Jumat, 12 Desember 2008

Tak Berwajah Tak Bernama

Jam 05.00 dini hari. Suara kendaraan lewat sudah mulai. Orang harus bangun dari tidurnya. Mencari nafkah. Sopir-sopir angkot berangkat dari rumah orang Batak pemilik 10 angkot. Orang Batak. Namanya pun tidak tahu. Begitu juga dengan Pak RT. Namanya tidak tahu. Meskipun rumahnya tepat di belakang rumah kami.

Keluarga Pak Hasan sudah bangun. Mereka selalu mulai jam 05.00. Mula-mula tirai terbuka. Suara kunci pintu depan diputar. Lalu suara menyapu lantai. Menyiram tanaman dalam pot. Orang berbicara, menyapa seseorang yang lewat. Barangkali tetangga yang pergi bekerja. Mungkin kerja di pabrik di Majalaya atau Rancaekek. Mungkin sopir angkot yang bekerja dengan majikan lain, di tempat lain. Mungkin majikannya orang Batak juga –karena pemilik angkot kebanyakan Orang Batak. Mungkin bukan orang Batak, tapi Orang Sunda pemilik angkot. Banyak yang kita tidak tahu. Tapi kita tidak ingin tahu. Pak hasan yang bekerja sebagai PNS di Pemkot Bandung ini sangat ramah sehingga mungkin dikenal setiap orang.

Janda yang semua anak perempuannya menikah muda, dan semua anak lelakinya pengangguran dan belum menikah itu, membenahi meja di teras rumahnya. Menata semua dagangannya: termos nasi kuning. Nama janda itu pun tak tahu. Begitu juga anak-anaknya tak tahu namanya. Meskipun selalu datang ketika anak-anak perempuannya menikah satu per satu. Lalu punya anak. Bayi-bayi itu juga tak tahu siapa namanya. Bapak dari bayi-bayi itu juga tidak tahu siapa namanya.

Pagi hari adalah saat ibu-ibu bertemu di jalan ketika menuju ke pasar. Saling tersenyum. Meski tidak tahu namanya. Pasar hanya 5 menit berjalan kaki dari rumahku. Ketika istriku ketinggalan belanjaan di pasar, ikan mas sekilo, pedagangnya menitipkan ikan itu ke seorang ibu yang diketahui si penjual sebagai bertetangga dengan istriku karena saling menyapa bila bertemu untuk membeli ikan. Pedagang ikan mas menjelaskan ciri-ciri istriku: berbadan gemuk, suka pakai daster corak kembang sepatu besar kalau ke pasar, seperti baru bangun tidur terus mengambil sandal jepit dan langsung belanja ke pasar. Ikan mas pun sampai ke rumah. Aku tidak pernah memberitahu istriku cara si ibu penghantar ikan emas tersebut menyampaikan ciri-ciri istriku supaya tidak salah alamat. Bahaya. Yang penting ikan sudah sampai.

Terkadang, isriku malas membawa belanjaan yang berat. Diserahkannya ke tukang becak sementara dia sendiri berjalan pulang. Istriku menjelaskan kepada tukang becak: di Gang xxx, ada rumah No.xx punya pedagang ayam di pasar, rumahnya besar dan bagus, putih, pagar hijau, ada kolam ikannya. Belanjaan harus dihantar ke depan rumah itulah. Rumah di depan yang kecil, banyak pot tanaman, tanpa pagar. Tukang becak sampai ke rumah duluan dan menyerahkan belanjaan kepadaku sambil menjelaskan: punya ibu. Supaya yakin, dijelaskannya bahwa ”ibu” memakai baju daster warna coklat dengan gambar kembang sepatu merah. Istriku datang kemudian, membawa koran yang dibelinya di pinggir jalan raya. Tukang becak sudah pergi. Setelah melihat belanjaan sudah dihantar, istriku duduk di kursi membaca koran secara kilat. Sementara pembantu mengurus belanjaan di dapur.

Matahari pagi bersinar di luar pada musim cerah. Anak-anak yang berangkat ke sekolah satu per satu nampak sudah lewat. Ibu dengan bayinya, berdiri di bawah sinar pagi sambil menyuapi. Karyawan dan karyawati berangkat kerja. Deru mobil dan motor semakin ramai. Keluar dari gang. Atau di jalan besar. Pedagang makanan yang berkeliling dengan rodanya memanggil pembeli dengan suara ketukan piring atau meneriakkan dagangannya. “....ttttiii... ttttiii....” (Roti, tanpa menyebut “ro”). Ibu-ibu menjemur pakaian yang baru selesai dicuci. Aku dan istriku telah selesai mandi dan sarapan. Aku menyiapkan motor istriku supaya tidak menjadi satu-satunya orang yang menganggur di pagi hari. Sementara istriku memberi berbagai petunjuk kerja kepada pembantu sebelum berangkat ke kantor.

Setelah aku dan istriku ke kantor, dua orang pembantu mengurus rumah, menyapu, mengepel, mencuci, memasak, dan mengurus anak-anak sepulang sekolah. Juga mengancam menelpon ibunya kalau anak-anak susah disuruh mandi sore atau mengerjakan PR untuk besok. Biasanya aku dan istriku pulang sekitar jam 06.00 sore atau terlambat sampai jam 07.00 malam. Istriku akan marah-marah kalau anak-anak belum mengerjakan PR saat pulang kantor.


Salah satu pembantu kami adalah tetangga. Rumahnya di belakang pemukiman. Atau di pemukiman bagian belakang. Di perkampungan kota yang sangat luas sampai jauh ke dalam sana, ada istilah ”orang belakang”. Ada orang-orang yang kami bertemu tapi rumahnya tidak kami ketahui wujudnya seperti apa. Yaitu ”orang belakang”. Bertahun-tahun aku tidak menyadari bahwa salah seorang teman di kantorku adalah tetangga. ”Orang belakang”. Dan temanku ini meledekku dengan menceritakan kepada teman-teman lainnya bahwa: ”Orang depan” itu kelas sosial yang lain dibandingkan dengan ”orang belakang”. ”Orang depan” memiliki keadaan dan karakteristik berbeda, yaitu lebih maju dan lebih tinggi kelas sosialnya. Kata lain dari nafsi-nafsi dan tak lagi peduli kepada lingkungan sekitar. Nama tetangga sebelah pun tidak ditanyakan. Sedangkan ”orang belakang” masih saling mengenal dan akrab. Kata lain dari sering usil dan suka bertengkar dengan para tetangga.


Ketika lebaran, istriku menyiapkan bingkisan berupa kue kaleng, sirup botol, dan gula-kopi, dan daftar nama penerimanya. Tertulis paling atas di dalam daftar: tukang becak. Maksudnya adalah pria berewokan berumur 30 tahunan yang ramah dan langganan becak istriku. Berikutnya: tukang sampah. Yaitu lelaki setengah abad yang setiap Selasa dan Sabtu mengambil sampah ke rumah kami. Tukang sayur. Seorang kakek tua yang berusia 70 tahun tetapi masih berjualan sayur keliling dan membuat istriku mengeluh karena dia selalu menaruh berbagai jualannya ke rumah. Susah untuk menolak si Aki padahal istriku tidak selalu mau belanja kepadanya karena sudah ke pasar. Selain itu budek sehingga istriku harus berteriak: ”Saya tiddaakk mauuu belanja ini, Aki....” atau ”Beli baawaang meeraah sepeerempaat kiloooo....”

Setelah kesibukan pagi di rumah, istriku hendak berangkat ke kantor dan menitipkan bingkisan lebaran itu kepada pembantu. ”Berikan kepada si tukang becak berewokan. Tukang sampah kita. Aki tukang sayur. Nenek yang suka jalan kaki pagi. Jangan sampai salah ya....” katanya. ”Yang agak beda ini, punya Pak RT, jangan ketuker.... Ini punya ibu yang anaknya 5, laki-laki semua itu” Ada sebuah keluarga yang masih muda dengan 5 anak lelaki yang usianya saling berdekatan. Anak sulung kelas 6 SD. Jadi bisa dibayangkan usia adik-adiknya. Istriku menuliskan didaftar sebagai ”Ibu dengan 5 anak laki-laki” dan pembantu sudah tahu dimana rumahnya harus dicari. Rumah doyong yang punya sumur, di dekat mesjid. Untuk keluarga ini, bingkisan lebaran ditambah dengan amplop uang. Seluruh bingkisan lebaran itu sampai ke tujuan dengan benar. Meski semua tidak bernama. Semua adalah tetangga yang dijumpai tapi tidak bernama. Ini bukan melebih-lebihkan. Tapi betul-betul begitu kejadiannya.

Jam 23.00. Malam hari untuk istirahat. Suasana mulai sepi. Tapi tidak pernah sama sekali sepi. Karena ada juga karyawati yang baru pulang kerja lembur di pabrik. Ada satpam di mall yang baru pulang. Sopir angkot yang terlambat masuk ke poll angkot si orang Batak. Tetapi bisa dikatakan jam 11 malam adalah waktu berakhirnya aktivitas di pemukiman kami. Rentang waktu malam memang sangat pendek dibanding siang apabila dilihat dari jumlah jam aktivitas orang-orang di pemukiman ini.

Kembali ke jam 05.00. hari berikutnya. Suasana sudah menjadi ramai kembali dengan orang-orang yang bekerja dini hari. Pedagang-pedagang di pasar. Sopi-sopir angkot. Karyawati pabrik yang harus menunggu bis jemputan jam 05.00. untuk berangkat ke Rancaekek. Ibu-ibu yang menyiapkan sarapan pagi untuk anaknya yang ke sekolah. Ibu tetangga pedagang nasi kuning yang menyediakan sarapan pagi siap santap. Kereta roda pedagang bubur ayam dan lontong kari yang menjajakan pilihan sarapan pagi lainnya. Sepeda box pedagang roti dengan suara terompetnya.

Jam 06.30. anak-anak sekolah mencium tangan kedua orang tuanya untuk berpamitan. Pegawai bank berangkat kerja dengan mengendarai mobilnya. PNS berangkat kerja dengan naik motor dan ada juga yang bermobil. Istriku memberi berbagai petunjuk kerja kepada pembantu sebelum berangkat ke kantor. Pembantuku menyempatkan menyampaikan berita kepada istriku: ”Pedagang masakan yang ibu suka membeli di pasar itu meninggal, Bu. Katanya sakit diabetes....”

”Yang gemuk banget, jualan talas buntil, orang Jawa itu?” tanya istriku.”Bukan, yang itu, Bu. Yang agak kurusan, orang Sunda, jualan semur jengkol kesukaan ibu....” Jawab pembantuku. ”Ooo, yang itu. Kan masih muda ya...” kata istriku. Kemudian istriku meneruskan pembicaraannya kepadaku. ”Ada 3 pedagang di pasar yang meninggal tahun ini. Pedagang ikan yang sudah tua. Suaminya. Sekarang istrinya berjualan dengan anaknya. Pedagang ikan asin. Ibu yang sudah tua. Sekarang pedagang masakan yang semur jengkolnya enak banget....”

George Orwell mengatakan bahwa ”orang-orang miskin itu tidak berwajah”. Tidak kelihatan oleh sesamanya. Tidak diperhatikan. Apalagi mengenal penderitaannya. Seorang temanku bercerita tentang kejadian aneh: ada seorang tetangganya yang kehilangan dandang nasi dan isinya yang baru ditanak di atas kompor. Seseorang mencuri nasi dari sebuah rumah? Itu pertanyaannya. Temanku itu mengatakan: Berita kelaparan di Afrika bisa masuk koran dan TV. Tetapi seorang tetangga yang lapar (di Kota Bandung), siapa yang tahu?

Di Kota Bandung, tetangga tidak punya wajah atau tidak bernama. Ada orang-orang yang sering ditemui sehari-hari. Wajahnya terkadang diingat. Perbuatan dan cerita gosipnya kadang didengar. Tapi namanya sering tidak ada.

(Awal tahun 2008)


Tidak ada komentar: