Jumat, 16 Januari 2009

ISTRI PILIHAN SURGA

Maya bisa melihat ruangan itu. Seperti melihat adegan di layar film. Sahabatnya duduk di belakang meja rias, menulis surat. Wajahnya. Bentuk tubuhnya yang ramping. Matanya. Air mata jatuh ke atas kertas.

Malam yang dingin. Menjelang tengah malam. Tika melihat ke arah tempat tidur yang masih rapi. Suaminya tak pulang. Dadanya berdenyut.

Di sudut meja terdapat kalender. Tahun 1995.
***

Maya, sahabatku...

(Selalu menjadi kata-kata pembuka surat yang ditulis Tika. Surat-surat dari Tika selalu berlembar-lembar. Maya sudah harus menyediakan sebuah kotak untuk menyimpan surat-surat itu yang telah terkumpul selama beberapa tahun).

Suamiku sering tidak pulang. Dia punya tempat lain untuk pulang. Mula-mula aku mendengar kabar burung ini dari kerabatku. Kemudian aku mulai memperhatikan telepon-telepon yang berdering dan mati saat kuangkat. Kecuali kalau suamiku yang mengangkatnya. Berbicara sedikit. Penuh simbol-simbol.

Sebuah nama muncul. Rina. Perempuan itu tidak berusaha merahasiakan dirinya. Bila anakku mengangkat telepon dan menanyakan nama penelpon untuk diberitahukan kepada ayahnya, nama Rina disebutkan. Sampaikan kepada Pak Yudi, Ibu Rina menelpon dan minta ditelpon balik. Lalu aku mendengar siapa Rina dari temanku, Lela, yang mendapat informasi dari temannya. Yudi, suami temanmu itu, kulihat berjalan bersama Rina –teman dari temanku. Begitu menurut teman dari temanku. Rina adalah teman dari teman seorang teman Lela. Saudara dari teman Rina itu, adalah teman sekantor Rina sehingga dia dapat memberikan informasi siapa Rina.

Rina seorang perempuan lajang yang sedang berusaha memperoleh jodoh. Wajahnya jelek. Badannya pendek dan gemuk. Dandanannya setengah mati. Hanya lelaki yang sedang ’sakit jiwa’ mau dengan perempuan seperti si Rina sedangkan sudah punya istri dan anak. Begitu kata teman sekantor Rina kepada saudaranya, teman dari teman Lela. Lela menyampaikan informasi ini kepadaku.

Begitulah cara perempuan-perempuan saling membantu dan menyampaikan rasa simpati, bila suami seseorang selingkuh. Sebuah rantai informasi bekerja. Aku tidak memintanya. Tetapi mereka melakukan penyelidikan secara estafet dan informasi yang didapat itu kembali lagi bergerak estafet menuju kepadaku. Perih. Suamiku dibicarakan orang-orang, Maya...

Ketika aku menanyakan kebenarannya, suamiku dengan begitu saja mengakuinya. Ada seorang perempuan lain bernama Rina. Ketika aku menatap wajah suamiku, aku membayangkan Rina yang jelek, pendek, gemuk, menor, dan provokatif dalam upaya mendekati atau mendapatkan pria. Tidak sabar mendapat jodoh. Tidak peduli bagaimana caranya. Tidak peduli lelaki beristri. Tidak mau tahu. Wajah suamiku begitu dingin menerima tatapanku.

Aku ingin menjerit. Aku ingin tahu. Kenapa. Kenapa suamiku begitu membenci aku sehingga melakukan hal ini. Tanpa merasa perlu berusaha menyembunyikannya. Tidak pulang ke rumah semalam, dua malam. Menerima telepon dan bicara pendek-pendek. Setelah itu pergi. Lalu tidak pulang sampai besok atau lusa.

Sejak saat itu tidak ada lagi telepon rahasia. Ketika aku mengangkat telepon dari perempuan itu, dia tidak menutup telepon lagi melainkan menanyakan suamiku. Aku bertanya siapa dia. Rina, katanya. Kamu siapanya suamiku, tanyaku. Teman, katanya. Aku gemetar ketika mengatakan bahwa dia perempuan pengganggu suami orang. Rina menutup teleponnya. Kemudian dia tetap menelpon lagi. Tidak perlu sembunyi-sembunyi. Tidak perlu rahasia. Suamiku secara terang-terangan memiliki perempuan lain.

Aku sendirian. Menuliskan surat ini kepadamu, Maya....
Engkau sahabatku yang kucintai. Engkau membuatku merasa memiliki seseorang. Aku tidak pernah membiacarakan rumah tanggaku dengan siapa pun. Aku hanya diam bila seseorang memberitahuku sesuatu tentang suamiku.

Maya, sahabatku.... engkaulah satu-satunya teman bicaraku. Meskipun jarak memisahkan kita. Dan aku hanya bisa berbicara denganmu melalui surat-surat.
***

Pagi-pagi, Tika bangun untuk menyiapkan sarapan bagi anak-anaknya yang akan berangkat ke sekolah. Si sulung berumur 11 tahun, anak lelaki berwajah teduh dan tampan, dengan tatapan mata mendalam kepada ibunya. Seperti mencoba menyelami isi bathin ibunya.

Anak kedua dan ketiga memiliki usia berdekatan, 7 tahun dan 6 tahun. Dua anak perempuan cantik bermata indah yang menikmati semuanya: sekolah, bermain dengan teman-temannya, belajar, membaca buku cerita, naik sepeda, dan jalan-jalan ke pusat pertokoan. Sedangkan si bungsu yang berumur 3 tahun, anak lelaki bandel dan jenaka, yang menghibur ibunya karena selalu melakukan hal-hal yang menimbulkan senyuman.

Maya seperti melihat sahabatnya itu sedang memandang anak-anaknya dengan penuh cinta. Menyembunyikan kesedihan dari mereka dengan tersenyum. Menahan jeritan hatinya agar tak terdengar oleh anak-anak. Tak terbaca dari wajahnya. Menghindari pertengkaran dengan suami karena masa kanak-kanak seharusnya bahagia. Tanpa pertengkaran ayah dan ibu. Itulah yang akan didapat anak-anaknya.

Maya melihat wajah ayu Tika yang menatap ke depan dengan tabah. Menegakkan wajahnya di hadapan anak-anak agar nampak sebagai seorang ibu pelindung dan anak-anak merasa aman bersamanya. Tika, seorang ibu yang siap berkorban jiwa dan raga demi keempat anak-anaknya. Tika adalah sahabat Maya sejak Sekolah Dasar sampai dewasa. Meskipun terpisah sekolah dan kemudian terpisah kota setelah Tika menikah, mereka selalu berkirim surat. Lebih tepatnya, Tika selalu berkirim surat.

Maya bisa melihat Tika mengasuh anak-anak mengerjakan tugas sekolah, sambil menyuapi si bungsu yang makan sambil melompat ke sana ke mari. Seperti sebuah adegan film, Tika memandang ke arah penonton. Close up.

Pada saat itulah Maya melihat wajah sahabatnya yang begitu sedih.
***

Maya, sahabatku....
Aku selalu ingin menjadi istri yang baik. Ibu yang baik bagi anak-anakku. Aku akan melakukan apa pun yang diminta oleh suamiku. Seorang suami adalah pemimpin keluarga. Pelindung keluarga. Seorang yang menjaga anak-anaknya. Seorang yang meluruskan istrinya supaya menjadi salehah.

(Maya bergidik membacanya. Tika hidup dalam dunia khayalan seorang perempuan yang merasa sempurna hanya bila menjadi istri dan ibu yang baik. Bagi perempuan bebas seperti Maya, itu khayalan, bukan sikap-nilai hidup. Baginya nilai hidup secara genuine harus selalu memanusiakan. Bukan memperbudak atau membelenggu. Tika, tahukah kamu bahwa seorang perempuan bisa memiliki kehidupan yang lebih baik ketimbang punya suami seperti Yudi? Keluh Maya. Geram).

Maya, aku akan bersabar bila Yudi melalaikan tugasnya sebagai seorang ayah dan suami. Aku akan berdoa agar mata hatinya terbuka atas kekhilafannya. Aku bersujud di hadapan Allah untuk kembalinya suami dan ayah anak-anakku.

Bila kami berkumpul di sekeliling meja makan. Anak-anak berceloteh riang dan penuh kerinduan kepada ayahnya yang”sibuk” dan jarang di rumah. Menceritakan ini dan itu. Bertanya ini dan itu. Memperebutkan perhatian ayahnya. Suamiku dengan penuh kasih sayang menanggapi semua celoteh anak-anak. Membelai rambut mereka. Membacakan buku cerita di sisi ranjang anak-anak. Penuh kelembutan dan kesabaran.

Setelah anak-anak terlelap tidur, aku menggunakan kesempatanku untuk mengajak bicara suamiku. Saat yang kutunggu-tunggu. Terasa begitu lama menunggu saatnya aku bisa bicara dengan suamiku. Setiap menit seperti penantian yang begitu panjang. Sekarang, ketika aku sudah bisa berhadapan berdua dengan suamiku, aku minta padanya untuk bicara. Tapi diabaikannya aku.

Apa yang diharapkannya. Apa yang harus kulakukan agar dia mencintaiku lagi. Apa yang bisa membuat suamiku memilih seorang perempuan bernama Rina ketimbang aku, istrinya. Tetapi suamiku menolak pembicaraan.

Sebaiknya kau minta cerai saja. Katanya dingin. Mengapa kau begitu sabar dan pemaaf pada suami brengsek seperti aku. Kau benar-benar menjijikkan. Kalimat terakhir diucapkannya dengan mimik dan tekanan suara yang ingin menggambarkan dengan sejelas-jelasnya perasaannya sesuai apa yang dikatakannya.

Tengah malam. Yudi pergi meninggalkan rumah.

Aku menggigil di atas tempat tidur. Menahan tangisan. Membekukan hati agar air mata tidak berjatuhan. Aku tidak mau besok pagi mataku menjadi bengkak dan anak-anak melihatnya. Aku tidak akan membuat anak-anak melihat kesedihan di wajahku. Aku akan tidur. Aku harus tidur dan bangun subuh.

(Maya menggigil. Seperti masuk ke dalam jiwa dan raga sahabatnya. Seperti ikut merasakan kesakitannya. Mula-mula. Seterusnya kesakitan itu hilang menjadi suatu perasaan kebas dan hilang rasa. Kesedihan yang begitu mendalam sehingga tak dapat dirasakan sakitnya lagi. Seperti dada yang dirobek dan rasa sakitnya tak terasa lagi).

Maya, suamiku membenciku... Suatu hari dia mengatakan padaku bahwa aku begitu baik. Sedangkan dirinya tidak mampu menjadi suami yang pantas bagi diriku. Aku mengira kesulitan-kesulitan dalam mengembangkan karier di pekerjaannya, membuat dirinya patah semangat. Aku mengatakan padanya bahwa sebagai seorang istri aku ikhlas menerima dirinya seperti apa adanya.

Aku ingin berhenti bekerja karena anak-anak lahir lagi dan lagi. Tetapi suamiku justru melarangnya. Kau jangan jadi ibu rumah tangga saja. Biarlah kupanggil adik-adikku untuk membantu mengurus anak-anak. Begitu katanya.

Aku tidak mengerti apa yang berkecamuk dalam pikiran Yudi. Hanya sepotong-sepotong ucapannya yang kurangkai satu per satu. Aku mencoba mengerti.

Kamu cantik, pintar, dan punya pekerjaan bagus di kantor. Katanya. Kamu masih muda. Kamu masih punya kesempatan.

Aku tidak mengerti arah dan tujuan dari ucapannya. Yudi selalu berbicara terlalu sedikit bagiku. Aku tidak pernah bisa berhasil memintanya menjelaskan kepadaku apa yang membuatnya tidak bahagia. Apa yang membuatnya marah.

Mengapa kau hamil terus?!! Dengan wajah merah padam menahan amarah, Yudi melontarkan pertanyaan seruan itu padaku saat dia menerima berita kehamilan anak ketiga. Lalu juga ada anak keempat. Bahkan saat kehamilan dan kelahiran anak kedua pun, Yudi bersikap begitu hambar.

Maya.... aku mengira kami menikah berdasarkan cinta. Dan cinta akan menjadi kekuatan kami bersama menghadapi masa depan. Aku mengira anak-anak adalah buah cinta. Dan meskipun berat, kami akan selalu bahagia menghadapi kelahiran setiap anak.
Yudi semakin jauh dariku. Membenciku. Entah kenapa.
***

Setiap kali menerima surat dari sahabatnya, Maya selalu dapat melihat Tika seperti gambar film yang ditontonnya di bioskop. Tika berbicara dengan lemah lembut kepada anak-anaknya. Tika bekerja di kantornya. Sosok yang disegani bahkan oleh senior atau atasannya sekali pun. Raut wajahnya yang teduh, sikapnya yang santun, ucapan-ucapannya yang runtut, jelas, dan menguasai materi, caranya bekerja yang tekun, senyumannya. Siapa pun akan menghormatinya.

Maya bisa melihat Tika membacakan buku cerita di sisi ranjang anak-anaknya menjelang tidur. Menciumi wajah mereka. Menyelimuti mereka. Anak-anak berceloteh tentang rasa kangen kepada ayahnya.

Kemudian Tika berbaring di ranjangnya. Sendirian. Sebelumnya, menulis surat di atas meja rias di bawah lampu kamar yang temaram. Air mata menetes ke atas kertas. Tidak pernah ada surat dari Tika tanpa noda air mata. Tetesan air itu selalu ada. Tetapi Tika tidak pernah tenggelam dalam banjir air mata. Hanya tetesan kecil yang bergulir.

Sekarang Tahun 2008. Anak sulung sudah sudah menjadi pria tampan berusia 24 tahun. Seorang sarjana teknik yang bekerja di bidang IT di perusahaan asing di Jakarta. Kedua anak perempuan menjadi gadis-gadis cantik yang bahagia di masa-masa kuliahnya dan kelak tidak akan kesulitan jodo. Wanita-wanita muda yang lembut, santun, dan ceria. Si bungsu menjadi pemuda yang keren dan penuh cinta kepada ibunya. Selalu menjadi pelipur ibunya. Sekarang Tikalah yang mendapatkan pelukan dan ciuman yang menentramkan dari anak-anaknya.

Tika tidak lagi menulis surat pada Maya. Handphone telah mengubah cara berkomunikasi kita dan jarak terasa menjadi lebih dekat. Surat (snail mail) berubah menjadi email dan chatting di internet. Tika tidak pernah lagi menulis surat. Berlembar-lembar kertas surat berisi cerita tentang suaminya telah menghilang beberapa tahun ke belakang. Lebih dari lima tahun yang lalu.

Suami Tika sekarang selalu pulang. Tidak ada lagi Rina. Tidak ada lagi perempuan-perempuan lain yang pernah ada selain Rina. Tidak ada kemarahannya lagi. Rambut Yudi sudah sebagian memutih. Kegiatannya sehari-hari di luar kerja kantor sebagai karyawan adalah merawat tanaman di halaman rumah. Serta sembahyang 5 waktu. Puasa Senin-Kamis secara teratur dan olah raga jogging seminggu 3 kali. Tika mencapai puncak kariernya sebagai Dekan di fakultas tempatnya mengajar. Membaca buku adalah kesehariannya di saat tidak mengerjakan yang lain.

Maya bisa melihat Tika membuat teh panas dan pisang goreng di sore Hari Sabtu yang cerah. Menyuguhkannya pada suaminya yang sedang duduk di kursi teras rumah sambil memandangi tanaman-tanaman dan bunga yang dirawatnya.

Yudi menjadi pendiam. Semakin pendiam.

Maya bisa melihat Tika duduk di kursi yang lain di teras. Yudi duduk di kursi yang lain. Cangkir teh dan piring berisi pisang goreng di atas meja di tengah, di antara kedua kursi. Mereka memandang ke jalan. Memandang ke langit. Melihat hijaunya rumput dan warna merah kembang sepatu.

Yudi dan Tika sudah semakin tua. Tidak ada lagi yang bisa mengecewakan dalam hubungan meraka. Tidak ada lagi hal yang menyebabkan amarah di antara mereka. Tidak ada lagi yang menyebabkan kesedihan. Semua sudah berakhir menjadi kehidupan masa tua yang sudah meninggalkan rasa ambisi dan frustasi. Tidak ada lagi surat-surat yang bisa ditulis Tika untuk sahabatnya, Maya.
***

Januari 2009. (Untuk sahabatku. Kamu perempuan tangguh dan aku selalu mengenangmu dengan penuh cinta).

Tidak ada komentar: