Jumat, 12 Desember 2008

KASIH SEORANG BUNDA

“Yanti!! Yantiii…..!!” Teriakan memerintah yang sangat keras dari dalam kamar. Nama yang dipanggil pun segera bergegas datang. Begitu mendengar suara langkah kaki datang, suara memerintah tersambung kembali: “Ambilkan minumku, Yanti….” Suara yang sangat nyaring dan tegas. Kemudian diikuti suara mengomel dan mengeluh. Haus. Udara yang panas. Berkeringat. Punggung yang sakit. Anak-anak yang tidak memedulikan orang tuanya. Jarang datang menengok.

Yanti membatalkan langkahnya untuk masuk ke dalam kamar, berbalik arah. “Sebentar, Bu….” Segera dia melangkah ke dapur dan bergegas kembali ke kamar ibunya dengan segelas air putih. Disodorkannya gelas air minum ke bibir ibunya, yang meminumnya seteguk dua teguk. Kemudian memalingkan wajahnya, tanda sudah selesai. “Ibu mau kencing….” Sang Ibu bersuara memerintah.

Yanti mengambil pispot dari bawah tempat tidur ibunya. Mengatur posisi sang ibu. Meninggalkannya sebentar untuk mengambil botol air di kamar mandi. Beberapa botol kaca bekas sirup telah siap sedia berisikan air bersih untuk kebutuhan membasuh ibunya sehabis kencing atau buang air besar di pispot. Yanti meletakkan dua botol air itu di bawah empat tidur. Siap untuk digunakan.

Yanti melakukannya tanpa berkata-kata. Ribuan kali telah dia ulangi kegiatan yang sama sehingga tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Dia sudah tahu bagaimana cara mengatur posisi. Mengambil air dalam botol. Membereskan benda-benda di dalam kamar sambil menunggu ibu menyelesaikan hajatnya. ”Sudah...” Begitu ibunya mengatakan itu, Yanti membasuh ibunya di bawah kain. Sang ibu membantu mengangkat kainnya agar tidak kena air. Setelah basuhan pertama, Yanti harus menukar pispot dengan yang lain. Yang kosong. Dia harus ke kamar mandi untuk membersihkan dan menyiram pispot pertama. Meletakkannya di bawah ranjang. Membasuh lagi menggunakan pispot kedua. Kemudian menggantinya kembali dengan pispot yang pertama lagi yang sudah dikosongkan.

Biasanya dibutuhkan empat botol air untuk buang air besar. Dua botol untuk kencing. Itu yang dibutuhkan ibunya untuk merasa telah bersih.
Setelah selesai mencuci tangan dengan sabun di kamar mandi. Yanti mengisi kembali botol air. Berjajar sejumlah botol di kamar mandi. Menyiram pispot dengan air sebersih-bersihnya. Mencuci dengan sabun dan membilasnya. Pispot-pispot itu berjajar di bawah tempat tidur ibunya.

Di atas meja terletak beberapa waskom. Satu untuk cuci muka –atau dilap basah wajah dengan air hangat dan sabun. Satu untuk mandi -atau sebenarnya juga hanya dilap basah seluruh tubuh dengan air hangat dan sabun. Dibutuhkan satu waskom khusus untuk air hangat bersih yang akan digunakan melap sebagai pembersihan terakhir tanpa sabun.

Biasanya selalu dibutuhkan dua waskom untuk cuci muka maupun mandi. Satu waskom kecil untuk cuci muka bersabun, satu waskom kecil untuk air bersih hangat tanpa sabun untuk membilas wajah. Sedangkan untuk mandi, satu waskom besar untuk melap tubuh dengan waslap bersabun, dan satu waskom besar lainnya untuk air bersih pembilas. Itu yang dibutuhkan ibunya untuk merasa telah bersih.

Mandi dilakukan satu hari sekali setiap jam sembilan pagi. Cuci muka dilakukan setiap jam tiga sore. Biasanya Yanti melakukannya tanpa banyak bicara. Ribuan kali telah dilakukannya. Sehingga setiap langkah demi langkah telah menjadi ritual. Tidak ada perubahan apa pun kecuali bila ibunya yang memerintahkan.

Setelah digunakan, waskom-waskom dicuci dengan sabun dan dibilas bersih. Kemudian ditelungkupkan di atas meja di samping tempat tidur yang diberi alas plastik. Berjajar dengan rapi.

Yanti menggunakan jam weker untuk menandai jam berapa waktunya menjerang air untuk menyiapkan air hangat. Jam makan ibunya. Dan juga jam shalat. ”Yantiii.... Yantiii.... Mengapa kamu tidak memberi tahu ibu waktunya shalat....” seringkali ibunya mencoba menyalahkan Yanti karena beranggapan sudah ketinggalan shalat. Yanti biasanya mengatakan: ”Belum waktunya shalat, Bu.... jam belum berbunyi....”

”Mungkin jamnya rusak lagi seperti kemarin.... Ibu tadi mendengar sudah adzan kok....” ibunya selalu mengira bahwa jam weker itu rusak sehingga terlambat berbunyi. Padahal kejadian itu hanya pernah terjadi sekali atau dua kali. Yang pertama, mungkin empat tahun yang lalu. Yang kedua, tiga tahun yang lalu. Ibunya selalu mengatakan bahwa jamnya rusak seperti kemarin.

***

Terdengar suara langkah-langkah kaki. Dan suara riang gembira. Berceloteh. Tertawa terbahak-bahak. “Uwak Yanti.... lihat aku bawa kue buat nenek....” teriak Dani, anak lelaki sepuluh tahun berpipi tembam dan berwajah riang, membawa piring dengan penutup di atasnya. Di belakangnya mengikuti Dina, seorang anak perempuan berumur tujuh tahun berambut ikal terpilin dan berwajah cantik, berpegangan tangan dengan Dini, seorang anak perempuan berumur tiga tahun yang sangat cantik menggemaskan. Anak-anak Lina, adik bungsu perempuan Yanti. “Teh, ibu lagi apa?” Tanya Lina kepada kakaknya. Pertanyaan klise. Karena biasanya, bila Lina datang menjenguk, tentu saja ibunya sedang berbaring di tempat tidur. Matanya terpejam meskipun tidak tidur.

Rumah ibu, dibeli semenjak Lina berusia 5 tahun. Sebelumnya mereka tinggal di rumah dinas dari kantor ayahnya. Meskipun dibujuk dengan segala cara, ibu tidak mau pindah ke rumah Lina. Ibu ingin mati di rumah sendiri seperti ayah, katanya. Ibu juga tidak mau keluarga Lina pindah ke rumahnya. Anak-anak selalu ribut dan membuat rumah kotor, katanya. Ibu ingin suasana yang tenang. Usianya sudah hampir 80 tahun. Daya pikirnya masih cukup baik. Tetapi fisiknya rapuh. Sudah sejak berumur 70 tahun, ibu harus ditopang dengan tongkat rotan bila berjalan. Sekarang Ibu sudah tidak bisa berdiri di atas kedua kakinya. Ibu hanya bisa duduk, setengah berbaring.

Dua belas tahun yang lalu, Yanti memutuskan pertunangannya karena tidak bersedia melanjutkan ke jenjang pernikahan bila harus pindah mengikuti suami. Yanti memilih tinggal dengan ibunya. Berdua di rumah ibu yang mulai sakit-sakitan. Yanti tidak pernah menikah. Yanti tidak pernah bekerja di luar rumah. Usianya sudah tiga puluh delapan tahun sekarang.

Lina selalu disambut ibunya dengan keluhan-keluhan. Sakit pinggang atau sakit kepala, mungkin keluhan yang biasa. Tetapi bila ibu mulai mengeluhkan sesuatu tentang Yanti, sulit baginya untuk tidak terpancing emosi. “Ibu, Yanti tidak menikah karena harus mengurus, Ibu....” katanya dengan suara bergetar. Ibunya tidak pernah bisa menerima tuduhan serupa itu. ”Aku tidak pernah menyuruh Yanti mengurusku. Aku tidak pernah menyuruh Yanti membatalkan pernikahannya....”

Lina biasanya segera keluar dari kamar. Terduduk di atas kursi di teras rumah sambil menghembuskan nafas keras-keras. Lalu, siapa yang harus mengurus Ibu? Pembantu yang berusia agak tua dibawa Kang Agus dari kampung, tapi ternyata tidak bertahan lama. Apalagi pembantu yang muda-muda. Tidak pernah ada yang bertahan lebih dari dua minggu. Tidak ada yang mau tinggal berdua bersama nenek berumur 80 tahun. Kang Agus, anak nomor dua, kakak lelaki di atas Yanti, segera menjadi kapok mencarikan pembantu untuk mengurus ibu.

Ibu yang keras kepala, keluh Lina. Kekesalannya beralih kepada kakak-kakak lelakinya, terutama Kang Jaka dan Kang Agus, yang nampaknya tidak menganggap keadaan ini sebagai persoalan. Ibu sudah ada yang mengurus, yaitu Yanti. Biarkan saja ucapan-ucapan ibu itu, jangan dimasukkan ke hati. Ibu sudah tua. Sering tidak tahu lagi apa yang sedang diucapkannya.
Sulit bagi Lina untuk mengerti mengapa kakak-kakak lelakinya menganggap mudah hal-hal yang harus dihadapi kakak perempuannya, Yanti. Ucapan ibunya beribu-ribu kali tentang belum menikahnya Yanti. Sepertinya merupakan kesalahan Yanti karena tidak mampu mencari jodoh dan bekerja. Menjadi orang yang tidak berhasil meskipun sudah disekolahkan sampai perguruan tinggi. Menggelegak rasanya di dalam dada Lina setiap kali dia menjenguk ibunya dan ucapan itu didengarnya lagi. Lina selalu gagal untuk menganggap angin lalu ucapan ibunya. Meskipun sudah tahu sebelumnya, ucapan itu akan muncul lagi.

Ibunya akan segera terdiam bila melihat emosi Lina terhadap ucapan-ucapannya mengenai Yanti. Tapi bukan berarti itu jadi berhenti. Ucapan itu akan diulangnya lagi. Lagi. Dan lagi. Kakak perempuan Lina, Tetty, pun lebih emosional terhadap ucapan ibunya dan diekpresikannya dengan sangat keras. ”Ibu, berhentilah bicara soal Yanti tidak menikah. Itu pengorbanan Yanti untuk mengurus ibu karena ibu tidak mau pindah ke rumah salah satu anak ibu....”
Ibu menjadi antipati dan kemudian berpura-pura tidur apabila Tetty datang menjenguknya dengan suami dan anak-anaknya. Ibu menjadi ketus kepada Tetty. Ibu selalu menolak setiap pemberian atau oleh-oleh dari Tettty. ”Tetty selalu menyalahkan ibu, seolah-olah ibu yang telah memutuskan pertunangan Yanti....” Katanya mengadukan hal itu kepada Kang Agus atau Kang Jaka.
Bila kakak lelakinya menelpon Lina untuk menanyakan kebenaran pertentangan Tetty dan ibunya, Lina hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Bagaimana bisa para kakak lelaki itu bisa mempercayai ucapan ibunya. Ibunyalah yang memancing emosi anak-anak perempuannya dengan ucapan-ucapan tentang Yanti yang terasa menyakitkan hati mereka. Saudari-saudari yang merasa hiba terhadap Yanti.

Apabila ibu tiada, apa yang akan dilakukan Yanti? Apakah masa depan yang akan dihadapinya? Apakah Yanti masih mungkin mendapat jodoh? Apakah masih mungkin bekerja? Apakah Yanti akan tinggal dengan salah satu adik perempuannya: Tetty atau Lina? Apakah yang dirasakan oleh Yanti? Apakah Yanti bahagia? Apakah, apakah, apakah. Pertanyaan apakah itu mengharu biru hati Tetty dan Lina. Sesungguhnya juga hati Jaka dan Agus, namun para saudara lelaki ini tidak mengungkapkannya kepada orang lain.

Lina dan saudara-saudaranya juga kurang menyadari apakah kegundahan yang berkecamuk di dalam hati ibunya mengenai Yanti. Dibalik kata-katanya yang tajam. Sepertinya melontarkan kekecewaan dan mengecilkan arti Yanti yang sebenarnya merupakan kegundahan seorang ibu pada anaknya.

Suatu ketika, Tiara, seorang sahabat Tetty menemaninya menjenguk sang ibu. Hanya mereka berdua, Tetty tidak bersama suami dan anak-anaknya. Tiara menatap wajah ibu sahabatnya dan tersenyum lembut. Dielus-elusnya lengan wanita tua itu. Disekanya keringat di dahinya. Udara memang panas.
”Ibu.... saya punya kakak lelaki yang sudah menduda. Istrinya meninggal tahun lalu karena sakit....” katanya sambil memijit-mijit tangan ibu sahabatnya. ”Apabila ibu memberi restu, saya sangat ingin memperkenalkan kakak saya, Mas Soleh, kepada Teh Yanti....” Perempuan tua itu membalas tatapan Tiara, perlahan bibirnya tersenyum semakin lebar. Tersenyum tanpa tertahankan. Airmatanya berlinang. Tersenyum dan menangis. Dipegangnya erat tangan Tiara. Tubuhnya bergetar penuh luapan perasaan.

***

Setelah ibunya tiada, Yanti menjadikan rumah ibunya tempat penitipan anak sebagai usaha patungan keluarga. Saudara-saudara perempuan membantu mengembangkan konsepnya. Kang Jaka dan Kang Agus memberikan bantuan modal terbesar untuk merenovasi dan membangun rumah sesuai kebutuhan. Yanti juga menghubungi beberapa temannya yang pernah sama-sama punya ide membuat tempat penitipan anak usia di atas 1 tahun sampai 5 tahun. Sekaligus juga menyediakan pre-school dan play group.

Usaha ini segera mendapat sambutan dari kalangan suami-istri yang sama-sama bekerja. Tetty yang bekerja di bank pun mengundurkan diri dan bergabung dengan Yanti mengurus usaha baru yang ternyata berjalan dengan baik. Bermula dijajakan kepada kenalan, teman-teman dan kerabat, tempat penitipan anak ini ternyata memang dibutuhkan oleh keluarga muda profesional yang punya anak balita. Perluasan tempat nampaknya mulai perlu dilakukan.

Entah kebetulan atau tidak, setelah ibunya dimintai restu oleh Tiara untuk menjodohkan Yanti dengan saudara lelakinya, Yanti melihat ketenangan sang ibu menghadapi hari-harinya. Upaya perjodohan pun dilakukan Tiara dan Tetty. Mas Soleh diperkenalkan kepada Yanti, saudara-saudara Yanti, dan juga ibunya. Segala sesuatunya berjalan dengan baik.

Suatu ketika Yanti menemukan ibunya berbaring dengan mata terpejam dan senyuman di bibirnya. Saat itu dia sama sekali tidak mengira bahwa ibunya telah berpulang ke rahmatullah. Setelah menyadari, Yanti menatap ibunya dengan air mata berlinang. Mencium kening sang bunda.

Yanti tidak jadi menikah dengan Mas Soleh. Rupanya mereka memang tidak berjodoh. Kembali Yanti tidak bersedia menerima pinangan apabila sebagai konsekuensinya harus pindah ke kota lain mengikuti sang suami. Yanti tidak yakin dengan pilihan menikah. Tidak juga merasa yakin hatinya, jiwa dan raganya, siap menjadi ibu dari anak-anak calon suaminya.


(Kisah ini Terinspirasi oleh Para Ibu Usia Lanjut (Manula) dalam Obrolan dengan Sahabat dan Teman-teman)

Tidak ada komentar: