Senin, 19 Januari 2009

SI TETEH

Oktober 2008. Setiap lebaran aku tinggal di rumah ibuku. Aku, suamiku, dan kedua anak-anak, berangkat subuh untuk shalat ied dan mempersiapkan meja makan di rumah ibu untuk menyajikan hidangan lebaran bagi para tamu. Sebagai anak yang rumahnya terdekat dengan ibu, ini kulakukan setiap tahun. Mudik ke rumah ibu yang jaraknya hanya 10 menit naik mobil atau angkot. Hari pertama, ibu menunggu seluruh anak, menantu, dan cucu-cucunya datang untuk menikmati ketupat lebaran bersama. Hari kedua, ibu diantar berkeliling ke rumah saudaranya yang lebih tua. Yang tersisa, masih hidup. Kakak dan adikku subuh hari kedua lebaran, ada yang berangkat mudik ke kampung suami atau istrinya.

Aku mudik hanya di rumah ibu dan di Ujung Berung –rumah mertua- karena suamiku juga lahir dan dibesarkan di Bandung. Suamiku aslinya orang Minang tetapi keluarganya sekarang lebih berbahasa Sunda ketimbang berbahasa Minang.

Lebaran terasa semakin sepi bagiku. Semakin sedikit tetangga yang kukenal. Semakin sedikit kerabat yang berkunjung dan dikunjungi. Satu per satu orang tua yang kukenal meninggal. Saat bersalam-salaman setelah shalat lebaran, aku bisa bertemu dengan bapak dan ibu tetanggaku yang sekarang sudah menjadi kakek dan nenek tua.

Para orang tua, tetangga, yang kukenal baik semasa kecil sampai aku SMU, kukunjungi rumahnya untuk bersalaman lebaran. Sekitar sepuluh rumah yang tersebar di dalam kampung Kota Bandung tempat aku tumbuh di masa kecilku sampai berangkat ke Yogya untuk kuliah di UGM. Aku bersama suami dan anak-anakku mampir selama 5 menit per rumah dan selalu pamit dengan mengatakan: ”Mangga atuh, masih bade nguriling...” (Permisi/pamit, saya masih akan berkeliling rumah lagi...).

Tradisi berkeliling tetangga untuk bersalaman lebaran kepada yang lebih tua nampaknya juga sudah tidak dilakukan generasi anak-anakku. Semasa aku kecil, tradisi ini masih kental. Juga tradisi mengirim nasi kuning dengan baki untuk para tetangga dan dengan rantang untuk para kerabat.

Para manula itu sudah ditinggal anak-anaknya yang tentu saja telah memiliki rumah tangga masing-masing. Beberapa, masih ada anak yang masih tinggal dengan orang tuanya. Ada yang masih berdua menjalani masa tua. Ada yang salah satunya sudah meninggal, dan kebanyakan ayah yang sudah meninggal.

Seperti ibuku yang tinggal sendiri. Ayah sudah meninggal 10 tahun yang lalu. Ibuku sudah berumur 75 tahun. Tinggal sendiri di rumah yang sudah ditinggalinya sejak tahun 1965. Sebuah pemukiman di tengah Kota Bandung yang semasa aku masih kecil merupakan perkampungan dengan rumah-rumah khas orang Sunda dari dinding bambu dan memiliki kaki. Rumah-rumah semacam itu sudah lenyap sama sekali.

Keluarga Sumpena merupakan salah satu keluarga lama yang kukenal seluruh anggota keluarganya. Ada ayah dan ibu, nenek, dan delapan anak –tiga lelaki dan lima perempuan. Anak sulungnya lebih tua dari anak sulung keluargaku yang memiliki lima anak. Anak yang sebaya dan menjadi teman masa kecilku bernama Neneng, anak nomor empat keluarga Sumpena. Aku sendiri anak ketiga.

Ayah dan ibu keluarga Sumpena itu sudah meninggal keduanya. Anak sulungnya pun sudah meninggal. Rahmi namanya. Adik-adiknya menyebutnya Teteh. Aku pun menyebutnya Teteh. Aku selalu terkenang betapa cantiknya si Teteh. Teh Rahmi.

Aku sering ke rumah Neneng untuk main dan menghabiskan waktu berbaring di atas tempat tidur anak-anak perempuan keluarga itu. Sambil membaca cerita dan majalah atau mengobrol. Bila si Teteh masuk ke kamar dan mulai berdandan, kami memperhatikannya dengan rasa ingin tahu. Bagaimana cara memoles warna di kedua pipi. Dan meratakan polesan lipstik. Si Teteh tidak pernah merasa terganggu dengan anak-anak perempuan yang merubunginya dan mencobai lipstiknya.
***

Tahun 1979. Aku mimpi buruk. Betul-betul menakutkan. Tapi aku tidak bisa menceritakannya pada ibuku yang biasanya tidak dapat membantu memberi pendapat apa pun apabila aku menyampaikan suatu masalah. Juga pada kedua kakak perempuan yang akan mencibirkan bibir atau mengucapkan kata mengejek.

Saat umurku 9 tahun dan suatu hari aku menemukan bulu halus tumbuh di vaginaku. Saat umurku 10-11 tahun, bulu itu tumbuh tebal dan lebat dan aku merasa ini memalukan dan menakutkan. Bagaimana kalau ketahuan orang tua dan saudara-saudaraku? Bagaimana kalau bulunya keluar dari celana dalamku. Dalam mimpiku, bulu vaginaku bertambah panjang terus sampai ke lantai. Keluar dari celana dalamku. Benar-benar mimpi yang menakutkan. Aku selalu memakai celana pendek sejak itu, meskipun memakai rok sekolah. Atau celana panjang di rumah.

Aku bahkan tidak berani membicarakannya dengan teman-teman mainku, ”gank” cewek yang terdiri dari 5 orang: aku, Neneng, Wenny, Tita, dan Ami. Aku merasa tubuhku berkembang lebih cepat dari mereka. Aku takut melihat mata mereka melotot dan kemudian serentak berbicara: ”Kamu sudah....” Wah, kalau aku satu-satunya yang berbulu, tentunya akan jadi memalukan.

Dalam mimpiku sepertinya semua orang yang kukenal memandang dengan tatapan aneh padaku. Orang-orang dewasa. Anak-anak sebaya. Anak yang lebih besar. Anak-anak kecil. Ada yang berbisik-bisik. Orang dewasa dengan rasa iba. Anak-anak sambil tertawa cekikikan. Aku mendengar mereka mengatakan ”berbulu”. Anak itu baru 9 tahun tetapi vaginanya sudah berbulu, semakin lebat dan panjang.

Aku memutuskan hanya aku sendiri yang tahu.

Biasanya kami teman se-gank punya acara mandi bareng. Karena kami teman bermain di rumah, tetangga, kami bisa mengambil alat mandi masing-masing dan mandi bareng di salah satu rumah.

Gara-gara bulu itu aku menghindari acara mandi bareng ini. Tapi teman-temanku pun sudah kurang mengajak mandi bareng lagi.

Suatu sore, di malam Minggu, kami berkumpul di rumah Neneng dan asyik merencanakan acara jalan-jalan hari Minggu. Saat kami sedang asyik bercengkerama di tempat tidur si Neneng, di dalam kamar yang merupakan kamar bersama semua anak perempuan keluarga itu, Teh Rahmi keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk. Jam 17.00 baru selesai mandi.

Dia melirik ke arah anak-anak perempuan yang bertumpuk di atas tempat tidur. Tersenyum kecil. Anak-anak itu tidak merasa segan lagi karena berada di kamarnya. Teh Rahmi memang peramah dan pengertian. Beda dengan kakak perempuanku yang ketus dan suka mengusirku agar menjauh darinya. Apalagi kalau membawa teman-temanku ke rumah, paling hanya di teras atau ruang tamu. Tidak pernah sampai ke dalam kamarku, karena seperti keluarga lainnya kamarku adalah kamar semua anak perempuan di keluargaku. Beda dengan anak laki-laki, masing-masing punya satu kamar.

Aku memperhatikan Teh Rahmi. Dia membuka laci dan mengeluarkan celana dalam dan BH. Dengan gerakan yang lembut dan pasti dikenakannya celana dalamnya dari bawah handuk. Handuk itu lepas dan jatuh ke atas lantai.

Aku melihat vagina dan bulu lembutnya. Payudara yang bulat dan lembut. Tubuh yang semampai dan memiliki garis bentuk yang lembut. Serba lembut, seperti warna pakaian dalamnya. Kami anak-anak perempuan memperhatikan tetapi pura-pura asyik melanjutkan pembicaraan kami. Aku pertama kali melihat seorang perempuan ’dewasa’ telanjang. Aku pertama kali melihat payudara itu seperti apa.

Teh Rahmi melirik. Gerakannya begitu pasti ketika ia merapikan posisi celana dalam dan BH. Nampaknya melekat di tubuhnya dengan sempurna. Aku tidak bisa menahan bicara lagi. ”Teteh, kapan anak perempuan tumbuh payudara?” Tanyaku. Teman-temanku mengangakan mulut, terkejut dengan keberanianku.

Teh Rahmi dengan gerakan luwes, lentur, dan feminin, mengenakan pakaiannya. Sebuah rok yang panjangnya sampai di atas lutut dan kaos yang melekat di bentuk tubuhnya. Setiap anak perempuan berbeda, katanya. Tertawa kecil. Aku mulai tumbuh pada waku SMP kelas 2. Menstruasiku kelas 1 SMP.

Kemudian Teh Rahmi berdiri di depan kami berlima. Kalian, sudah menstruasi belum? Sudah tumbuh rambut vagina belum? Sudah ada pentil susunya belum? Kami berpandang-pandangan dan hanya menggeleng-gelengkan kepala keras-keras. Berharap pembicaraan yang menakutkan ini berakhir.

Teh Rahmi berjalan melenggang ke luar kamar. Hatinya selalu berbunga-bunga menyambut malam Minggu, waktu kunjung pacar (wakuncar) yang dinanti-nanti.
***

Tahun 1983. Gank anak perempuan mencoba menemukan acara bersama untuk hari Minggu. Mungkin ke Alun-alun untuk cuci mata dan makan bakso. Mungkin ke Kebun Binatang sambil sekalian olah raga jalan kaki. Mungkin ke sawah untuk mencari ikan kecil dan tutut. Kami ini seperti Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, novel yang telah diangkat ke layar lebar itu. Hanya saja, yang kami perjuangkan adalah mengisi hari-hari supaya lebih menarik di luar kegiatan sekolah. Membuat acara kelompok anak perempuan 12-13 tahun selalu mengalami hambatan: aturan maupun biaya. Karena kamu anak perempuan tidak pantas jarambah (pergi jauh-jauh dari rumah), begitu kata orang tua atau kakak-kakak yang lebih tua. Bada maghrib harus sudah masuk ke rumah.

Berjuang agar anak perempuan berumur 12-13 tahun bisa memiliki hal menarik dalam kehidupan sehari-harinya, bukanlah mudah bagi kami. Ayah dan ibu tidak cukup memberi uang saku karena penghasilan terbatas dan punya anak banyak. Ingin ikut perkumpulan pencak silat atau club karate saja sulit memperoleh biaya beli pakaiannya. Memasak, merupakan kegiatan kelompok yang paling sering dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan dari dapur rumah masing-masing dan melengkapinya dari warung sayuran. Kemudian kami makan sama-sama di atas loteng dan naik ke atap rumah. Mie goreng atau lotek atau rujak cuka serba pedas. Itu yang biasa kami buat untuk mengisi hari Minggu bersama.

Aku menstruasi pada umur 12 tahun, kelas 6 SD. Lebih cepat dari teman-teman yang lain. Pertama kali aku masih menggunakan kain handuk berbentuk saputangan kotak yang dilipat dan dilekatkan di celana dalam dengan menggunakan peniti di ujung atas dan bawah. Aku bersyukur tidak lama kemudian ibuku membelikan apa yang disebut ’pembalut wanita’. Untunglah ada seseorang yang menciptakan benda ini. Teh Rahmi yang pertama kali memberitahuku. Kamu harus minta dibelikan ibumu, katanya. Benda yang bernama pembalut itu, maksudnya. Para ibu masih belum terbiasa dengan benda itu sehingga anak-anak remaja harus memberitahu mereka. Saat itu masih tebal dan terasa mengganjal di selangkangan. Tapi lebih baik ketimbang harus mencuci kain handuk yang penuh darah. Susah sekali mencucinya, butuh tenaga ekstra. Harga pembalut terasa mahal bagi ibu-ibu yang memiliki banyak anak perempuan.

Aku lega bahwa menghadapi menstruasiku itu aku tidak merasa takut. Tidak dihantui perasaan malu. Aku lebih siap menghadapinya setelah aku tahu bahwa setiap perempuan akan mengalaminya. Setiap anak perempuan berbeda.

Begitu kata Teh Rahmi.
***

Tahun 1979. Kami tertawa-tawa di antara suara siraman air. Acara mandi bersama itu selalu menyenangkan. Entah kenapa, tetapi banyak anak melakukan acara mandi bersama dengan teman-teman baiknya. Kamar mandi di rumah Neneng cukup besar untuk kami berlima. Kali ini ditambah dengan Teh Rahmi yang entah kenapa ikut mandi bareng dengan kami.

Tubuh Teh Rahmi tentu saja tubuh wanita dewasa muda sedangkan kami berlima masih anak-anak. Rupanya Wenny sudah punya rambut banyak juga. Sedangkan yang lainnya baru tumbuh halus dan belum kelihatan. Aku yang paling banyak rambut. Sementara, Tita dan Neneng sudah mulai timbul pentil susu. Dadaku masih rata sama sekali seperti anak laki-laki.

Siapa yang akan menstruasi paling cepat, kata Teh Rahmi. Sambil memperhatikan badan anak-anak perempuan yang telanjang. Serentak kami menunjuk Wenny, yang badannya paling bongsor. Lihat punyamu belum berambut, punya dia sudah begitu banyak rambutnya. Kata Teh Rahmi kepada Neneng, dan kemudian menunjuk kepadaku.

Kamu berbulu banyak sekali, kata Teh Rahmi. Banyak lelaki yang suka perempuan yang sekujur tubuhnya berbulu. Rambutku memang tebal. Alisku juga. Rambut halus tumbuh di sekujur tubuhku. Teh Rahmi memegang jari-jari tanganku dan melihar rambut halus yang tumbuh di atas buku-buku jarinya. Banyak pria yang akan suka padamu, katanya penuh iri.

Sejak saat itu aku tidak lagi dihantui malu karena tumbuh lebatnya rambut vaginaku. Semula aku heran bahwa berbulu itu bagus. Tapi berbulu tidak lagi menjadi mimpi buruk bagiku.
Aku merasa bahwa aku berbeda dengan teman-temanku. Dengan Teh Rahmi yang begitu putih, halus, lembut, dan memiliki lekuk tubuh feminin. Aku tidak punya bentuk tubuh dan karakter sefeminin itu. Aku berfikir apakah aku harus seperti Teh Rahmi di saat aku menjadi tumbuh dewasa ataukah aku memang berbeda.

Aku sedikit khawatir bahwa aku tidak akan menjadi wanita dewasa yang menarik karena aku cenderung tomboy. Tulang dan otot-ototku besar dan kuat. Wajahku juga nampaknya tidak pantas dipoles dengan warna-warni riasan. Juga lipstik.

Aku cemburu pada wanita secantik Teh Rahmi dan sejak kecil aku tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa seperti itu. Tapi Teh Rahmi suka pada tubuhku dan mengatakan bahwa: badanmu bagus. Kamu berbeda. Badanmu berbulu dan itu sexy. Aku tidak begitu paham arti kata sexy pada waktu itu.

Setiap anak perempuan berbeda.Begitu kata Teh Rahmi. Itu yang paling melekat dalam ingatanku saat mandi bareng. Di Tahun 1979.
***

Tahun 1989. Coky menatap wajahku sambil tersenyum. Dia memegang tanganku dan membelai jari-jarinya. Bagus sekali bulumu, katanya. Dibelainya rambut halus di atas buku-buku jariku. Pada usia 23 tahun, pacaran bukan lagi sekedar karena kita suka pada kesopanan perilakunya, kebaikan atau perhatian seorang pria kepada gadisnya. Melainkan mulai memiliki perhatian pada tubuh pasangan kita, menimbulkan hasrat yang menghangatkan perasaan, dan melakukan sentuhan-sentuhan yang menimbulkan aliran listrik yang dasyat. Saling memandang dan tersenyum. Mengukur sampai dimana batasan sentuhan fisik yang dapat diterima oleh pasangan kita. Bagi perempuan, terutama, jangan sampai dianggap murahan setelahnya.

Bukan hanya Coky yang memperhatikan bulu halus di lengan dan tengkukku, tetapi banyak yang berkomentar begitu. Aku menjadi merasa istimewa karena bulu halus yang menjadi ciri khasku. Aku merasa sexy. Seperti menurut Teh Rahmi dulu. Aku paham sekarang maksudnya.

Saat aku berumur 12-13 tahun aku terpesona melihat tubuh telanjang yang sangat indah menurutku, milik Teh Rahmi. Payudaranya. Vaginanya. Pinggangnya. Perutnya yang rata. Lengannya. Tungkai kakinya yang panjang. Kuku berkutek merah jambu. Bibir merah berlipstik merah jambu.

Gerakan tubuhnya. Cara berjalannya. Cara tertawa. Cara menggerakkan tubuhnya saat berdekatan dengan pria yang naksir kepadanya. Aku memperhatikan Teh Rahmi. Berharap bahwa bila tidak banyak pria yang merubung aku seperti merubung Teh Rahmi, paling tidak aku berhasil ’ditemukan’ oleh satu atau dua pria yang cukup menarik untuk jadi pacarku. Nanti, kalau aku sudah besar.
***

Oktober 2008. Pada hari lebaran biasanya aku bisa ketemu dengan teman-teman masa kecilku. Kami sudah menjadi perempuan setengah baya semua. Ada yang gemuk. Ada yang kurus dan berkeriput. Rambut sudah setengah beruban. Kami berubah seperti juga pemukiman kami telah banyak berubah setelah lebih dari 25 tahun berlalu. Tidak ada lagi sawah dan kebun kangkung. Separuh pemukiman telah dibebaskan dan berubah menjadi perumahan mewah dan mall. Rumpun bambu sepanjang sungai kecil yang membelah kampung sudah hilang, dan benteng tembok memisahkan perkampungan dengan bangunan-bangunan bertingkat: mall, bank, sekolah tinggi komputer, factory outlet, restauran.

Rumah keluarga Neneng ditempati kakak lelakinya, Deden. Aku bertemu dengan Kang Deden saat sedang berjalan melewati rumahku bersama anak-anak dan istrinya dan beberapa orang tak kukenal, menuju pemakaman kedua orang tuanya yang terletak di belakang perumahan kami. Ziarah hari lebaran ke makam orang tua.

Kang Deden menyapaku dan kami saling bertukar kabar sebentar. Neneng tinggal di Makasar mengikuti suaminya yang bertugas di sana. Teh Rahmi tahun lalu meninggal dunia karena kanker rahim.

Aku tidak akan lupa betapa cantiknya si Teteh menurutku, pada waktu aku seorang anak perempuan berumur 12 tahun yang pertama kali melihat tubuh telanjang seorang wanita dewasa. Teh Rahmi begitu tahu akan keindahan tubuhnya.

Tahun 1985 Teh Rahmi menikah dengan pria berusia jauh lebih tua. Seorang duda. Katanya bercerai dari istrinya dan sudah punya 2 anak. Aku mendengar orang-orang mengatakan bahwa Teh Rahmi merebut suami orang sampai menceraikan istrinya dan meninggalkan anak-anaknya. Neneng tidak mau banyak bercerita tentang suami kakak perempuan tertuanya itu. Aku teringat waktu itu aku keheranan melihat gadis semuda dan secantik Teh Rahmi menikah dengan seorang pria yang jauh lebih matang. Padahal pria-pria muda tampan yang memperebutkan Teh Rahmi sangat banyak.

Aku teringat betapa cepat kemudaan dan kecantikan Teh Rahmi memudar. Anak-anak lahir. Wajahnya dihiasi bercak-bercak coklat akibat menggunakan alat kontrasepsi. Badannya menggemuk. Masih suka menggunakan celana pendek dan kaos tanpa lengan kalau di rumah. Kakinya yang panjang dan halus dengan kuku berkutek merah masih dimilikinya. Rambut dipotong pendek sehingga mahkota yang dulu tergerai indah melewati bahu itu telah hilang. Bunga mawar indah dan segar merekah itu cepat sekali meredup warnanya. Kerut di wajah begitu cepat hadir setelah anak-anak lahir. Suaminya rujuk kembali dengan istri tuanya. Setelah itu Teh Rahmi berganti suami beberapa kali. Katanya. Aku sudah tidak pernah lagi bertemu setelah perceraian dengan suami pertamanya.

Setelah aku kuliah di Yogya, terkadang aku dan Neneng mampir ke rumah si Teteh di saat liburan semesteran. Setiap aku datang, dia menawarkan aku rokok putih. Coba rokok baruku, katanya. Menghembuskan asap rokok dari celah bibirnya yang berlipstik merah terang. Kami di loteng dan duduk di atas genteng. Matanya menatap lurus ke depan dan gerakan tubuhnya seperti yang kukenal: lembut, gemulai, tak acuh. Sia-sia polesan di wajahnya untuk menyamarkan noda dan kerutan di seputar mata.

”Dasar bondon,” terdengar umpatan dari balik jendela rumah tetangga di bawah loteng. Teh Rahmi bangkit dengan pelan. Berdiri dengan berpegangan pada talang air, melihat ke bawah. Meludah. Nenek sihir tukang dengki, katanya. Aku melihat, sebagai kakak perempuan sulung, Teh Rahmi sangat berwibawa di mata adik-adiknya. Bahkan meskipun adik-adik tidak setuju dengan tindakannya, mereka tidak dapat menyampaikan kritik kepada sang kakak yang membantu orang tua mengurus dan membiayai sekolah mereka. Menikah pada usia yang begitu muda dan memikul sebagian besar beban finansial keluarga agar adik-adiknya bisa sekolah lebih baik dari dirinya."Perempuan tukang morot", begitu umpatan ibu-ibu tetangga atau laki-laki usil.

Teh Rahmi mengatur dan memerintah adik-adiknya tanpa terbantahkan. Bahkan ayah dan ibunya pun terdiam saat terjadi suatu kontroversi dalam keluarga. Kau tamatkan sekolahmu, bekerja, dan baru fikirkan untuk menikah. Bentaknya kepada adik perempuannya yang menyampaikan lamaran menikah dari pacarnya sebelum sekolah sekretarisnya selesai. Perintahnya harus dituruti.

Pakai kecerdasanmu sedikit, katanya kepada adik perempuannya. Kamu menikah dengan lelaki yang pekerjaannya biasa-biasa, lantas jadi ibu-ibu jelek dan gemuk yang selalu pusing memikirkan biaya dapur dan sekolah anak-anakmu. Lebih baik kamu jadi perempuan kantoran. Sambil mengomel dan mencontohkan dirinya sendiri, si Teteh mengambil sebatang rokok dan menghembuskan asapnya, sementara orang tua dan adik-adiknya terdiam.

Teh Rahmi sendiri lulusan SKKA yang setingkat SMU. Kemudian bekerja sebagai resepsionis di sebuah perusahaan dan berhenti saat menikah karena permintaan suaminya.

Aku teringat saat usiaku 12 tahun Teh Rahmi memperhatikan seluk beluk tubuhku. Dan anak-anak perempuan lain, teman-teman adiknya, ketika sedang mandi bareng. Menyentuh bulu-bulu di atas buku jariku. Menarik rambut halus di lenganku. Dan mengatakan. Aku ingin berbulu sepertimu. Banyak lelaki yang akan suka padamu. Katanya kepadaku. Susu kamu mulai tumbuh, katanya kepada Wenny yang meringis sambil menutup dadanya. Kamu akan menstruasi sebentar lagi. Dada kami berdegub mendengar kata itu. Menstruasi.

Mimpi burukku tentang bulu hilang. Apa pun perkembangan dan perubahan yang terjadi pada tubuhku, aku tidak setakut seperti sebelumnya.

Kenangan tentang si Teteh berkelebat saat aku mendengar kabar dari Kang Deden, adiknya. Si Teteh telah berpulang.

Suatu hari aku berkunjung ke rumahnya setelah bekerja di Jakarta dan lama tak bertemu dengannya. Dia mengeluarkan sebatang rokok putih dan menyodorkannya padaku, lalu menyalakan api sementara aku menghisapnya. Aku mulai merokok saat SMU dan dia menyediakan tempat merokok karena itu tidak bisa kulakukan di rumahku sendiri. Umur kami berbeda 11 tahun dan dia selalu membantuku menyalakan api rokokku sejak dulu. Membelikanku rokok saat aku di SMU dan tidak punya uang. Bertanya: "Mau kubuatkan mie rebus?" Atau: "Mau kubuatkan kopi?" Atau: "Mau makan dengan karedok?" Dan dia pergi ke dapur untuk melaksanakan tawarannya. Lalu melihat aku dan adik-adiknya makan dengan nikmat hasil masakannya: nasi panas, ikan goreng, tempe, karedok pedas, dan kerupuk aci yang dibeli di warung. Si Teteh duduk sambil menghisap rokoknya sementara orang lain makan.

Tidak ada adik-adik perempuannya yang merokok. Hanya kami berdua. Neneng hanya bisa memperhatikan saja. Tidak punya keberanian untuk meminta sebatang rokok pada kakak perempuannya meskipun tergoda.

Si Teteh telah berpulang. Bagiku dia perempuan pemberani. Pahlawan bagi keluarganya.
***

Daftar Istilah:
•Teteh: sebutan untuk kakak perempuan (Bahasa Sunda), sama dengan mbak (Bahasa Jawa) atau uni (Bahasa Minang).
•Jarambah: suka main jauh, suatu istilah negatif bila ditujukan kepada anak perempuan karena dilarang ’jarambah’.
•Bondon: perempuan nakal, suatu istilah yang digunakan untuk mengganggu atau mengumpat kepada perempuan yang berperilaku tidak pantas (nakal atau bebas dalam konotasi sexual).
•Morot: memeras uang/harta; perempuan pengeretan atau perempuan tukang morot atau cewek matre merupakan istilah untuk perempuan yang motif hubungannya dengan pria adalah uang/materi/harta.

Tidak ada komentar: