Kamis, 08 September 2011

Musuh di Masa Kecil

Ada 2 permainan yang selalu kujuarai, yaitu sorodot gaplok dan gatrik. Butuh lapangan untuk melakukan permainan ini. Batu-batu pipih yang besar yang menjadi target. Dan batu pipih lebih kecil yang ditaruh di atas kaki untuk digunakan memukul target. Perlu ketepatan dan tenaga untuk bisa menjatuhkan batu pipih yang lumayan berat. Sedangkan gatrik dilakukan dengan potongan bambu yang juga merupakan permainan memukul target sasaran secara tepat dengan menggunakan bambu sepanjang sekitar 30 Cm dan bambu lebih pendek yang dipukulkan supaya kena ke bambu kecil yang jadi target. Aku selalu unggul.

Seorang anak pendendam yang tidak pernah bisa menerima kekalahannya menjadi musuhku sewaktu kanak-kanak. Namanya Dadang. Sorot matanya bengis. Aku menjadi sasaran balas dendamnya dengan cara menggangguku. Mencegatku sepulang sekolah. Menakut-nakutiku dengan gerak-gerik seolah akan memukul dan menyerigai penuh ejekan. Betapa senangnya memiliki kekuatan fisik seperti dia yang bisa digunakan untuk mengancam anak-anak yang lebih kecil dan anak perempuan.

Ibuku mendapat laporan dari ibu tetangga tentang Dadang yang suka menggangguku. Kemudian ibu mendatangi ibunya si Dadang dan terjadilah pertengkaran di antara mereka. Si Dadang membalas dendam dengan mengancamku lebih garang. Ibu mengadu kepada Pak RT. Urusan anak-anak ini menjadi kisruh. Tapi si Dadang berhenti mengancamku sejak itu. Kemudian keluargaku pindah rumah ke daerah yang lebih ‘aman’, kata ibuku.
***

Setelah SMU, aku bertemu lagi dengan Dadang karena kami satu sekolah. Nyaris aku tidak mengenalinya kalau saja dia tidak menyapaku. Mengherankan sekali, dia berubah wujud menjadi pria tampan yang peramah. Aku nyaris tidak percaya bahwa itu si bengis Dadang di masa kecil.

Ketika ibuku tahu Dadang mendekatiku, dengan marah dilarangnya aku bergaul dekat dengannya. Keturunan jelek, kata ibuku. Bapaknya buruh bangunan. Ibunya berjualan rujak dan lotek. Kakak sulungnya menjadi sopir angkot. Kakak perempuannya menjadi pelayan toko. Banyak sekali penghuni rumahnya, entah itu nenek, keponakan bapaknya, dan juga kakak perempuan ibunya yang janda. Rumah itu selalu penuh dengan pertengkaran orang dewasa maupun anak-anak. Perkelahian dan kekerasan. Begitu yang diketahui masyarakat sekitar tentang keluarganya.

Tapi, Dadang begitu tampan di saat SMU, bertubuh atletis, dan memiliki senyum yang luar biasa. Sayang sekali keluargaku semua memusuhinya. Aku hanya bisa jatuh hati dari kejauhan. Aku terpesona pada pria yang masa kecilnya begitu jahat. Kalau saja kesempatan yang baik diberikan kepadanya, seharusnya ia bisa mendapatkan jalan untuk keluar dari kehidupan keluarganya yang keras.

Aku pikir sekolah adalah jalan keluar bagi Dadang. Ia bisa masuk ke SMU Negeri yang sama denganku. Sekolah yang hanya bisa dimasuki anak pandai dengan nilai masuk yang tinggi. Aku berharap dia akan berhasil melalui kepandaiannya, dan ambisinya yang membuatnya tak mau kalah.
***

Sekarang aku menjadi dokter, dan aku pernah bertemu dengan seseorang yang tidak kukenali lagi kalau saja dia tidak menyapaku. Dadang. Memakai pakaian satpam di sebuah mall. Wajahnya nampak tua dan rambutnya agak botak. Ketika menatap wajahnya, aku mencoba mengingat ketampanannya pada masa lalu.

Dadang tidak bersikap sungkan padaku. Ia tersenyum dan menyapaku, menyebut namaku tanpa embel-embel Bu. Seorang teman lama. Kami saling menanyakan kabar. Menanyakan berapa jumlah anak. Tinggal dimana. Sejumlah pertanyaan dan komentar ramah tamah biasa.

“Nurul, kamu kelihatan masih muda dan semakin cantik....” ucap Dadang tanpa basa-basi. Menyatakan apa yang dipikirkannya begitu saja. Tersenyum memaklumi perbedaan garis hidup antara dirinya dengan sang kawan.

Ketika aku berjalan meninggalkannya, menuju toko buku Gramedia yang menjadi tujuanku, dalam hatiku bertanya-tanya: “Kemana ambisi seorang anak yang tidak pernah mau kalah itu?” Ambisi itu berakhir dengan sebuah seragam putih biru dan topi seorang satpam. Aku merasa menyesal bahwa Dadang tidak mencapai sesuatu yang aku pernah harapkan untuknya. Dia seorang anak pemarah bila keinginannya untuk menang atau mencapai sesuatu tak tercapai. Entah itu dalam permainan kanank-kanak, maupun pelajaran di sekolah.
***

Wajah dapat menggambarkan keberhasilan dan kemiskinan. Seorang temanku pernah mengatakan begitu sebagai lelucon. “Wajahku semakin tua semakin tampan, pertanda aku seorang yang sukses....” katanya menyombong. Itu karena wajahnya jelek sekali sewaktu muda. Aku mengenalnya sejak di sekolah.

Aku percaya bahwa ukuran keberhasilan tidaklah selalu harus duniawi. Aku mengenang wajah satpam itu, tersenyum ramah. Sorot matanya lembut. Wajahnya teduh. Sebuah tampilan wajah seorang yang baik hati dan jujur. Tidak ada garis yang keras atau sorot kemarahan di masa lalu. Meski wajahnya nampak tua dan miskin, namun diliputi kedamaian dan penerimaan.

Sebaliknya, teman baikku yang lain, seorang direktur rumah sakit dan dokter selebritis yang sering tampil sebagai narasumber di televisi itu, justru garis wajahnya semakin menampakkan keangkuhan. Aku masih ingat, saat di sekolah dulu dia sangat peragu dan seorang pengikut saja dalam segala hal: permainan maupun kegiatan kelompok di sekolah. Selalu berada di belakang anak-anak yang lain dan khawatir bila tidak diajak masuk ke dalam kelompok. Selalu mendapatkan pertolongan anak yang lain untuk terlibat dalam suatu kegiatan bersama, pertolongan untuk masuk dan diterima oleh anggota kelompok lainnya. Selain itu, wajahnya jelek dan memelas.
***

Pada sebuah reuni SMU, aku bertemu lagi dengan Dadang. Dia memperkenalkanku pada istrinya. Seorang wanita yang mungkin “pernah” cantik kalau saja kesusahan tidak mempercepat wajahnya menjadi tua seperti suaminya. Wajah perempuan itu ramah dan penuh senyuman. Suaminya merangkul pundaknya. Mereka terkadang saling berpandangan dengan penuh kasih sayang.

Sementara itu, temanku yang sukses dan berbangga diri itu hadir dengan istrinya yang berwajah angkuh, sangat menonjolkan diri, dan semua mata menyorotinya dan kemudian saling berpandangan. Seorang perempuan yang nampak galak dan tak segan-segan menampakkan kekuasaannya terhadap suaminya di hadapan publik. Aku tahu itu karena sudah beberapa kali bertemu dalam forum para dokter yang dipimpin oleh suaminya.

Aku rasa, kebahagiaan Dadang memiliki format yang berbeda dari harapan yang pernah ada dalam pikiranku dulu. Ketika aku menjadi musuh kanak-kanaknya karena sebuah persaingan dan kemudian di masa remaja permusuhan itu berubah menjadi rasa simpati. Aku pernah berharap Tuhan membuktikan bahwa seseorang dapat mengubah nasibnya karena Tuhan maha adil.

Mungkin aku harus mengubah pemahamanku tentang Tuhan dan keadilan-Nya. Sayang, aku kurang relijius dan kemudian tak berhasil memperoleh pemahaman yang lebih baik. Setahuku, menjilat dan menyuap akan lebih menyokong keberhasilan di negeriku yang korup ini. Bukan keteguhan hati yang jujur.

Akhirnya, aku percaya bahwa ada format lain dari keberhasilan. Bukan jenis pekerjaan. Bukan pula jabatan. Begitu saja.
***

Tidak ada komentar: