Jumat, 12 Februari 2010

Sebuah Kenangan di Kota Dili

Beritakan pada orang-orang bahwa kami ingin kemerdekaan, katanya padaku. Aku baru saja menginjakan kaki di Kota Dili. Belum lagi mengenalnya kecuali bahwa dia dari sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Koran dan TV Indonesia itu bohong semua bila memberitakan bahwa kemerdekaan bukan kehendak rakyat Timor Timur tapi hanya keinginan segelintir pemberontak, lanjutnya. Aku memandang wajahnya yang “lokal”. Tipe tidak banyak bicara, tampan, dingin, dan teguh. Tatapan matanya sangat tajam dan dalam. Paulo da Silva namanya. Aku merasa bahwa dia orang baik. Aku merasa aman dengannya.

Aku tidak mengira begitu cepat bertemu seseorang yang berbicara hal seperti itu. Paulo menyampaikannya saat ia menyetir mobil yang menjemputku di Bandara Comoro dan meluncur menuju Hotel Tourismo. Bangunan hotel itu tua, peninggalan Portugis, menghadap langsung ke laut.

Jangan pergi kemana pun tanpa saya atau teman lain menyertai, katanya sambil menatapku dalam-dalam untuk meyakinkanku bahwa apa yang dikatakannya adalah serius. Pemberontak berbahaya untuk orang Jawa, dan mereka mungkin ada di jalan sana. Setiap kalimat yang keluar dari bibirnya begitu dingin, kata demi kata sepertinya penuh tekanan, sepertinya penting untuk kucamkan. Tetapi otakku mencernanya dengan susah payah. Tentara Indonesia juga berbahaya untuk orang luar, lanjutnya.

Setelah Paulo pergi, aku duduk di atas tempat tidurku.
Termangu-mangu sendirian.

Saat itu Tahun 1994.

***

Mereka bersahabat dan ramah. Kawan-kawan LSM yang berkumpul bersamaku. Aku tidak ditolak. Pelatihan berjalan menyenangkan dan penuh antusias. Saat istirahat minum kopi kami duduk berbincang dan mereka berkata kepadaku sama seperti apa yang disampaikan Paulo, bersahutan, saling menguatkan, menambahkan. Kalimat demi kalimat untuk meyakinkanku dan membuat aku –si Orang Jawa- mengerti.

Aku Orang Sunda. Kataku. Mereka tidak memperhatikan karena terlalu bersemangat memberiku pengetahuan ”untuk disampaikan kepada orang-orang yang ada di Jawa”. Karena yang disampaikan selama ini adalah berita palsu.

Selama 2 minggu aku di Dili, Paulo mengajak aku berkunjung ke beberapa kantor LSM. Sejumlah tokoh LSM di sana berwajah indo seperti Xanana Gusmao dan Jose Ramos Horta. Paulo da Silva –meskipun namanya menunjukkan dirinya berdarah campuran juga- memiliki wajah coklat tua orang Timor. Sangat ”lelaki” buatku.

***

Suatu sore, aku melangkahkan kaki ke luar kamar hotel. Menyeberangi jalan dan menginjakkan kaki dia atas pasir pantai di sepanjang jalan Kota Dili.

Aku sedang berjalan pelan ketika serombongan anak-anak melempariku dengan pasir. Pergi, Orang Jawa, anak-anak itu berteriak sambil melewatiku dan berlari menjauh. Dan kelompok orang-orang dewasa memandang tajam kepadaku dari kejauhan. Tersenyum mengejek dengan sorot mata membenci.

Aku menatap ke arah mereka dan berusaha tidak takut. Lalu aku melangkah pulang ke gerbang hotel dan masuk ke dalam.

Mataku berkaca-kaca. Oh, Indonesiaku.

***

Aku kembali ke Dili pada tahun 1995.

Kali ini aku mengalami perjalanan mencekam menuju ke sebuah desa pegunungan. Seperti kata Paulo, pemberontak berbahaya dan mereka bisa menghadang di jalan. Tentara pun berbahaya dan juga bisa menghadang di jalan. Begitulah perang.

Aku bertemu dengan tentara yang seluruh tubuhnya dipenuhi senjata seperti Rambo di base camp mereka. Mendengar suara berbahasa Sunda, aku pun buru-buru menyapa dan itu membuat mereka tercengang mendengarnya. Orang Sunda. Perempuan. Mereka memeriksa KTP kami. Sepertinya kesal padaku karena melakukan sesuatu yang tak seharusnya. Penelitian, kataku. Ketimbang menjelaskan berpanjang-panjang soal pekerjaan LSM developmentalis.

Gila, seorang perempuan dari Bandung ada di wilayah pemberontakan. Pasukan tentara itu rupanya berasal dari Gegerkalong Bandung. Berhati-hatilah, kata seorang tentara padaku. Tatapan wajahnya sepertinya menganggap aku bodoh atau konyol. Tak kenal bahaya.

Paulo selalu bersikap tenang. Wajahnya lembut dan penampilannya seperti orang pemerintah sehingga tentara tidak bersikap galak padanya.







Pada setiap kesempatan, dia menjadi pencerita untukku. Berawal pada peristiwa Balibo pada tahun 1975. Pembantaian Santa Cruz, Dili, 12 November 1991. Penangkapan Xanana Gusmao pada bulan November 1992 yang kemudian dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1993

Untaian ceritanya bagaikan suara-suara yang mendengung di telingaku. Benakku tak mudah menerimanya. Bukankah aku saudaramu, Paulo? Apakah aku jahat? Kalimat yang tak terucapkan dari bibirku. Karena tak ada gunanya.

***

Celakalah referendum pada tahun 1999.

Bangsa Indonesia harus menghadapi kenyataan pahit ketika pada September 1999 hasil referendum di Timor Timur diumumkan dengan hasil hampir 80% suara pro kemerdekaan. Wilayah ini terlepas dari Indonesia.

Aku membaca koran dan menemukan namanya, walau tak banyak diulas. Paulo da Silva, bukan tokoh sangat penting, tertembak mati pada suatu bentrokan bersenjata pasca referendum. Kutelepon beberapa teman dan yakinlah Paulo yang pernah bersamaku di Kota Dili itu, telah tiada.

Aku terkenang padanya. Terkenang saat kami berdiri di depan monumen kemerdekaan Timor Timur dari penjajahan Portugis. Suatu saat akan dibangun monumen kemerdekaan dari Indonesia, kata Paulo seraya menoleh kepadaku.

Aku menatap wajahnya. Mengapa engkau begitu benci, Paulo? Apakah aku tak baik? Pertanyaan yang tidak terucapkan dari bibirku. Karena aku tahu, hanya sia-sia.

Kenangan yang tak terlupakan di Kota Dili. Kenangan tentang seorang Paulo da Silva. Aku ingin dia cinta padaku. Tetapi cintanya untuk hal lain.

***

Tidak ada komentar: