Jumat, 12 Desember 2008

RENCANA BESAR

Umi lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga sederhana di tengah kampung Kota Bandung. Kampung Kota Bandung ini adalah wilayah pemukiman yang lebih dari 30 tahun yang lampau masih terdiri dari kebun, sawah, rumpun bambu, dan rumah-rumah bilik . Baik rumah dengan kaki dan berkolong, maupun rumah setengah bilik (setengah tembok). Orang tua Umi sejak muda tinggal di sini. Ibu Umi lahir dan dibesarkan di sini, sedangkan ayahnya berasal dari tempat lain yang juga merupakan pemukiman asli di Kota Bandung. Ayah Umi adalah seorang pegawai kantor pos. Ibu Umi seorang guru Sekolah Dasar. Umi berdelapan saudara, ber sekolah di sekitar pemukiman ini dan rata-rata hanya menamatkan sampai SMU. Kecuali kakak lelaki sulung yang kuliah di IKIP (sekarang UPI).

Sekarang kampung kota ini menjadi pemukiman padat tanpa lahan hijau terbuka. Tanpa lapangan bola lagi. Dikepung oleh mall dan jalan-jalan besar yang padat dengan kendaraan mentereng. Rumah Umi dan keluarganya terletak di dalam kampung yang dapat dimasuki dari berbagai arah, gang-gang kecil kampung yang menghubungkan dengan kota metropolitan Bandung. Rumah Umi adalah satu-satunya harta yang berharga yang dimilikinya bersama suami. Rumah itu sekarang menjadi suatu noktah di tengah kehidupan modern dan mentereng. Rumah itu tidak pernah berubah penampilan sejak dibeli dari orang tua Umi lebih dari 30 tahun lalu.

Patokan-patokan hidup yang diterima dan dijalankan Umi adalah menjadi orang baik dan jujur, mendapat nafkah dari suami dengan cara yang halal, beribadah, memberi pelajar an agama untuk anak, bila memiliki anak perempuan memperoleh jodoh lelaki yang punya pekerjaan, dan menjaga keharmonisan keluarga. Umi menikah pada usia 21 tahun dengan seorang pria yang terpaut 13 tahun lebih tua. Dikaruniai anak pertama seorang perempuan, yang berumur 22 tahun saat sedang menyelesaikan kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri. Seorang anak perempuan yang hidup di masa kini dengan kombinasi pendidikan dari orang tua bersahaja. Dini berpenampilan sangat cantik, dengan jilbab modis, celana panjang dan tas ransel yang menunjukkan dirinya tidak lagi terkungkung adat lama.

Umi punya rencana lain untuk anak-anaknya. Dia ingin anak perempuannya berpendidikan tinggi dan bekerja. Dia ingin anaknya punya kesempatan memakai rok sepan (panjang karena berjilbab) dan blazer, serta sepatu hak tinggi. Penampilan perempuan kantoran. Perempuan modern yang percaya diri. Pandai berbicara. Bisa bediri tegak saat berbincang dengan koleganya –para pria. Cita-citanya atau rencananya itu nampak menemukan jalan ketika Dini, anak sulungnya mampu lolos seleksi perguruan tinggi negeri yang tentunya sebuah prestasi. Dan biaya kuliah saat itu masih lebih murah tentunya dibandingkan bila masuk swasta.

Anak kedua, Diki, sekarang sudah kelas 2 SMU. Jarak usia yang cukup jauh antara anak pertama dan kedua, bukanlah tidak disengaja. Umi berharap, sang kakak akan lulus kuliah dan bekerja, kemudian membantu orang tua membiayai adiknya agar bisa mengenyam perguruan tinggi juga. Anak ketiga, Mutiara, baru kelas 4 SD, seorang anak yang lumayan cerdas dan tekun belajar sesuai nasihat ibunya. Umi berbahagia karena anak-anaknya giat belajar, santun, dan mempercayai nasihat-nasihatnya untuk bekerja keras mencapai cita-cita: memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak. Suatu keadaan yang lebih baik ketimbang ayah mereka yang hanya pandai emas pegawai toko emas milik orang Cina di Pasar Baru dengan gaji kecil. Dan ibu seorang pembuat kue basah yang dititip ke warung.

Umi menjalankan rencananya dengan tekun. Dengan kesungguhan yang luar biasa. Tanpa pernah membincangkannya dengan sang suami. Sang suami yang pendiam, menjalankan tugasnya sendiri sebagai pencari nafkah utama keluarga. Tanpa pernah menentang tindakan istrinya. Tanpa juga pernah secara sadar terlibat dalam rencana besar istrinya. Sang istrilah yang membangun setiap langkah demi langkah masa depan anak-anaknya sesuai rencana besarnya.

Suatu ketika suami Umi mengalami PHK dari tempat bekerjanya karena krisis moneter (ekonomi) yang terjadi di Indonesia menyebabkan kebangkrutan berbagai usaha di pelosok negeri termasuk toko emas. Umi kemudian melanjutkan hidupnya dengan menjadi penopang nafkah keluarga sebagai penjual kue, mie goreng, dan gorengan (bala-bala, pisang goreng, cireng) yang merupakan camilan anak sekolah. Suaminya sekarang bekerja bersama Umi berjualan dengan membuat roda dorong untuk mangkal di dekat sebuah sekolah. Umi pantang menyerah.

Dengan sepeda tuanya, suami Umi setiap hari mengantarkan anak terkecil, Mutiara, ke sekolah dasar negeri yang sangat sederhana di depan sebuah mall yang sangat megah. Mengantar hanya sampai di ujung jalan karena Mutiara malu dengan 2 hal: ayah sangat tua dibandingkan dengan dirinya sehingga nampak seperti seorang kakek ketimbang ayahnya, dan sepeda jeleknya. Mutiara enggan menjawab bila seorang ibu temannya bertanya: ”Kakekmu ya yang tadi mengantar dengan sepeda, Tiara?”

Kehidupan Umi berjalan indah. Anak sulungnya lulus dengan nilai baik. Memperoleh pekerjaan di sebuah bank. Memakai pakaian seperti yang dibayangkan ibunya. Berbicara dengan cara yang diimpikan ibunya. Dini lahir dan besar di jamannya sendiri dan menjadi seorang perempuan yang berbeda dari ibunya. Dini seorang yang fasih berbicara tentang hal-hal yang tidak diketahui ibunya: dunia kantor. Dini fasih berdebat dengan teman-temannya: kenapa konstelasi politik nasional maupun lokal itu menjadi masalah bagi pekerjaan dan usaha yang dibidanginya.

Setelah 3 tahun bekerja, Dini menikah dengan seorang teman kuliahnya yang sudah bekerja di perusahaan swasta. Dini dan suaminya tinggal di rumah mereka yang baru, di sebuah perumahan di pinggir Kota Bandung yang asri dan modern yang harus dicicil selama 15 tahun. Rumah mungil berkamar dua itu dibangun ke atas sehingga Dini dan suaminya punya ruang kerja di rumah, dengan laptop dan internet sebagai perlengkapan keseharian mereka. TV flat 29 inch, mesin cuci, magic jar, dan microwave, menjadi peralatan rumah tangga pasangan muda yang sama-sama bekerja ini. Menabung, bertransaksi dengan kartu ATM dan credit card, mendiskusikan rencana punya anak dan mobil, merundingkan peluang-peluang karier masing-masing dan kesepakatan mereka, merupakan lifestyle yang dijalani Dini dengan suaminya. Pasangan ini merencanakan 5 tahun tanpa anak untuk memapankan ekonomi rumah tangganya. Pasangan ini sepakat akan bergantian melanjutkan kuliah untuk meningkatkan kariernya.

Umi dan suaminya menunaikan tugasnya yang masih belum selesai untuk menghantar anak-anaknya menghadapi masa depan. Sebuah usaha yang selalu terancam oleh berbagai krisis dan perubahan jaman yang menggila. Biaya kuliah di swasta mencekik leher. Kuliah di Unpad dan ITB yang merupakan perguruan tinggi negeri menjadi tidak murah lagi dengan berlakunya otonomi lembaga pendidikan, bahasa yang bagus untuk menyatakan kebangkrutan negara dan ketidakmampuan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau oleh rakyatnya.

Umi tidak tahu persis semua duduk persoalan itu. Umi cuma punya rencana besar untuk anak-anaknya dan menjalankannya tanpa kenal lelah apa pun hambatannya. Untuk menghemat gas, Umi merebus air dan menanak nasi dengan kompor minyak karena memakan waktu lama. Sedangkan berjualan gorengan dengan menggunakan kompor gas. Setiap rupiah yang terkumpul, disimpannya di dalam kaleng bekas susu. Kemudian ditukar menjadi lembar seratus ribu yang dilipat dengan rapi. Satu per satu disusun. Uang sebanyak 3 juta rupiah yang terkumpul dari peluh, tenaga dan waktu yang sangat lama, dalam sekejap berpindah tangan ketika Umi membayar uang masuk ke SMP untuk Tiara. Biaya masuk ke SMP dan SMU pun sudah bernilai juta rupiah saat ini. Dikumpulkan dari keuntungan setiap gorengan seharga Rp 500 per buah.

Umi menjalankan rencana hidupnya dengan ketekunan dan keyakinan seorang "pejuang di jalan Allah". Begitu lembut seperti air, begitu keras seperti baja. Kepahlawanan yang tidak dikenal karena Umi cuma seorang bersahaja.

(Kisah yang Terinspirasi oleh Seorang Ibu)

Tidak ada komentar: