 tahun lebih. Sebuah penantian yang cukup panjang untuk berkumpul kembali dengan kekasih pujaannya. Di sorga. *** (Lebaran, Oktober 2008)