Jumat, 07 Oktober 2011

Anjing Gila

Saya memegang erat-erat koran lokal dengan mata terbelalak, membaca berita-berita tentang orang-orang yang digigit anjing gila. Lelaki sangat muda, usia SMU, mengantung dirinya sendiri untuk menghindari kegilaan. Seorang ibu yang disergap anjing, kena sabetan golok anaknya yang dimaksudkan untuk si anjing. Seorang PNS membuka pintu rumah depannya dan disergap seekor anjing gila, sebuah gigitan fatal di wajahnya. Tumpukan koran lokal yang saya temukan di ruang tamu kantor yang saya kunjungi itu saya periksa dengan cepat satu per satu. Berita-berita semacam itu hampir setiap hari ada.

Ini tidak menimbulkan reaksi sama seperti membaca koran-koran lokal di Aceh, banyak berita tentang orang yang cedera berat atau mati diinjak-injak gajah saat bertemu di kebun atau hutan. Sebab gajah hanya ketemu di kebun yang cukup jauh dari kampung atau hutan, sedangkan anjing gila di semua tempat. Bisa saja ketika di dapur, ketika membuka pintu depan rumah, atau saat kita sedang di jalan raya. Tak ada tempat tanpa resiko bertemu anjing gila.

Pemerintah mencanangkan eliminasi seluruh anjing di Pulau Flores. Tentara turun tangan untuk melakukan eksekusi. Begitu menurut salah satu berita di koran itu.

Koran itu menjadi kusut karena teremas tangan saat saya membacanya dengan tegang. Sangat luar biasa saya tidak mengetahui situasi ini sedangkan hampir 20 orang keberangkatannya ke pulau ini berada dalam tanggung jawab saya.
***

“Kenapa tidak memberi tahu keadaan ini?” saya bertanya.
“Memangnya kenapa” dia balik bertanya.

Saya mengerutkan kening. Memangnya kenapa? Anjing gila berkeliaran di seantero Kota Bajawa. Sudah hampir mencapai 50 orang mati dan ratusan kena gigit. Itulah mengapa. Saya duduk tercenung tidak mengerti. Memangnya kenapa kalau kita mati karena bencana? Pulau ini tidak pernah lepas dari gempa. Beberapa desa di tepi pantai telah menghilang ditelan lautan dan ratusan orang hilang. Apa pula yang harus ditakutkan dengan wabah anjing gila ini.

Saya tidak tahu harus bersikap seperti apa. Seperti siapa, tepatnya.

Seperti tuan rumah. Atau seperti anggota rombonganku yang ketakutan. Pertemuan tahunan jaringan petani ini di bawah tanggung jawabku. Rombongan dari berbagai pulau ini didatangkan olehku untuk belajar dari petani Flores.

Saya akan membatalkan acara ini kalau saja tahu situasi yang terjadi.

Tapi saya tidak tahu. Saya baru tahu bahwa situasi mencekam sedang terjadi begitu sampai di Kota Bajawa yang dingin dan basah itu. Kota yang menyenangkan untuk ditinggali kalau saja tidak sedang mengalami bencana wabah anjing gila ini.
***

Kepala desa datang untuk menjelaskan bahwa semua anjing telah dieliminasi tanpa kecuali. Suasana hening. Wajah-wajah tamu nampak tak berdaya. Klimaks suasana hening itu adalah saat suara gonggongan anjing yang terdengar sayup-sayup. Semua orang yang berkumpul dalam ruangan tersentak dan saling berpandangan.

“Semua?” tanya seseorang.

“Masih ada penduduk yang membandel menyembunyikan anjingnya. Alasannya, anjingnya sehat dan mereka butuh untuk menghalau binatang yang mau masuk kebun....” kata Kepala Desa. “Sungguh berat bagi kita kehilangan seluruh anjing. Kita butuh penjaga kebun untuk mengusir pencuri dan binatang yang merusak....”

Beberapa orang petani berjaga-jaga dengan membawa senapan.

Tanpa membicarakannya, semua orang sepertinya tetap akan melanjutkan agenda kegiatan yang sudah disusun. Namun ketegangan terjadi antara para tamu dengan tuan rumah pertemuan. Bukan karena menyalahkan tuan rumah melainkan karena ketakutan.
***

Malam hari lebih menegangkan dari siang hari. Apalagi suasana di perdesaan yang sepi. Listrik terbatas hanya di rumah-rumah yang ada di pusat desa.

Mungkin saja anjing muncul dari kegelapan. Setiap anjing yang menjadi gila akan mengggigit manusia, lalu mati. Datangnya entah dari mana. Kemudian menghilang entah kemana dan bangkainya konon tak satu pun yang ditemukan. Begitu juga manusia yang digigit anjing gila, bila sudah mengalami kegilaan akan menggigit orang lain dan kemudian mati. Keluarga akan mengikatnya kuat-kuat bila masa kegilaan itu akan terjadi. Tapi beberapa orang memilih membunuh diri ketimbang mengalami kegilaan.

Malam itu terjadi keributan. Seorang peserta tak dapat menahan ketegangan dari situasi yang terjadi. Jiwanya terguncang. Mulutnya menceracau tentang makhluk-makhluk setan yang mengintai sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke sudut ruangan atau atap. Membacakan doa-doa –ayat-ayat suci Al Qur’an- sambil menggigil ketakutan. Menjadi dramatis ketika mendengar doa-doa seperti itu di sebuah wilayah Kristian.

Hal ini terjadi sepanjang malam sehingga tak seorang pun di dalam rumah itu yang bisa tidur. Rumah itu salah satu rumah penduduk yang disediakan untuk menginap rombongan selama kegiatan di desa.

Keesokan harinya, beberapa orang mengantarkan peserta yang sakit itu ke pelabuhan. Entah apa yang terjadi dengannya dalam perjalanan kapal sehari semalam itu untuk pulang ke pulau asalnya. Pihak keluarganya sudah ditelepon untuk menjemput kedatangannya nanti.

Anehnya, semua peserta sepertinya menganggap kegiatan tetap harus dilanjutkan. Tak ada yang mengatakan ingin pulang karena situasi yang terjadi.
***

Tuan rumah nampak menjadi marah atas ketakutan yang terjadi pada rombongan tamu itu. Atas ketidaknyamanan yang dialami semua peserta yang datang dari luar Flores. Secara logika sepertinya menjadi terbalik, seharusnya tamu yang marah karena tidak mendapatkan informasi tentang situasi berbahaya yang terjadi sebelum mereka datang.

Namun begitulah situasinya.

Ketika seorang tuan rumah memberikan kita piring makanan dengan begitu ramah dan kita menerimanya dengan rasa ragu, maka si tuan rumahlah yang menjadi tersinggung. Terutama sikap para tamu muslim yang memilih hanya makan sepiring nasi tanpa lauk pauk.

Saat kita datang bertamu dan diterima dengan sebaik mungkin –lalu kita merasa tak aman- maka tuan rumah pun menjadi sakit hati. “Terserah kalau begitu. Kami sudah siapkan penjagaan keamanan....” begitu tuan rumah menyatakan kekesalannya.

Apa salahnya hidup dalam ketidakamanan? Memangnya kenapa kalau mati digigit anjing gila, lalu menjadi gila dan menggigit keluarganya sendiri. Itu semua biasa saja. Itulah hidup yang kami alami sepanjang tahun ini. Saya tidak mengerti apakah semacam itu yang terjadi di dalam perasaan kesal sang tuan rumah.

Ketegangan antara tuan rumah dan para tamu itu hanyalah karena situasi. Tidak menimbulkan amarah yang bersifat antar pribadi atau kelompok. Meskipun rombongan tamu kemudian juga melakukan unjuk sikap perlawanan. Menjadi lebih keras.
***

Kegiatan telah selesai.

Saat berpisah, tuan rumah dan rombongan tamu berpelukan dan menangis berlinangan air mata. Sepertinya rasa penyesalan dan permohonan maaf tersekat dalam kerongkongan, tapi tak perlu terucapkan. Memaklumi situasi yang terjadi tanpa dikehendaki siapa pun.

Berita di koran tentang wabah anjing gila di seluruh Pulau Flores ini tak terlalu menonjol. Tak ada upaya penggalangan dana dilakukan TV-TV swasta yang biasanya berlomba mengumpulkan dana bencana.

Ribuan orang digigit anjing gila sepanjang tahun 2000. Lebih dari seratus orang meninggal. Kota Bajawa merupakan daerah yang paling parah dalam jumlah korban meninggal dan terkena gigitan anjing.
***

Tidak ada komentar: