Senin, 22 Maret 2010

Tamu Tak Diundang

Orang-orang di perjalanan. Aku memandang orang-orang dari jendela bis antar daerah: petani di sawah, pejalan kaki, anak-anak bermain kejar-kejaran, lelaki-lelaki duduk berbincang di warung kopi, perempuan menyuapi anak makan, perempuan mencari kutu di kepala perempuan lain, nenek menyapu pekarangan, pedagang keliling. Aku tak measa wajah-wajah mereka asing. Sekali pun hanya kulihat dari jendela bis yang bergerak sampai masuk ke terminal.

Setelah itu aku menuju sebuah kampung. Lebih enak naik ojeg karena aku bisa mampir kapan saja untuk mengambil foto pemandangan alam yang bagus.

Perkampungan yang sebelumnya tak pernah kukunjungi. Gunung menjulang yang penuh kharisma. Sawah terhampar hijau. Tambak-tambak dan samudra biru yang indah. Sebuah sudut wilayah pantai yang menimbulkan perasaan ironi karena kemiskinan, hasil pangan tak sukup untuk setahun, dan kekurangan air bersih. Aku terdampar kesorean, mengunjungi rumah Pak RT yang tak ada di rumah, berjumpa seorang pria yang kemudian membawaku ke sebuah rumah yang menerimaku dengan ramah.

Bermalamlah di sini, kata perempuan muda yang sedang menggendong bayinya. Sepiring nasi hangat, sambal sederhana, telor ceplok baru digoreng, dan kecap, tersaji sebagai makan malamku. Kesederhanaan yang begitu lezat. Aku bahkan tidak tahu nama-nama pasangan suami-istri itu yang menerimaku bermalam di rumahnya. Selain bayinya, mereka mempunyai anak lelaki berumur 6 tahun yang memandangku dengan malu-malu.

Mereka hanya memiliki satu kamar. Sebenarnya rumahnya cukup besar, tetapi sebuah ruang dibiarkan terbuka luas dengan balai-balai di sebuah sudut untuk tempat tidur anak lelakinya. Lebih enak tidur di tempat terbuka karena udara panas pantai yang selalu membuat tubuh basah berkeringat.

Aku berdiri di tengah kamar yang dengan penuh penghormatan mereka berikan kepadaku untuk tempat bermalam. Satu-satunya kamar yang mereka miliki. Sebuah tempat tidur dengan kasur kapuk yang tebal dan nampak nyaman. Kelambu untuk melindungi nyamuk daerah pantai yang ganas. Lemari pakaian dari kayu di tepi pintu, sebuah gentong besar terbuat dari tanah liat, ditutup oleh sebuah kayu berbentuk lingkaran yang di atasnya memiliki tonjolan. Tidak banyak barang dan begitu sederhana rumah ini.

Aku melangkah ke arah gentong itu, menggeser penutupnya yang lumayan berat. Beras. Isinya persediaan beras. Lampu cempor menyinarkan cahaya dan efek-efek bayangan di dinding yang membuatku menatapnya cukup lama. Suasana di luar sangat gelap ketika kusingkap tirai kain jendela kamar. Suara serangga menghiasi malam, bulan mengintip dari balik pohon lengkeng di kebun halaman. Samar-samar kudengar suara sejumlah orang bercakap-cakap. Aku membayangkan pria-pria memakai sarung yang duduk di atas balai-balai yang umum dibuat di halaman rumah. Para pria sering berkumpul di balai seperti itu dan mungkin mereka pun tidur di sana bila di dalam rumah sangat panas. Dengan obat nyamuk yang dinyalakan di kolongnya. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana masalah nyamuk itu.

Kemudian aku berjingkat ke arah pintu yang menghubungkan dengan ruangan yang luas itu. Kusibak penutup pintu yang hanya berupa tirai kain untuk melihat ke ruang yang gelap itu. Sebuah lampu cempor tidak cukup menerangi semuanya tetapi aku dapat melihat tikar yang digelar di lantai untuk tempat tidur, dan adegan berupa vignet yang terbentuk oleh cahaya terhadap orang-orang yang rupanya belum tidur. Sang istri duduk di tepi balai, sementara anak-anaknya berbaring tidur. Sang suami duduk bersandar di atas tikar seraya memegang bantal. Aku mendengar suara berbisik. Sebuah pertengkaran. Airmata mengalir di pipi sang istri dan ia mengusapnya.

Aku sedang duduk di ats tempat tidur, bersandar di dinding dengan kepala bertumpu pada bantal. Kudengar seseorang masuk ke dalam. Perempuan itu memberiku sebuah selimut tipis, seraya berbisik padaku. Suamiku, dia kawin lagi dengan perempuan dari kampung sebelah. Katanya. Aku memandang wajahnya. Cantik. Kenapa seorang lelaki tak bisa terpuaskan. Islam membolehkan lelaki memiliki istri lebih dari satu, bisiknya lagi. Entah membela suaminya dari tatapan mataku atau hanya sekedar menjelaskan.

Kami saling berpandangan lagi. Saling tersenyum. Karena apa juga yang bisa kita perbincangkan. Aku cuma seorang tamu tak diundang. Perempuan aneh yang melakukan perjalanan sendirian.

Pagi hari aku mandi dengan seember air yang disediakan tuan rumah. Air bersih memang langka di wilayah itu. Sebuah keahlian diperlukan untuk bisa menunaikan gosok gigi dan mandi dengan air terbatas.

Sarapan pagi telah disiapkan istri yang empunya rumah yaitu nasi goreng dan telor ceplok lagi, serta segelas teh manis panas. Aku makan bersama sang suami, sementara sang istri sedang menyuapi anak sulung sambil meneteki bayinya. Aku menatap wajah pria itu dan dia tersenyum sambil mempersilakana aku menambah nasi lagi. Aku tersenyum dan mengatakan sudah cukup kenyang.

Setelah menjalankan tugasku untuk melakukan reportase mengenai pencemaran yang dilaporkan masyarakat menjadi tanggung jawab sebuah perusahaan tambang minyak di wilayah pantai itu, aku masih menyempatkan diri mampir ke ”penginapan”ku. Aku ingin memeluk perempuan yang sedang bersedih itu. Tetapi itu tidak perlu kulakukan karena aku hanya orang asing yang terdampar.

Pria itu, istrinya dengan bayi dalam gendongannya, dan si anak lelaki, mereka berdiri melepas kepergianku. Membalas lambaian tanganku dengan senyuman. Ojeg membawaku ke terminal bis.

Selamat tinggal Indramayu.

Bandung, Maret 2010

Tidak ada komentar: