Sabtu, 24 September 2011

Cinta Linda untuk Herman


Pintu diketuk.

Kamu waktu itu berdiri di depan pintu. Kita saling berpandangan. Aku memutuskan memilihmu untuk bercinta.Untuk tidak perawan lagi.

Beberapa kali Linda punya pacar. Tanpa hubungan sex. Perempuan harus menolak hubungan sex. Harus membentengi diri. Begitulah yang harus dilakukan perempuan. Menurut norma masyarakat yang berlaku.

Linda membuka pintu dan bertanya, “Mau ketemu siapa?” Kemudian terjadi perkenalan dan perbincangan dengan pria yang mengetuk pintu. Seorang teman menitipkan pesan umelalui pria muda itu. Herman namanya. Selama mereka saling bicara, Linda memandang wajah si pria. Dan sebaliknya. Tak lama, selesai sudah tugas Herman sebagai penyampai pesan. Linda melihatnya berjalan pergi. Pria itu menoleh ke belakang dan mereka saling berpandangan lagi sebentar.

Kemudian, suatu hari kamu datang lagi. Kita pun lalu bercinta. Aku memilihmu untuk melakukan sex. Setelah selalu berpura-pura tidak mau. Seperti yang dilakukan oleh kebanyakan perempuan yang baik. Aku kehilangan keperawananku pada tahun 1992 di Bandung. Usiaku 31 tahun. Aku tidak khawatir. Aku menikmatinya.

Usia mudaku sudah hampir lewat. Kamu bilang, sex denganku bukan untuk yang pertama kalinya. Keperjakaanmu hilang pada umur 14 tahun.

***

Linda menghabiskan hampir satu tahun untuk menulis dan menyunting sebuah buku tentang pembuatan kerajinan kulit. Berhenti menjadi jurnalis. Menyerah hanya karena intimidasi yang dilakukan intel yang berwajah penuh senyuman. Atau karena pemalas saja. Linda bukan seorang pejuang. Tidak ingin menjadi jurnalis lagi karena harus bermental pejuang.

Dia tidak punya rencana. Melakukan apa yang ada di depan matanya. Tak punya ambisi. Merumuskannya pun tak tahu bagaimana caranya.

Satu-satunya yang terfikir olehnya adalah menjadi penulis. Yang diinginkannya adalah bekerja di penerbitan. Linda butuh pekerjaan yang memberikan gaji. Tidak bermaksud menjadi penulis novel atau cerpen yang menghasilkan honor. Tapi ingin jadi editor yang makan gaji dari sebuah penerbit. Dan menulis di luar jam kerja sebagai kesenangan belaka.

Maka, pekerjaan menulis dan menyunting buku tentang pembuatan kerajinan kulit itu dilakukannya sebagai kerja. Herman membantu Linda menggarap pekerjaan yang didapatkan dari seorang teman yang mengenal sebuah kantor yang mendapatkan proyek penulisan buku itu dari Depdikbud. Saat itu, Linda juga melamar pekerjaan ke sebuah penerbitan terkenal untuk menjadi editor. Setelah test, lalu tidak diterima. Sementara Linda mencari-cari kerja baru, Herman setiap hari kuliah dan menghabiskan sisa waktunya untuk belajar komputer.

Kamu selalu bersamaku selama tahun ini..... Tahun 1993 adalah salah satu tahun kedigjayaan Orde Baru. Tak seorang pun tahu bagaimana diktator negeri ini dapat ditumbangkan. Gerakan perlawanan telah mandul.

Tapi kita tak memikirkan politik. Kita bercinta penuh nafsu. Makan nasi bungkus satu untuk berdua....

Usiamu 22 tahun. Tak sedikit pun kamu tunjukkan rasa risi terhadap pandangan mata orang-orang yang melihat kita berjalan sambil berpegangan tangan. Aku merasa 20 tahun.


***

Tahun ini, Linda menghabiskannya untuk menyunting dua buah buku. Buku-buku tentang pembangunan. Berbeda dengan buku-buku fiksi yang jadi kesukaannya. Juga berbeda dengan penulisan feature dan reportase yang dulu pernah dikerjakannya sebagai wartawan. Linda bekerja di sebuah lembaga pengembangan masyarakat dengan pembuatan publikasi sebagai salah satu kegiatannya. Pekerjaan ini didapatnya dari seorang teman yang mengatakan “Kamu akan suka pekerjaannya...”

Linda memang suka pekerjaannya. Hidupnya jadi begitu mewah. Membaca banyak buku. Bertemu dengan orang-orang yang menjadi narasumber penyuntingan buku. Bertemu dengan masyarakat di berbagai tempat yang menjadi subyek tulisan dari publikasi yang dikerjakan. Funding asing membiayainya.

Selebihnya, banyak waktunya untuk melamun. Terbersit dalam pikirannya suatu saat ia akan menuliskan khayalan-khayalannya. Menjadi sebuah novel. Atau paling tidak kumpulan cerita pendek.

Linda banyak melakukan perjalanan-perjalanan ke pedalaman. Bertemu dengan orang-orang di suatu tempat yang asing. Sementara Herman santai saja menjalani kuliahnya. Berkat subsidi pemerintah, biaya kuliah murah di perguruan tinggi negeri dapat dinikmati mahasiswa santai untuk tidak cepat lulus.

Setiap aku pulang dari perjalanan, kamu orang yang akan mendengar cerita-cerita perjalananku. Kamu memberiku sebuah kue ulang tahun dengan 3 lilin saja dan kita hanya berdua. Kamu menyanyikan “Selamat ulang tahun... Selamat ulang tahun.... Selamat ulang tahun, Linda.... Selamat ulang tahun....” sambil menciumi leherku dari belakang.

Pada tahun 1994 kita masih suka bercinta dan banyak membaca buku yang sama.....Kita tak suka menonton TV karena takut melihat wajah menteri penerangan yang setiap berkata dimulai dengan frasa “berdasarkan petunjuk Bapak Presiden” akan memualkan perut.... Membuat kita tidak jadi makan.

***

Linda menikmati saja pekerjaannya dan membiarkan waktu habis. Seperti menghabiskan tabungan di bank. Bukan mencari uang untuk ditabungkan di bank. Begitu caranya memperlakukan waktu.

Waktunya dihabiskan untuk perjalanan ke berbagai daerah, pulau-pulau. Ia menghilang di kampung-kampung pedalaman berminggu-minggu, kadang bulan. Antara lain merekam apa yang dikerjakan Silvia bersama para petani lahan kering di sebuah desa di Timor Tengah Utara. Silvia berada di kampung 3 minggu dalam sebulan. Hanya 1 minggu dalam sebulan berada di kota dan berkumpul dengan suami dan anak-anaknya. Pekerjaan Silvia disebut sebagai petugas lapangan. Sedangkan pekerjaan Linda tidak bernama.

Linda menulis buku tentang cara kerja pendampingan. Membuat pelatihan-pelatihan untuk para petugas lapangan dan kader masyarakat. Melatih mereka menuliskan bahan belajar dengan masyarakat. Menuliskan proses dan hasil ujicoba teknologi yang mereka kerjakan di kebun-kebun yang sedang dikonservasi.

Pekerjaannya tidak punya nama. Linda tidak pernah bisa menuliskan pekerjaannya disebuti apa di dalam CV-nya. Juga tidak bisa menyebutkan pekerjaannya apa bila ditanya orang. Ia sering duduk-duduk bersama masyarakat yang sedang kerja kelompok. Menjadi teman baru mereka yang datang dan kemudian pergi.

Herman yang santai. Linda yang santai, tidak merumuskan arah tujuan hidupnya. Mereka generasi santai yang membelanjakan waktu begitu saja.


Percintaan di antara kita mulai melelahkan. Kita jemu dengan percumbuan yang dilakukan tanpa cinta yang lebih spiritual. Hubungan fisik yang dilakukan secara biologis belaka. Itu bukan cinta.

Kita tak peduli politik. Aku menemanimu memotong rambut di bawah pohon di tepi Jalan Supratman. Kamu menemaniku bekerja di rumah. Kita jalan-jalan sambil berpegangan tangan. Makan nasi padang satu piring berdua. Aku membaca buku dan kamu menyuapiku. Kita sudah jarang bercinta....

Berita di koran pada tahun 1995 memprovokasi rejim bahwa Megawati semakin berbahaya. Kelompok marhaen menggunakan atribut hitam dan merah di jalan, di angkot, dan posko-posko yang bertebaran di seluruh kota. Tukang becak mengibarkan bendera-bendera bergambar banteng sebagai atribut becaknya. Menjadi simbol rakyat. Masyarakat akar rumput. Dan mereka mayoritas.


Salahnya, semua pagar di jalan umum dan gedung publik, bahkan bangunannya, serta kios-kios pedagang kaki lima, dicat serba kuning. Sehingga bermunculan atribut dan warna yang melambangkan rakyat. Melawan.

***

Linda mencari cinta sejati. Cinta yang mengikat dua jiwa menjadi satu. Menjadi cinta birahi yang lebih spiritual. Ia bertemu dengan Yusuf. Pria lembut yang memperlakukan wanita dengan begitu santun. Memandang mesra dengan cara seorang pria yang sopan. Kemudian Linda bertemu Nico. Hasratnya menyala-nyala dan membuat Linda merasa jadi Ratu Sedunia. Menikahlah denganku, pinta Nico. Begitu cepat dan tanpa keraguan. Birahi menyala-nyala dalam cintanya.

Namun Linda terlalu ragu. Ragu dengan cinta. Yusuf bilang cinta itu hanya untuk Allah. Menikahlah demi Allah. Sebagai ibadah. Nico seorang pencinta sejati. Bunga dan puisi dikirimnya. Kekasih yang ingin dimiliki. Herman tak pernah menyatakan cinta. Tak meminta apa pun tapi selalu ada dalam keseharian Linda. Memasak untuk Linda. Membetulkan genteng yang bocor. Yang manakah cinta?

Linda ragu dengan pernikahan. Perempuan harus masih perawan. Sedang lelaki tidak. Perempuan menjadi pengikut. Pria menjadi pemimpin. Perempuan tidak lagi menjadi individu. Nama perempuan menikah akan dihapuskan menjadi nama suaminya. Ibu Yusuf. Ibu Nico. Ibu Herman (tidak terpikir oleh Linda mengingat Herman berusia 9 tahun lebih muda darinya). Atau mamanya Polan (anak lelakinya). Mamanya Mulan (anak perempuannya).

Linda lebih memilih menghabiskan waktu tanpa komitmen. Menghindari pengorbanan yang banyak. Enggan dengan tanggung jawab insan untuk berkeluarga. Ingin menggunakan waktu kebebasannya sedikit lebih lama lagi. Lalu sedikit waktu lagi. Kemudian, lagi. Waktu pun berlalu tanpa terasa.

Kamu mencari cinta sejatimu.... Aku dan kamu masing-masing mencari cinta sejati. Di antara kita telah didefinisikan menjadi hubungan tak sejati. Tapi setiap aku pulang dari perjalanan, aku kembali padamu....

Tahun 1996 kamu pergi ke kota lain untuk bekerja setelah lulus kuliah. Aku kira berakhirlah lebersamaan kita setelah itu. Tapi setiap akhir minggu kamu datang dengan perjalanan bis 4 jam. Meski kita bersama dalam waktu lebih sedikit dan jarang, hubungan kita belum tamat.

Aku memutuskan untuk tidak menikah karena keharusan. Menikah karena gunjingan orang, desakan keluarga, atau status di masyarakat. Aku tidak berfikir untuk menikah denganmu.... Karena kamu bukan cinta sejatiku.....


***

Kita tidak memutuskan untuk mencintai. Karena cinta itu tidak bisa dipilih. Cinta itu yang memilih. Kebebasan manusia ada batasnya. Menyadarkan manusia pada kelemahannya. Linda meragukan cinta. Tapi dia terjerumus dalam cinta. Linda enggan pada pernikahan. Tetapi cinta itu mengikat bagai perangkap.

Ia harus menerima kenyataan bahwa akhirnya tak bisa melarikan diri dari cinta. Cinta membuat jiwanya rapuh. Menjadi perih tanpa kehadiran Herman. Dilanda kerinduan. Meneteskan air mata karena takut kehilangan. Karena cemburu.


Aku menikahi kamu tepat pada tanggal, bulan, dan tahun terjadi penyerangan terhadap kantor pusat PDI di Jakarta. Sebuah peristiwa yang mungkin memantik api yang menggelorakan gerakan mahasiswa yang melahirkan era reformasi dan melengserkan Soeharto di tahun berikutnya.

Tapi kita tak percaya politik. Aku dan kamu tidak peduli lagi apakah pada Pemilu berikut kita akan tetap Golput ataukah tidak. Kita menikah dan berikrar cinta sehidup semati.

Usiaku dan usiamu terpaut jauh. Tapi aku menjadi muda dan bahagia. Persetan warna kuning, merah, dan hijau.... 


Aku mencintaimu, Herman. Jadilah kekasihku selama-lamanya....


***

Tidak ada komentar: