Selasa, 03 Maret 2009

Isah

Airmata Isah bercucuran saat menceritakan anak bungsunya yang sakit. Sebentar kemudian uang lima puluh ribu rupiah telah berpindah tangan padanya. Bulan yang lalu anak sulungnya membayar SPP. Bulan sebelumnya menunggak listrik. Sebelumnya lagi anak tengah masuk sekolah. Sebelumnya membeli sepatu sekolah. Aku memberinya pinjaman hanya bila hutang sebelumnya sudah lunas. Dicicil per minggu Rp 25.000. Gaji mingguannya Rp 100.000. Kebiasaan Isah adalah meminjam Rp 200.000. Berdasarkan karakternya yang demikian, aku menetapkan pembayaran gajinya mingguan, bukan bulanan.

Terkadang aku harus menghibahkan sebagian hutangnya agar tidak terakumulasi melebihi kemampuannya membayar. Kalau meminjam uang untuk membawa anak sakit ke Puskemas atau bayar uang sekolah, lebih sering diberikan bantuan tetapi terkadang menjadi pinjaman bila bantuan sudah diberikan sebelumnya. Ini untuk membuatnya tidak gampang meminta.

Isah seperti pembatu rumah tangga lainnya tidak pernah putus dirundung kekurangan uang. Seperti cerita-cerita teman-teman dan keluargaku tentang pembantu mereka. Ada seribu satu alasan untuk berhutang. Nampaknya Isah selalu membuat prioritas agar ajuan hutangnya bisa berhasil. Juga secara tekun menunggu cicilan hutangnya terdahulu untuk bisa mengajukan hutang baru. Hari ini lunas, besok sudah mengajukan pinjaman. Selalu dimulai dengan pendahuluan dari kasusnya secara ringkas. Isah sudah terampil presentasi dan menjabarkan dasar alasan bagi proposalnya.

Terkadang Isah meminta ijin untuk membawa anak bungsunya ikut bekerja. Anak berumur 1,5 tahun itu kurus dan kecil. Makannya hanya nasi, kerupuk aci, dan kecap. Kalau diberi ikan dan sayur, dia tidak mau makan. Ibunya hanya tersenyum kalau melihatku mencoba memerintah anak itu makan lauk dan sayur saat aku melihatnya makan. “Iman, hayo makan sayur....” kataku. Dia meninggalkan piringnya di lantai dan bersembunyi di belakang ibunya yang sedang menyapu lantai. Anak itu tidak bisa disuruh makan ikan atau opor ayam, apalagi sayur. ”Pupuk nana...” (Kerupuk mana?) katanya kepada ibunya.

Ketika Isah baru mulai bekerja, istriku terkejut karena dia tidak bisa memasak sama sekali. Bahkan sayur bayam yang paling sederhana pun tidak bisa. Itu karena Isah orang kota. Orang miskin di yang lahir di kota, tidak memasak lauk dan sayur. Mereka menanak nasi, menggoreng tahu atau tempe, membuat sambel bledag hanya dengan bahan cengek dan garam, dan membeli kerupuk aci di warung. Terkadang hanya bala-bala atau tempe goreng yang dibeli di tepi jalan sebagai lauk makan. Atau telor ceplok sesekali. Memasak terlalu mewah bagi orang miskin perkotaan. Seperti Isah.

Berbeda dengan pembantuku yang dari sebuah kampung di Banyumas, si Mar. Dia pinter masak, gudeg dan sambalnya mak nyus, dan kalau menggoreng ikan terasa kering dan gurih. Tangannya seperti punya magic. Apa pun yang dibuatnya selalu lezat. Masakan baru yang dipelajarinya dari istriku atau tetangga, dengan mudah diserapnya dan diberinya sentuhan tangan ajaibnya. Menjadi hidangan yang membuat lahap saat kita menyantapnya. Si Mar juga terheran-heran dengan teman sejawatnya yang tidak bisa memasak sama sekali. Bahkan dia jadi tahu penyebabnya. ”Orang miskin di kota tidak pernah masak. Makannya cuma nasi, sambal mentah dan kerupuk aci....” katanya pada istriku. Pembantu yang satu ini sebenarnya cerdas dan kalau saja bisa kuliah seharusnya menjadi sosiolog atau antropolog. Tapi si Mar nyaris buta huruf karena hanya lulus SD dan sudah puluhan tahun jarang membaca dan menulis.

Setiap gajian mingguan, yang pertama kali dibeli Isah adalah 5 Kg beras untuk stok. Harganya Rp 5.000 per Kg. Selebihnya uang menjadi biaya sehari-hari termasuk untuk sekolah dan jajan anaknya. Suaminya memberikan uang harian hasil kerjanya sebagai buruh bangunan. Suaminya, sebagai anggota tim buruh bangunan rumah yang bekerja dari pagi sampai sore, mendapat upah Rp 60.000 kotor per hari karena tidak disediakan makan dan rokok. Isah mendapat Rp 45.000 dari suaminya dan disimpannya untuk keperluan-keperluan besar seperti membayar uang kos Rp 200.000 per bulan, urunan listrik Rp 25.000 per bulan, biaya sekolah, membeli pakaian dan sepatu sekolah, dan sebagainya. Pekerjaan memburuh tidak selalu ada. Terkadang orderan sepi.

Untuk pakaian sehari-hari, Isah tidak sungkan meminta baju bekas. Baik untuk dirinya sendiri, suami, maupun anak-anaknya. Dengan sikapnya yang santun dan tutur katanya yang baik, tetangga pun bisa dengan senang hati memberinya pakaian bekas yang masih baik. Memulung barang bekas dari rumah pun dilakukannya untuk melengkapi perkakas rumah tangganya. Panci yang sudah lama, hitam, patah pegangannya sebelah, dan istriku membeli yang baru untuk menggantikannya, dengan segera dipintanya. Bantal kursi yang sudah kempes dan sobek, ketika diganti yang baru, juga dibawanya pulang. Kasur Palembang yang sudah dekil dan banyak bercak karena si Tedy suka jorok dan menumpahkan segala minuman atau makanan sambil main play station di depan TV-nya, juga diboyongnya karena diganti dengan yang baru.

Istrikuku terkadang merasa kehilangan sendok dan garpu. Tapi istriku tidak cerewet bertanya, dia hanya membeli saja lagi satu-dua lusin sendok dan garpu saat berbelanja.

Terkadang si Mar yang suka sengak berkomentar. ”Kamu jualan barang bekas ya. Dasar pemulung...” Isah tidak menanggapinya. Terkadang terjadi rebutan barang bekas dengan si Mar. Jadi, harus seadil-adilnya dibagi. Hanya si Mar lebih pemilih dan selalu ingin mendapat hak menentukan. Misalnya ketika ada botol bekas jus jambu yang bentuknya bagus dan ukurannya besar untuk menyimpan persediaan air minum, si Mar marah-marah ketika Isah sudah menaruhnya di tas keresek untuk dibawa pulang. Diambilnya botol itu karena Isah lebih sering mendapatkan barang, katanya. Isah biasanya mengalah saja terhadap koleganya itu.

Suatu hari Isah menghadap lagi padaku. Duduk di lantai. Kemudian bercerita bahwa suaminya melamar ke mall yang baru dibangun itu untuk menjadi satpam. Diterima. Tapi harus membeli baju seragam, sepatu bot, ikat pinggang, dan pentungan sendiri. Sudah tanya harga di Kosambi. Dia menyerahkan kertas lusuh yang terlipat-lipat, diambil dari saku bajunya. ”Kenapa tidak dikasih dari perusahaan?” tanyaku sambil membaca daftar harga tersebut. ”Katanya harus modal sendiri....” jawab Isah. ”Terus harus bayar Rp 900.000 supaya diterima kerja...” kata Isah. ”Aaahh, yang bener...” kataku. ”Betul, Pak....” jawab Isah sambil menunduk. ”Sama siapa bayarnya?” tanyaku lagi. ”Sama yang masukin kerja....” jawab Isah. ”Bayarnya nanti kalau sudah kerja, dicicil Rp 200.000 dibayar tiga kali....

Aku menggeleng-geleng kepala. ”Memangnya berapa gaji satpam?”Katanya Rp 600.000 sebulan, Pak.... sudah dijamin makan sekali....” kata Isah. Aku menyerahkan kertas itu ke tangan Isah. Menunggu. Sementara Isah menarik nafas panjang dulu.

Pak, saya minta bantu lagi pinjam uang buat beli perlengkapan si akang...” kata Isah. Suaranya penuh harap. ”Berapa?” tanyaku. Aku sebenarnya sudah melihat di kertas yang tulisannya seperti anak SD kelas 1 itu, daftar belanja senilai dua ratus ribu lebih. ”Dua ratus lima puluh ribu, Pak....” kata Isah. ”Saya cicil seperti biasa dua puluh lima ribu seminggu, Pak....”

Kok, semua? Memangnya suami kamu gak punya uang sama sekali? Kan hutangmu belum lunas....” kataku. Tahan harga. Proses deal yang harus selalu ada bila menghadapi pembantu yang selalu berhutang. ”Tidak ada, Pak.... Suami saya sedang gak banyak dapet order....” katanya. ”Tolong ya, Pak.... supaya suami saya punya pekerjaan tetap....” Aku tidak mau kelihatannya terlalu mudah, jadi aku harus memberi persyaratan. ”Kalau suamimu nanti sudah gajian, cicilannya ditambah jadi lima puluh ribu yah.... supaya cepat lunas....”. Bagaimana kalau ada anaknya yang sakit dan harus berhutang lagi, sementara hutangnya masih banyak? Atau anaknya harus beli sepatu sekolah karena sudah jebol lagi? Atau sekolah memberikan daftar buku pelajaran yang harus dibeli? Hutang Isah memang harus diatur supaya cepat lunas, agar dia bisa berhutang lagi untuk sesuatu yang seperti itu.

Dengan cepat Isah menyetujui untuk mempercepat cairnya dana. ”Iya, Pak.... nanti kalau suami saya sudah gajian, cicilannya bisa ditambah....” Selesai sudah proses deal yang sering terjadi dengan Isah. Uang dua ratus lima puluh ribu rupiah berpindah ke tangannya. Isah bergegas pulang karena hari sudah gelap. Biasanya bila bermaksud meminjam uang, Isah akan terlambat pulang dan membiarkan si Mar pulang duluan. Dia tidak mau temannya tahu.

Sebulan pertama, setelah suaminya bekerja sebagai satpam di mall, Isah kemudian mengundurkan diri. Berhenti kerja dengan alasan mengurus anak-anaknya. Selama ini dititipkan ke neneknya bila dia kerja, dan itu betul-betul repot. Si Mar mengomel-ngomel karena harus kerja sendirian. Tapi tidak lama kemudian seseorang datang mengetuk pintu, namanya Lilis. Menurutnya, dia diberi tahu Isah bahwa ada keluarga yang membutuhkan pembantu rumah tangga baru. Lilis punya dua anak, kelas 3 SD dan adiknya yang berumur 3 tahun. Suaminya kena PHK dari pabrik garmen dan sekarang kerja serabutan. Lilis juga orang kota. Lahir dan besar di kampung Kota Bandung secara turun temurun. Kota ini terus dipadati para pendatang, sementara orang asli seperti dirinya semakin tersingkir di wilayah slum yang padat, sempit, dan terdesak ke dalam lorong-lorong yang tertutup bangunan-bangunan dan gedung baru. Kawasan baru rumah tinggal, pertokoan, atau perkantoran telah dibangun dan kampung-kampung itu menyempit ke belakang ditutupi benteng tembok.

Sisa hutang Isah tak pernah dibayar lagi. Aku sudah terbiasa. Setiap pembantu rumah tangga yang berhenti, selalu meninggalkan ratusan ribu hutang yang belum sempat dibayar cicilannya. Atau sebelum pamit berhenti, memang dia membuka hutang yang baru dan kemudian ditinggalkan tak terbayar. Dulu, begitu juga Nunung. Juga Enok, pembantu yang sebelumnya. Juga Eli yang meninggalkan hutang ke beberapa tetangga yang berhasil dilumerkan hatinya untuk meminjamkan sejumlah uang.

Setahun kemudian, aku mendengar berita bahwa suami Isah berhenti kerja sebagai satpam karena jatuh sakit. Tidak kuat kerja shift malam. Isah yang semula berjualan kecil-kecilan di dekat rumah kosnya, kembali bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Di keluarga lainnya.

Aku terbayang wajahnya yang manis, sikapnya yang santun dan agak pendiam. Menekuni hidupnya tanpa pernah mengomel. Tersenyum sumringah bila istriku memberi hadiah sekantung plastik kue kiloan untuk dibawa pulang. Berkaca-kaca matanya bila memberitakan anaknya sakit. Bekerja seharian diperintah si Mar tanpa pernah membantah atau banyak mengobrol. Menyapu. Mengepel. Mencuci piring. Menyeterika. Membersihkan bahan masakan.

Umurnya 18 tahun saat menikah. Umurnya 27 tahun sekarang ini.

Tidak ada komentar: