Jumat, 02 Januari 2009

Istri Pemarah

Suami-istri orang Batak itu selalu terlihat sedang bersitegang ketika sedang berjalan beriringan dengan anak-anaknya saat hendak pergi, atau pun saat sedang melakukan sesuatu di halaman rumahnya. Selain itu suara sang istri cukup keras bila terjadi pertengkaran di dalam rumah.

Apakah karena istrinya memang galak atau lelaki Batak itu bodoh setengah mati sehingga istrinya kesal terus. Atau orang Batak itu pernah selingkuh sehingga istrinya sakit hati terus. Mungkin orang Batak itu cinta sekali sama istrinya meskipun dibentak-bentak. Mungkin dia dendam dan merencanakan meninggalkan istrinya. Begini komentar pembantuku yang punya pengamatan cukup cermat: “Aku tadi lihat orang Batak itu dibentak-bentak istrinya… Orang Batak tapi kok kalah sama istri…” Pasti pembantuku sebenarnya tidak tahu kenapa orang Batak itu dibentak-bentak istrinya. Meskipun dia punya informan, yaitu pembantu keluarga Batak itu yang seringkali menceritakan bagaimana sifat majikannya: yang perempuan galak, sedangkan suaminya diam dan masa bodoh saja dengan ucapan istrinya.

Sebenarnya kita tidak tahu. Tapi orang seringkali menilai sesuatu yang tidak diketahuinya. “Suami Batak itu kelihatannya bodoh…” kata pembantuku Si Mar yang ahli mengenai konflik antara suami-istri. Anakku Teddy yang berumus 17 tahun, menanggapi ucapan Si Mar: “Lelaki kok kalah sama istri…Kalau aku, mana mau dibentak perempuan…” Si Mar yang galak pada suaminya, mendelik pada Teddy yang diasuhnya sejak masih belum bisa cebok sendiri.

Apa betul suami sering dibentak istri karena bodoh. Atau sebenarnya suami yang malu hati karena memberi istrinya terlalu sedikit uang sehingga diam saja bila diomeli. Dan lama kelamaan dibentak-bentak. Gaji kecil yang tak cukup untuk membiayai makan sehari-hari seluruh keluarga, terutama anak-anak yang sekolah. Sehingga istri bekerja mencari uang tambahan. Capek mengais-ais uang. Capek mengurus rumah tangga. Capek dan kurang istirahat. Capek melihat suami orang lain “kelihatan” lebih baik. MARAH. Suami menjadi sumber kemarahan.

Si Mar bercerita tentang Yuk Minem, salah seorang temannya yang pernah ditinggalkan suaminya. Suaminya selalu dimarah-marahi kalau bekerja ‘membantu’ istri berjualan sayuran di pasar. Kesiangan berjualan, suaminya yang salah akrena kerjanya lamban. Suami salah menata barang jualan. Sayuran yang membusuk karena tidak laku dijual dua hari yang lalu, juga jadi kesalahan suami. Semua hal yang salah terjadi karena suami. Suatu hari, suaminya mengirim pesan kepada Yuk Minem lewat seorang saudara, bahwa dia tidak akan pulang kalau masih dimarah-marahi istrinya. Yuk Minem kelimpungan dan menangis karena tidak mau ditinggal. Melalui saudaranya itu, kemudian menyampaikan janji tidak akan lagi seperti itu. Suaminya lalu kembali. Dan mereka kembali berjualan berdua di pasar. Suami Yuk Minem yang belanja jam 05.00. pagi ke pasar induk Ciroyom. Lalu berdua menata barang di pasar eceran tempat mereka berjualan mulai jam 06.30. Kemudian Yuk Minem berjualan, sementara suaminya mengurus rumah seperti memasak dan mencuci. Jam 12.00. siang, saat pasar sudah tutup, suami Yuk Minem datang lagi untuk membantu membereskan sisa jualan.

Si Mar selalu setuju bila seorang istri galak terhadap suaminya. Si Yuk Minem jelas marah-marah sama suaminya yang harus disuruh-suruh itu. Kalau tidak begitu, si suami tidak tahu bagaimana melakukan tugasnya. Si orang Batak kelihatannya bodoh, sehingga istrinya yang bekerja di perusahaan swasta masih harus turun tangan mengurus usaha angkot mereka. Terutama kalau menghadapi kelakuan sopir yang banyak alasan soal setoran. Si suami ”cuma” bertugas mengurus anak saat istri di kantor. Di rumah sehari-hari karena usaha angkotnya memang di rumah.

Lalu ada sepasang suami-istri orang China berusia lebih dari setengah abad yang istrinya cerewet bukan main, sedangkan suaminya pendiam tapi suka menggerutu. Wajah suaminya itu seperti anak yang terlalu sering dimarahi ibunya: merengut dan jarang tersenyum. Si Mar bilang, setiap hari si suami selalu diomeli istrinya, baik saat sedang berjalan di gang, sedang membeli sesuatu di mini market, atau pun sedang duduk-duduk di teras rumahnya. ”Suami yang gak bisa apa-apa ya begitu....” kata si Mar. Aneh juga pembantuku. Dia selalu tahu kesalahan para suami yang tidak berdaya di hadapan kemarahan istri-istrinya itu.

Aku tahu si Mar juga suka ngompori istriku. Menurutnya ”Ibu” sangat capek karena selain menjadi ibu rumah tangga, juga bekerja kantoran dari pagi sampai sore –kadang sampai malam. “Ibu harus dipijiti, Pak”. Katanya padaku sebagai cara mengungkapkan keberpihakannya yang provokatif. Jadi, bukan istriku yang harus memijiti suami seperti pada umumnya, tapi aku –seorang suami yang kurang sibuk- yang harus memijiti istriku. Aku setuju-setuju saja dengan pendapat si Mar meskipun dia agak kurang ajar. Jadi aku memerintahkan si Mar untuk membuat teh manis hangat untuk istriku yang baru pulang kerja. Si Mar tertawa-tawa ketika melihatku memijit punggung istri seperti yang dikatakannya.

Bagaimana si Mar kepada suaminya? Wah, jangan ditanya. Susah membayangkan bagaimana istri yang satu ini mengumpat suaminya. Sumpah serapah yang tak terbayangkan diucapkan seorang istri pada suaminya. Menempelak suami dengan tangannya secara kasar. Membanting barang sambil berteriak. Begitu kata seorang tetangga si Mar yang merasa kasihan terhadap suaminya sehingga mengadu padaku. Tetangga itu meminta agar si Mar diberi nasihat untuk mengubah sikap buruknya.

Tapi si Mar mana bisa diberi tahu. Sekarang ini dia malah bertambah ‘wawasan’ dengan adanya sinetron TV berjudul “Suami-suami Takut Istri” yang menampilkan para suami hidung belang bila di luar rumah tetapi takut pada istrinya bila di rumah. Istri-istrinya menjadi galak karena suami yang bloon, malas, dan hidung belang. Si Mar sangat galak pada suaminya karena memenuhi sifat para suami itu selengkapnya. “Kalau kamu ditinggalkan kayak si Minem, gimana?” tanyaku. “Syukurin....” jawab si Mar dengan ketus. Pembantuku yang satunya, Isah, mencibirkan bibirnya mendengar ucapan rekannya itu. “Jangan takabur lho, Mar....” katanya. Si Mar mendelik.

Betul saja. Suatu ketika suami si Mar berkemas-kemas membawa pakaiannya dan pergi. Kemudian mengirim SMS kepada si Mar untuk mengatakan bahwa jangan lagi mengharapkan kepulangannya. Setelah SMS itu handphonenya tidak aktif lagi meski dihubungi berkali-kali oleh si Mar. Suaminya telah menjual TV 14 inch mereka sebelum pergi. Barangkali untuk uang sangu. TV itu satu-satunya barang berharga yang dimiliki si Mar. Teman pelepas lelah di kamar kostnya sepulang kerja. Suaminya juga meninggalkan banyak hutang di warung dan para tetangganya.

Si Mar menangis histeris. Maratapi nasibnya di tengah Kota Bandung yang tak ramah pada seorang pengembara seperti dirinya. Lima belas tahun setelah hijrah dari sebuah desa yang selalu kekeringan di Jawa Tengah. Seperti inilah jadinya. “Dasar lelaki Sunda....” umpatnya. Isah, yang orang Sunda, tertawa terkikik. “Makanya lelaki Sunda suka dilarang orang tua menikah sama perempuan Jawa....” katanya. “Memangnya kenapa?!!” bentak si Mar. “Karena perempuan Jawa galak-galak....” kata Isah. “Perempuan itu jadi galak kalo lakinya gak bener....Mau Jawa kek, mau Sunda kek, Padang, Batak, Cina.....” kata si Mar. ”Bodoh kamu....”

“Katanya tadi lelaki Sunda gak bener....” Isah mencoba bertahan. ”Kalo lelaki Sunda emang begitu.... Banyak yang gak setia, tukang selingkuh....” si Mar meninggikan suaranya untuk menghentikan perlawanan Isah. Isah pun diam seribu bahasa. Si Mar melampiaskan amarahnya. ”Suamimu itu juga kalau tidak diawasi bisa macem-macem. Cunihin gitu.... Kamu kok bisa-bisanya diam saja....” Habis sudah perlawanan Isah. Segera dia meninggalkan si Mar untuk menghindari ucapannya yang menusuk karena kebenarannya sulit diingkari. Suami yang cunihin (genit) kalau ada perempuan herang (cantik) sementara istri mencari nafkah sebagai pembantu rumah tangga. Isah mengaku bekerja di rumah makan kepada tetangga. Pergi pagi, pulang sore. Berjalan kaki sekitar 15 menit untuk sampai ke tempat kerja. Dalam latar belakang keluarganya yang asli urang Bandung, baru dirinya lah yang menjadi pembantu rumah tangga. Yang dijalaninya sejak suaminya kena PHK dari pabrik.

Isah sering mengadukan si Mar kepada istriku karena ucapannya yang menyakitkan. Juga karena galaknya. Istriku yang selalu sibuk dan tidak sabar dengan hal-hal tetek bengek di seputar domestik, mengopernya kepadaku. Kalau kuberi nasihat, si Mar malah mengomeli Isah: “Emang betul kok suamimu suka cunihin..... Sadar dong supaya gak ditipu terus....” gerutunya. Sekarang sudah 2 tahun si Mar ditinggalkan suaminya. Sudah punya pacar lagi, seorang duda (katanya), pedagang barang-barang dan wadah plastik di pasar. Istriku memintaku untuk memberi petuah-petuah kepada si Mar, soal pacaran. Klise saja. Hati-hati, banyak lelaki bajingan yang mengaku tidak punya istri. Jangan kebablasan kalau pacaran, perempuan yang rugi.

Padahal, kepinginnya aku memberi petuah-petuah kepada si duda. Hati-hati, ada perempuan galak yang nampak manis saat pacaran tetapi galaknya bukan main setelah dinikah. Jangan meniduri perempuan yang akan menuntut dinikahi sebagai balasannya dan kalau tidak dipenuhi, badai dan topan kemarahannya akan meluluhlantakkan dunia. Cerdik dan cermat dalam mengatur langkah sehingga jangan pernah coba-coba untuk kabur seribu langkah. Memaksa untuk dibawa ke kampung halaman dan dikenalkan dengan keluarga sebelum memasrahkan diri. Identitas diri dan alamat-alamat kerabat penting juga sudah dicatatnya.

Si Mar nampak berseri-seri dengan pacar barunya yang nampak serius akan menikahinya dalam waktu dekat. Calon suami ke-6. Setiap hari si Mar tidak pernah absen menyapa sang pacar melalui SMS. Hape-nya baru dibelikan sang pacar dan selalu ada di sakunya bahkan saat sedang mencuci baju di kamar mandi atau memasak di dapur.

Tidak ada komentar: