Senin, 13 September 2010

Arini dan Arief (Part-2)

***
Sebulan telah berlalu.

Aku memegang telepon genggamku dan mulai menekan nomor-nomor. Terdengar suara di seberang sana. “Aku Meta....” kataku. “Apa kabar, Arief....”

Terdengar suara bergumam di sana. Aku mengatakan bahwa suaranya tak kedengaran. “Aku sudah ditelpon Mbak Rien tentang kunjungan Mbak Meta ke Denpasar,” katanya. Kali ini suaranya jelas. Aku mengatakan bahwa kakak perempuannya menitipkan bingkisan. Aku mendengar suara yang tak jelas lagi.

“Aku juga diminta bertemu denganmu....” kataku. “Kalau kamu tidak ingin bertemu denganku, aku akan minta seseorang mengirimkan bingkisan ini ke tempatmu.” Arief barulah anak berumur 8 tahun ketika terakhir bertemu denganku, apa yang ingin dibicarakannya denganku?

Aku mendengar suara yang tak jelas lagi. “Arief, kita tidak harus bertemu karena kakakmu bilang kita harus bertemu. Aku rasa kamu tidak suka kalau harus melakukan sesuatu hanya karena disuruh kakakmu....” kataku agak berteriak. Mengatasi suara gemerisik di dalam telepon.

“Tidak apa-apa kalau kita bertemu,” katanya. Suaranya jelas kembali. “Supaya janjimu kepada kakakku lunas....”. “Baiklah, besok sore jam 3 di tempat minum kopi di lantai satu BIP”, kataku. “Sekalian aku mencetak foto....” “Ya....” katanya.
***

Aku sedang membuka album foto yang baru kucetak sambil menunggu. Selalu ramai suasana di mall dan di tempat minum kopi ini. Padahal ini hari Rabu, apakah orang-orang ini tidak punya kesibukan? Hmmmm, lantas apa pula yang sedang aku kerjakan, duduk di tempat ini.

Aku mengambil meja di sudut yang menghadap ke arah pintu masuk.

Setiap kali seseorang masuk melewati pintu aku mengangkat kepala. Aku rasa aku akan bertemu dengan seorang asing yang tak kukenali. Memandang wajahnya sambil berharap tidak mengucapkan kata-kata yang salah. Kemudian orang itu akan berkata, “Aku Arief....” Kami bersalaman dan tidak punya sesuatu pun untuk dibicarakan.

Pria yang sangat tampan itu memandang wajahku. Aku menyerahkan bungkusan coklat itu. Setelah mengucapkan terimakasih, dengan sopan dia memesan secangkir kopi dan menanyakan apa kabarku.

Kemudian kami bersalaman dan berpisah. Kopinya hanya diminum seteguk.
***

Aku mulai tenggelam memperhatikan foto-foto dalam album, sambil menandainya yang harus kucetak ulang dengan post it. Seseorang berdiri di hadapanku dan membuat aku perlahan menengadahkan wajah.

“Hallo, Arief....” kataku. Pria itu tersenyum dan menjabat tanganku. Aku melihat wajahnya. Wajah Arief kecil itu masih nampak. Namun Arief kecil telah menjadi tua terlalu cepat karena rambut di bagian depannya menipis. Mulai botak.

Arief duduk di hadapanku. Wajahnya dan tatapan matanya sangat lembut. Raut muka yang murung. Aku memberikan bingkisan berwarna coklat itu kepadanya. Dia membukanya sehingga aku bisa melihat isinya apa.

Sarung. Baju koko. Pakaian dalam. Jam meja. Sebuah novel sastra. Sepucuk surat. Aku memperhatikan benda-benda itu. “Untuk apa memberimu benda-benda ini,” tanyaku. “Kau bisa membelinya sendiri di sini....”

Arief tersenyum sambil membaca surat dari kakaknya. Tidakkah email sudah menggantikan benda yang bernama “kertas” itu untuk menuliskan surat?
***

“Aku harus memberimu beberapa nasihat....” kataku. “Silakan saja,” kata Arief. Aku sekarang mengerti bahwa orang tua harus dihormati karena tugas mereka memberi nasihat bukanlah tugas yang mudah. Aku tidak tahu mengapa Arini memintaku menasihati adiknya. Rasanya tak relevan.

“Kamu tidak membutuhkan nasihatku. Orang yang tidak tahu nasihat apa yang berguna untukmu,” kataku. “Tapi ada 3 nasihatku, entah berguna atau tidak”.

Aku mulai berfikir karena memang aku sama sekali baru mulai memikirkan apa nasihat yang harus kusampaikan. “Pertama, sebaiknya kau cepat selesaikan kuliahmu karena kau sudah mulai botak dan terlalu tua untuk menjadi mahasiswa....”

Arief tersenyum sambil mencibirkan bibir. “Aku belum 30 tahun,” katanya. “Kamu sudah hampir 30 tahun dan belum menyelesaikan kuliahmu hanya untuk menyusahkan kakakmu Arien...” kataku. “Mengapa kau ingin menyusahkannya?”

“Aku harus seperti itu supaya Mbak Rien merasa berguna,” katanya tersenyum.

“Kedua, bekerjalah sesegera mungkin supaya kau tidak perlu terbang ke Denpasar untuk mengambil uang dari kakakmu....” kataku. Sebuah cara bagi Arini untuk bisa membuat adiknya datang adalah memberinya uang dengan cara diambil, bukan ditransfer lewat bank. Arief mendengarkan ucapanku sambil memandang ke luar kaca.

“Ketiga, menikahlah dengan perempuan yang menerima dirimu apa adanya dan tidak menunda-nunda punya anak supaya kamu segera tahu bahwa anakmu akan mencintai dan menerima ketidaksempurnaan ayahnya....”

Arief memandangku.

Kami meminum kopi dan tidak lagi punya bahan pembicaraan. Ketika pertemuan berakhir, Arief buru-buru bangkit untuk membayar. “Kau membayarkan kopiku dengan uang kakakmu....” kataku. “Tak apa-apa, dia sangat kaya....” jawabnya sambil tertawa. Di tempat ini, secangkir kopi seharga lebih dari 5 Kg beras.

Kami berjabatan tangan dengan erat. “Aku senang bisa bertemu,” kata Arief. “Aku senang bisa melihatmu lagi....” kataku.

“Aku sering membaca surat-suratmu untuk Mbak Rien.... Mbak Rien menyimpan surat-suratnya di dalam kotak....” kata Arief sambil melangkah pergi.
***

Setahun lebih telah berlalu.

Telepon genggamku berbunyi. Suara di seberang sana tidaklah sering kudengar sehingga aku menyimak dengan cermat untuk bisa mengenalinya. Arini.

“Aku mau ke Bandung....” katanya tanpa berpanjang lebar. “Kapan?” tanyaku. Tanpa bertanya ini itu. “Lusa...” katanya.

“Aku mau melihat Arief dan istrinya, dan bayinya yang baru lahir....”.. Aku tercengang. Oh, Arief sudah menikah dan punya bayi.

“Apakah Arief sudah lulus dan bekerja?” tanyaku.

“Sudah. Arief sudah lulus sarjana sekaligus bekerja jadi supir taksi, kemudian menikah tanpa memberitahuku....” kata Arini. “Dia melaksanakan nasihat-nasihatmu sekaligus. Sudah setahun lebih Arief tidak pernah datang ke Denpasar, tahu-tahu menelpon dan menyampaikan berita sudah punya anak....”

“Nanti aku jemput ke bandara....” kataku. “Ya, nanti ku sms jadwalnya....” kata Arini.
***

Arini yang anggun, cantik rupawan dan berpenampilan kaya, berdiri di tengah ruangan sambil memandang wajah adiknya. Adik iparnya datang untuk mencium tangannya, dia menerimanya tanpa senyuman dan hanya memandang sekilas. Perempuan berwajah manis berjilbab itu memandang suaminya, kemudian mereka saling tersenyum.

Sambil duduk di kursi plastik, digendongnya bayi lelaki mungil keponakannya sambil menciumi dan mencolek-colek pipi dan hidung mungilnya. Bayi itu tersenyum dengan ramah. “Semoga dia nanti tidak botak pada usia muda seperti ayahnya,” kata bibinya. Tanpa senyuman.

Arini melihat berkeliling ruangan.

“Kau mengontrak rumah ini?” tanyanya. “Ya, Mbak....” jawab Arief. “Berapa harganya? Aku akan membelikannya untukmu sebagai hadiah perkawinan kalau kamu mau menerimanya....” kata Arini. Arief tersenyum. “Terimakasih, Mbak. Tentu saja saya mau menerima hadiah dari mbakku sendiri.... “
***

Aku menemani Arini menginap di Hotel Savoy Homann sebelum penerbangannya kembali ke Denpasar keesokan harinya. Arini hanya sendiri, tanpa ditemani suami dan anak-anaknya. Sebelum ke hotel, Arini mengajakku mampir ke rumah masa kecilnya. Rumah itu dikontrakkan. Bentuknya dibiarkan masih tetap sama seperti dulu. Aku merasa rumah itu sangat besar sewaktu kecil dulu.

Ayah Arini meninggal cukup muda karena sakit, saat Arini baru mulai kuliah sedangkan Arief masih SMP. Ibu Arini menyusul meninggal karena sakit beberapa tahun kemudian. Ayah Arini mewariskan beberapa rumah –termasuk yang di Bandung- dan tabungan yang cukup besar di bank, sedangkan ibunya mewariskan banyak perhiasan.

Sejak saat itu, Arini dan Arief hidup berdua saja.

Keluarga ibu Arini dan keluarga ayah Arini tidaklah dekat, bahkan terlibat dalam perseteruan akibat perceraian kedua orang tua Arini itu. Arini memutuskan untuk menjauh dari mereka.

Setelah bertemu Arini di Bandung saat menengok bayi adiknya, sejak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Bahkan tidak pernah saling menelpon. Nomor handphonenya masih ada, tapi aku tak tahu apakah masih berlaku. Aku sendiri masih menggunakan nomor handphone yang pertama kali kupunya.
***

Idul Fitri, Hari ketiga, Senin, 13 September 2010.

Tidak ada komentar: