Rabu, 24 Maret 2010

Api dan Air (2)

Siapa yang bisa melupakan Pulau Sumba? Saat akan mendarat di Bandara Mauhau, Waingapu, dari jendela pesawat aku melihat permukaan bumi yang coklat tanpa pepohonan. Bentang alam yang menakjubkan. Sebuah tempat yang membuat imajinasiku terbang penuh fantasi.

Begitu keluar ruangan pengambilan bagasi, seorang pria yang rambutnya kemerahan dan kusut mawut, seperti tak kenal sisir, menghampiriku dan menyapa dengan ramah. Kami berjabatan tangan dengan erat.

Tidak bisa berhenti makan sirih....” katanya ketika melihat aku memperhatikan warna merah di bibirnya. Aku tertawa dan mengikuti langkah kakinya menuju tempat parkir mobil bandara.

Sekarang musim hujan....” Umbu Jaka menyampaikan kabar baik itu padaku. Aku tertawa terkekeh, teringat pada saat aku datang di musim kemarau dan melihat api yang menghanguskan padang rumput. Begitu keringnya sehingga sinar matahari dapat menyalakan api seperti sebuah pemantik raksasa.

Nona, sudah lama sekali tak jumpa,” seorang pria tak kukenal menyapaku. Aku tercengang dan memandang wajahnya. “Dua tahun lalu nona datang kemari....” katanya. Aku mengangguk-angguk dan menyalaminya.

Hmmmm di pulau ini, peristiwa-peristiwa mudah diingat karena tidak banyak hal yang terjadi. Kataku dalam hati.
***


Kami akan melakukan perjalanan ke kebun-kebun di beberapa kampung. Ini bukanlah perjalanan yang mudah. Jalan yang dilewati adalah jalan yang bergelombang raksasa untuk mencapai suatu kampung di sebuah lembah. Apa yang disebut gelombang adalah bila dilihat dari atas langit. Tapi di daratan artinya adalah gunung yang harus didaki dan dituruni dengan kemiringan yang terkadang membuat wajah menyentuh dengkul sendiri saat naik.

Aku menyiapkan perlengkapan di dalam ransel: jas hujan botol plastik berisi air putih yang dwi fungsi (untuk minum dan cebok bila kencing), sejumlah permen, dan kamera. Kali ini pria-pria yang menjadi peserta kegiatan.

Hanyalah aku dan Rambu Ella,perempuan dalam rombongan ini. Ella tak pernah repot-repot membawa ransel. Hanya jas hujan model jubah yang dibawanya di dalam sebuah kantong plastik yang diikatkannya di tali pinggangnya. Dia bahkan memakai rok dan sandal jepit. Sementara aku memakai sepatu untuk naik gunung yang nampak tebal. Sebuah ransel yang nampak besar di punggungku.

Perjalanan dilalui dengan bernyanyi-nyanyi untuk menghilangkan rasa lelah. Sambil bersenda gurau saling mengganggu.
***

Tiba-tiba hujan tercurah dengan deras diisertai angin yang kencang. Secepatnya kami mengenakan jas hujan: aku menggunakan celana dan baju dari plastik tebal. Kemudian rombongan melanjutkan perjalanan dengan diterjang hujan badai dan angin yang membutakan penglihatan.

Wo, wo, wo, wo, wo, sambil berjalan kami berteriak-teriak. Seolah-olah menggertak alam yang mengganas. Tidak takut!! Hayo maju!! Berjalan terus!!

Cepat. Cepat kita harus segera lewat sebelum terlambat. Teriak Umbu. Aku tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan terlambat. Tetapi semua bergerak sekuat tenaga. Aku pun didorong seorang petani yang mengawal di belakangku agar berjalan lebih cepat. Ditarik oleh yang lainnya dari arah depan.

Cepat. Cepat kita lewat. Teriak Umbu. Aku terpana karena di hadapanku adalah sebuah bentang air yang mengalir deras. Sungai selebar jalan protokol di Jakarta. Bagaimana mungkin kita lewat?

Berpegangan tangan. Berpegangan tangan. Teriak Umbu. Kami berpegangan tangan untuk melangkah di dalam air.  
 
Cepat. Cepat kita masih sempat. Teriak Umbu. Air menaik dengan cepat sampai ke atas lutut. Namun kami telah menyeberang.

Kami bersorak-sorai penuh kemenangan dan air telah menjadi sungai lebar yang dalam. Kami semua berjongkok di tepinya untuk menontoni air yang lewat. Sambil diguyur hujan. Umbu mendekatiku. Kalau kita terlambat menyeberang, kita harus menunggu air surut sekitar 2 jam. Katanya menjelaskan.

Kami lalu melanjutkan perjalanan. Sambil berjalan kami berteriak-teriak: wo, wo, wo, wo, wo. Lawan!! Lawan!! Lawan!! Manusia lebih tangguh dari hujan, badai dan angin!! Kemudian kami sampai di sebuah perkampungan.
***

Segelas kopi dan ubi-ubian rebus yang panas sungguh menyenangkan saat kami duduk bersama di dalam rumah. Riuh rendah suara menceritakan “kemenangan” kami melewati sungai yang mendadak muncul menghalangi perjalanan.

Aku dan Ella duduk berhimpitan untuk saling menghangatkan. Pria-pria itu melirik padaku saat bercerita, melontarkan pujian atas kegigihanku saat berkejar-kejaran dengan waktu untuk secepat-cepatnya melewati sungai itu. Aku orang dari kota, sedangkan Ella orang sini, itu jadi lain. Ehemmmmmmm.

Hanya aku dan Tuhan yang tahu saat itu. Ketika aku berjalan di dalam air, aku tak bisa menahan kencing.
***

Api dan Air (1)

Aku dan penjemputku, Umbu Kala, melakukan perjalanan panjang yang menakjubkan dari Waingapu menuju sebuah desa di Sumba Barat. Jalan yang kami lewati meliuk-liuk melewati bentang alam yang belum pernah kulihat sebelumnya. Padang rumput (sabana) luas seperti tak berbatas. Hamparan bergelombang, berwarna kuning keemasan yang mempesona. Rumput golkar, mereka menyebutnya. Sebuah istilah yang sangat berarti di masa Orde Baru, dan tentu tidak lagi di masa sekarang.

Aku mencoba merekam apa yang kulihat sepanjang perjalanan. Udara yang sangat panas membuatku agak gelisah. “Mereka bisa terbakar... Kita harus cepat.” kata Umbu. Aku tidak mengerti apa itu “mereka” yang dimaksudkan.

“Berpegangan....” perintah Umbu. Aku terkejut karena mobil tiba-tiba tersentak. Kemudian melaju kencang di atas jalan setengah aspal yang tak mulus. Terguncang dan oleng ke kiri dan kanan.

Mataku terbelalak ketika di kejauhan aku melihat sesuatu. Apa itu? Apa itu? Aku mencoba menangkapnya dengan pandangan mataku. Nyala api. Nyala api yang bergerak. Mobil melaju kencang dan nyala api seperti mengejar. Tapi api harus terhenti di tepi jalan dan tak dapat melanjutkan perjalanannya. Terputus.

Rumput-rumput yang telah dilewatinya menyala-nyala meluas sampai apa pun yang dapat terbakar dan tertelan olehnya. Beberapa batang pisang yang kering kerontang pun terbakar sampai ke pucuknya. Batang pisang yang berair pun bisa sekering itu.

Aku gemetar ketakutan, menoleh ke belakang melalui jendela mobil “ Ke... kenapa? Kenapa itu? Dari.... darimana api itu?” tanyaku terbata-bata.

“Sebuah titik api matahari membakar rumput....” katanya sambil mengunyah sirih dan menyetir mobilnya dengan tenang. “Itu biasa terjadi di musim kemarau.....”

“Tapi... tapi..... kita hampir tersambar api tadi..... “ kataku tergagap-gagap. “Kita hampir kena.... tadi.....”

Umbu tenang-tenang saja menyetir mobilnya. “Tidaaaaaak. Tidak apa-apaaaaa.....” Dia menoleh ke belakang dan menunjuk. “Lihat jembatan batu itu.... Ada kali di bawahnya. Api tak akan lari kemari.....”

Aku terduduk lemas di atas jok mobil. Bersandar.
***



Aku sampai ke sebuah desa yang sangat elok. Terletak di dalam cekungan dan lembah-lembah yang mengumpulkan tanah hitam yang subur. Pohon-pohon dan kebun-kebun hijau di dalam cekungan seperti oase yang ada di tengah-tengah alam maha luas yang kosong. Aku tidak mengira akan menemukan kehidupan seperti ini. Sebuah keindahan yang eksotik seperti dalam dongeng.

Perkampungan terdiri dari rumah-rumah kayu berkaki, beratap alang-alang yang tertata rapi. Dinaungi oleh pohon-pohon bertajuk rindang. Bagian bawah rumah adalah kandang, bagian tengah menjadi tempat tinggal, dan bagian atapnya menjadi tempat bagi para arwah leluhur. Ukiran pada kayu-kayu banguna rumah itu mungkin mengandung makna magis. Kuburan batu terletak di tengah-tengah pemukiman. Batu-batu berat dan pipih dengan dihiasi ukiran-ukiran yang indah.

Nun jauh di sana, aku melihat bentang alam bergelombang dengan warnanya yang keemasan. Api mungkin meletup di sana. Tapi itu tak akan menjamah perkampungan di dalam lembah. Dibentengi oleh kebun dan petak-petak sawah tadah hujan.

Aku tinggal di sebuah kompleks bangunan yang menjadi pusat kegiatan belajar. Pesertanya adalah para wanita, muda maupun tua, menikah maupun belum. Bangunannya terdiri dari tempat tinggal, tempat pertemuan, kantor kecil, dan sejumlah kamar yang salah satunya kutempati.

Istri Umbu, seorang perempuan Jawa, membuat wanita-wanita itu gembira karena mereka diajak belajar. Belajar berbagai keterampilan di kebun. Belajar membaca, berhitung, berbicara dalam forum, dan berdiskusi. Mereka memilih pemimpin kelompok, sekretaris dan bendahara. Mereka belajar berorganisasi.

***

Aku segera melupakan peristiwa “dikejar” api itu. Bersama para wanita yang ramah dan tuan rumah yang menyenangkan, aku pun menjadi bagian dari kegembiraan kegiatan mereka. Suasana yang penuh canda tawa.

Aku menjadi “tamu” yang akan memberikan materi pelatihan untuk kelompok-kelompok wanita ini. Dan mereka sangat tidak sabar ingin segera memulai.

Umbu menjadi pria yang dikelilingi para wanita hanya pada jam istirahat. Asyik makan sirih sambil melihat dari jendela apa yang sedang dilakukan para wanita itu di saat sesi belajar. Tugasku hanyalah menyiapkan sejumlah topik untuk dibahas. Menyiapkan sejumlah pertanyaan untuk diperdebatkan. Membagikan bahan bacaan untuk ditelaah. Permainan-permainan untuk dipecahkan. Lelucon-lelucon untuk mengganggu para wanita yang terlalu tekun belajar. Atau terlalu serius membicarakan persoalan perempuan. Masalah gender, kata para wanita itu.

Kambing lari dan para suami membiarkannya. “Tangkap sana, kan kalian sudah gender....” katanya kepada sang istri. Aku tertawa terbahak dengan cerita-cerita yang tak habis-habisnya untuk dibagi.
***
Malam hari adalah saat yang paling menyenangkan. Para pria datang dan bergabung dengan para wanitanya untuk menari dan memainkan musik. Kain-kain Sumba bermotif hewan dan manusia yang indah itu dikenakan para wanita. Mereka memasangkan kain untukku. Para pria sebagian memakai celana panjang, sebagian lagi memakai kain dengan ikat kepala atau kain seperti selendang yang diletakkan di bahu.   

Selama hidupku, inilah pertama kali aku menari dalam sebuah kelompok yang banyak. Menari. Mengayunkan kedua lengan. Meliukkan tubuh. Melangkahkan kaki mengikuti irama yang melenakan. Perempuan tua pun menari. Anak-anak pun menari.

Siapa yang bisa melupakan Pulau Sumba? Aku akan selalu merindukannya.
***

Ceritanya baru tentang api, BERSAMBUNG untuk cerita tentang air.....

Senin, 22 Maret 2010

Tamu Tak Diundang

Orang-orang di perjalanan. Aku memandang orang-orang dari jendela bis antar daerah: petani di sawah, pejalan kaki, anak-anak bermain kejar-kejaran, lelaki-lelaki duduk berbincang di warung kopi, perempuan menyuapi anak makan, perempuan mencari kutu di kepala perempuan lain, nenek menyapu pekarangan, pedagang keliling. Aku tak measa wajah-wajah mereka asing. Sekali pun hanya kulihat dari jendela bis yang bergerak sampai masuk ke terminal.

Setelah itu aku menuju sebuah kampung. Lebih enak naik ojeg karena aku bisa mampir kapan saja untuk mengambil foto pemandangan alam yang bagus.

Perkampungan yang sebelumnya tak pernah kukunjungi. Gunung menjulang yang penuh kharisma. Sawah terhampar hijau. Tambak-tambak dan samudra biru yang indah. Sebuah sudut wilayah pantai yang menimbulkan perasaan ironi karena kemiskinan, hasil pangan tak sukup untuk setahun, dan kekurangan air bersih. Aku terdampar kesorean, mengunjungi rumah Pak RT yang tak ada di rumah, berjumpa seorang pria yang kemudian membawaku ke sebuah rumah yang menerimaku dengan ramah.

Bermalamlah di sini, kata perempuan muda yang sedang menggendong bayinya. Sepiring nasi hangat, sambal sederhana, telor ceplok baru digoreng, dan kecap, tersaji sebagai makan malamku. Kesederhanaan yang begitu lezat. Aku bahkan tidak tahu nama-nama pasangan suami-istri itu yang menerimaku bermalam di rumahnya. Selain bayinya, mereka mempunyai anak lelaki berumur 6 tahun yang memandangku dengan malu-malu.

Mereka hanya memiliki satu kamar. Sebenarnya rumahnya cukup besar, tetapi sebuah ruang dibiarkan terbuka luas dengan balai-balai di sebuah sudut untuk tempat tidur anak lelakinya. Lebih enak tidur di tempat terbuka karena udara panas pantai yang selalu membuat tubuh basah berkeringat.

Aku berdiri di tengah kamar yang dengan penuh penghormatan mereka berikan kepadaku untuk tempat bermalam. Satu-satunya kamar yang mereka miliki. Sebuah tempat tidur dengan kasur kapuk yang tebal dan nampak nyaman. Kelambu untuk melindungi nyamuk daerah pantai yang ganas. Lemari pakaian dari kayu di tepi pintu, sebuah gentong besar terbuat dari tanah liat, ditutup oleh sebuah kayu berbentuk lingkaran yang di atasnya memiliki tonjolan. Tidak banyak barang dan begitu sederhana rumah ini.

Aku melangkah ke arah gentong itu, menggeser penutupnya yang lumayan berat. Beras. Isinya persediaan beras. Lampu cempor menyinarkan cahaya dan efek-efek bayangan di dinding yang membuatku menatapnya cukup lama. Suasana di luar sangat gelap ketika kusingkap tirai kain jendela kamar. Suara serangga menghiasi malam, bulan mengintip dari balik pohon lengkeng di kebun halaman. Samar-samar kudengar suara sejumlah orang bercakap-cakap. Aku membayangkan pria-pria memakai sarung yang duduk di atas balai-balai yang umum dibuat di halaman rumah. Para pria sering berkumpul di balai seperti itu dan mungkin mereka pun tidur di sana bila di dalam rumah sangat panas. Dengan obat nyamuk yang dinyalakan di kolongnya. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana masalah nyamuk itu.

Kemudian aku berjingkat ke arah pintu yang menghubungkan dengan ruangan yang luas itu. Kusibak penutup pintu yang hanya berupa tirai kain untuk melihat ke ruang yang gelap itu. Sebuah lampu cempor tidak cukup menerangi semuanya tetapi aku dapat melihat tikar yang digelar di lantai untuk tempat tidur, dan adegan berupa vignet yang terbentuk oleh cahaya terhadap orang-orang yang rupanya belum tidur. Sang istri duduk di tepi balai, sementara anak-anaknya berbaring tidur. Sang suami duduk bersandar di atas tikar seraya memegang bantal. Aku mendengar suara berbisik. Sebuah pertengkaran. Airmata mengalir di pipi sang istri dan ia mengusapnya.

Aku sedang duduk di ats tempat tidur, bersandar di dinding dengan kepala bertumpu pada bantal. Kudengar seseorang masuk ke dalam. Perempuan itu memberiku sebuah selimut tipis, seraya berbisik padaku. Suamiku, dia kawin lagi dengan perempuan dari kampung sebelah. Katanya. Aku memandang wajahnya. Cantik. Kenapa seorang lelaki tak bisa terpuaskan. Islam membolehkan lelaki memiliki istri lebih dari satu, bisiknya lagi. Entah membela suaminya dari tatapan mataku atau hanya sekedar menjelaskan.

Kami saling berpandangan lagi. Saling tersenyum. Karena apa juga yang bisa kita perbincangkan. Aku cuma seorang tamu tak diundang. Perempuan aneh yang melakukan perjalanan sendirian.

Pagi hari aku mandi dengan seember air yang disediakan tuan rumah. Air bersih memang langka di wilayah itu. Sebuah keahlian diperlukan untuk bisa menunaikan gosok gigi dan mandi dengan air terbatas.

Sarapan pagi telah disiapkan istri yang empunya rumah yaitu nasi goreng dan telor ceplok lagi, serta segelas teh manis panas. Aku makan bersama sang suami, sementara sang istri sedang menyuapi anak sulung sambil meneteki bayinya. Aku menatap wajah pria itu dan dia tersenyum sambil mempersilakana aku menambah nasi lagi. Aku tersenyum dan mengatakan sudah cukup kenyang.

Setelah menjalankan tugasku untuk melakukan reportase mengenai pencemaran yang dilaporkan masyarakat menjadi tanggung jawab sebuah perusahaan tambang minyak di wilayah pantai itu, aku masih menyempatkan diri mampir ke ”penginapan”ku. Aku ingin memeluk perempuan yang sedang bersedih itu. Tetapi itu tidak perlu kulakukan karena aku hanya orang asing yang terdampar.

Pria itu, istrinya dengan bayi dalam gendongannya, dan si anak lelaki, mereka berdiri melepas kepergianku. Membalas lambaian tanganku dengan senyuman. Ojeg membawaku ke terminal bis.

Selamat tinggal Indramayu.

Bandung, Maret 2010