Kamis, 11 Desember 2008

UWAK CIKAL

Rudy mempunyai tugas tetap. Menjenguk uwak lelaki di Bogor yang merupakan anak sulung dari keluarga ayahnya. Uwak Tatang berumur 83 tahun. Paling tidak sekali setahun, di luar lebaran, Rudi menghantarkan kiriman ayahnya kepada Uwak Tatang. Entah itu baju koko dan kopiah. Terakhir malah telepon genggam yang dibelikan ayahnya untuk sang kakak. Selalu disertai sejumlah uang untuk pembeli rokok.

Sebenarnya tugas ini sudah mulai terasa sebagai beban bagi Rudy. Sopir sebenarnya bisa dikirim untuk tugas ini. Tapi, Rudy tidak bisa membantah tugas tersebut dari ayahnya yang mengatakan bahwa sopir bukanlah seorang yang pantas untuk menjenguk uwak. Rudy mewakili kehadiran ayahnya untuk menjenguk uwak, kakak sulung ayahnya.
Rudy harus menjalankan tugas ayahnya yang tidak bisa ditawar. Suatu ketika dirinya menugaskan sopir untuk menghantarkan bingkisan kepada sang uwak, dan ayahnya murka. Tidak ada justifikasi apa pun yang mau diterima ayahnya. Rudy kesal karena dirinya punya alasan kesibukan. Tapi jelas, Rudy tidak mungkin melakukan kesalahan serupa setelah mengalami murka sang ayah.

Rudy merupakan anak sulung juga. Adiknya dua, Rika dan Radit.
Uwak Tatang memiliki delapan adik. Ayah Rudy adalah pangais bungsu. Sering menjadi tradisi keluarga besar semacam ini, anak sulung mengambil alih beberapa adik termuda menjadi anaknya sendiri. Tinggal bersamanya mulai dari bujangan sampai saat si kakak sulung menikah. Disekolahkan dan kemudian dinikahkan. Seperti anak kandungnya sendiri.

Ayah salah satunya. Lebih menjadi anak Uwak Tatang ketimbang sebagai seorang adik.

Setelah seorang anak sulung lelaki dewasa dan bekerja, tidak jarang dia yang berperan sebagai kepala keluarga dan bertugas mengatur dan menikahkan adik-adiknya. Apabila seorang adik ’menyimpang’, sang kakak sulung akan memanggil atau mendatangi sang adik. Mewakili orang tua untuk ’meluruskan’ dan mengambil tindakan-tindakan bagi adiknya.

Seorang adik ugal-ugalan dan lambat bekerja, akan membutuhkan penanganan khusus. Sampai merintis usahanya pun agar tidak menganggur lagi, kakak sulung yang mengurusnya. Adik lainnya yang kena musibah tabrakan, kakak sulung yang mengurus segala sesuatunya bersama orang tua. Adik yang lalai menyelesaikan kuliahnya, kakak sulung yang meminta kesadaran adiknya tentang beban ekonomi orang tua yang sudah semakin menua. Kakak sulung menjaga gawang agar segala sesuatu yang diharapkan orang tua ditunaikan.

Tapi, apa hubungannya semua ini dengan Rudy? Rudy merasa bahwa dirinya tidak layak menjalankan tugas ini, yaitu semacam menjalankan kewajiban historis sang ayah untuk membalas budi kepada kakak sulungnya.

Pada upacara pemakaman, Fauzi, anak sulung Uwak Tatang menyampaikan pesan-pesan dari ayahnya kepada yang ditinggalkan. Pesan yang dipersiapkan untuk pemakamannya. Pesan itu hanyalah sebuah doa bagi kedua orang tua, istri, anak-anak, cucu-cucu, adik-adik, keponakan, cucu keponakan, yang disebutkannya satu persatu. Semua disebutkan dengan nama lengkapnya dan pesan untuk saling menyayangi, menjadi orang yang baik kepada sesama, bekerja secara halal, dan jangan lupa menjalankan agama. Tidak ada kata-kata berbunga, hanya sebuah kata perpisahan yang sangat mengena bagi semua orang yang hadir. Seperti sihir terutama bagi nama-nama yang disebutkan.

Nama Rudy disebutkan dalam sebuah kalimat khusus: Keponakanku Rudy Gunawan yang paling rajin menjenguk dan memberiku oleh-oleh....
Kalimat itu begitu dasyat dan menggetarkan bagi Rudy. Membuatnya tercenung dan meneteskan airmata. Teringat keengganan dan perasaan janggal yang timbul bila sang ayah menyuruhnya menghantarkan sesuatu kepada sang Uwak. Dirinya adalah seorang dokter yang sedang sibuk mengembangkan karier. Rudi merasa mendapat tugas yang lebih cocok dilakukannya kalau masih seorang anak SMU atau mahasiswa yang masih punya waktu. Teringat bahwa dirinya merasa tidak cukup kenal dengan sang Uwak. Teringat bahwa dirinya tidak terlalu banyak mengajak bicara sang Uwak, hanya sekedarnya dan menyampaikan apa pun titipan dari sang ayah. Teringat bahwa saat itu terlontar pertanyaan dalam pikirannya: ”Kenapa ayah memberiku tugas seperti itu?” Kenapa tidak kirim paket saja lewat jasa kurir. Kenapa tidak transfer uang saja via bank. Rasanya aneh melakukan perjalanan 4 jam untuk menghantarkan sesuatu dan berbicara beberapa menit. Kemudian kembali lagi.

Sekarang Rudy bersyukur bahwa dirinya pernah memiliki tugas itu dari ayahnya. Bertemu dan sedikit berbincang dengan sang Uwak. Seandainya dirinya bisa lebih menghargai tugasnya saat itu, tentunya akan menjadi kenangan yang lebih berharga bagi dirinya. Sayang.
Ayah Rudy memberikan sebuah amplop surat yang nampak sudah lawas. Amplop bergaris merah biru biasa yang bisa dibeli di warung. Kertas surat yang diambil dari tengah buku tulis biasa. Tulisan tangan khas masa itu. Huruf sambung yang ditulis miring ke kanan. Rapi dan rata. Warnanya pudar.

Ayah Rudy menjelaskan dengan pendek: “Surat dari Uwak Tatang kepadaku, 40 tahun yang lalu.” Rudy membuka dan membaca surat itu.

Kahatur: Rayi Djadjat (Kepada: Adikku Djadjat)

Aa akan mengingat kehidupan ini dengan rasa syukur kepada kedua orang tua kita karena telah mengembankan tugas menjadi seorang kakak sulung yang harus menjaga adik-adiknya. Setiap shalat, Aa selalu berdoa kepada Gusti Allah agar adik-adik dan anak cucunya hidup dalam kecukupan dan damai, meskipun dalam kesederhanaan. Apabila amanah dari orang tua ini bisa Aa tunaikan, inilah anugerah terbaik yang Tuhan berikan kepada saya....

Suatu saat nanti, Aa akan meninggalkan dunia yang fana ini dengan bahagia, kalau Aa bisa menjadi suami, ayah dan kakek yang menyaksikan keluarganya hidup berkecukupan, dan rukun, meskipun dalam kesederhanaan. Anak-anak mendapat pendidikan yang cukup, kemudian bekerja dan berkeluarga. Mendapatkan cucu-cucu yang baik dan tidak menyusahkan orang tuanya....

Bagi Aa, harta berlimpah itu adalah istri, anak, cucu, adik, keponakan, cucu keponakan, yang selalu meramaikan kehidupan dan peneduh jiwa. Tidak perlu materi berlimpah atau harta benda....
Aa tidak meminta kesuksesan Djadjat dalam pengertian materi atau pangkat. Aa hanya ingin Djadjat menghargai hidup dan menjalaninya dengan ikhlas....”

Rakanda: Tatang (Kakakmu: Tatang)

Rudy memandang wajah ayahnya, terharu. Sang ayah tersenyum karena ini akan menjadi momen berharga antara dirinya dan sang anak lelaki. ”Waktu itu ayah tersesat jalan, Rudy. Ayah terjerat narkoba karena tekanan ambisi untuk mencapai sesuatu. Ayah hampir kehilangan arah. Ayah hampir terlambat....”

”Ayah menugaskan kamu dan Rika untuk menjenguk Uwak-uwak kalian karena kita tinggal berbeda kota.... Khusus untuk Uwak Tatang, ayah menugaskanmu untuk hadir sebagai perwakilanku karena dia adalah ayahku, yang membesarkan, mengasuh, dan meluruskan jalan hidupku....”

Sambil menepuk-nepuk bahu Rudy, sang ayah sejenak menerawang mengenang masa-masa lalunya. Suka duka dan momentum bersama saudara-saudaranya. Orang tua. Masa kecil yang sederhana. Ambisinya untuk meraih kesuksesan dengan masuk ITB, sebuah universitas yang menjadi garansi bagi masa depannya. Kemudian kandas ketika vonis drop-out harus dihadapinya. Ternyata dirinya tidak mampu. Dirinya tidak sehebat angan-angannya.

Seolah-olah hanya satu-satunya jalan hidup, kegagalan itu membawanya kepada rasa frustasi. Malu. Terperosok kepada pelampiasan yang keliru, narkoba. Kesabaran orang tua dan kakak sulungnya yang membuatnya perlahan bangkit kembali melalui jalur wiraswasta.
”Rud, ayah tahu bahwa sosok dirimu sangat membanggakan bagi Uwak Tatang. Kau seorang dokter muda. Kau seorang yang berhasil. Kau adalah anakku. Keberhasilanmu mengobati kesusahan yang pernah aku timpakan kepadanya ketika aku jatuh dulu. Dan kakakku akan lebih berbahagia bertemu denganmu karena aku menjadi orang tua yang berhasil.... Itu alasan ayah....”

Rudy terkesima. Diingatnya bahwa sang Uwak hanyalah seorang pegawai negeri yang sederhana. Ayahnya yang mengambil jalur wiraswasta bahkan keadaannya lebih berkelimpahan dalam hal materi. Anak-anak Uwak Tatang tidak ada yang mempunyai pekerjaan mentereng seperti anak-anak ayahnya yang menjadi dokter, insinyur, dan pengacara.
Rudi pun menyadari, bahwa ambisi yang dipilih terkadang bukan hal yang terbaik. Rudy akan mengingat itu di tengah persaingan dan ambisi yang terpicu untuk mencapai sukses sebagai dokter. Rudy merasa perlu meredifinisi ambisi dirinya yang semula begitu materialistik, menjadi lebih spiritual.


Lebaran. Oktober 20008.

Catatan: Uwak cikal adalah kakak sulung ayah atau ibu

Tidak ada komentar: