Jumat, 12 Februari 2010

Tersesat di Kalimantan

Suatu hari kampung itu diserbu. Karena mereka adalah kafir, liar, berdosa, dan harus disadarkan. Karena mereka primitif, tidak bisa dengan diajak bicara, terpaksa dengan cara keras. Mereka harus diislamkan. Kalau tidak mereka akan meneruskan upacara-upacara orang kafir. Menjadi kewajiban kita untuk menolong mereka dan anak keturunannya.

Mereka kemudian menghilang di balik gunung. Menjauh dari peradaban. Sekolah. Puskesmas. Dokter. Pasar. Dilupakan keberadaannya.

Sebuah gerbang yang tak terlihat. Pintu masuk yang jarang dimasuki orang luar kecuali yang tersesat. Jalan menuju ke sana tak nampak. Sungai yang primitif dinaungi goa yang panjang terbentuk dari tajuk-tajuk pohon dan akar-akarnya yang terjalin. Sebuah maha karya alam yang tak mungkin ditandingi manusia.

Semak belukar dan bunga-bunganya yang eksotik. Pohon-pohon rindang dan akar-akarnya yang gemulai dan kuat. Tebing-tebing dan batu hitam. Air jernih mengalir di sepanjang jalan setapak.

Kabut tebal turun dari gunung seperti mengulurkan tangan ke arah perkampungan yang asri. Apabila hujan sangat besar turun, sebuah danau raksasa terbentuk di kaki gunung itu dan meneggelamkan pepohonan di bawahnya.

Kabut membuat orang-orang kampung takut ladang padi dan jagungnya rebah karena kehilangan daya. Banjir menghantui. Gagal panen yang mengancam. Alam yang tak ramah. Angin yang jahat. Hujan badai yang tak kenal ampun.

Penduduk kampung itu punya cerita tentang orang-orang kafir di masa dulu. Orang-orang yang tak mengenal agama. Mereka tak pernah terlihat lagi. Mungkin sudah punah. Sebagian sudah membaur dengan warga kampung dan entitas asal mereka tak lagi ada.

***

Wajah-wajah yang ramah dan manis. Aku berada di tengah lingkaran manusia yang sedang duduk bercengkerama sambil menikmati kopi dan umbi-umbian yang baru direbus. Udara dingin tidaklah menghalangi kehangatan suasana.

Seseorang yang Berbahasa Indonesia, menerjemahkan ceritaku. Anak-anak memandang dengan wajah penuh perhatian. Seolah-olah melihat hal ajaib. Matanya terbelalak. Apalagi ketika kutunjukkan gambar-gambar dunia luar sana dari kamera dijitalku.

Perasaan ajaib yang sama kurasakan terhadap mereka. Masyarakat yang tidak mengenal listrik, TV, sekolah, dan dokter. Tidak mengenal kain buatan pabrik. Kain-kain tenun buatan para wanita itu sangat indah. Seperti lukisan dalam bentuk jalinan benang. Bebungaan, dedaunan, fauna, yang menonjol seperti ukiran di atas kain atau kulit hewan.

Pria-prianya berwajah tampan. Tubuhnya keras berotot. Atletis. Berkulit bening, mengkilap dan jernih. Kulitnya berhias indah dengan lukisan flora dan fauna. Bulu-bulu burung di atas topi anyaman dan tombak kayunya menjadikan kejantanan mereka indah dipandang. Mereka manusia-manusia penyuka keindahan yang tentunya berhati lembut.

Wanitanya cantik, berotot namun gemulai. Rambut hitam legam kontras dengan kulitnya yang bersih. Bayi-bayinya bulat dan bermata sipit. Tergantung di kantong anyaman yang membuatnya nyaman dalam kehangatan tubuh ibunya.

Bertelanjang kaki. Berdandan dengan perhiasan dari batu alam, kayu-kayuan, dan gigi hewan. Kecantikan yang membuatku terpana. Meskipun wajah mereka berbedak lumpur beras yang ditumbuk.

Anak-anaknya, lelaki dan perempuan memiliki kaki yang kokoh. Kecepatan berjalan di jalan-jalan setapak yang berbukit dan berlumpur saat hujan, sangat menakjubkan. Tertawa terkikik-kikik melihat aku bersusah payah berjalan dengan sepatu penuh tanah liat yang basah. Mereka meletakkan batu-batu berat agar aku bertumpu saat melangkah dan tidak tergelincir.

Sungguh berlimpah hidup mereka. Duku (langsat) yang sangat enak, manis-asam, setiap hari kunikmati. Lengkeng hutan yang bijinya besar, berkulit kasar dengan warna coklat kemerahan. Pisang yang tandannya luar biasa besar. Buah cempedak yang wangi dan buahnya kuning ranum diambil saat jatuh karena terlalu matang. Ikan segar yang diangkat dari sungai dan daging rusa segar. Umbi, beras ladang dan sayur yang lezat.

Hmmmmm. Aku tak mau melupakan rasa, wangi, warna, dan rupa yang tak akan lama menjadi milikku. Suara musik dan nyanyian terindah yang pernah singgah di gendang telingaku.

Aku menyesal tidak dilahirkan sebagai mereka. Kecantikan yang asli. Kebahagiaan yang murni. Alam mencintai mereka sepenuhnya dan melimpahi kehidupan mereka dengan semua yang dibutuhkan.

***

Akhirnya kami sampai di kampung setelah perjalanan yang sangat panjang. Melewati gunung, hutan, sungai, belukar, tebing.

Orang-orang kampung terkejut melihat wajah-wajah kami yang merah terbakar matahari. Baju yang berdebu. Baju yang dicuci, dijemur, dan dipakai tanpa tersentuh setrika. Ransel yang menjadi coklat oleh tanah.

Orang-orang kota yang aneh. Apa yang mereka cari di puncak gunung sana dan berminggu-minggu menghilang di balik hutan rimba. Mungkin itu yang ada di benak orang kampung. Cerita tentang orang-orang kafir yang tak mengenal agama di atas gunung itu, dan mungkin sudah punah, menjadi obrolan kami di malam hari.

Aku tidak berkata apa pun. Temanku tidak berkata apa-apa. Kami telah tersesat ke sebuah tempat yang sangat indah. Namun itu tak perlu diberitakan kepada orang-orang yang justru takut pada kemurniannya.

***

Tidak ada komentar: