Kamis, 27 September 2012

Gila


Wahab menulis SMS kepadaku: Apa kabar, Har? Lisna sudahkah bercerai dari suaminya? Aku masih jomblo lho.
Aku memperlihatkan SMS itu pada Taufik, teman sekantorku yang juga mengenal Wahab sewaktu masih bekerja. Apakah dia masih gila? Aku tidak tahu siapa Lisna.
Taufik membaca SMS itu cukup lama. Mungkin dia masih gila. Jawabnya.
Aku membalas SMS itu: Kabar baik, sobat. Apa kabar sebaliknya? Selamat berkiprah di club para jomblo. Biar jomblo asal tetap bahagia.
***
Seharusnya ada seorang gila yang menulis bagaimana kegilaan itu terjadi padanya. Ataukah orang gila mungkin terlalu gila untuk menulis. Aku pernah membaca status facebook Wahab seperti ini: Aku masih sering kambuh. Harus kuperjuangkan agar kegilaanku bisa disembuhkan.
Aku tidak tahu, apakah Wahab terkadang sadar dari kegilaannya sehingga dia tidak selalu dalam kondisi hilang ingatan. Aku tidak tahu apakah orang gila bisa menyadari kegilaannya. Seperti seorang pelukis terkenal yang mengatakan pada wartawan yang mewawancarainya bahwa kegilaannya itu berupa “ketakutan yang amat sangat terhadap suara-suara seolah dia akan ditabrak oleh kendaraan yang sedang berseliweran ke arahnya dan akan melindasnya”. Kegilaannya tidak membuatnya tidak bisa melukis. Hanya membuatnya terkurung di dalam ruangan yang dijadikannya tempat perlindungan dan bersembunyi dari teror yang menyerangnya.
Aku rasa dokter seharusnya menyuruh orang gila seperti Wahab untuk menuliskan apa yang sedang terjadi pada dirinya di saat gila.  Bukan orang lain yang menuliskan tentang orang gila berkepribadian ganda berdasarkan wawancara. Bukan juga orang gila yang menulis buku sesudah sembuh. Apa yang terjadi padanya di saat mengalami kegilaan hanya bisa ditulis di saat sedang terjadi.
Seseorang harus menemukan cara memperlakukan orang gila. Aku kira hanya dengan memahami pikiran-pikiran kegilaannya bisa ditemukan cara itu.
Aku memikirkan ini karena ketidakberdayaanku untuk melakukan sesuatu terhadap Wahab –teman baikku yang menjadi gila pada usia 27 tahun. Itu 14 tahun yang lalu. Aku juga tidak tahu bagaimana harus bersikap padanya. Aku hanya membalas saja bila Wahab mengirimku SMS, menulis di dinding facebookku, atau mengajakku chatting. Aku tidak tahu apakah aku harus mengunjunginya.  Sedangkan Wahab tidak dapat datang berkunjung karena dia tidak mampu melakukan perjalanan. Wahab hidup di sebuah ruangan, dalam perawatan orang tuanya yang sudah semakin tua. Setelah bertahun-tahun ditangani lembaga perawatan orang sakit jiwa.
***
Sangat berbeda rasanya melihat orang gila yang tidak kita kenal dengan seseorang yang kita kenal. Apalagi kalau kita berada di dalam situasi atau proses kegilaan itu. Aku bersama Wahab saat dia mulai sakit. Sangat menyakitkan karena aku tak tahu bagaimana menghentikannya. Jangankan menghentikan, bahkan menyangka pun tidak kalau sahabatku Wahab sedang mengalami kegilaan. Aku melihatnya memandang kosong ke depan seperti melamun. Aku tidak tahu berapa lama. Dia akan segera bangun kalau aku menegurnya, lalu kami saling bicara seperti biasa. Namun orang-orang mulai mengatakan padaku bahwa dia membatu seperti itu berjam-jam sambil memandang layar monitor. Aku masih bisa berbicara dengannya. Kami masih bisa bertukar pikiran.
Aku tidak menemukan alasan Wahab harus menjadi gila. Pekerjaan yang dinginkannya entah ada dimana, tapi banyak orang lain yang juga bekerja apa saja asalkan bekerja. Kehidupan yang membosankan dan rutin, biasanya aku dan Wahab bersama mencari hiburan dengan main catur dengan Soma –tukang becak yang selalu menang itu. Atau kami nongkrong dengan teman-teman kuliah dulu. Konflik dalam rumah tangga yang dialaminya, banyak dialami orang lain juga.
Aku tidak tahu Wahab gila sampai akhirnya dia tidak masuk kerja tanpa pamit. Kutelepon keluarganya, ayahnya mengatakan bahwa Wahab sedang “diobati” untuk waktu yang belum diketahui. Aku masih tak menyangka atau tak mengerti. Beberapa tahun kemudian, ketika aku datang dan bertemu dengan Wahab di rumah orang tuanya di sebuah kota kecil yang dingin, Wahab tertawa-tawa saat memberitahuku: Har, aku sakit. Aku menjadi gila. Aku gila.... Aku menatap wajahnya seperti tak percaya dengan penglihatan dan pendengaranku.
Kapan Wahab menjadi gila? Aku selalu bersamanya. Nongkrong bersama dengan teman-teman. Bekerja. Main catur atau karambol. Aku melihatnya tapi aku tak bisa melihatnya. Aku kira Wahab menghilang karena sakit dan beberapa hari kemudian akan muncul kembali ke kantor. Sama sekali tak kusangka bahwa dia tidak akan pernah kembali. Kini sudah 14 tahun yang lalu, peristiwa itu.
Aku pernah membaca status di facebooknya: Tahukah kamu, alien naik pesawat mengintai bumi. Melihat adanya ketidakadilan gender oleh manusia.
Sekarang aku tidak ingin bertanya kapan Wahab mulai gila, tapi bisakah Wahab sembuh? Bisakah?
***
Pertama kali aku melihat seseorang mengalami kegilaan sewaktu masih di Sekolah Dasar kelas 4. Murid terpandai di sekolah, seorang anak perempuan bernama Rosa. Pada pelajaran menggambar, guru akan mengatakan: Kamu punya bakat menggambar. Kamu akan jadi pelukis nanti.. Pada pelajaran kesenian, guru terheran-heran karena Rosa bisa memainkan angklung dan pianika dengan bagus. Kamu punya bakat musik. Kamu akan jadi pemusik nanti. Kata guru kesenian. Tapi guru Bahasa Indonesia mengatakan Rosa akan menjadi pengarang terkenal. Sedangkan guru matematika mengatakan Rosa sangat pandai dan akan masuk ITB.
Pada saat kelas 4 SD Rosa mulai memandang kosong dan berdiri berjam-jam ke suatu arah. Lalu tersenyum-senyum dan tertawa sendiri. Tapi itu tidak membuatnya berhenti menjadi anak paling pintar di sekolah. Nilai-nilai ulangan Rosa selalu yang paling tinggi, melejit sendiri di antara semua murid. Kelas 6 Rosa sudah total gila dan hanya mencoret-coret kertas ulangan sehingga tidak mendapat nilai.
Aku tidak tahu kenapa Rosa mengalami kegilaan. Aku hanya pernah belajar kelompok di rumah teman dan kami menjemput Rosa yang rumahnya berdekatan untuk ikut kelompok. Rumahnya gubuk dan Rosa anak tertua dengan banyak adik yang masih kecil-kecil. Ibunya membentak Rosa untuk tidak ikut pergi dengan kami karena dia harus mengurus adik-adik sementara ibunya sangat sibuk. Rosa menangis karena ingin pergi dengan teman-temannya.
Hanya itu yang aku tahu tentang teman sekelasku Rosa. Aku kemudian mendengar kabar bahwa dia meninggal ketika aku masih SMA. Sejak Rosa total gila, setiap hari dia selalu bepergian berjalan kaki entah kemana tujuannya. Dia masuk ke rumah-rumah orang untuk minta makan dan menjadi terlalu gemuk karena makan terus. Tidak ada orang yang tidak memberinya makan kalau dia minta.
Aku masih bisa melihat proses kegilaan Rosa. Tapi aku tidak bisa melihat proses kegilaan Wahab. Sepertinya dia masih bisa bercakap-cakap biasa denganku di saat makan siang atau minum kopi. Aku tidak tahu bahwa ketika dia sedang duduk di hadapan komputer di ruang kerjanya dia sedang duduk membatu menatap layar monitor.
Semua orang duduk berjam-jam di depan layar monitor untuk menulis naskah atau membuat laporan.
***
Sampai sekarang aku masih bisa berkomunikasi dengan Wahab melalui facebook, kemudian chatting, dan dia meminta nomor hapeku. Aku meneleponnya dan kami berbicara di telepon. Kami terpisah jarak, beda kota.
Har, seperti apakah Bandung sekarang? Tanyanya. Sejak sakit, Wahab meninggalkan kota Bandung. Belum pernah lagi kembali.
Aku akan mengajakmu keliling melihat Kota Bandung kalau kamu ke Bandung. Kataku. Bandung semakin sempit, penuh dengan bangunan. Macet sekali. Ada Bandung Super Mall.
Aku ingin ke Bandung tapi aku tidak bisa bepergian. Katanya.
Aku ingin bertanya apakah aku harus menjemputnya untuk pergi ke Bandung. Tapi pertanyaan itu tersekat dalam kerongkongan. Aku tidak tahu bagaimana bicara dengan Wahab karena aku tidak tahu mana ucapan yang benar untuknya. Apakah sekarang ini dia selalu berada dalam sebuah ruangan dan tidak bisa kemana-mana kecuali dibawa orang tuanya. Aku tidak tahu situasi Wahab.
Aku berharap suatu ketika Wahab memberitahuku bahwa dia akan ke Bandung. Dan aku akan mengajaknya keliling Bandung. Nongkrong di alun-alun. Makan sate padang. Mengunjungi teman yang lain.
***

Tidak ada komentar: