Rabu, 24 Maret 2010

Api dan Air (1)

Aku dan penjemputku, Umbu Kala, melakukan perjalanan panjang yang menakjubkan dari Waingapu menuju sebuah desa di Sumba Barat. Jalan yang kami lewati meliuk-liuk melewati bentang alam yang belum pernah kulihat sebelumnya. Padang rumput (sabana) luas seperti tak berbatas. Hamparan bergelombang, berwarna kuning keemasan yang mempesona. Rumput golkar, mereka menyebutnya. Sebuah istilah yang sangat berarti di masa Orde Baru, dan tentu tidak lagi di masa sekarang.

Aku mencoba merekam apa yang kulihat sepanjang perjalanan. Udara yang sangat panas membuatku agak gelisah. “Mereka bisa terbakar... Kita harus cepat.” kata Umbu. Aku tidak mengerti apa itu “mereka” yang dimaksudkan.

“Berpegangan....” perintah Umbu. Aku terkejut karena mobil tiba-tiba tersentak. Kemudian melaju kencang di atas jalan setengah aspal yang tak mulus. Terguncang dan oleng ke kiri dan kanan.

Mataku terbelalak ketika di kejauhan aku melihat sesuatu. Apa itu? Apa itu? Aku mencoba menangkapnya dengan pandangan mataku. Nyala api. Nyala api yang bergerak. Mobil melaju kencang dan nyala api seperti mengejar. Tapi api harus terhenti di tepi jalan dan tak dapat melanjutkan perjalanannya. Terputus.

Rumput-rumput yang telah dilewatinya menyala-nyala meluas sampai apa pun yang dapat terbakar dan tertelan olehnya. Beberapa batang pisang yang kering kerontang pun terbakar sampai ke pucuknya. Batang pisang yang berair pun bisa sekering itu.

Aku gemetar ketakutan, menoleh ke belakang melalui jendela mobil “ Ke... kenapa? Kenapa itu? Dari.... darimana api itu?” tanyaku terbata-bata.

“Sebuah titik api matahari membakar rumput....” katanya sambil mengunyah sirih dan menyetir mobilnya dengan tenang. “Itu biasa terjadi di musim kemarau.....”

“Tapi... tapi..... kita hampir tersambar api tadi..... “ kataku tergagap-gagap. “Kita hampir kena.... tadi.....”

Umbu tenang-tenang saja menyetir mobilnya. “Tidaaaaaak. Tidak apa-apaaaaa.....” Dia menoleh ke belakang dan menunjuk. “Lihat jembatan batu itu.... Ada kali di bawahnya. Api tak akan lari kemari.....”

Aku terduduk lemas di atas jok mobil. Bersandar.
***



Aku sampai ke sebuah desa yang sangat elok. Terletak di dalam cekungan dan lembah-lembah yang mengumpulkan tanah hitam yang subur. Pohon-pohon dan kebun-kebun hijau di dalam cekungan seperti oase yang ada di tengah-tengah alam maha luas yang kosong. Aku tidak mengira akan menemukan kehidupan seperti ini. Sebuah keindahan yang eksotik seperti dalam dongeng.

Perkampungan terdiri dari rumah-rumah kayu berkaki, beratap alang-alang yang tertata rapi. Dinaungi oleh pohon-pohon bertajuk rindang. Bagian bawah rumah adalah kandang, bagian tengah menjadi tempat tinggal, dan bagian atapnya menjadi tempat bagi para arwah leluhur. Ukiran pada kayu-kayu banguna rumah itu mungkin mengandung makna magis. Kuburan batu terletak di tengah-tengah pemukiman. Batu-batu berat dan pipih dengan dihiasi ukiran-ukiran yang indah.

Nun jauh di sana, aku melihat bentang alam bergelombang dengan warnanya yang keemasan. Api mungkin meletup di sana. Tapi itu tak akan menjamah perkampungan di dalam lembah. Dibentengi oleh kebun dan petak-petak sawah tadah hujan.

Aku tinggal di sebuah kompleks bangunan yang menjadi pusat kegiatan belajar. Pesertanya adalah para wanita, muda maupun tua, menikah maupun belum. Bangunannya terdiri dari tempat tinggal, tempat pertemuan, kantor kecil, dan sejumlah kamar yang salah satunya kutempati.

Istri Umbu, seorang perempuan Jawa, membuat wanita-wanita itu gembira karena mereka diajak belajar. Belajar berbagai keterampilan di kebun. Belajar membaca, berhitung, berbicara dalam forum, dan berdiskusi. Mereka memilih pemimpin kelompok, sekretaris dan bendahara. Mereka belajar berorganisasi.

***

Aku segera melupakan peristiwa “dikejar” api itu. Bersama para wanita yang ramah dan tuan rumah yang menyenangkan, aku pun menjadi bagian dari kegembiraan kegiatan mereka. Suasana yang penuh canda tawa.

Aku menjadi “tamu” yang akan memberikan materi pelatihan untuk kelompok-kelompok wanita ini. Dan mereka sangat tidak sabar ingin segera memulai.

Umbu menjadi pria yang dikelilingi para wanita hanya pada jam istirahat. Asyik makan sirih sambil melihat dari jendela apa yang sedang dilakukan para wanita itu di saat sesi belajar. Tugasku hanyalah menyiapkan sejumlah topik untuk dibahas. Menyiapkan sejumlah pertanyaan untuk diperdebatkan. Membagikan bahan bacaan untuk ditelaah. Permainan-permainan untuk dipecahkan. Lelucon-lelucon untuk mengganggu para wanita yang terlalu tekun belajar. Atau terlalu serius membicarakan persoalan perempuan. Masalah gender, kata para wanita itu.

Kambing lari dan para suami membiarkannya. “Tangkap sana, kan kalian sudah gender....” katanya kepada sang istri. Aku tertawa terbahak dengan cerita-cerita yang tak habis-habisnya untuk dibagi.
***
Malam hari adalah saat yang paling menyenangkan. Para pria datang dan bergabung dengan para wanitanya untuk menari dan memainkan musik. Kain-kain Sumba bermotif hewan dan manusia yang indah itu dikenakan para wanita. Mereka memasangkan kain untukku. Para pria sebagian memakai celana panjang, sebagian lagi memakai kain dengan ikat kepala atau kain seperti selendang yang diletakkan di bahu.   

Selama hidupku, inilah pertama kali aku menari dalam sebuah kelompok yang banyak. Menari. Mengayunkan kedua lengan. Meliukkan tubuh. Melangkahkan kaki mengikuti irama yang melenakan. Perempuan tua pun menari. Anak-anak pun menari.

Siapa yang bisa melupakan Pulau Sumba? Aku akan selalu merindukannya.
***

Ceritanya baru tentang api, BERSAMBUNG untuk cerita tentang air.....

Tidak ada komentar: